Senin, 13 Februari 2012

DESAIN INOVATIF KERAMIK KASONGAN DALAM KONTEKS PENGEMBANGAN INDUSTRI KREATIF INDONESIA PADA PERSAINGAN PASAR GLOBAL Oleh Moh. Rusnoto Susanto

DESAIN INOVATIF KERAMIK KASONGAN DALAM KONTEKS PENGEMBANGAN INDUSTRI KREATIF INDONESIA PADA PERSAINGAN PASAR GLOBAL

Oleh

Moh. Rusnoto Susanto

kasongan071

I. PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Wilayah Kasongan Bantul merupakan landscape sentra industri kreatif keramik atau gerabah yang mampu melakukan konstruksi sosial sebagai pengrajin keramik secara turun-temurun hingga kini. Bermula dari seorang Kyai Song yang mencikalbakali keberadaan keramik Kasongan 320 tahunyang lalu (1675-1765) di daerah tersebut yang kini disebut Kasongan (Gustami: 1988: 17). Pada saat itu produk-produk yang dihasilkan mencakup pada peralatan keperluan sehari-hari dari alas makan dari gerabah sebagai pengganti alas makan dari bahan batu maupun dedaunan yang dikenal dengan cobek (cowek, cuwo). Pada perkembangannya tahun 1745-1825 aktivitas pembuatan keramik di desa Kasongan yang dilakukan Mbah Jembuk mulai menunjukkan peningkatan dalam variasi bentuk. (Haryono, 1995-1996: 17). Kemudian pada era 1990-an sentra Keramik Kasongan telah mencapai tingkat diversifikasi produksi tinggi, tidak hanya pada produk fungsional praktis, akan tetapi telah menjadi objek estetik yaitu elemen estetik interior dan eksterior. Semenjak itulah Sentra Industri Keramik Kasongan masuk pada jejaring globalisasi baik secara sosiokultural maupun managerial pemasarannya.

Ekonomi saat ini sangat dipengaruhi oleh globalisasi. Salah satu produk dari globalisasi adalah Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI) yang merupakan kapitalisasi dari intelektualitas seseorang (creative capital) yang dapat memproteksi ide kreatif dan inovatifnya serta membatasi orang lain untuk mempergunakan haknya tersebut. Ide kreatif dapat dipatenkan maupun didaftarkan hak cipta desain pada Direktorat Jenderal Hak Cipta. Tujuannya melindungi kepentingan bisnis bermotif ekonomi agar produk, paten, merk dan karya cipta desainnya tidak dieksplorasi atau dieksploitasi pihak lain.

kasongan0731 kasongan088

Aktivitas kreatif dan proses pembakaran gerabah yang dikenal dengan proses biscuit di salah satu pengrajin gerabah profane di Kasongan. (atmosfer semacam ini menjadi pemandangan sehari-hari pada hampir semua penduduk Kasongan)

Industri kreatif memiliki orientasi pengghasil creative capital merangsang industri kreatif lokal untuk memiliki daya saing yang baik dan tak lagi memiliki ketergantungan pada industri manufaktur dalam hal pembayaran lisensi-lisensi terhadap produk asing. Hal tersebut dapat diatasi dengan semangat untuk melakukan penelitian, pengembangan dan penguasaan teknologi tepat guna dalam perspektif penciptaan nilai inovasi. Inovasi selalu berkaitan dengan penguasaan teknologi tinggi berangsur berubah orientasinya bahwa inovasi juga berkembang pada wacana dan praktik industri kecil dan menengah seperti pengembangan sentra-sentra industri kerajinan yang menghasilkan nilai-nilai baru.

kasongan081 kasongan083

Proses Quality Control produk kerajinan Keramik/Gerabah dan persiapan packing untuk pengiriman eksport produk ke luar negeri oleh Bapak Arie Saksono.

(Proses QC dilakukan untuk memenuhi standart mutu eksport)

Nilai baru yang bermula dari sebuah konvergensi teknologi-teknologi sebelumnya sehingga menghasilkan ide baru atau metodik tepat guna yang baru. Kemampuan beradaptasi dan konvergensi dalam dunia industri kreatif ditempuh untuk melahirkan ide kreatif baru yang fresh dan up to date membutuhkan daya imajinasi dan daya visualisasi yang baik. Kemampuan ini paling menonjol didapat pada kreator yang berorientasi kreatif dan melakukan penerjemahan kembali terhadap kebutuhan kepraktisan [profan] masyarakat kontemporer yang muncul pada sentra industri kreatif.

Proses adaptasi dan konvergensi dalam proses penciptaan seni yang berbasis penemuan nilai kreatif dan invatif pada desain produk seni kerajinan. Proses pengembangan desain di sentra industri gerabah Kasongan secara umum mengadopsi unsur lokal dan mengadaptasi berbagai aspek kebutuhan artistik modern maupun kontemporer. Kecenderungan mengamati-mencermati, meniru atau pengadopsi, dan menambahkan atau memberikan sentuhan kreativitas baru sebagai langkah inovasi artistic semakin hari semakin meningkat untuk melayani tuntutan pasar global. Dengan demikian pergerakan ekonomi yang berbasis pada orientasi ekonomi kreatif semakin maju dalam mewujudkan program pemerintah dalam memberdayakan sentra-sentra industri kreatif yang mandiri dan berani bersaing dengan produk ekonomi kreatif Negara-negara maju lainnya.

Senin, 06 Februari 2012

MENAPAK ERA GLOBALISASI, MENYIBAK MAKNA DI BALIKNYA

MENAPAK ERA GLOBALISASI, MENYIBAK MAKNA DI BALIKNYA

Dicky Tjandra*

Keberadaan dunia virtual sebagai produk teknologi informasi telah menimbulkan berbagai pertanyaan mendasar yang serius mengenai makna informasi bagi kesadaran eksistensi. Ketika manusia sampai pada titik pencapaian tertentu maka manusia sejatinya berada pada tataran krisis eksistensial. Nah, persoalanya adalah bagaimana manusia tergugah kembali dan tetap memiliki kesadaran eksistensi humanistiknya meskipun berada dalam arus informasi global namun dapat tetap melambungkan impian-impiannya.

[Netok Sawiji_Rusnoto Susanto]

Menapak Era Globalisasi

Selama dekade terakhir abad keduapuluh, tumbuh suatu kesadaran di antara para wiraswastawan, politikus, ilmuwan sosial, pemimpin masyarakat, aktivis akar rumput, seniman, ahli sejarah budaya, dan orang-orang biasa dari berbagai bidang bahwa sedang muncul suatu dunia baru-dunia yang dibentuk oleh teknologi baru, struktur sosial baru, ekonomi baru.

Perkembangan teknologi komunikasi akibat tuntutan dan menjawab kebutuhan manusia akan komunikasi terjawab oleh perkembangan ilmuan teknologi yang mampu memperpendek jarak. Dengan hitungan ’klik’ mampu menghubungkan daerah yang ada di selatan planit ini dengan yang ada di utaranya. Kejadian ini kita kenal dengan istilah ’Globalisasi’, oleh Fritjof Capra dikatakan merupakan istilah yang digunakan untuk meringkaskan segala perubahan luar biasa dan momentum yang tampak tertahan, yang dirasakan jutaan orang…..Ciri umum yang dimiliki berbagai aspek globalisasi adalah jaringan informasi dan komunikasi global yang didasarkan pada teknologi baru yang revolusioner.

