Kamis, 05 April 2012

Visi Baru : Kekuatan Imajinasi dan Kebaruan-Kebaruan Estetik

Bagian II.
Visi Baru : Kekuatan Imajinasi dan Kebaruan-Kebaruan Estetik

All children are born geniuses (Daniel Goleman)

Tesis ‘All children are born geniuses’ dari Daniel Goleman cukup melegakan bagi semua orang tua yang melahirkan anak karena meyakini bahwa semua anak dilahirkan sebagai jenius. (Tjokronegoro, 2002: 241). Jenius secara logis, emosional maupun jenius secara spiritual bergantung pada potensi ia menjadi seorang Einstein, menjadi seorang Newton maupun menjadi seorang da Vinci. Setiap bayi memiliki potensi untuk menjadi Imago Dei (citra Tuhan) di muka bumi. Imago Dei sebagai given yang tak terbeli, hanya dengan membayar mahal dengan curahan daya untuk menjaga dan merawat hingga nilainya tetap meninggi bukan malah sebaliknya. Bagaimana potensi ini hidup, tumbuh, bergerak, dan berkembang dengan kecenderungan kecerdasan masing-masing dan visi hidupnya yang mematangkannya.
Jika dunia sebagai landscape terindah dari semua planet dalam sistem tata surya kita, maka ruang imajinasi, intuisi dan eksplorasi-eksplorasi estetik masih memiliki keluasan ruang untuk digali lebih jauh. Pengetahuan menjadi perincian-perincian metodik untuk mengelola medan kreatif melalui pengembaraan imajinasi dengan gagasan-gagasan baru dalam melakukan konstruksi kebaruan-kebaruan estetika. Visi baru bagi seorang seniman adalah tetap menjaga kegelisahan kreatif dan intensitas kreatif pada titik didih tertinggi sebab tidaklah sederhana menjadi jenius meskipun secara alamiah dibekali potensi itu. Jenius selalu saja melalui serangkaian proses kerja eksperimentasi dan sebuah tempaan dari semua sistem terkait yang berperan melakukan konstruksi tersebut.

A. Medan Kreatif Sebagai Visi Baru Kehidupan

Membicarakan medan kreatif sesungguhnya menyeret kita pada diskusi panjang mengenai inspirasi, gagasan, imajinasi, intuisi, visi kreatif, ideologi estetika, dan wacana visi baru kehidupan yang melatarbelakangi itu semua. Bagaimana sebuah picu kreatif dimunculkan sebagai pembentang keterperincian visi baru kehidupan yang sesungguhnya sebuah potensi yang melekat pada manusia kreatif, intuitif, eksploratif dan imajinatif. Jika kita punya cukup waktu mugkin saja kita bisa membentangkan keluasan pokok ini jauh sebelum manusia menemukan semua yang tumbuh, bergerak dan berkembang di luar dirinya sebagai sebuah kebudayaan yang ia lahirkan dari interaksi dengan alam sekitarnya. Pokok yang begitu luas sekedar kita runut jejaring-jejaring yang memiliki simpul penting untuk mengelaborasinya secara singkat dan permukaan.
Visi realitas baru didasarkan atas sebuah kesadaran kesalingterhubungan dan saling ketergantungan esensial seluruh fenomena fisik, biologis, psikologis, sosial, dan kultural. Fritjof Capra pada The Turning Point (2007: 317) menyatakan bahwa visi ini melampaui bataas-batas konseptual dan disiplin yang ada dewasa ini dan akan dicari di setiap lembaga baru. Saat ini tak ada kerangka baku yang mapan baik secara konseptual maupun institusional yang membantu perumusan paradigma baru. Namun garis besar kerangka semacam ini telah dibentuk oleh banyak pribadi, komunitas, dan jaringan yang mengembangkan cara-cara baru untuk memikirkan dan melakukan pengorganisasian diri sesuai atau beradaptasi dengan prinsip-prinsip baru. Sebagai suatu pendekatan sistem budaya kontemporer sebagai upaya merumuskan jaringan konsep yang terkait dalam pengembangan organisasi sosial yang lebih fundamental dalam sistem yang secara intrinsik bersifat dinamis.
Melalui sejarah, telah kita ketahui bahwa pikiran manusia sanggup menampung dua macam pengetahuan dan dua modus kesadaran sekaligus yang sering dibatasi oleh rasionalitas dan intuisi; masing-masing secara tradisional diasosiasikan dengan sains dan agama. Wilayah pengetahuan rasional, tentu saja merupakan wilayah sains yang hanya bisa menggukkur, mengkuantifikasi dan menganalisisnya. Keterbatasan pengetahuan yang dicapai lewat metode-metode ini menampakkan realitasnya secara telanjang di lapangan sains modern. (Eko Wijayanto, 2002: 7)
Sebagian besar kita mengalami begitu sulitnya sadar akan keterbatasan-keterbatasan dan tentang relativitas pengetahuan konseptual. Ini lebih disebabkan karena representasi kita tentang realitas sangat mudah dimengerti dibanding dengan realitas itu sendiri. Kita cenderung mengacaukan keduanya dan menggunakan konsep-konsep dan simbol-simbol untuk realitas. Kecenderungan proses riset ilmiah disusun dari pengetahuan dan aktivitas-aktivitas rasional kendati tak seluruhnya benar semua tersusun secara rasional. Pada wilayah rasional dari riset seenarnya tak berguna bila tak dilengkapi oleh kekuatan dan kedalaman intuisi yang memberikan para ilmuwan mengenai pemahaman-pemahaman intuitif dan karakteristik personal tertentu. Begitu juga sebaliknya. Pengalaman empirik berada di wilayah kekuatan pikiran dan dicapai dengan kapasitas memahami ketimbang kualitas memikirkan dalam menjalami serangkaian riset atas subjek maupun fenomena. Metode eksperimentatif dan induktif tampaknya paling representatif dilakukan oleh ilmuwan kebudayaan dan seniman yang mengorganisasikan kekuatan imajinasi dan intuisi sebagai motor penggerak proses kreatifnya. Sepertinya kita juga sedang diingatkan Capra (2000:22) bahwa pengetahuan rasional dan berbagai aktivitas rasional lain pastinya merupakan bagian terbesar riset ilmiah, namun bukan itu saja yang ada di sini. Aspek rasional dari riset bahkan tak berguna jika tidak dilengkapi dengan kekuatan intuisi yang memberi para ilmuwan berbagai wawasan baru dan menjadikan mereka kreatif. Inilah yang setidaknya menjadi variabel-variabel penting yang mampu menjadi perekat antara ilmu pengetahuan dengan pengetahuan seni.
Seni dan ilmu pengetahuan memiliki kesamaan mempresentasikan temuan-temuan berdasarkan fakta-fakta dan argumentasi-argumentasi yang meyakinkan. Dengan begitu sesugguhnya kajian-kajian seni, cultures studies dan ilmu-ilmu humaniora memiliki dasar penalaran yang serumpun untuk menemukan tiap detail imajinasi yang mengemuka. Ilmu pengetahuan bukan melulu menghamparkan pikiran dan penalaran begitu pula seni bukan landscape ilmu yang semata-mata mengawang pada presentasi perasaan, hati dan kekuatan imajinasi. Karena keduanya justru lahir dan dikembangkan berabad-abad dengan peran fakta dan kekuatan imajinasi, bukankah keduanya sesungguhnya sama-sama lahir dan hadir dari satu budaya? Budaya imajinatif-kreatif. Perumusan dan eksplanasinya merupakan buah dari eksplorasi-eksplorasi imajiner dan dari sesuatu yang awalnya tak tampak.
Persoalan hakiki bagi ilmuwan adalah mempresentasikan kebenaran dan sanksi dari fakta yang dialami, the sanction of experienced fact sebagai figurdan perwajahan dari kebenaran itu sendiri atas hipotesis-hipotesis yang mendasarinya. Sedangkan persoalan hakiki seniman bukan mencari kebenaran namun mengetengahkan perspektif baru yang berbeda dengan kebaruan-kebaruan dan sesuatu yang distinctive atas sesuatu yang umum pahami selama ini. Ilmuwan mengkonstruksi visinya acceptable secara lebih sitematik dari visi seniman meskipun banyak seniman yang dijadikan subjek kajian yang memiliki ‘a strong sense of belonging’.
Saya sangat terinspirasi pernyataan DR. Daoed Joesoef dalam Visi Baru Kehidupan (2002: 115-116) bahwa seni dan ilmu pengetahuan sebenarnya lahir dari satu induk yang sama: budaya iajinatif-kreatif, sebuah penyatuan ‘a complete culture, a unity out of variety’ sebagai sesuatu uiversalitas yang sepantasnya dihayati. Bukankah ‘great moments’ dari penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan pembaruan-pembaruan seni adalah saat di mana ilmuwan dan seniman melihat suatu kaitan baru antara aspek-aspek realitas yang berbeda dan tampak tak adad kaitannya selaa ini. Dengan enciptakan pola-pola baru, ilmuwan dan seniman mengadakan perubahan; yang mereka ubah adalah ‘the division of live’ yang sekaligus secara implisit memupuk ‘the culture of living change’. Dua bagian saling terkait dengan aktivitas dan visi melakukan sesuatu dengan memikirkan dan merasakannya. Karena apa yang diimajinasikan sebagai visi akhirnya dilakukan sebagai tindakan nyata. Medan kreatifnya adalah aktivitas kreatif dan kekuatan imajinasi sebagai picu utama. Tanpa visi baru yang lahir sebagai imajinasi-imajinasi dan kreasi-kreasi maka medan kreatif tak menghasilkan temuan apapun kecuali akan menjadi monster yang menakutkan yang tidak mampu membesarkan nyali untuk mendekatinya apalagi bermain di wilayah itu.
Visi ‘kreatif’ kehidupan memiliki ruang eksplorasi tak terbatas dan ruang yang bagi siapa saja memiliki potensi yang sama untuk meraihnya. Jim Taylor dan Watts Wacker, Visionary’s Handbook (2008: 262) membagi lima teori tahapan yakni keberanian, keberuntungan, kompleksitas, kontaminasi dan faktor-faktor yang tak terkendali. Metode ini berkonsentrasi pada produktivitas ide, pengelolaan ide kreatif dan teknologi yang membingkai visi pembetukan masa depan. Budaya imajinatif-kreatif tumbuh dari kesadaran manusia yang dibentuk menurut konsep ini sebagai realitas. Di balik penampilan dunia yang kasat mata terdapat arus dari suatu realitas yang lebih memiliki kebenaran yang kedalaman dan keluasannya tak dapat diduga secara pasti. Justru realitas inilah yang kemudian menjadi objek ilmu pengetahuan dan seni yang lahir sebagai instrumen yang menguak misteri realitas yang memiliki kebenaran. Ilmu pegetahuan dan seni yang berkaitan dengan aktivitas kreatif maka imajinasi saling menyempurnakan dan memperkuat peran atau fungsi untuk membangun nilai-nilai tertentu. Situasi semacam ini merupakan representasi kecil dari sebuah visi kreatif yang mampu memberi vibrasi organis bagi penjelajah imajinasi untuk mengguncang pikiran dan mengeksplorasi realitas sesederhana apapun yang mampu menginspirasi imajinasi kreatif selanjutnya.
Jika seseorang menelaah secara sungguh-sungguh kehidupan semesta dan aktif di dalam pengembangan konsep mengenai pengalaman bahwa hubungan kehidupan dengan pengalaman bukanlah hubungan universal dan partikular. Georg Simmel dalam Gadamer (2004: 77) setiap pengalaman mempunyai sesuatu tentang proses petualangannya. Jadi, petualangan memberikan kehidupan yang dirasakan sebagai keseluruhan di dalam nafas dan kekuatannya. Petualangan memiliki pesona dengan menghilangkan syarat dan kewajiban keseharian masuk dan berada dalam ketidakpastian. Petualangan menghamparkan sebuah ‘ujian’ sebagai proses pengayaan dan pematangan sekaligus karena kehidupan juga sesungguhnya dapat dipandang sebagai objek pengalaman estetik. Objek pengalaman ini yang biasa disebut Erlebniskunst (seni mengalami) sebagai bentuk seni sejati. Gagasan dalam sebuah karya seni merupakan transformasi inspirasi genius pengalaman untuk menciptakan karya seni.
Brainshocking sesungguhnya medan kreatif untuk individu-individu bernyali. Brainshocking bukan sekedar mengolah hal-hal yang bersifat fenomena semata namun menggali, megelola, mengolah secara liar berbagai hal yang noumena sekalipun. Sesuatu yang tak nampak menjadi ikhwal kemunculan ribuan bahkan jutaan presentasi imajiner yang segera mengemuka dari kesadaran dan visi baru kehidupan untuk menjelajahi segala kemungkinan. Menggapai ceruk-ceruk yang paling mendasar dari kekuatan imajinasi dan menggapai langit-langit intuisi yang tak terbatas.