Namun demikian sebagai mahluk yang senantiasa mencoba mengatasi permasalahan dirinya selalu diperhadapkan oleh akibat yang dihasilkannya. Dikatakan oleh I Made Bandem bahwa ”Globalisasi telah menjadi kenyataan yang tak terelakkan. Peristiwa dan segala bentuk perubahan hadir kapan saja, di mana saja, melibatkan siapa saja, dan dapat dinikmati siapapun, kapan pun, dan di mana pun. Ruang dan waktu tidak lagi menjadi pembatas dan kendala. Teknologi komunikasi dengan segala pirantinya yang semakin canggih memuluskan persilangan informasi dan komunikasi hingga ke ruang-ruang privasi setiap orang”.

Selanjutnya dikatakan Anthoni Giddens: ” Komunikasi elektronis yang cepat dan langsung bukanlah cara untuk menyampaikan berita atau informasi dengan lebih cepat. Keberadaannya mengubah setiap relung kehidupan kita, kaya atau miskin.

Manusia merayakan era ini dengan suka cita atas temuan manusia yang luar biasa ini, tanpa memikirkan dampak yang mungkin terjadi. Masalah yang diakibatkan oleh teknologi komunikasi karena ketidak siapan manusia penerimanya semata. Persoalan homogenisasi budaya adalah satu dampak yang dikhawatirkan sebagai akibatnya, sehingga perlu dipikirkan langkah-langkah strategis guna menghadapi globalisasi budaya secara matang dan cerdas.

Di dalam kesenian, era ini dijawab dengan lahirnya mashab Post Modern, dengan menggulirkan wacana pemberdayaan nilai-nilai budaya di dalam penciptaan seni sekarang. Mashab ini sadar betul bahwa dampak teknologi komunikasi dapat melibas semua nilai budaya yang ada oleh derasnya arus informasi. Sikap ini tentu sangat beralasan bagi masyarakat dunia ke tiga, karena keberadaan teknologi komunikasi modern sangat berdampak. Nilai-nilai budaya yang sudah terbangun berabad-abad lamanya akan musnah oleh politik kebudayaan yang dirancang atas nama globalisasi. Bagi mereka kejadian yang ada adalah suatu hal wajar dan dapat dipertanggung jawabkan karena merekalah yang mengusung teknologi ini, tetapi sebaliknya dengan kita, hal ini banyak menimbulkan kerisauan dari berbagai kalangan yang sudah memikirkan segala dampak yang akan terjadi.

Teknologi modern yang menghilangkan jarak pada komunikasi manusia seakan sulit terhindari, dan kita dipaksa lebur di dalamnya dengan diberi predikat manusia modern yang begitu dianggap bergengsi. Kita yang berada dan hidup di dalamnya, dan pasti terlibat dengan sistem yang terbangun. Kita harus pandai-pandai menempatkan diri kita didalamnya dengan menyadari potensi yang dimiliki serta dapat memahami keberadaan globalisasi secara matang dan cerdas.

Ketika penjajahan di muka bumi ini dihapuskan atas nama kemanusiaan, upaya bangsa barat lebih cerdas mencari jalannya untuk tetap eksis menanamkan pengaruhnya di muka bumi ini dengan berbagai macam cara. Perkembangan teknologi informasi yang mereka temukan hadir atas nama kebutuhan komunikasi umat manusia, entah apa mereka sadar akan dampak yang bakal terjadi pada masyarakat dunia ketiga atau memang melihat peluang melanjutkan cita-cita kolonialisme baru dalam bentuk intervensi budaya melalui teknologi komunikasi. Tesis ini tentu saja masih membutuhkan observasi secara mendalam dan menyeluruh terhadap fenomena yang berlangsung, tetapi situasi tersebut patut dicurigai.

Virtual Displacement ala Rusnoto

” Manifestasi Eksistensi Humanistik dan Spiritualitas Baru”

Kita dapat memahami era globalisasi dari sisi ’sebab’ dan ’akibat’, maksudnya bahwa kita dapat melihat teknologi komunikasi sebagai sebab dari temuan teknologi yang mempermudah jaringan informasi antar manusia dan sebagai akibat yang dapat berdampak negatif bagi sebahagian bangsa di dunia yang belum siap menerimanya, berupa homogenisasi budaya.

Rusnoto tidak memandang keberadaan teknologi sebagai ’sebab’ keberadaan teknologi komunikasi sebagai alat yang dapat ia berdayakan untuk melakukan komunikasi. Ia lebih cenderung memandang dari sisi ’akibat’ yang mungkin akan terjadi.

Imajinasinya menjadikan dunia seakan hadir dihadapannya secara utuh untuk dimaknai dengan talenta yang dimilikinya, sehingga yang lahir adalah karya-karyanya seperti yang ada dihadapan kita semua. Sebuah kritik terhadap kehadiran teknologi komunikasi yang begitu mencengangkan ia hadirkan dalam karya-karyanya secara artistik. Ia mencoba membagi pengalaman imajinasinya kepada kita, seraya mengajak kita untuk mendialogkan fenomena yang ada sambil membayangkan apa yang bakal terjadi.

Rusnoto mengajak kita masuk kedalam bilik imajinasinya untuk menikmati kehidupan teknologi komunikasi yang dibayangkannya. Manusia mengisolasi dirinya di dalam koloni-koloni yang dibentuknya sendiri karena ditunjang oleh vasilitas teknologi komunikasi yang dimiliki. Manusia sudah kehilangan kontak phisik dengan sesamanya secara langsung, komunikasi yang dilakukan hanya melalui dunia maya yang diciptakan manusia.

Kejadian tersebut sudah kita rasakan sekarang dengan dimanjakan oleh teknologi. Menikmati pesanan-pesanan melalui media teknologi komunikasi didapatkan secara mudah dan cepat. Kontak langsung antara penjual dan pembeli secara langsung dianggap tidak perlu lagi karena semua dapat diatasi oleh teknologi komunikasi. Kita cukup tinggal di koloni kita masing-masing, segala permasalahan dengan mudah dapat dijawabnya.

Segala pelayanan kebutuhan manusia pun turut dikembangkan dengan temuan ini atas nama kepraktisan, dari kebutuhan pelayanan keagamaan, sampai pelayanan sex, semuanya dapat dinikmati dari koloni kita masing-masing. Seiring dengan itu kejahatan-kejahatan melalui dunia virtual pun semakin dikembangkan oleh jaringan mafia internasional. Kontak langsung antar manusia semakin kurang dibutuhkan, munculnya Tuhan-Tuhan baru seiring pertumbuhan dan kebutuhan dirinya. Kebudayaan manusia lambat laun mulai beralih ke budaya-budaya koloni yang dibangun dan disepakati bersama oleh penghuni koloni. Kebudayaan teknologi perlahan-lahan berubah dari yang luas sebagai bangsa dan negara, menjadi koloni-koloni kecil yang sudah tidak perduli dengan arti bangsa dalam pemahaman kita sekarang. Pemahaman berbangsa dan bernegara lambat-laun bergeser kearah pemahaman koloni-koloni kecil. Phisik manusianya pun turut beradaptasi seturut dengan kebutuhan budaya teknologi yang berkembang, ketergantungan kita padanya lambat laun menyerupai ketergantungan seorang pecandu narkoba. Hal inilah yang cepat atau lambat, menjadi bentuk penjajahan baru oleh kelompok-kelompok manusia yang menguasainya.

Perkembangan budaya teknologi mengajak kita membayangkan bertemu dengan manusia-manusia teknologi tanpa jiwa. Pertumbuhan dan berkembangan manusia secara jasmani dan rohani sudah mengikuti pola berpikir teknologi, praktis, kaku tanpa ekspresi. Semua berorientasi pada tujuan tanpa membutuhkan proses. Yang kita butuhkan bukan lagi makan, tapi kenyang, bukan lagi permainan cinta, tetapi orgasme.

Sebagai landasan proses penciptaannya, Rusnoto mengacu pada teori yang dicetuskan oleh Wassilly Kandinsky yakni; (1) Impression. Suatu kesan –impresi- yang langsung terhadap alam dari luar (outward nature), diungkapkan dalam bentuk artistik murni. (2) Improvisation. Suatu ekspresi spontan yang sebagian besar tak disadari dari karakter bagian dalam (inner character), alam yang non-material. (3) Composition. Suatu ekspresi dari perasaan bagian dalam (inner felling) yang perlahan-lahan terbentuk oleh pertemuan dengan dunia luar (outer world) sebagai tempat ia hidup, yang muncul terungkap hanya setelah proses kematangan yang panjang. Pilihan ini tentu saja merupakan hak seniman menentukan pandangannya.

Namun perlu juga dicatat bahwa Kandinsky mengingatkan kita bahwa karya seni tidak sekedar bertanggungjawab terhadap pesan yang akan disampaikan, tetapi juga bagaimana menyampaikannya dengan bahasa yang dapat menciptakan komunikasi antar manusia. Seperti disampaikan oleh Kandinsky (1866-1944): ”The task of artist is to provide a new ’language’ for the spirit, a means with which it might come to know, express, and assert it self”. Dari pendapat ini memberi kita kesadaran pentingnya arti komunikasi pada hal-hal yang kita buat, seraya mengharapkan lahirnya pikiran-pikiran cerdas yang mungkin hadir dalam dialog yang kita bangun. Kehadiran karya ikut mengaktifkan mekanisme diri manusia untuk menyadari keberadaan dirinya secara pribadi, masyarakatnya, dan budayanya untuk membangun peradaban manusia yang lebih baik kedepan.

Karya seni yang sudah dilahirkan, posisinya sudah berpindah dari sisi subjektif (seniman) ke ruang kehidupan (objek) yang bebas untuk dimaknai oleh siapa saja. Proses pemaknaan tersebut sangat subjektif dan terbuka untuk dimaknai siapa saja berdasarkan latar belakang yang dimiliki.

Yang menjadi penting untuk dilakukan seniman adalah bagaimana karyanya dapat menjalankan perannya sebagai media komunikasi kepada penikmatnya, walaupun kenyataannya terkadang seniman hanya faham tentang berekspresi, tetapi tidak menyadari fungsinya. Menyadari tentang fungsinya berarti kita diberi kesadaran untuk meningkatkan peran yang dibawakannya sebagai media komunikasi.

Rusnoto mengajak kita untuk lebur kedalam dunianya untuk mengajak berkomunikasi tentang pengembaraan imajinasi yang ia ciptakan, serta mengajak kita berdialog tentang bumi kehidupan untuk mencari solusi dari permasalahan yang ada. Pemetaan pengembaraan imajinasinya membawa kita masuk kedalam Subject Matter yang dipilihnya.

Dalam memilih Subject Matter, setidaknya seniman harus mengetahui betul apa yang menarik darinya, serta dapat memetakannya. Objek kajian dapat dipandang sebagai Subjek karena keterlibatan seniman di dalamnya. Dalam cara pandang fungsional Van Peursen, manusia sebagai Subjek dapat mengambil jarak dengan Objek (kehidupan), mempertanyakannya untuk selanjutnya memperoleh jawaban. Kelebihan seniman adalah selain ia dapat mengambil jarak dengan Objek, ia pun dapat mengambil jarak dengan dirinya sendiri untuk mempertanyakan apa yang ingin ia lakukan sesuai dengan keriduan, harapan dan cita-cita dalam hidupnya.

Apa yang menjadi keputusan senimannya merupakan hal yang dianggap cocok baginya. Seniman dituntut mampu memetakan konteks permasalahan yang menjadi sorotannya dan menepatkan dirinya di dalamnya, untuk selanjutnya mempertanyakan pada dirinya tentang apa sebenarnya yang diinginkan. Selanjutnya tinggal pertanggung jawabannya terhadap masalah-masalah tersebut untuk diimplementasikan kedalam karyanya.

Tanggung jawab seniman terhadap pesan yang akan disampaikan adalah bagaimana membungkus pesan yang akan disampaikan melalui wujud karya yang diciptakan agar dapat berkomunikasi dengan penikmatnya. Mengenai makna yang diperoleh penikmatnya sudah bukan menjadi urusan seniman karena apresian (penikmat seni) diberi ruang yang bebas untuk memprodusi maknanya sendiri dari peristiwa yang dialami. Karya seni yang dilahirkan seniman mampu mengaktifkan mekanisme diri manusia, selanjutnya bersama-sama memikirkan jalan keluarnya (silent dialog). Rusnoto mengajak kita terbang bersama imajinasinya, bukan menuntut pembenaran terhadap apa yang dilakukannya, tetapi lebih pada upaya mengajak kita berpikir bersama terhadap fenomena yang ada.

Sedahsyat apapun pemikiran yang ingin disampaikan seniman selalu berpulang pada seberapa mampu ia dapat mengemas pemikirannya pada teks yang diciptakan. Seniman membawa sesuatu yang abstrak keruang nyata untuk menguak misteri kehidupan dan dirinya. Karya berupaya membangun dialog dengan apresian tentang permasalahan itu, untuk bersama-sama dapat menemukan jalan keluarnya. Ruang pameran dijadikan ruang dialog terhadap permasalahan-permasalahan yang disampaikan.

Membangun sebuah gagasan bagi seniman adalah apabila objek yang ditujunya sudah dapat merepresentasikan diri di dalamnya. Ia dalam posisi bukan mengambil jarak dengan objek, tetapi lebur bersamanya. Seniman membangun konsep pemikirannya tentang konteks dari permasalahan yang bukan saja dipikirkan, tetapi yang juga dirasakan. Gagasan apapun yang diangkat seniman sebagai sesuatu hal yang ingin didialogkan pada karyanya adalah hak seniman sepenuhnya, tetapi harus memberikan ruang bagi penikmatnya untuk terlibat didalamnya. Pertemuan antara karya seni dan penikmatnya dipandang sebagai sesuatu yang membawa mereka kepada pengalaman imajiner yang pada dasarnya hanya bisa didapatkan disitu. Hal-hal yang berbau eksak tentu bukan tempatnya disini, walau pun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam penjelajahan imajinernya penikmat seni dapat menemukan apa saja yang merupakan obsesinya sebagai manusia sosial. Posisi seniman dan karyanya tidak membawa penikmat seni (apresian) pada posisi pemaknaan tunggal, tetapi justru mengajak mereka untuk melahirkan makna baru sebagai upaya membangun angan-angan, kerinduan dan cita-citanya dalam membangun hidup.

Dilematis(nya) Makna Di Balik(nya)

Mengkritisi dampak negatif yang terjadi akibat teknologi komunikasi penting dilakukan seniman untuk tidak terlibat sebagai perpanjangtanganan barat di negeri sendiri (sebagai bentuk penjajahan budaya), karena iming-iming yang dijanjikan cukup menggiurkan bagi kebutuhan hidup kita. Sikap ini penting dibangun untuk mengawal perjalanan budaya kita kedepan dalam menunjukkan eksistensi kita ditengah bangsa-bangsa di dunia.

Menurut saya proses penciptaan karya selalu menjadi hal serius yang penting diperhatikan, karena konsep pikiran sebagai pandangan seniman dalam menciptakan karyanya merupakan hal penting dalam proses penciptaan. Yang menjadi pertanyaan adalah dari mana pandangan penciptaan atau konsep penciptaan itu ditemukan, karena hal tersebut penting dipertanyakan bagi pengembangan karya-karyanya selanjutnya. Jangan sampai seseorang yang skill nya hebat tiba-tiba menjadi seniman yang sangat terkenal tetapi tidak mengerti apa-apa tentang sesuatu yang dibuatnya. Saya mempunyai keyakinan bahwa gagasan teks bagi seniman adalah hal yang tidak mungkin sertamerta ada, tetapi melalui proses perjalanan panjang yang justru disitulah letak permasalahan penting untuk dikomunikasikan.