B. Kekuatan Imajinasi dan Kebaruan-Kebaruan Estetik

Imajinasi dipandang sebagai cara yang tidak biasa untuk menciptakan sesuatu yang benar-benar baru dan distingsi. Seperti Beckwith (2007: 58) ketika menggilai petikan gitar George Harrison dan mencermati Roger McGuin pemusik rock yang mempelajari musik klasik, ia menyatakan bahwa tidak semua inovator menciptakan hal yang benar-benar baru seperti McGuin tinggal menggabungkan elemen-elemen yang sudah ada dengan cara yang belum pernah dilakukan orang lain. Meski sederhana kedengarannya namun tak setiap langkah ini akan berhasil dan imajinatif.
Dalam analisis mendalam, imajinasi bukanlah anugerah yang diberikan begitu saja pada orang yang sedang beruntung. Kita memiliki imajinasi khususnya bagi yang meluangkan cukup waktu dan menyediakan perasaannya untuk mengamati sekeliling dengan empati yang terpelihara. Semakin intens melakukan mengamatan dan pencermatan serta sedikit keberanian untuk membayangkan sesuatu yang tak tampak sebagai permukaan maka saya yakin kita semakin imajinatif. Karena dengan kekuatan imajinasi, visi inovatif dan kehendak mewujudkannya maka dengan mudah kita memperoleh temuan kebaruan-kebaruan estetik yang orisinal. Dan, untuk menciptakan lompatan-lompatan batasan yang lebih jauh hanya dengan mempelajari sesuatu yang baru. Hal baru berpotensi memicu imajinasi dan kreativitas baru.
Kekuatan imajinasi tak hanya terkait dengan sejumlah rasa melalui penglihatan, pendengaran, sentuhan namun kemudian ia harus berurusan dengan konstruksi berpikir dan penalaran ketik imajinasi hendak diwujudkan. Kekuatan imajinasi mengambil peran penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara keseluruhan baik dari ilmu-ilmu pasti sampai pada detail ilmu humaniora, imajinasi yang menuntut segenap persepsi, nalar dan cara pandang untuk mengembangkan keluasan jangkauan ilmu pengetahuan itu sendiri. Seorang ilmuwan sejati berusaha menyusupi alam (alam dalam pengertian sebenarnya atau alam dalam dunia imajinasi) untuk memahami dengan visi imajinasi kreatifnya. Hal ini nyata ketika kita mencermati konteks revolusi ilmiah petama terdahulu diawal penemuan keilmuan.
DR. Daoed Joesoef dalam Visi Baru Kehidupan (2002: 106) menyatakan bahwa revolusi tersebut terjadi tahun 1543 ketika Copernicus menerima kopi cetakan pertama dari buku yang telah disiapkannya belasan tahun. Tesisnya adalah bahwa bumi yang bergerak megeliligi matahari –suatu pandangan heliosentris tentang alam semesta- yang saat itu menentang pandangan geosentris yang berlaku. Langkah awal yang dilakukan Copernicus mengarah ke perumusan tesis ini dengan membuat lompatan imajinasi: melepasan diri dari bumi, membubung ke angkasa, lalu hinggap di matahari. ‘Menangkap bumi dari matahari’, demikian tulisannya dan ‘Mataharilah yang mengatur gugusan bintang-bintang’.
Kekuatan imajinasi mengilhami Newton membangun teori gravitasi karena apel yang jatuh di kebunnya, yang menggugah pikirannya bahwa buah apel tersebut telah ditarik ke bumi oleh gravitasi karena konsep ini sudah lama ada sebelum dia menyempurnakannya. Nah, yang menggugahnya saat itu adalah imajinasi bahwa daya gravitasi yang telah mencapai puncak pohon apel ini sebenarnya terus mencuat ke luar bumi dan angkasanya begitu rupa hingga mencapai bulan; dan gravitasi ini pula yang telah menahan bulan itu dalam orbitnya. Dalam menindaklanjuti temuan imajinasinya Newton menangkap similaritas fenomena keduanya, mirip tapi tak serupa. Bukankah gerakan apel ke bumi dan gerakan bulan di angkasa luar memang tidak mirip sama sekali kendati di dalam gerakan-gerakan tersebut dia melihat dua ekspresi dari dua konsep tunggal yaitu gravitasi. Konsep penyatuan ini dapat dikualifikasikan oleh Newton sebagai sebuah kreasi bebas, orisinal dan sesuatu yang tak lazim saat itu. Sama ketika Keppler, ketika berusaha menguak misteri alam semesta 100 tahun sebelum Newton, merumuskan hukum-hukum gerakan planet melalui pandangan-pandangan imajinatif-kreatif bahwa ia tak memikirkan hal tersebut sebagai suatu keseimbangan dari neraca bank kosmis namun sebagai sebuah ungkapan dari adanya kesatuan dalam semua kenaturalan ‘unity in all nature’.
Pada abad ke 17 René Descartes memperkenalkan konsep mekanistik yang dirancang dan dikembangkan sebagai perwujudan jiwa atau roh dari ilu pengetahuan modern untuk dijadikan pilar peradaban yang dipercaya bisa mencerahkan dan membebaskan manusia dari belenggu nilai-nilai pengetahuan dan kekuasaan jaman sebelumnya. Konsep pencerahan melalui berbgai pandangan ilmuwan dan budayawan dalam prosesnya kemudian melahirkan pemahaman materialisme dalam setiap aspek kehidupan ilmiah. Kemudian bergerak pemahaman terhadap materialisme yang mendorong manusia semakin percaya bahwa mereka sesungguhnya makhluk dominan yang semkin menjauhkan manusia itu sendiri dari alam yang menjadi bagian dari dirinya. Kemudian manusia membangun habitusnya yang superior tersebut. Manusia melakukan sesuatu seyogyanya harus dimulai dengan gagasan yang bisa berkembang menjadi konsep sebelum melakukan suatu tindakan bukan sebaliknya layaknya kerja otomatis mekanika mesin.
Yos Suprapto (2009: 24-25) menggambarkan bahwa Leonardo da Vinci sosok pemikir sistemik yang paham betul tentang kesatuan hidup alam yang saling mendukung dan memiliki hubungan tak terpisahkan di dalam kaitannya dengan energi. Dengan memelajari seluruh kumpluan buku catatannya yang dilengkapi dengan gambar-gambar sketsa original tangannya kita bisa menyimpulkan bahwa sumbangan Leonardo merupakan feomena hidup dari sebuah keyakinannya terhadap kekuatan alam yang ia hormati. Observasinya yang rinci bagaimana alam dan pikiran manusia menjadi sumber gerak eksploratifnya yang inspiratif dalam pengembangan ilmu pengetahuan kreatif dan perluasan nilai estetika yang dikedepankan sebagai bentuk ilmu pengetahuan yang memiliki nilai-nilai spiritual untuk lebih menghargai potensi alam dan kekuatan imajinasi manusia.
Sebuah pernyataan RenĂ© Descartes yang mampu hidup beberapa abad, ‘Cogito Ergo Sum’ ‘Aku berpikir, maka aku ada’. Pernyataan ini mematahkan keragu-raguan filsuf rasionalis (1596-1650) dan itulah yang diyakini banyak orang telah membuka ruang berpikir manusia untuk melahirkan ilmu pengetahuan. Bahwa seseorang tokoh dunia yang memiliki impian besar bermula dari keberanian menggali potensi dirinya dengan ide-ide besar. Sejak Napoleon Bonaparte hingga Soekarno, dari Michael Angelo, Leonardo Da inci, Marchel Duchamp hingga Christo semua beranjak dari kegilaan-kegilaan ide-ide brilian melahirkan kreativitas-kreativitas yang mengguncang persepsi dan melahirkan nilai-nilai. Bagaimana ‘mimpi’ Wright bersaudara untuk bisa melenting terbang layaknya burung yang melipat jarak dan meringkas waktu Jakarta-London hanya 12 jam. Ide luar biasa bola lampu Thomas Alfa Edison dalam mengubah dunia melawan gulita dan Guttenberg-James Watt dengan ide gilanya menjadi lokomotif revolusi industri hingga pengembangan teknologi berikut proses pencanggihannya.