Ruang bagi seorang plagiator terbuka atau sengaja dibuka kalau kita coba hubungkan dengan maraknya pasar kesenian akhir-akhir ini. Pasar hanya perduli dengan hasil akhir, proses merupakan hal yang diabaikan, tidak perlu dipermasalahkan dan tidak penting.

Dari sisi bisnis kondisi seperti ini tentu baik saja karena produksi banyak dan mudah didapatkan, serta banyak permintaan pasar. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah karya-karya tersebut yang menjadi representasi seni rupa Indonesia yang kita inginkan?

Bagi saya fenomena yang terjadi sekarang harus secepatnya disadari, karena saya membaca bahwa masyarakat kita sekarang sedang di desain (entah oleh siapa), entah disadari atau tidak, untuk menjadi masyarakat pekerja, bukan pemikir. Hal ini memang sangat rawan terjadi pada masyarakat baru berkembang seperti Indonesia, dimana kebutuhan materi adalah sesuatu yang mendesak diperlukan semua orang.

Saya tidak ingin mempersoalkan siapa yang bertanggung jawab terhadap masalah ini, karena bagi saya hal ini merupakan masalah kita bersama yang perlu dicermati. Dalam kondisi seperti sekarang ini dimana perhatian pada sektor ekonomi menjadi primadona, seakan sektor-sektor lainnya dalam kebudayaan manusia menjadi kurang populer untuk menjadi bahan pembicaraan. Semua sektor di dalam kehidupan kita disoroti dengan kaca mata ’ekonomi’ untuk menjawab kebutuhan yang dianggap mendesak bagi kebutuhan rakyat demi stabilitas keamanan.

Saya mencoba menjelaskan masalah diatas untuk membangun pemahaman kita bersama terhadap fenomena yang terjadi dengan illustrasi seperti ini: ’Lima orang dengan disiplin ilmu yang berbeda mengunjungi Malioboro (sebuah tempat yang sangat terkenal di Yogyakarta). Latarbelakang mereka masing-masing sebagai seorang dokter, ekonom, ahli hukum, polisi dan seniman. Selanjutnya kita meminta pendapat kelima orang tersebut mengenai Malioboro yang ada dihadapan mereka, jawaban yang kita temukan dari sang dokter adalah: ’Lingkungan Malioboro tidak sehat, banyak penyakit di sini’. Selanjutnya dari ekonom jawabannya: ’ Malioboro memiliki potensi bisnis yang sangat besar’. Ahli hukum menjawab: ’Banyak peristiwa hukum yang terjadi di Malioboro’. Oleh si polisi jawabannya: ’Banyak kejahatan berpeluang terjadi di Malioboro. Yang terakhir dari serang seniman: ’Di Malioboro saya menikmati peristiwa budaya’. Dari kelima orang yang berlatar belakang berbeda ini kita menemukan lima jawaban yang berbeda terhadap sebuah fenomena yang ada. Berarti dalam menanggapi fenomena Malioboro ada lima kasus yang berbeda didalamnya.

Selanjutnya coba bayangkan kalau lima kasus yang ada di Malioboro dilihat dengan satu kaca mata saja, kaca mata ekonomi misalnya, maka jawaban yang kita temukan adalah sebagai berikut: ’Sang dokter akan menjawab bahwa Malioboro memiliki potensi bisnis sebagai seorang dokter. Ahli hukum akan melihat bahwa peristiwa hukum yang terjadi di Malioboro membuka peluang bisnis baginya. Demikian juga halnya dengan Pak polisi akan menjawab bahwa peristiwa hukum yang terjadi di Malioboro memberi peluang dirinya melakukan transaksi bisnis. Yang terakhir adalah sang seniman, jawabannya adalah peristiwa budaya ada di Malioboro akan membuka peluang baginya untuk berdagang.

Illustrasi diatas mengakhiri tulisan saya sembari mengingat kembali pidato-pidato politik yang disampaikan oleh calon-calon presiden dan wakil presiden kita yang menggunakan kaca mata ekonomi saja dalam melihat masalah Indonesia yang kompleks ini. Pidato-pidato tersebut mengajak kita merenungkan kembali pemikiran-pemikiran yang disampaikan di awal tulisan mengenai kejadian-kejadian yang ada, maka apa jadinya nasib bangsa ini kedepan. Masyarakat yang makmur material, tetapi miskin akhlak. Keadaan yang terjadi menempatkan peran kita masing-masing kedalam konteks yang ada sambil membayangkan kesalahan yang harus kita pertanggungjawabkan didepan leluhur kita.

Dicky Tjandra, Kandidat Doktor PPs ISI Yogyakarta dan Seniman patung tinggal di Yogya

DAFTAR BACAAN

Bandem, I Made, 2000, “Melacak Identitas di Tengah Budaya Global”, Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Th. X.

Capra, Fritjof, 2003, The Hidden Connections, Strategi Sistematik Melawan Kapitalisme Baru, Jalasutra, Yogyakarta.

Cassirer, Ernst, 1987, Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia, PT Gramedia, Jakarta.

Djelantik, A.A.M, 2004, Estetika Sebuah Pengantar, Masyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia, Bandung.

Giddens, Anthony, 2001, Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Hawkes, Terence, 1977, Structuralism and Semiotics, University of California Press, Amerika Serikat.

Heraty, Toety, 1984, Aku Dalam Budaya: Suatu Telaah Filsafat Mengenai Hubungan Subjek-Objek, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.

Kaelan, 2002, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, Paradigma, Yogyakarta.

Kaplan, David, 2000, Teori Budaya, PT Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Mulyana, Deddy, 2002, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

Palmer, Richard E, 2005, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi, cetakan kedua, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Peursen, C.A Van, 1976, Strategi Kebudayaan, Penerbit Kanisius.

Piliang, Yasraf, Amir, 1999, Hiper Realitas Kebudayaan, LkiS, Yogyakarta.

_________________, 2003, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta.

Poedjawijatna, I.R., 1987, Manusia dan Alamnya: (Filsafat Manusia), PT Bina Aksara, Jakarta.

Soedarso SP, 1978, Tinjauan Seni: Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni, Saku Dayar Sana, Yogyakarta.

Soeprapto, Riyadi H.R., 2002, Interaksionisme Simbolik, Averroes Press, Malang.

Sugiharto, Bambang, 1996, Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, Kanisius, Yogyakarta.

Veuger, Jacques, 1983, Psikologi Perkembangan Epistemologi Genetik, dan Strukturalisme menurut Jean Piaget, Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi, Yogyakarta.



SENI YANG GUYAH DAN DUNIA LABIRIN RUSNOTO*

SENI YANG GUYAH

DAN DUNIA LABIRIN RUSNOTO*

Bambang Asrini Widjanarko

Penulis seni rupa

Rusnoto, seakan bertutur tentang proses mental via self-knowledge, meminjam yang diyakini Husserl. Pokok pangkal kesadaran (consciousness) tak bisa digambarkan dengan kata-kata, selayaknya hanya dirasakan. Yakni, gerak laju persepsi dipikiran Rusnoto, dengan kekuatan kognitif sekaligus intuitif serta obyek-obyek yang disimbolkan disekitarnya sebagai realitas subyektif yang dipahami, bersetubuh dalam satu ketunggalan dengan jiwanya.

Hari ini, praktik dan wacana kesenian demikian menarik untuk diintip ulang jejak kehadirannya, diperolok dengan tawa atau justru dirayakan sebebas-bebasnya? Karena eksistensi seni (sudah) dianggap guyah. Karya seni menjadi sesuatu yang tak lagi memerlukan sebuah ritual ‘kepekaan khusus’ lagi untuk mencipta maupun meng ‘konsumsi’nya. Tak lagi sakral secara absolut, telah menanggalkan mimpi-mimpi malam tentang “kedalaman” sebagai syarat dimasa lalu yang dianggap kewajiban. Yang tertinggal, adalah upaya mati-matian untuk memprodusir sekaligus memberi makna yang bermuara pada: anything goes!

Seni hari ini, konon, ditengarai diproduksi oleh sebuah konstruksi besar (selera) secara masal, dengan bantuan tekhnologi plus strategi pencitraan dan marketing yang lihay, bak hendak mengkreasi tontonan di TV. Kita akan terhanyut untuk bersorak-mencemooh (melihat program TV debat politisi yang ‘lucu’) atau bahkan kegirangan memukul-mukul udara (jika yang ditonton program sepak bola dari kesebelasan kesayangan kita, misal: MU mencetak gol). Serba instan, tak ada endapan apapun di benak.

Satu saat, karena sedikit bosan, kemudian kita memindah channel TV untuk menikmati tontonan lain, yang sangat berlawanan, yakni: tontonan film drama yang bercerita soal nasib manusia yang tragik, begitu kontemplatif menggugah batin. Kita, tak lagi peduli, semua hal dilahap, cuek dengan tak mengkhawatirkan diri dengan perkara program TV tersebut. Apakah, akan memberi kontribusi secara esensial sebuah nilai tertentu, atau sekedar momen yang banal, melintas begitu saja dalam hidup kita. Namun, benarkah demikian? Setidaknya, begitulah menurut Arthur Coleman Danto, yang diuarkan dengan after the end of art, paras seni yang ‘adiluhung’ atau kekakuan ‘logika tunggal’ formalisme ala Greenberg dengan modernismenya memang telah terbujur kaku, tak berdaya dan berakhir riwayatnya.

Apa yang terjadi dengan Damien Hirst, pengusung seni kontemporer garda depan di Inggris adalah sebuah tesa baru yang menggugah seni hari ini. Jika kita melongok buku The $ 12 Million Stuffed Shark karya Don Thompson, disana bertutur bagaimana karya ‘mayat sang ikan Hiu’ (yang diberi judul The Physical Impossibility of Death in the Mind of Someone Living) yang digagas sebagai refleksi falsafah mati dan hidup, ternyata digantikan oleh ‘mayat hiu’ yang baru yang diinjeksi formalin banyak-banyak pada tahun 2005, agar lebih awet.

Dan, ihwal si Hiu ini, nyatanya punya sejarah panjang sebelum menjadi karya seni yang seterkenal sekarang. Apalagi, dengan harga yang sefantastis itu, untuk sebuah conceptual art! Artefak sebuah karya seni, telah dikonstruksi secara bersama, untuk meninggalkan otentisitas dan originalitas dengan sengaja dan menanggalkan seluruh hukum estetik apapun yang berlaku pada masa lalu. Pluralitas makna adalah mantra tersahih untuk setiap yang baru lahir.

Sejak tahun 1991, Charles Saatchi, sang art dealer terkemuka telah ‘melirik’ Damien, dengan memulai sebuah intensi: bahwa karya seni rupa dekat dengan praktik komodifikasi, sebuah panggung dari masyarakat tontonan (spectacles society) dan perayaan hiper banalitas pada masyarakat konsumsi. Semua dirayakan! Karya Seni menjadi bagian Art World-Hype. Seni kontemporer yang mengikuti gerak jaman, telah didengungkan dengan jalan panjang lewat berbagai cara mati-matian dari para The Dream Team, yakni: art dealer, balai lelang, galeri ternama, kritikus, kurator museum, organizer pameran dan seluruh infrastruktur seni rupa demi pemitosan diri dan karya Damien tersebut.

Pameran tunggal Rusnoto kali ini, dengan tajuk Virtual Displacement ini, sepertinya juga menggugah kesadaran kita, menafsir hasrat Danto, yang meyakini seni didalamnya terkandung sebuah autonomi dalam jalan yang dipengaruhi oleh relasi kesejarahan yang menuju ‘titik narasi akhir’. Seniman, bebas dengan semangat apapun, membangun sejarah dan menarasikan apa saja, sesuai intensi sang subyek-seniman. Bahkan, ‘konstruksi-sejarah-titipan’ dari ‘Public Relation Team ala Damien Hirst-Charles Saatchi dan konco-konco’ untuk mengkonstruksi sebuah Art World tersendiri, sebuah sejarah baru yang sangat khas. Kita bisa membacanya sebagai kumpulan fragmen-fragmen yang membentuk gejala dan gelagat sebuah dunia baru seni dan eksistensi anyar melekat padanya.

Dari sanalah, Rusnoto, sebagai seorang seniman, seorang subyek, menafsir dunia seni kita dengan membangun tanda-tanda dengan karyanya. Membuat kode-kode visual yang menyerupai sebuah Dunia Labirin Seni. Berlapis-lapis, tabir saling bersinggung, lorong-lorong mengelilingi, menyingkap, menutupi dan menghampiri sekaligus dihampiri. Rusnoto merasakan dunia kesenian demikian kompleks bak labirin.

Rusnoto, seakan bertutur tentang proses mental via self-knowledge, meminjam yang diyakini Husserl. Pokok pangkal kesadaran (consciousness) tak bisa digambarkan dengan kata-kata, selayaknya hanya dirasakan. Yakni, gerak laju persepsi dipikiran Rusnoto, dengan kekuatan kognitif sekaligus intuitif serta obyek-obyek yang disimbolkan disekitarnya sebagai realitas subyektif yang dipahami, bersetubuh dalam satu ketunggalan dengan jiwanya.

Bahwa sebuah perubahan karakter masyarakat kontemporer dipengaruhi secara signifikan atas percepatan dan pelipatan waktu yg dihadirkan dunia virtual [ruang maya], juga telah memepengaruhi dunia seni. Dunia senipun sekarang telah berubah. ‘Keberubahan ini’, dianggap juga sebagai sesuatu yang 'maya’. Masyarakat kontemporer, pada dasarnya memiliki sifat, tak mampu untuk memahami mana yang ‘riil’ mana yang ‘maya’ karena, tidak hanya karena tekhnologi yang menciptakan, karena proses mental - consciousness- mereka tak lagi bekerja dengan baik. Jadi, fenomen ‘maya’ atau ‘virtual’, telah terjadi, bahkan sejak jaman Plato. Ingat alegori Plato Cave bukan? Karena, seluruh realitas yang kita hadapi ini, adalah maya, palsu. Karena, Plato menginginkan yang ‘Ideal' diluar gua yang diibaratkan seluruh realitas inderawi kita. Kebenaran yang ideal ada pada ruh Absolut.

Lukisan-lukisannya penuh dengan isyarat, ditampakkan seolah sebuah lansekap kota, yang penuh bangunan persegi. Ada semacam kesan, seakan kita diajak menyelinap dalam sebuah sirkuit-sirkuit yang saling terhubung dengan kabel dan instalasi aneh (lempengan-lempengan dan bola-bola). Apakah ini, semacam imaji penghayatan Rusnoto dengan kepekaan spontanitasnya, sebagai wujud dari tindakan komunikasi antar subyek di dunia seni? Atau kepercayaanya, kehidupan kesenian adalah rangkaian konstruksi dan saling merekonstruksi.