Mereka hidup dalam gelimang ‘dunia ide’ seperti yang disebutkan Plato mampu membangkitkan daya hidup hingga saat ini dan guncangan ‘dunia ide’ inilah yang mendekonstruksi segenap kemapanan cara berpikir saat ini dengan menempuh cara berpikir baru. Kreatif bukan sekedar berpikir dan bertindak asal beda melainkan bagaimana mengembangkan ide-ide segar dengan kreativitas tinggi dan pencapaian nilai-nilai estetika individual. Ide-ide segar dan kreativitas itu sumber creativepreneurship dan entrepreneurship yang terus meletakkan kita pada strategi berpikir ‘think out the box’. Ide gila menyatu dan mengalir sebagai spirit manusia yang sedikit banyak mewarisi gagasan Tuhan dalam proses penciptaannya. Karena saya yakin Tuhan memiliki ide-ide gila yang luar biasa ketika berniat mencitakan manusia yang dibekali kreativitas berpikir di atas mahluk ciptaan lainnya di muka bumi. Ide gila Tuhan mungkin akan menjadi suatu ide gila yang tak akan pernah terjadi lagi. Sekali dan berdampak luar biasa. Ide gila membangun mekanisme dan kinetika alam seisinya digerakan dan di benturkan bahkan. Ide gila yang meruntuhkan seluruh keangkuhan manusia. Ide gila yang menyelamatkan kau dan aku.
Sebuah ide gila selalu bersumber dari kekuatan imajinasi hasil kinerja otak kanan dan bekerjasama dengan otak kiri pada Era konseptual dimana perlu upaya melengkapi penalaran otak kiri kita dengan menguasai enam kecerdasan (hight concept, hight touch) penting yang difokuskan pada kerja otak kanan untuk membantu mengembangkan sebuah pikiran yang benar-benar baru sesuai tuntutan jiwa jaman. Phink (2006: 93-95) memaparkan; 1) Tidak hanya fungsi tetapi juga disain. Tak cukup fungsional di era kontemporer namun secara ekonomi penting dan bernilai secara personal menciptakan sesuatu yang juga indah, sedikit fantastis, dan menarik secara emosional. 2) Tidak hanya argument namun juga Cerita. Ketika hidup kita penuh informasi dan berbagai data, mengumpulkan argumentasi yang efektif tidaklah memadai. Sesungguhnya dibutuhkan esensi dari persuasi, komunikasi, dan pemahaman diri sebagai suatu kemampuan untuk menciptakan kisah yang menarik. 3) Tidak hanya fokus tetapi juga Simponi. Begitu banyak dari era-era industri dan informasi membutuhkan fokus dan spesialisasi-spesialisasi. Namun ketika pekerjaan kerah putih dialihkan ke Asia dan direduksi ke dalam software, ada sebuah penghargaan terhadap kecerdasan. Sebaliknya, menggabung-gabungkan bagian-bagian sebagai simponi. Kemudian apa yang menjadi permintaan terbesar saat ini bukanlah analisa namun sintesa. Sintesa untuk melihat secara keseluruhan perspektif, melintas batasan-batasan, dan dapat mengkombinasikan bagian-bagian terpisah ke dalam ruang satu kesatuan baru yang mengesankan dan memukau. 4) Tidak hanya logika tetapi juga empati. 5) Tidak hanya keseriusan namun juga Permainan. 6) Tidak hanya akumulasi tetapi juga Makna.
Paparan saya di atas dengan sejumlah tokoh dunia yang inspiratif dan berbagai pandangan filosofis meyakinkan dan meneguhkan pilihan-pilihan kita. Tak puas dengan segala yang kita lakukan, maka lakukanlah peran (dengan meminjam istilah Pink) sebagai ‘penyeberang batasan’. Sebuah upaya radikal untuk mengembangkan keahlian beragam bidang, berbeda bahasa, atmosfer yang berbeda, dan menemukan kesenangan –kenyamanan- dalam keberagaman pengalaman orang lain. Peran ‘penyeberang batasan’ bukan peran sederhana dan main-main karena dibutuhkan nyali sang juara, visioner, berani mengambil risiko terburuk dan siap untuk menjadi penyeberang batasan yang mencandu. Semua batasan menjadi sesuatu tanpa batasan, semua disiplin akan menjadi penting ketika kita berada di sana dan bergulat melepaskan batasan-batasan yang memejarakan. Penggambaran sosok Leonardo da Vinci ‘pelompat batasan’ bahkan mengingatkan kita pada karya-karya besarnya yang menginspirasi dunia kedokteran, seni rupa bahkan titik tumpu perkembangan teknologi penerbangan.
Para penyeberang batasan, Andy Tuck yang seorang profesor filsafat dan pianis yang menerapkan keahlian-keahlian yang mempertajam dalam bidang-bidang untuk menjalankan perusahaan konsultasi manajemennya. Gloria White-Hammond, seorang pastur dan dokter anak di Boston. ToddMachover, penulis opera dan membangun peralatan musik berteknoogi tinggi. Jhane Barnes, memiliki keahlian matematika menginspirasi disain-disain pakaiannya yang kompleks. Mihalyi Csikszentmihalyi, seorang psikolog dari Universitas Chicago yang menulis buku klasik Flow: The Psychology of Optimal Experience dan buku Creativity: Flowand the Psychology of Discovery and Invention, telah mempelajari kehidupan orang-orang yang kreatif dan menemukan bahwa ‘kreativitas pada umumnya mencakup penyeberangan batasan–batasan wilayah’. Orang yang paling kreatif diantara kita yang melihat hubungan-hubungan yang paling tidak pernah diketahui oleh orang lain. (Pink, 2006: 176-177)
Selanjutnya bahwa Mihalyi Csikszentmihalyi juga mengungkapkan dimensi bakat penyeberang batasan yang berkaitan: mereka yang memilikinya seringkali menjauhi pembuatan stereotipe peran gender tradisional. Temuannya bahwa ‘ketika tes-tes maskulinitas/feminitas diberikan kepada anak muda, secara berulang-ulang seorang akan menemukan gadis-gadis yang kreatif dan berbakat lebih dominan dan kuat daripada gadis-gadis lainnya. Dan, anak laki-laki yang kreatif lebih sensitif dan kurang agresif daripada teman-temannya’. Csikszentmihalyi dalam Pink (2006: 179) menegaskan bahwa ‘seseorang yang androgini secara psikologis sebenarnya menggandakan daftar respon-responnya dan dapat berinteraksi dengan dunia terkait dengan spektrum peluang-peluang yang begitu lebih kaya dan bervariasi’. Kemudian dikatakan Samuel Taylor Coleridge bahwa pada dua ratus tahun lalu para penyeberang batasan mengingatkan kita pada saat ini, pikiran-pikiran yang besar adalah androgini. Senada ketika ia meneliti Cobbet, ‘saya telah mengenal pikiran-pikiran yang hebat, dengan gaya-gaya seperti Cobbet yang mengesankan, tidak meragukan; akan tetapi, saya tidak pernah menjumpai pikiran besar seperti ini. Kebenarannya adalah, sebuah pikiran yang besar pastinya berwatak androgini’.
Ketika seorang seniman mengeksplorasi semua kemungkinan ruang kreatifnya dengan presentasi pola-pola personal, spesifik, dan original sesungguhnya ia tengah menggali dan menjumput nilai-nilai estetika baru. Nilai baru lahir karena kemunculan pandangan-pandang personal atas fenomena, respons atas berbagai fenomena, respons atas pengalaman empiris, representasi pengetahuan intelektualitasnya dan berbagai hal menyentuh kepekaan estetiknya.