Dari gambaran lain, tak lagi Rusnoto melukiskan gedung atau seolah cityscape sebuah kota antah berantah, tetapi seakan permukaan kanvasnya dilapis dinding, yang terdepan berperan sebagai gerbang utama, menyediakan lobang persegi, menyibak, semacam partisi baja berongga yang bisa kita intip kedalam. Ada realitas lain, didalam sana. Yang lain, yang membeda. Simbol ini, mungkin saja sebuah observasi mental Rusnoto, aktifitas pemahaman (verstehen). Bisa jadi, apa yang ingin ditemukan dalam dunia seni, adalah makna ganda semua: plural-tunggal, maya atau riil, komersial-non komersial, transenden-profan dan lain-lain, bukan hanya kausalitas yang niscaya.

Atau, simbol rongga dinding baja Rusnoto yang ‘keras dan berat’ itu, layak pula sebuah deskripsi atas sejarah seni dalam kehidupannya yang sekarang berlangsung. Untuk menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan yang ia pahami. Meski, pemahaman terhadap makna dimengerti secara intensionalitas (kesadaran) individu Rusnoto, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang ditemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan seni secara sosial, dimana banyak subyek terlibat bersama dan menghayati.

Sedang di lukisan lain, Rusnoto menggambarkan simbol-simbol bentuk-bentuk bulatan-bulatan biru yang menyerupai molekul-molekul saling berhubungan seperti dalam hukum fisika. Didalam bulatan yang kukuh tersebut, muncul lagi didalam masing-masing rongga molekulnya terdapat bangunan-bangunan berbagai sirkuit atau kabel baja yang saling terkait dan bertumpuk dan melintang. Tak ada yang dipastikan, relatifitas! Kita segera teringat: apakah ini penjabaran dualitas relatif yang saling mengada antara medan energy/gelombang atau materi di fisika kuantum?

Secara keseluruhan, kode-kode dan tanda visual yang dibangun Rusnoto, selain mengamini narasi model Danto, juga menegaskan konsep fenomonologis, yang menempatkan fenomena seni dan struktur sosialnya sebagai sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur kesenian yang membangunnya secara lebih luas. Artinya, Rusnoto, bagai sebuah elemen subyek (mikro), dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu dunia seni secara keseluruhan (makro) yang manunggal.

*Guyah dapat didefinisikan secara bebas sebuah fenomena yang amat dinamis dan membuka begitu luas probabilitas perubahannya yang sporadik. Perubahan tanpa kepastian yang terukur, kira-kira.



Guyah* art and Rusnoto’s labyrinth world

Guyah* art and Rusnoto’s labyrinth world

By Bambang Asrini Widjanarko

Rusnoto seems to talk about a mental process via self-knowledge, in Husserl’s term. Words can’t describe consciousness; it could only be felt. Through the moving perspectives of Rusnoto, with cognitive and intuitive power, and objects that he symbolizes around him as an understood subjective reality that blends with his soul.

Today, it is so intriguing to peek at art practices and discourses’ traces of existence; whether to cynically laugh at it or to celebrate it? Since the existence of art is (now) considered guyah*. Artworks are now something that no longer need the ritual of “certain senses” to create and “consume” it. It absolutely is no longer sacred; it already let go the dreams of “depth”, which is considered in the earlier generation. What’s left is the dying effort of producing and giving means which leads to the state of: anything goes!

It’s been said that arts today are produced massively by a big construction (of taste) with the help of technology, imaging strategy and good marketing, just as creating television programs. We will be ticked; to cynically throw comments (on “funny” political debates on television) or happy as hell (if we are watching the game of our favorite team; say, MU scored a goal). Everything is instant, no stress, contemplation, or leftovers in our head.

One day, if out of boredom we zap the remote and travel around television channels we’ll find some totally different programs: dramas about the tragic of humans’ destiny which is so contemplative that it moves our soul. We no longer care. We consume everything. We don’t have to worry (about anything) in such programs. Whether such program gives essential contributions to a certain value or it just several banal moments passing by our lives? But is it true? At least, so according to Arthur Coleman Danto, through after the end of art, the “sacred” look of art or the rigid formalism out of Greenberg’s “single logic” and its modernism has fallen, helplessly lying down and dead.

What happened to Damien Hirst, the front man of English’ contemporary arts is that he created a thesis about today’s arts. If we look at Don Thompson’s The $12 million stuffed shark, he mentioned how The physical impossibility of death in the mind of someone living that used to be discoursed as a philosophical reflection of dead and alive is now replaced with a new “dead shark” which is injected with so many formalin in order the keep it longer.

The shark has a very long and historical story with it before it gets as popular as it is today. Moreover, if you care enough to look at its fantastic price (for a conceptual art)! Artifact of an artwork is now together constructed; together, consciously leaving authenticity and originality along with whatever aesthetic law that exists in the past. Plurality of means is the newest spell of the newborns.

Since 1991, Charles Saatchi, a popular art dealer, has been paying attentions to Damien Hirst with such intention: visual artworks are closely related to the commodification; a stage of spectacles society and the celebration of hyper-banality on the consumer society. Everything is being celebrated! Artworks are part of the Art World-Hype. The Dream Team (art dealers, auctions, popular galleries, critics, museum curators, exhibition organizers and all infrastructures of arts) is fighting for the contemporary art that accommodates the era; in creating such myth for that work of Damien’s.

This solo exhibition of Rusnoto, titled Virtual Displacement, seemed to poke our consciousness, interpreting Danto’s desire, which believes that in arts there are autonomous ways influenced by historical relations that leads to “the final point of narration”. Artists, freed in whatever spirit, build histories and narrate anything, regarding the artists’-subject. Even such “assigned-historical-construction” from the “public relation team of Damien Hirst: Charles Saathci and the guys” construct their own art world; a specified new history. We can read it as groups of fragments that constitute a new phenomenon in the world of art and the new existentialism is on their side.

From there on, Rusnoto, an artist, a subject, reads our art world by building signs in his works. Making visual codes that looks like a labyrinth of the art world. Layers and stratums caress’ each other, tunnels surrounds, opens, closes and comes at the same time. Rusnoto feels that the art world is as complex as a labyrinth.

Rusnoto seems to talk about a mental process via self-knowledge, borrowing Husserl’s term. Words can’t describe consciousness; it could only be felt. Through the moving perspectives of Rusnoto, with cognitive and intuitive power, and objects that he symbolizes around him as an understood subjective reality that blends with his soul.

The change of characters in contemporary society, which is significantly influenced by the fast-movements and time-foldings through the virtual world (virtual space), also affects the art world. The art world is also changed now. “Such change” is also considered as a “virtual” thing. Contemporary society, basically, doesn’t have the ability to comprehend, which one is real, and which one is virtual; not only because of the technology, but also because of the mental process –consciousness– no longer works well. As we can see, the virtual phenomenon happens even from the era of Plato. You do remember Plato’s allegory, right? Because everything that we face is fake, virtual. Since Plato wanted something “ideal” outside the cave that’s been stated as our reality; the ideal truth is in the absolute soul.

His paintings are full of signs, presented in cityscapes full of cubical buildings. There are some sort of senses that we are asked to sneak in to the circuits that are connected with cables and strange installations (plates and balls). Is this some kind of Rusnoto’s reflection of imaginations altogether with his sensitive spontaneity in form of a communicative act between subjects in the art world? Or, it is his belief that the art world is made out of several constructions that reconstructs each other.

On his other works, Rusnoto no longer paints buildings or cityscape of far-far away cities; but the surface of his canvases seems to be covered with walls, the top surface plays the role of a gate of an unknown city, serving cubical holes, some sort of a steel partition that allows us to peek inside. There’s another reality in it. The others, the different ones. This symbol might be Rusnoto’s mental observation on the act of understanding (verstehen). Maybe, all he’s trying to find in the art world are double-sided: singular-plural, virtual-real, commercial-noncomercial, transcendent-profound, and so on, not only causalities in between.