C. Persoalan Estetis dan Estetika yang Tak Terumuskan

Salah seorang skeptis yang paling menonjol Morris Weitz, menyampaikan anggapan banyak kalangan sebagai argumentasi yang cukup memuaskan untuk kata ‘seni’ yang tak dapat didefinisikan secara baku. Hal senada disampaikan filsuf Ludwig Wittgenstein, bahwa ‘seni’ menunjuk pada hal-hal yang paling kehilangan ‘family resemblance’ (memiliki kemiripan dalam hubungan satu sama lainnya). Ia beranggapan bahwa kondisi keharusan dan mencukupi untuk penggunaannya yang tepat dan tak dapat diberikan layaknya game (bola, golf, dragon, spionase dan game bawah tanah (Dungeon). Apa karakteristik yang sama antara Fifth Symphony pada Beethoven, Mona Lisa pada Leonardo Da Vinci, dan Hamlet pada Shakespeare? Karya Marchel Duchamp yang dipajang museum kota Hartford ‘Fountain by R. Mutt’ adalah original luar biasa. John Cage ‘4 minuts and 33 Sconds of Silence’ dan beberapa puisi kontemporer menyajikan halaman kosong sebagai ‘puisi’ kemudian ada juga film beberapa menit yang tidak menghadirkan apa-apa kecuali suatu ruang hall kosong dan tarian kerumunan orang berjalan maju mundur melintasi panggung. (Eaton, 2010: 9-10).
Jerome Stolnitz dalam Eaton (2010: 32) menyatakan bahwa ada teori ekspresi Tolstoy merupakan versi teori yang kuat mengingat sesungguhnya teori ini menggabungkan dua cara untuk menjelaskan ekspresi artistik, yaitu: (a) dalam pengertian perasaan seniman dan (b) dalam perasaan penikmat. Masing-masing sudut pandang dapat digunakan terpisah untuk menjelaskan ekspresi. Mungkin kita dapat menyatakan bahwa karya seni sedih atau mengekspresikan kegembiraan, kita telah membuat pernyataan tentang senimannya. Oleh karena itu kitapun dapat menyebut teori itu sebagai berikut: (1) y mengekspresikan y jika dan hanya jika seniman merasakan y ketika memproduksi x. (2) x mengekspresikan y jika dan hanya jika x menyebabkan (membangkitkan atau memadamkan) y pada penikmat. (3) x mengekspresikan y jika dan hanya jika x adalah y. (4) x mengekspresikan y jika dan hanya jika x mendeskripsikan atau menggambarkan seseorang yang merasakan y. (5) x mengekspresikan y jika dan hanya jika x memiliki ciri orang yang merasakan y. (6) x mengekspresikan y jika dan hanya jika x memperlihatkan sesuatu sedemikian rupa yang menunjukkan y. (Frase ‘jika dan hanya jika’ mengindikasikan bahwa apa yang mengikuti adalah kondisi keharusan dan mencukupi bagi apa yang mendahuluinya). Suatu karya seni akan mengekspresikan kesedihan jika dan hanya jika seniman merasa sedih ketika memproduksinya. Sebagai dukungan atas teori ini adalah kecenderungan kita untuk menganggap seniman sebagai orang yang lebih peka, yang bakatnya terletak pada kemampuannya meletakkan perasaan pada kata-kata, bunyi dan bentuk-bentuk atau gerakan. Sulit membayangkan seseorang yang tidak mengalami suatu kerinduan akan masa lalu yang tak dapat kembali dapat menuliskannya.
Suzanne Langer dalam Edmund Burke pada A Philosophical Inquiry into the Ideas of the Sublime and the Beautiful (1958) mempertimbangkan ekspresi artistik dengan cara lain tetapi sama. Ia berpendapat bahwa kita tidak dapat menjelaskan dengan baik tentang ekspresifitas seni hanya melalui penjelasan asosiasi yang kita tentukan antara ciri formal (seperti warna dan bentuk) dengan perasaan manusia. Menurutnya, perasaan berada dalam karya tentu saja bukan perasaan yang sesungguhnya tetapi gagasan tentang perasaan tersebut, misalnya bahwa musik merupakan analogi bunyi kehidupan emotif. Keduanya memiliki bentuk logis yang sama.
Objek seni yang digambarkan dalam teori-teori estetika secara bebas atau memerlukan konteks-konteks yang berkaitan dan tanpanya tidak akan ada. Pengalaman estetis telah dipandang sebagai sesuatu yang memfokuskan diri pada aspek properties formal yang intrinsik (warna, bentuk dan irama) atau sesuatu yang melibatkan diri dengan ciri signifikan atau kondisi yang melampaui objek itu sendiri.
Kemudian ahli sejarah seni Erwin Panofsky (1962) mengemukakan bahwa ikon seni dapat dipelajari menurut tiga tingkatan yakni: tingkat ikonik, sebuah gambar menunjuk sesuatu ia mirip dengan hal tersebut. Tingkat ikonografik, sebuah gambar menunjuk sesuatu melalui praktik yang dikenali misalnya seekor anjing yang berarti kesetiaan dan merpati yang berarti perdamaian. Tingkat ikonologis, sebuah gambar mengartikan suatu gagasan, misalnya mengekspresikan hubungan antara kebenaran dan keindahan atau mengacu pada klaim metafisik tentang kenyataan dunia fisik.
John Dewey kemudian juga mengusulkan teori ekspresi jenis yang lain yakni teori ekspresi yang mendasarkan teori seninya pada teori pengalaman yang menurutnya bahwa pengalaman merupakan unit koheren yang menghubungkan ciri yang hadir dalam interaksi yang rumit antara organism manusia dan kekacauan tumpukan benda-benda yang mempengaruhinya. Pengalaman selalu dimulai dengan ‘impulse’ –dorongan atas keinginan atau kebutuhan- dimana ekspresi merupakan pengalaman reflektif. Ekspresi melibatkan nilai-nilai yang melampaui momen sesaat dimana seseorang bertindak dan melibatkan ‘perkembangan’ dari apa-apa yang dirasakannya.
Di sinilah proses brainshocking dalam wilayah kreativitas mengkonstruksi estetika-estetikanya sendiri. Dan, sejumlah hal besar dan penting kemunculan ‘seni’ secara spektakuler tampaknya memberi pengayaan yang luas mengenai pendefinisian seni. Kemudian Weitz (1956: 32) menyatakan bahwa sifat kreatif seni tidak butuh untuk didefinisikan: yang paling jauh dari ciri petualangan seni adalah perubahannya yang terus berlangsung dan kreasi baru menjadikannya tak mungkin secara logis menjamin suatu perangkat ciri yang didefinisikan. Mencermati fakta bahwa perkembangan kreativitas seni yang konstruksinya dari berbagai perspektif, dengan lompatan-lompatan imajinatif dan berbagai paradigma terus berubah ‘berkembang’ maka seni mempresentasikan nilai estetika secara multi interpretatif. Seni bergerak ke wilayah-wilayah inter-disipliner dan senantiasa memperkaya nilai-nili yang diusung sehingga seni dengan estetikanya tak dapat dirumuskan secara ketat dan baku. Namun, hal ini menjadi ruang maha luas bagi seni itu sendiri untuk melalukan perluasan-perluasan nilai dengan merangsang berbagai perspektif lahir karenanya. Perumusan hanya persoalan identifikasi dan prosedur ilmiah di luar nilai-nilai yang dibangun oleh seniman melalui kerja estetiknya.

referensi:

Beckwith, Harry (2007), The Invisible Touch, Yogyakarta: Think

Capra, Fritjof (2000), The Tao of Physics: menyingkap Kesejajaran Fisika Modern dan Mistisisme Timur, terj: Aufiya Ilhamal Hafizh, Yogyakarta: Jalasutra

Eaton, Marcia Muelder (2010), Persoalan-Persoalan Estetika, Jakarta: Salemba Humanika dan Waveland Press, Inc.

Joesoef, Daoed (2002) ‘Mencari Pemahaman mlalui Pengetahuan’ dalam Visi Baru Kehidupan: Kontribusi Fritjof Capra Dalam Evolusi Pengetahuan dan Implikasinya Pada Kepemimpinan, Eko Wijayanto, Yusuf Sutanto, Ramelan dkk (Ed). Jakarta: PPM

Gadamer, Hans-Georg (2004), Truth and Method, terj: Ahmad Sahiha, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Panofsky, Erwin (1962), Studies in Iconology; Humanities Theme in the Art of the Rennaisance, New York: Oxford University Press

Pink, Daniel H (2006), Misteri Otak Kanan Manusia, terjemahan dari judul asli: A Whole New Mind, New York, Riverhead Books, 2006 dialihbahasakan oleh: Rusli, Yogyakarta: Think

Suprapto, Yos (2009), Teknologi Tepat Guna Dalam Konteks Estetika, Yogyakarta: Program Pascasarjana ISI Yogyakarta

Tjokronegoro, Arjatmo (2002), ‘Prinsip dan Fenomena Biologis dalam Kehidupan’ dalam Visi Baru Kehidupan: Kontribusi Fritjof Capra Dalam Evolusi Pengetahuan dan Implikasinya Pada Kepemimpinan, Eko Wijayanto, Yusuf Sutanto, Ramelan dkk (Ed). Jakarta: PPM

Weitz, Morris (1956), The Role of Theory in Aesthetics, Journal of Aesthetics and Art Criticism 15.


Selasa, 03 April 2012

Brainshocking: Menggugah dan Membongkar Ide Kreatif

Bagian I.
Brainshocking: Menggugah dan Membongkar Ide Kreatif

Stimulasi listrik kemungkinan besar tidak akan mengubah Anda menjadi Albert Einstein, namun kekuatan ‘kebaruan’ imajinasi yang akan mengguncang persepsi orang lain terhadap potensi diri kita. [Cohen Kados].

A. Lompatan Quantum: dari Brainstorming ke Wacana Brainshocking
Berlian diperoleh dari mengaduk-aduk ratusan ton batu yang tak berguna. (James Mapes)

Saya ingin memetik ungkapan Erbe Sentanu (2007: 2) bahwa ‘semua yang tampak berasal dari sesuatu yang tidak tampak. Semua yang bisa dilihat berawal dari sesuatu yang tidak bisa dilihat’ untuk mengawali pembicaraan mengenai lompatan quantum yang terkait dengan pembahasan mengenai wacana brainshocking sebagai tema penting. Wacana yang mampu mengeluarkan kita dari confort zone dan memasuki quantum zone yang akan merevolusi cara pandang kita untuk meraih impian dengan membongkar ‘mengeksplorasi’ ruang-ruang gulita dan menemukan kebaruan-kebaruan nilai.
Dalam perspektif quantum, Mapes dalam Dwi Marianto (2004: 37) bahwa sebuah perubahan mendadak dan revolusioner itu bisa disebut sebagai lompatan quantum (quantum leap). Sebuah lompatan quantum, betapapun kecilnya selalu memberikan perbedaan besar dari masa lalu. Ia adalah lompatan yang terputus dari sebuah elektron dari satu orbit menuju orbit lain, dan partikelnya sama sekali tidak meninggalkan jejak. Ia adalah runtuhan seketika atas sebuah gelombang probabilitas ke dalam suatu peristiwa nyata. Ia menyeruakan penjelasan atas hubungan antara dua tempat, peristiwa, atau gagasan yang sama sekali terpisah satu sama lainnya yang sebelumnya tidak dapat dijelaskan dan selanjutnya, sebuah teori radikal baru telah lahir (Science Digest). Lompatan quantum inilah yang kemudian memunculkan istilah berfikir lompat quantum, sebuah rangkaian gagasan, konsep, distingsi, dan keahlian yang apabila disenyawaan seperti bahan-bahan kimia aktif akan meledak dan melemparkan kita ke tingkat yang lebih tinggi dengan pilihan–pilihan yang lebih besar. Dengan cara berpikir semacam ini kita akan mengalami ledakan-ledakan kreatif.
Lompatan quantum dipicu dengan metode brainstorming. Brainstorming lazim dikenal sebagai sebuah aktivitas curah gagasan atau curah pendapat. Sesi-sesi curah gagasan yang efektif bersifat acak atau tidak teratur sehingga gagasan deras kemunculannya tanpa ada hambatan dan rasa takut salah atau malu menyampaikan gagasan yang menurut kita kurang keren dan sebagainya. Nyali penting untuk proses brainstorming. Yang dibutuhkan adalah pernyataan, lesatan ide gila dan lompatan-lompatan yang tidak umum. Semacam lompatan quantum. Untuk melakukan sesi curah gagasan Tom Kelley dalam buku The Ten Faces of Inovation memaparkan item-item yang menuntun proses ini dengan aturan main sebagai berikut: 1) Kejar kuantitas, gagasan-gagasan yang bagus, baik dan cemerlang muncul dari banyak gagasan yang dikemukakan. Menyusun tujuan yang dinilai numeris dengan jumlah maksimal. 2) Dorong munculnya gagasan yang liar dan ekstrem. Ekstremisme sesungguhnya sebuah nilai yang baik. 3) Ciptakan gambar-gambar, dengan gambar-gambar akan merangsang kreativitas dan merangsang kembali kemunculan gagasan-gagasan baru yang lebih segar. 4) Tunda penilaian, dengan menunda penilaian maka proses curah gagasan berjalan wajar dan tanpa intervensi otak kiri kita yang selalu melakukan penalaran. Tak ada gagasan buruk maka buang orang-orang dengan pikiran skeptis. Mulailah berpikir secara kreatif dan kritis. 5) Satu percakapan dalam satu waktu, dengarkan dan berlaku sopan serta jadikan pendapat-pendapat orang lain sebagai fondasi.
Paparan di atas kemudian diurai kembali Tom Kelley dalam buku The Art of Inovation (2001: 73-80) memperinci metode brainstorming sebagai berikut: 1) Pertajam Fokus, sesi curah ‘gagasan’ pendapat harus dimulai dengan perumusan masalah yang jelas, bentuknya bisa saja seederhana pertanyaan namun spesifik. 2) Mulai dengan ide-ide apa saja, jangan mulai dengan mengkritik atau mendebat ide-ide. Biarkan ide-ide terlontar dengan bebas dan perasaan leluasa, bahkan ide-ide gila sekalipun bisa dilontarkan. 3) Menentukan jumlah ide yang hendak dicurahkan misalnya seratus ide dalam satu sesi curah gagasan selama satu jam seperti yang sering dilakukan IDEO. 4) Membangun dan Melompat, pertahankan energi ketika energi mulai melemah dan berupaya terus mengembangkan ide-ide kreatif. 5) Tulis aliran-aliran ide pada media yang dapat dilihat oleh peserta curah gagasan sehingga perkembangan ide terlihat alurnya. 6) Regangkan otot-otot mental untuk melontarkan ide-ide liar dan kreatif. 7) Lakukan secara visual, dengan mem buat sketsa, memetakan pikiran, meggambar diagram dan menempel gambar.
Sebagai teknik modern, brainstorming telah dikenal sejak 1938. Namun James Mapes dalam Dwi Marianto (2004: 40) menyatakan bahwa metode ini telah lama dilakukan oleh orang-orang Hindu, dan dalam metode inilah diperoleh kesempatan untuk melakukan lompatan quantum. Dengan teknik yang sangat sederhana, dengan mengutarakan ide-ide secara bebas tanpa kritik dan debat. Semakin liar dan gila ide-idenya muncul kemudian pada fase analisis melakukan pembahasan untuk mengategorikan gagasan dan melakukan seleksi untuk dibahas lebih mendalam. James Mapes pada Quantum Leap Thinking meberi penegasan kembali pentingnya brainstorming untuk melakukan lompatan quantum, dalam arti untuk memperoleh ide-ide cemerlang yang menerobos dan produktif, sebagai berikut: 1) Tuangkan ide sebanyak-banyaknya, fase ini bertujuan untuk membentuk gagasan sebanyak-banyaknya dalam waktu yang ditetapkan. 2) Jangan mengkritik, ketika kita memberikan penilaian maka berarti memojokkan semangat kreatif. 3) Bergerak bebas, meskipun aneh sebuah gagasan. 4) Membonceng, kita bisa terinspirasi ‘membonceng’ ide orang lain. 5) Bergembiralah, menciptakan suasana menyenangkan dan humor untuk meningkatkan proses kreatif, menstimulasi gagasan, mempercepat pemecahan masalah, meningkatkan proses pembelajaran, dan secara umum membuat hidup lebih menarik. 6) Istirahat, menyempatkan istirahat pada sesi pembentukan gagasan dan sebelum beralih ke sesi evaluasi kritis. Karena dengan istirahat memberian masa inkubasi bagi gagasan.
Wacana Brainshocking sesungguhnya terinspirasi dari metode brainstorming sebagai metode kuno yang terus menerus diperbaharui esensi dan interpretasinya disesuaikan dengan konteks persoalan yang berkembang dan konteks waktu yang menempa metode ini. Brainshocking merupakan proses mental ‘guncangan otak’ atau semacam upaya meakukan kejutan secara neurologis dalam menemukan gagasan imajinatif, proses penciptaan seni, dan perluasannya yang memberi efek kejut selanjutnya pada orang-orang di sekitarnya. Dengan begitu, memberi pengaruh proses produkivitas gagasan kreatif selanjutnya pada diri dan orang di sekitarnya. Wacana ini masih mengikat hampir keseluruhan metode brainshocking namun menekankan pada visi dan efek bagaimana sebuah gucangan otak dimulai dari kesadaran kita untuk memperoleh gagasan-gagasan imajinatif yang menekankan dan memiliki efek psikologis. Pada proses penggalian gagasan kreatif dimulai dengan menumbuhkan kesadaran melakukan lompatan-lompatan batasan yang sama sekali belum terpikirkan bahkan dieksekusi diri kita sendiri juga orang lain.
Wacana brainstorming menarik benang merah sejumlah disiplin ilmu pengetahuan untuk mengonstruksi termasuk di dalamnya berbagai perspektif neurologi, psikologi, antropososial, antrovisual, perspektif lompatan quantum dan estetika. Sudah barang tentu wacana semcam ini dianggap asing karena (masih dini dan belum banyak dibicarakan) perlu waktu untuk membuktikan berbagai tesis yang dikembangkan dan tinjauan kasus-kasus yang spesifik. Namun saya berkeras memaparkan berbagai analogi yang berkaitan dengan brainshocking sebagai pendekatan kreatif melaui tinjauan kemunculan ilmu pengetahuan, kasus-kasus proses kreatif dan karya seni monumental. Kasus-kasus monumental tersebut yang memberi pengaruh signifikan pada perkembangan ilmu pengetahuan –seni dan estetika- sebagai mental training membuka ruang kebaruan-kebaruan. Semua proses ini otaklah yang mengambil peran penting.
Seorang penulis terkenal Brian Tracy pernah menyatakan bahwa ‘kekayaan tunggal yang terbesar yang kita miliki terletak di antara dua telinga, yaitu otak dan kekuatan berpikirnya, bukan otot dan kekuatannya’. Kita harus mampu membangunkan dan memfokuskan diri kita kepada ‘si raksasa yang sedang tidur ‘otak’ kita ini. Karena otak merupakan sumber imajinatif, kreatif, intuitif, inovatif dan sumber penciptaan yang memiliki kemampuan berpikir jernih (clear thingking) dan kemampuan belajar cepat (accelerated learning). Organ tubuh kita yang paling canggih yang berfungsi sebagai pusat pengendali seluruh organ tubuh dan perilaku serta sebagai pusat studi dan berpikir.
Seperti diketahui pada disiplin neurology bahwa belahan otak kiri berpikir sistematis, struktural, superior dalam analisa dan menguasai artikulasi verbal. Belahan otak kanan berpikir holistik, mengenali pola-pola, mengonstruksi pola-pola, imajinatif, intuitif, dan presentasi ekspresi-ekspresi visual. Dalam kehidupan sehari-hari peran otak kiri begitu dominan dan menekan tindakan eksperimentatif yang sesungguhnya mampu mengubah dunia. Seorang seniman tentu memiliki pola kerja kreatif yang demikian menggilai kerja–kerja eksperimentatifnya yang membangun pola-pola kerja spesifik serta memerlukan ritme kerja otak kanan sehingga melahirkan ide-ide gila dan eksekusi visualnya mengguncang persepsi dan imajinasi orang lain.
Lingkup kerja seni selalu saja bisa didekati sebagai laboratorium brainshocking. Pada sejumlah kasus; gerakkan dadaisme, ekspresionisme, op art, dan pop art? Bagaimana karya-karya periode tersebut mengguncang otak masyarakat dunia pada saat itu, bukankah mereka bertumpu pada pola brainshocking? Malevich yang kita kenal sebagai pelukis sekaligus seorang arsitek pernah menggagas sebuah bangunan yang di presentasikan menggambang di atas laut. Citra floating dibangun di atas konstruksi struktur imajiner dan mekanika dengan perspektif yang sangat spesifik. Ia memainkan persepsi orang lain atas gagasan tersebut yang mengguncang otak bagi yang tak mampu menemukan interkoneksi imajinasinya yang menggila. Saat itu ditolak dan di anggap tidak masuk akal namun dalam perkembangan arsitektur kontemporer kita sering kali menjumpai landscape kota-kota dengan citra arsitektur yang demikian. Bahkan memicu kemunculan wacana dan praktik cyber-architecture belakangan ini. Malevich juga seniman yang bekerja atas dasar Brainshoking.
Plato dibingungkan oleh semacam intensitas psikologis seperti kehidupan Van Gogh yang dramatis dan menarik. Plato meyakini bahwa seniman selalu mendekati karyanya dengan semacam kegilaan. Sigmund Frued dan ahli psikologi lainnya telah memikirkan bahwa apa yang membuat suatu kegiatan artistik yang menjadi khas adalah kepribadian senimannya. Seniman mengubah fantasi dan keinginan-keinginan bawah sadarnya yang tertekan menjadi objek-objek yang dikenal, yang sebagian dari kita menikmatinya karena kita mempunyai fantasi dan keinginan-keinginan yang sama tetapi tidak mempunyai keterampilan dan kepribadian yang memungkinkan kita mengekspresikannya secara terbuka. Pendekatan teori Freud, baik secara filosofis maupun psikologis sangat penting karena mengimplikasikan sesuatu tentang watak seni sebagai rujukan watak psikologis khas seniman. Karakteristik semacam ini melekat dari waktu ke waktu di belahan bumi ini.