Or, the “hard and heavy” symbolic steel wall that Rusnoto drew is a description of art history in his current life. To find “the depth of the means” that reconstructs the reality that he apprehend. Even if the understanding of each means are taken (consciously and) intentionally by Rusnoto as an individual, yet “the accuracy” of truth depends on the intersubjective aspects. How far “the depth of the means” that he found is really reconstructed from the reality of art world society that involves so many subjects.

In other paintings, Rusnoto drew blue circular symbols that looks like connected molecules in physics. Inside the strong circles, appears another space that consists of buildings of several circuits of steel cables that is tightened each other, crosses and intersects each other. Nothing is for sure; relativity! Soon we remember: whether this is a blatant explanation of the relativity in duality that exists in the fields of energy and waves in quantum physics?

Overall, codes and visual signs that Rusnoto built, other than it follows Danto’s model, also highlights the concept of phenomenologist that puts the art phenomenon and its social structure as a symbol that needs to be understood in its socio-cultural context; thus who broaden them. Rusnoto is like a subject element (micro), seen form inseprabale parts of the process of creating the one and only art world (macro).

*Guyah can literary be translated as a dynamic phenomenon that opens so many probability of sporadic changes. Changes without any measured certainty.

Bambang Asrini Widjanarko Visual art writer



Ruins of the Future “Virtual Displacement” by Rusnoto Susanto

Ruins of the Future

“Virtual Displacement” by Rusnoto Susanto

Reality is that which, when you stop believing in it, it doesn't go away.

Philip K. Dick

When I was asked if I could write something for Rusnoto Susanto’s exhibition I was actually very pleased. I already knew some of his former works which had shown more non-figurative elements. His new works presented with an almost graphical style convey insights into the consequences of our increasingly digitalizing world, by depicting computer devices as metaphors for the displacement of reality and the triumph of the machine over man. I was immediately reminded of the times when I was an avid reader of Science Fiction novels where the limits (and limitations) of “reality” have become a favorite subject.

Rusnoto’s new works envision a world which is dominated by modern technology, symbolized by computer modules and cartridges. These worlds are uninhabited and inhospitable, the metallic structures do not look like a nice place to live in. Although initially constructed by humans, citizen dwellers are not needed anymore because the overpowering system consisting of technical units has obviously become self-reliable and self-sufficient. Rusnoto Susanto’s paintings depict cityscapes in a postmodern and even post-human condition. Modern man has made himself homeless (or displaced himself) while the once so different characteristics of city architecture simultaneously have disappeared. High-tech with its functional drive seems to create absolute uniformity. Nature has been totally eliminated by the growth of an overwhelming texture of units that are charged with digital information. The perfectionism of the technological devices is broken with scratches or indications of corrosion. The artist tells us that even the futuristic cities will not escape from doom. Decrepit pieces of a machinery in decay…

The painter makes us conscious of the dizzying pace of technological change In some parts of the world the belief in progress is still strong and futuristic cityscapes are designed and built, especially in the emerging countries of Southeast Asia.

Tokyo – Ruins of the Future

Some days ago the New York Times published an article on decaying single apartment building for bachelors in Tokyo, the 1972 built Capsule Tower, each capsule containing complete modern facilities like TY, tape deck and refrigerators. These buildings were a rare example of the so-called Japanese Metabolism, an architectural movement involved in the resurgence of the war damaged Japan. Their urban visions became emblematic for the Japanese postwar culture. Cities were built and designed as floating systems, symbolizing a rapidly changing society in a transition towards modernity. At the same time structural changes of the Japanese society were visible, signs of the dissolution of traditional family structures and displacements of the national workforce. This Japanese phenomenon attracted a lot of attention worldwide and was enthusiastically welcomed by architects. Now there is an initiative to preserve the squalid building as an architectural museum of a future that has already gone by. In a metaphorical way the destiny of the Capsule Tower resembles Rusnoto Susanto’s digital cities.

Postmodernism, High-Tech Capitalism and Cyberpunk

After a long period of a philosophical discourse which was dominated until recently by the postmodern philosophers any ideas and concepts of ‘progress’ appeared out-dated and old-fashioned. The concern of movements such as Futurism or Constructivism that aimed explicitly to forge new languages and paradigms for societal change has turned out to be impossible now since there is no belief in modernity anymore.

Now the myth of the cyberspace as a sacred realm of data and power evolved from a literature inspired by computer technology and postmodern philosophy. In a globalizing world which is ruled by high-tech capitalism counter-myths of freedom and realms of self-determination are needed. Art and literature belong to the few remaining fields where freedom (relatively) is still possible, actually even required. Oppression kills creativity…

Although it should not be denied that the overall commercialization of the art world bears totalitarian tendencies, like standardization and serialization – processes that already have been caricaturized by certain pop artists like Andy Warhol.

Science Fiction was always torn between utopia and dystopia. Apocalyptic visions were a mirror of the political situation of the times, as well as utopian visions spoke about the hopes and needs for a better world. In contrast to the Italian Futurists the Science Fiction author William Gibson (his novel “Neuromancer” [1984] was the beginning of the so-called “Cyberpunk” wave) felt and regretted the loss of traditional affections, although his vision and style resembled Futurism’s image of futuristic technological transcendence. His novels are written in a mode of dystopian style and his outlook is technologically visionary. According to Norman Spinrad, another well known Science Fiction author, Gibson’s novels are "a fusion of the romantic impulse with science and technology".

Currently the reports of the ongoing financial breakdown are received by many observers with a certain satisfaction. The philosopher Slavoj Zizek commented on the totalitarian domination of the global high-the capitalism: “The true horror does not reside in the particular content hidden beneath the universality of global Capital, but rather in the fact that Capital is effectively an anonymous global machine blindly running its course, that there is effectively no particular Secret Agent who animates it. The horror is not the (particular living) ghost in the (dead universal) machine, but the (dead universal) machine in the very heart of each (particular living) ghost.”

A system of anonymous control and domination, the world as a machine void of human agents… In a culture swamped with such dystopic images this is a clear characterization of the end of civilization as we know it.

May the future be better or worse, visions are necessary, whether utopian or apocalyptic. Shared images might even have some prophetic effects; why should artists as producers of images not contribute to the construction of the future? As long as there is someone capable of responding emotionally to art there is also a chance for change.

Digital Matrix

The series of “Digital Rain” by Rusnoto Susanto could refer in a figurative sense to the movie “Matrix” which is known for its shrewd concatenation with the issues Virtual Reality or the Simulacrum, as it was once described by the postmodern philosopher Jean Baudrillard. Baudrillard himself rejected his involvement with the film producers, but admittedly he saw some parallels with his philosophical thinking.

William Gibson maybe quoted here: ‘The matrix has its roots in primitive arcade games. … Cyberspace. A consensual hallucination experienced daily by billions of legitimate operators, in every nation, by children being taught mathematical concepts. … A graphic representation of data abstracted from banks of every computer in the human system. Unthinkable complexity. Lines of light ranged in the non-space of the mind, clusters and constellations of data. Like city lights, receding.”

The ‘Matrix Digital Rain’ was featured in the ‘Matrix’ movies. A green colored code is falling down on the screen like rain, representing the virtual reality of the matrix. Reversed Roman and Japanese katakana characters and Arabic numerals, as well as pictorial symbol are used, infusing the matrix with a sacred or ancient aura.