B. Brainshocking: Mental Training Sebagai Refreshing Otak
Penelitian-penelitian neurologis seringkali mampu menunjukkan adanya jarak waktu antara peristiwa elektris yang terjadi di dalam otak dan peristiwa mental yang terjadi di dalam kesadaran, namun hal tersebut tak berarti keduanya terpisah. Seperti yang diilustrasikan Calne (1999: 378) bahwa ketika petir berkilat sebelum gelombang tekanan udara jadi guruh yang memekakkan telinga, tapi kilatan petir itu aslinya merupakan gelombang tekanan udara. Secara rasional mustahil ini sebagai hasil kegiatan yang terjadi di otak karena otak kita begitu sangat sibuk mengendalikan seluruh organ tubuh kita tanpa kita sadari. Namun, berdasarkan berbagai temuan bahwa kegiatan elektris sel-sel saraf tetap berlangsung selama seseorang dalam keadaan koma bahkan. Ia menggambarkan adanya shock visual yang memberi efek kejut secara psikologis dengan sejumlah referensi yang muncul seketika petir menyambar dan disusul gemuruhnya guruh. Secara spontan semua saraf otak kita merespon atau mengasosiasikan berbagai referensi sejenis sebagai efek yang muncul seputar perubahan cuaca seketika itu juga dan memproduksi konstruksi-konstruksi suasana tertentu kemudian. Saya membayangkan ketika seni visual mengambil peran ini sebagai titik pijak brainshocking dalam kegiatan mental training, niscaya terjadi proses identifikasi dan pengayaan nilai estetik.
Melalui bahasa visual, brainshocking dalam proses kreatif adalah sebuah proses mental seperti ketika bahasa verbal telah mempermudah kita mengolah, mendeskripsikan, dan menyampaikan proses mental. Sebuah pengamatan neurologis yang menunjukkan bahwa rasionalitas dan bahasa sebagai hasil kinerja otak tak dapat dipisahkan. Frans de Waal dalam Calne (1999: 387) menegaskan dalam konteks kontemporer menyatakan bahwa a steady continuum dan tak ada tahapan yang bisa menunjukkan di mana akal budi muncul; dalam garis evolusi yang landai, semakin jauh evolusinya maka semakin meningkat ukuran dan kerumitan otak. Lebih lanjut Colin McGinn secara argumentatif menyatakan bahwa gejala-gejala mental dibagi dalam dua golongan besar yakni: ‘sensation’ (serba rasa) dan ‘attitudes” (serba sikap). Konsep sensation mencakup bagaimana menyadari bahwa dunia luar, merasakan emosi, dan mengalami fungsi-fungsi jasmaniah. Konsep attitudes mencakup bagaimana memikirkan proporsi. Konsepnya McGinn sebagian psikolog dan filsuf berpendapat bahwa istilah sensation seharusnya terbatas pada pengalaman langsung, baku (crude), sedangkan perception seharusnya dipergunakan untuk bentukan-bentukan mental yang lebih halus dan ditafsirkan sebagai citra-citra mengenai dunia luar. Maka tak berlebihan jika kita memahami struktur dan kinerja otak kita secara detail.
Otak menempati suatu ruang dalam tempurung kepala yang terhubung dengan sistem saraf tulang belakang manusia yang memiliki bobot sekitar 1400 gram (2%) berat tubuh seseorang. Keseluruhan bagian otak memenuhi seluruh rongga kepala yang terlindung lapisan-lapisan jaringan kuat yang ditopang dengan cairan otak yang menahan guncangan dan benturan pada tulang tengkorak. Anatomi belahan otak terdiri otak besar (cerebrum) berkait dengan daya serap pengetahuan dan proses pembelajaran, otak kecil (cerebellum) berperan dalam proses koordinasi dan keseimbangan, dan batang otak (brain stem) yang berfungsi mengatur denyut jantung serta proses pernafasan. Bentuknya akan menyesuaikan dengan pola pikir dan hidup seseorang yang menggerakkan mekanisme kerja otak tergantung kapasitas dan karakteristik kecerdasan yang dimilikinya. Semakin dewasa dan semakin berlekuk-lekuk dengan kedalaman lekukannya maka menandakan seseorang semakin banyak menyimpan informasi yang berarti semakin tinggi tingkat kecerdasannya.
Otak besar kita memiliki dua serambi; belahan kiri dan kanan yang terpisah oleh lekukan-lekukan memanjang (Fissura Longitudinalis) yang terdiri dari sebuah jaringan corpus callosum. Snell dalam Kushartanti (2005: 27) menggambarkan ketika otak dibelah secara vertikal pada bagian luar (cortex cerebri) berwarna abu-abu dan bagian dalam berwarna putih. Cortex cerebri berfungsi sebagai sensorik untuk menerima masukan, asosiasi yang bertugas mengolah masukan dan motorik berfungsi mereaksi masukan dengan gerakan tubuh. Otak memiliki kemampuan menyimpan seluruh informasi dengan menggunakan kekuatan asosiasi, semakin banyak informasi yang tersimpan maka produksi jaringan sel-sel otak berkembang membentuk relasi-relasi baru. Semakin meningkat jumlah jalinan saraf terbentuk dengan sendirinya semakin kuat informasi tersimpan dan tahan lama. Hubungan antar sel saraf yang berlangsung mengubah energi listrik menjadi energi kimiawi mengeluarkan neurotransmitter kemudian diubah kembali menjadi energi listrik pada jaringan sel-sel selanjutnya. Otak menangkap sejumlah stimulus untuk dipersepsi melalui kerja sel-sel saraf, sirkuit saraf, dan neurotransmitter.
Ketika kita menghadirkannya kembali maka otak akan menanggapi dengan cara yang sama berdasarkan referensi stimulus sejenis. Stimulus yang kontinu mempercepat peredaran energi listrik ke saraf-saraf otak yang mampu merefresh otak kita menjadi rileks dan fokus untuk melakukan sejumlah pekerjaan-pekerjaan besar berkaitan dengan penjelajahan kreativitas, menjelajah ide kreatif dan temuan-temuan inovasi. Mengutip pernyataan Taufik dalam Kushartanti (2005:27) bahwa fakta inilah yang membedakan otak manusia dengan unit komputer. Sekalipun komputer dirancang berdasarkan prinsip kerja otak, namun mekanika komputer semakin sering digunakan maka semakin aus yang akhirnya rusak. Namun otak manusia semakin digunakan akan semakin canggih karena ia mengikuti hukum ‘use it pr lose it’ (gunakan atau hilang) seperti hanya otot dan tulang kita. Saat ini kita masih mendapati hampir semua guru besar yang menyandang gelar Profesor di usia senja sekalipun masih memiliki ketajaman ingatan, kemampuan berpikir analitis dengan jernih, kecemerlangan gagasan dan kecanggihan berpikir dalam mengembangkan konsep-konsep ilmu yang digali melalui serangkaian studi dan penelitian yang tidak sederhana. Hal ini disebabkan karena kinerja otaknya selalu dipacu untuk mencerap berbagai informasi dan ilmu pengetahuan yang selalu diberdayakan untuk melahirkan temuan-temuan hasil pemikirannya. Dengan demikian sistem kerja otak semakin kuat dan tahan lama dalam menyimpan informasi.
Lebih lanjut Snell menyatakan munculnya eksplorasi era otak atau Brain Era (pada kurun 1990-2000) berhasil menunjukkan fakta bahwa otak menyediakan komponen anatomis untuk aspek rasional (IQ: Intelligence Quotient), aspek emosional (EQ: Emotional Quotient) dan aspek spiritual (SQ: Spiritual Quotient). Otak kita memiliki tiga cara berpikir yang kemudian dikenal berpikir rasional, emosional dan spiritual. Pada perkembangannya penelitian neurosains sedikitnya ada tujuh jenis kecerdasan yang diungkap Gardner (1999) yakni linguistik, matematika, spasial, kinestetik, musik, antarpribadi, dan interpribadi. Kemudian ia menambahkan adanya kecerdasan naturalistik, eksistensia dan spiritual. Begitu banyak misteri yang belum mampu terungkap namun secara sederhana Dryden, 2001) merumuskan ‘10 hukum dasar otak’ yakni: pertama, otak menyimpan semua informasi dalam sel-sel saraf. Kedua, otak memiliki komponen untuk menciptakan kebiasaan dalam berpikir dan berperilaku. Ketiga, otak menyimpan dalam bentuk kata, visual dan warna. Keempat, otak tak mampu mebedakan fakta dan ingatan yang bisa dicermati pada bentuk reaksi yang sama pada keduanya. Kelima, imajinasi dapat memperkuat otak dan mencapai sesuatu yang dikehendaki. Keenam, otak menyusun konsep dan informasi dalam bentuk pola-pola. Ketujuh, indera dan reseptor saraf menghubungkan otak dengan aktivitas dunia luar maka latihan indera dan latihan fisik memperkuat otak. Kedelapan, otak tak pernah istirahat, ketika rasional kelelahan dan tak dapat menuntaskan pekerjaan maka otak kanan secara intuitif mengambil alih peran untuk melanjutkan dengan pengembaraan imajinasi dengan kepekaan-kepekaan intuisinya. Kesembilan, otak dan hati senantiasa berusaha dekat. Otak yang diasah kepekaannya secara kontinu akan menjadikan seseorang semakin arif, bijak dan tenang kepribadiannya. Kesepuluh, kekuatan otak ditentukan oleh asupan gizi sehari-hari.
Tiga cara berpikir otak yang dikenalkan Snell dengan konsep Brain Era, bisa dijabarkan sebagai berikut:
1. Otak Rasional
Pusat otak rasional di cortex cerebri atau pada bagian luar otak besar yang berwarna abu-abu dengan volume memungkinkan manusia berpikir rasional dan berakal. Seseorang semakin tinggi budayanya maka ia mampu menggeser tabiat dan perilakunya lebih memusat dengan berpikir rasional. Cortex cerebri terdiri dua bagian dimana pada belahan otak kiri berfungsi untuk berpikir rasional, linier dan sekuensial sedang pada belahan otak kanan berkaitan dengan pemberdayaan aspek imajinasi, visual dan kreativitas. Keduanya kemudian bekerjasama dan berinteraksi untuk saling memahami serta mengeksplorasi yang memuka kemungkinan berbagai pemecahan masalah secara holistik.
Pemberdayaan pendekatan otak secara keseluruhan (Whole Brain Approach) mengacu pada potensi kinerja kognisi dan emosi yang tak terpisahkan. Kedua aspek yang saling menunjang, melengkapi dan sebagai controling. Ada berbagai informasi yang dikemas dala bentuk kata, gambar, visual, dan warna serta wewangian maka kedua belahan otak akan bekerja bersamaan secara otomatis dengan menyimpan informasi dan referensi pengalaman atau pengetahuan tersebut pada file penyimpanan baik pada data visual maupun yang non visual. Dengan begitu dinyatakan Dryden bahwa segenap informasi yang disajikan dalam keterpaduan kata dan visual akan lebih cepat terserap atau tersimpan. Kita bisa membayangkan keduanya terkoneksi melalui corpus callosum seperti sistem saklar yang maha rumit dengan jaringan 300 juta sel saraf aktif tak pernah berhenti bekerja. Inilah yang secara konstan menyeimbangkan semua pesan otak kiri-kanan dengan mengabstraksi semua informasi konkret, logis, dan holistik.
2. Otak Emosional
Otak yang terpusat pada sistem limbik secara evolutif jauh lebih senior dari cortex cerebri yang menunjukkan bahwa perkembangan otak manusia diawali dengan impulse emosional sebelum mendayagunakan pikiran rasionalnya dalam merespon lingkungan sekitar. Kemudian Goleman (1997) merumuskan bahwa kecerdasan emosional sebagai sebuah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi rasa frustrasi, mengendalikan dorongan hati, mengatur mood, dan menjaga agar stress tak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan berdoa. Karakteristik di atas sesungguhnya sangat berdekatan dengan kinerja otak spiritual dalam pengertian seluas-luasnya.
Secara genetik serangkaian muatan emosi tertentu menentukan temperamen kita namun dengan treatmen mental training dapat membentuk sirkuit emosi dan meningkatkan kecerdasan emosional yang mencakup; mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan. Kecerdasan emosional tersebut dapat ditreatment dan dikembangkan untuk pengendalian emosi yang mampu menentukan kualitas hidup, karena kualitas hidup dicapai dengan keleluasaan berpikir, bertindak, dan aktualisasi diri dengan pencapaian tingkat kenyamanan psikologis yang memadai.
3. Otak Spiritual
Otak spiritual berpusat di noktah Tuhan yang ditemukan Ramachandran di lobus temporal. Titik inilah, sebuah kesadaran tinggi manusia yaitu eksistensi diri tereksplorasi secara maksimal. Sebuah kesadaran tersebut dibangun oleh sel-sel kelabu dalam otak manusia secara alamiah melahirkan pikiran-pikiran rasional sebagai pijakan menuju kesadaran tingkat tinggi manusia. Sedikitnya ada empat bukti penelitian yang memperkuat hipotesa potensi spiritual yang berkembang secara neurologis membangun kesadaran sejati tanpa pengaruh panca indera, Taufik (2003) merinci sebagai berikut: pertama, Osilasi 40 Hz temuan Denis Pare dan Rudolpho. Melalui instrumen MEG (Magneto Encephalograph) ditemukan bahwa gerakan-gerakan sarat akan berlangsung secara terpadu pada tingkatan frekuensi 40 Hz. Kedua, Alam bawah sadar kognitif ditemukan oleh Joseph de Loux. Ketiga, God Spot pada area temporal yang ditemukan oleh Ramachandran. Keempat, Somatic Marker yang diketemukan olah Antonio Damasio.
Keterpaduan ini mampu membentuk seseorang berpikir jernih yang mengacu pada kerangka nilai sistematisasi dari fungsi spiritual otak melalui koneksitas vertikal dengan penciptanya mewujudkan nilai budi, kecakapan emosional, dan ketenangan-kenyamanan hidup. Kenyamanan hidup denga sejumlah variabelnya sesungguhnya membangun kualitas hidup yang ideal. Hal ini lebih disebabkan karena otak spiritual merupakan ruang kontak vertikal yang hanya akan mengambil peranan penting ketika otak rasional dan panca indera telah difungsikan optimal.
Kaitannya dengan aktivitas seni, dimana seni lahir karena eksplorasi kerja otak melahirkan gagasan-gagasan kreatif dan tindakan estetik dengan mengoptimalisasikan kecerdasan otak pada belahan kanan. Cermati sejenak pengakuan Albert Einstein bahwa ‘Imagination is important than knowledge’. Sikapnya meyakinkan kita semua bahwa bagaimana pentingnya peran imajinasi dalam melakukan perjumpaan-perjumpaan sucinya dengan pengetahuan yang hidup dan aktivitas seni yang berpengaruh signifikan pada transformasi gelombang otak terhadap munculnya aktivitas-aktivitas kreatif selanjutnya yang dipicu oleh sebuah lompatan imajinasi. Imajinasi membuka semua ruang tertutup yang potensial menjadi pilar-pilar bernilai. Kekuatan imajinasilah yang mengeluarkan manusia dari sistem kebudayaan purba, gulita, jahiliah dan menggapai puncak-puncak langit yang sesungguhnya mustahil dijangkau. Pencapaian-pencapaian besar sejarah kemanusiaan dengan sistem-sistem peradabannya yang dipresentasikan secara terperinci dan benderang oleh kekuatan imajinasi mulai dari gagasan lahirnya artikulasi bahasa, tanda visual, simbol, konvensi-konvensi, hukum, tata sosial, hingga pencanggihan sistem telekomunikasi dengan pemberdayaan gelombang dan partikel pada sistem fisika quantum dan lain sebagainya. Dalam perspektif teori quantum biasa disebut sebagai lompatan quantum (Quantum leap) yang berkaitan dengan sejumlah tindakan lompat batasan, melakukan hal baru seperti neutron meninggalkan orbitnya.
Gelombang otak beta, alpha, theta, dan delta yang bersemayam pada otak kita dan yang senantiasa berada pada posisi siaga menerima stimulus. Keadaan betha (13-28 cps) ialah suatu keadaan gelombang otak yang sedang aktif bertindak (sadar). Keadaan alpha (7-13 cps) ialah keadaan sedang bertindak (sadar), gelombang yang penting untuk membuka jalan menuju kekuatan pikiran bawah sadar. Keadaan theta (3,5-7 pcs) ialah keadaan pikiran seseorang yang mengolah wilayah kreatif dan inspiratif. Tetha juga bisa berlangsung ketika dalam keadaan tertidur dan bermimpi sehingga kekuatan mimpi juga bisa jadi sangat inspiratif dalam praktik hidup sehari-hari. Keadaan delta (0,5-3,5 pcs) ialah keadaan gelombang otak pada saat kita tertidur pulas tanpa gangguan aktivitas lain juga tanpa gangguan mimpi sisa obsesi yang terpotong pada realita kehidupannya. Nah, pada saat seperti inilah sesungguhnya kondisi dimana terjadi proses penyembuhan dan proses peremajaan kembali sel-sel otak. Jika, peremajaan berlangsung secara optimal maka seseorang dapat memperoleh kembali keseimbangan kinerja otak kanan dan kiri, khususnya dalam memberi respon visual dari seluruh gerak tubuhnya (baik cara berpikir, mengolah informasi, mengendalikan emosional dan memproduksi gagasan visual) secara imajinatif. Keadaan ini juga membuka ruang-ruang bebas kepekaan intuitif bekerja maksimal.