Rusnoto Susanto’s “Digital Rain” evokes– besides the mentioned reference to the matrix symbol in general – the atmosphere of autumn rain in a Japanese poem, giving us the chance to contemplate about the course of the world. Certainly his concern is about the structures of communication in modern urban societies, the impact of consumerism by way of the Internet. His critique is focusing on the artificiality of images, on the illusion of reality. But this is just something that is shared between art and virtual worlds. The difference lies in the absoluteness of the technological processes. The digitalized communication structures produce many more images and much faster than all the artists of the world could ever do. The increased velocity of the communication systems plays a decisive role, finally the political and social controller role (cf. Paul Virilio). Our daily lives are steered by the informational inputs from digitalized sources. Everything what happens on a global scale is distributed immediately through the internet and other channels of information, creating a forest of simulacra which cannot be checked or reflected anymore.

The free flow of information over the Internet triggers social and political movements. Its effects were already studied in Moldavia by the US government. During the aftermath of the elections in Iran the social network Twitter was constantly mentioned as the only viable instrument of communication between the followers of Moussavi and the outside world. Foreign media were banned from direct reporting from Iran. Although the Iranian authorities tried to limit the access to the Internet, the flow of messages found its way to the international media, transported from cell phones cameras directly to the evening news programs all over the globe.

The visual has taken over as the main instrument of communication, continually replacing written language with icons and pictures. The printed book and newspapers are about to disappear, sacrificed to the digital behemoth. News transform into visual phantasms and it is not possible anymore for employing categories of the real to discuss the characteristics of the virtual. Indeed, the virtual displacement happens in real time…

Our civilization is in danger to be ground into digital dust, and we will never get back to the point where we once started from.

Rusnoto Susanto gives us images and symbols to think about - the relationship between art, artificiality, reality and illusion. He often mentions the “world of Maya” – the world of illusion or the “dream of reality” in Hinduism. As a manifestation it represents a floating reality, but not the final “Truth”. His colorful depictions have nevertheless an optimistic perspective, on one hand reminding us of the changing conditions in our lives – maybe real or not -, on the other hand he enforces the role of art as a critical instrument of perception by sharpening our minds and leading our attention to the important issues in the world – even if it is a “world o Maya”, we cannot ignore its effects in “reality”.

For another look at reality just a poem:

THE RAIN

Now and again a fairy arrives and hangs from my earlobe — a bit like a horsefly but with a soft voice. (What are you doing right now?) I’m looking at the rainy street. I deliberately keep the TV on and it keeps on televising into emptiness. I like that sort of thing. (And what are you doing?) I’m just watching the rain. When you try making out each single drop of rain, you get exhausted. A factory beyond the rain … and what’s that beyond the jetty? Driftwood? A man? I can’t tell. It’s best to take in the whole sweep of the rain while more or less looking at these individual objects. That’s what it is — the rain. (Sounds so difficult.) Anything which is ‘casual’ is difficult, though a horsefly may not understand that. (I’m a fairy! Though I’m worth just a single drop of your rain.)

1993, Yukio Tsuji From: Kakoh Chohboh Publisher: Shoshi Yamada, Tokyo, 1993

Notes:

Csicsery-Ronay, Jr, Istvan.

Antimancer: Cybernetics and Art in Gibson’s Count Zero

Science Fiction Studies #65 = Volume 22, Part 1 = March 1995

Gibson,William:

Neuromancer

1984

New York: Ace Books

Nunn, Samuel

2/7/2001

www.ctheory.net/articles

Designing the Solipsistic City: Themes of Urban Planning and Control in The Matrix, Dark City, and The Truman Show

Nicolai Ourossoff

Future Vision Banished to the Past

New York Times

July 6, 2009

Virilio, Paul interviewed in Paris by Luisa Futoransky, by the occasion of the release of his new book, The Informational Bomb

Interviewing Paul Virilio

AjoBlanco magazine - February of 1999

Žižek, Slavoj:

Multiculturalism or the cultural logic of multinational capitalism?

2009

www.libcom.org

Anton Larenz, Writer



Actualizing virtual displacement

Actualizing virtual displacement

by Prof. Drs M Dwi Marianto, MFA, PhD

One day I walk in to a café with the excuse of having coffee.Actually, I was paying attention to several costumers that seemed to be enjoy themselves in “surfing” or “walking” anywhere inside the world that the Internet offers; the technology that opens unlimited access to virtual spaces. Some seemed to enjoy themselves, the others looked bored; but for sure, all of them are communicating to other people across each virtual places; sending pictures, sharing feelings through words and images, with codes and available icons. It reminds me a nowadays-common quote that one of my graduate students in Yogyakarta-Indonesian Institute of Arts said, “Through Internet, people travels everywhere without moving anywhere. So, now, you can see the “midnight community” in our campus; surfing, traveling and keep seeing other individual through images, texts, and whatever that is already coded through their laptop systems.” The new culture has begun, and many people are addicted to it.

After the café, intentionally I walked out to observe whatever caught my attention at a crowded crossing at the end of Mataram Street. There were many people using cell-phones while driving -both motorcycles and cars. Relaxed and smooth; showing no special expression. Communicating, in that sense and with that way, is a common thing. More than that, some people even read/write/send text-messages while driving.Acrobatic, yet real; in such situation, the potentiality of danger to the doer, or the others, is sort of forgotten. This new branch of culture has (again) been approved as “normality”.

Tired of observing a street full of vehicles, yet lacking trees and oxygen, I felt dryness in my throat. I stopped at a restaurant to have a drink; there, the television was on. The program was (obviously) celebrity gossips. Almost everybody, including the cashier and waitresses, were paying attention to the screen. On the screen, there was a beautiful lady that recently had a problem with her “husband” in our neighbor country. Her name was Manohara. The beautiful lady who once was no body, no one, nothing as if she didn’t existed, is now public’s attention. Up ‘till now, she’s still hot news material. After being virtualized, she is now: actual.

By not leaving anywhere, we can go anywhere through the communication devices today. The phenomenon happening far-far away, which we are not related in whatsoever way -historically, socially, culturally, even emotionally-, is now few minutes away. Through the media, everything is public (and live). Livened up to then live in the media’s public’s mind. At the same time, something and someone that is objectively seen around us gets to be unseen; and is nothing because it is not exposed.

Virtual displacement is the exhibition title of Moh. RusnotoSusanto.A graduate student of Yogyakarta – Indonesian Arts Institute, who enjoys playing around with his computer, the Internet connection and browsing anywhere to see whatever catches his eyes. He started with the idea of the newly changed lifestyle in our society, with the situations where people in it has been injected with images –brands- by the media; and about the changing pattern of a wider society’s culture living their daily life’s and doing their activities through digital communication devices that brought them in to virtual spaces, moreover, to the private domains that used to be a taboo.

His artworks drew wide spaces with neatly designed buildings, structured, as concrete buildings in a dessert, with highly précised installations and space design. He built an all-surreal situation. No trees, in one of his artworks there is some form of a broken tree root that have turned into a living space. Everything’s so neat, structured, measured, as if there’s no wind blow that’s unpredicted. No living thing’s pulse, what’s left is mathematics and preciseness. There’s no proof of any living human in Rusnoto’s world. Where are they? Where are the birds? Where are angkringan [traditional small restaurants in Jogja streets, -trans.] where people count with fingers and hands, not electronic calculators?

Hopefully, what Rusnoto offers is only a representation of the situation that he’s predicted might happen if virtual displacement happens. Hopefully, everything he drew only exist in his imaginations; not idealized or really happening. In specific, hopefully, such situation only happens in paintings not in real life where precision and measurements are jamming human’s satisfaction and comfort. Hopefully, someday someone could build a café where people can sit, relax and talk around in the virtual areas that Rusnoto drew.

Happy actualizing the virtual in this exhibition!

M. DwiMarianto Director, Graduate School of Yogyakarta-Indonesian Art Institute