C. Misteri Otak Kanan dan Optimalisasi Kekuatan Imajinasi
Otak kita sungguh luar biasa jika diberdayakan, otak memiliki 100 milyar sel yang masing-masing sel terkoneksi dan berkomunikasi hingga 10.000 kolega-koleganya. Bisa dibayangkan jika secara bersamaan mereka membentuk jaringan yang luas lebih dari satu quadrillion (1.000.000.000.000.000) hubungan yang menuntun bagaimana kita berbicara, makan, bernafas, dan bergerak. Floyd E. Bloom, dkk dalam Daniel H. Pink (2006:26) menyatakan bahwa James Watson, pemenang Hadiah Nobel karena membantu menemukan DNA. Ia menggambarkan otak manusia sebagai ‘hal paling kompleks yang belum kita temukan dalam dunia kita’. Karakteristiknya yang kompleks justru sederhana dan simetris topografinya. Ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa garis pembatas neurologis Mason –Dixon membagi otak ke dalam dua wilayah; otak pada sisi kiri adalah belahan yang sangat penting karena belahan otak inilah yang membuat kita menjadi manusia. Otak kiri kita bersifat rasional, analitis dan logis. Dan, pada belahan otak kanan bersifat diam, tidak linier, dan naluriah (sebuah organ tubuh dirancang oleh alam untuk sebuah rencana dan tujuan yang telah dikembangkan oleh manusia).
Pada 1860-an neurologis Prancis, Paul Broca menemukan bahwa bagian belahan otak kiri mengontrol kemampuan untuk mengucapkan bahasa. Satu dekade berikutnya, neurologis Jerman, Carl Wernicke dengan penemuan yang sama mengenai kemampuan memahami bahasa. Penemuan yang menghasilkan silogisme yang sesuai dan meyakinkan karena bahasa adalah apa-apa yang memisahkan dan memberdakan manusia dengan binatang buas. Bahasa kemudian menempati wilayah kerja otak kiri dalam mengaktalisasikan manusia sebagai manusia. Kemudian pandangan ini bertahan selama abad berikutnya hingga Profesor Caltech yang bernada lembut W. Sperry membentuk pemahaman kita tentang otak dan diri kita. Pada tahun 1950-an, Sperry meneliti pasien penderita epilepsi yang mengharuskan menghilangkan corpus callosum, ikatan yang tebal dari 300 juta urat otak yang menghubungkan dua belahan otaknya. Sperry memaparkan bahwa otak kiri berpikir secara berurutan, superior dalam analisis, dan menangani-menguasai bahasa verbal sedangkan otak kanan berpikir holistik, pengenali pola-pola serta menafsirkan emosi-emosi, dan ekspresi-ekspresi non verbal.
Seorang instruktur seni Universitas Negeri California, Bety Edwards pada tahun 1979 dibantu Prof. Spery memindahkan laboratorium ke ruang keluarga. Kemudian ia menerbitkan buku spektakuler ‘Drawing on The Right Side of The Brain’. Ia menolak gagasan bahwa sebagian orang tidak mempunyai kemampuan artistik.(Edwards, 1999: 4). Dengan begitu sesungguhnya potensi otak kanan sangat terbuka untuk dikembangkan bukan mengandalkan potensi given (maupun bakat bawaan). Menurut Robert Ornstein dalam ‘The Right Mind’ (1997: 2) bahwa sebagian penulis popular menyatakan bahwa belahan otak kanan merupakan kunci untuk memperluas pemikiran manusia, menghidupkan trauma, menyembuhkan autis dan seterusnya. Ia merupakan kursi kreativitas, jiwa, bahkan gagasan-gagasan besar. Semua ruang pemikiran dan kebaruan-kebaruannya masuk ke berbagai ranah untuk memberi ruang perluasan ilmu pengetahuan secara umum bahkan fungsi terapi.
Arjatmo Tjokronegoro dalam makalah ‘Prinsip dan Fenomena Biologis dalam Kehidupan’ (2002: 235-239) memaparkan secara detail perihal misteri kinerja otak kiri dan kinerja otak kanan. Bahwa dalam otak kita memiliki sistem komunikasi yang amat rumit, penyimpanan informasi-ingatan, berbagai perangkat afektif (alam perasaan) –bertindak aktif atau bertujuan yang halus-, kemampuan untuk memecahkan problem dan kemampuan untuk melakukan penyelidikan. Neokorteks ini sangat berhubungan dengan panca indera dan kecerdasan yang tinggi: berbicara, membaca, berpikir dan mencipta serta melakukan apresiasi.
Neokorteks otak terdiri dari empat lobus yaitu frontalis, temporalis, parietalis dan oksipitalis yang berfungsi untuk berbicara, mendengar, melihat dan meraba. Fungsi utama korteks frontalis adalah aktivitas motorik, intelektual, perencanaan konseptual, aspek kepribadian dan aspek produksi bahasa. Fungsi utama korteks tempoalis adalah bahasa, ingatan dan emosi. Fungsi utama parietalis adalah input visual, taktil dan auditorik. Lobus parietalis kiri memiliki peran dalam proses verbal dan lobus parietalis kanan berperan besar untuk proses visual-spasial. Dan, lobus oksipitalis merupakan korteks sensoris utama untuk input visual.
Pada tahun 1981, Dr. Roger Sperry dari Universitas California Amerika dikukuhkan dengan memperoleh hadiah Nobel dalam ilmu kedokteran untuk pekerjaan dan penelitian split cortext brain menjadi hemisfer kiri (otak kiri) dan hemisfer kanan (otak kanan) yang dipisahkan oleh fisura serebral longitudinal. Kedua belahan otak tersebut tak terpisah melainkan dihubungkan oleh jutaan jaringan neuron yang sangat kompleks, yakni antar kedua belahan otak ini secara terus-menerus terjadi pengiriman informasi secara bolak-balik. Digambarkan bahwa hemisfer kiri yang biasa disebut ‘otak akademik’ sebagai bagian otak yang rasional, realistis, logis namun memiliki kemampuan analitik, matematika, abstrak, simbolik, dan logistik. Otak kiri proses berpikirnya bersifat linier, runut, sekuensial dan sangat teratur untuk memproduksi kemampuan ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi auditorial, menempatkan detail dan fakta, fonetik, serta simbolisme. Sedangkan hemisfer kanan terlibat pada aktivitas kortikal perseptual, visual-spasial, artistik, musik, sintetik dan terlibat dengan persepsi dan ekspresi isi afektif. Bagian ini memiliki cara berpikir bersifat acak, tidak teratur, dan intuitif (bekerja dengan bayangan dan hubungan serta mengembangkan data yag masuk). Cara berpikirnya berkesusaian dengan cara-cara utuk mengetahui berbagai hal yang bersifat non-verbal seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang berkenaan dengan bagaimana merasakan suatu kehadiran, kesadaran spasial, pengenalan bentuk, pola, musik, irama, gerak, kepekaan warna, kreativitas, kepekaan intuisi, dan visualisasi. Disamping memiliki kemampuan mengorganisasikan pola dan perilaku juga memiliki kemampuan berkaitan dengan pemikiran konseptual, gagasan abstrak, cinta, keindahan, dan kesetiaan.
Kedua belahan otak kita sangatlah penting artinya dan harusnya kita dapat memanfaatkannya secara seimbang dengan begitu belajar menjadi terasa mudah, baik dalam pekerjaan maupun kehidupan sosial menjadi sempurna. Ketika menikmati musik, otak kiri menangkap syair lagu, mencerap dan menyelami kata demi kata syairnya, sedang otak kanan merespon dan memproses melodinya secara emosional. Terjadilah accelarated learning. Begitu pula ketika kita menikmati gambar, lukisan, patung, adegan performing art maupun film maka kedua peran otak kita bekerja sedapat mungkin seimbang.


Tabel perbandingan antara hemisfer kiri dan hemisfer kanan (dikutip dari buku Visi Baru Kehidupan, 2002: 237)

Kita hampir tak menyadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari, peranan otak kanan lebih tinggi (80%) ketimbang peranan otak kiri yang hanya sekitar (20%) saja. Jika kita memiliki habitus penggunaan kategori otak kiri dan tak melakukan upaya tertentu untuk merangsang aktivitas otak kanan maka terjadi ketidakseimbangan yang berakibat stres dan gangguan kesehatan mental sekaligus fisik buruk. Kehidupan seniman sungguh akan berbeda, karena pemberdayaan kinerja otak kanan selalu dipicu oleh serangkaian aktivitas yang bersifat refreshing meskipun dalam wilayah kerja serius. Semua itu memproduksi efek positif yang akan mendorong kekuatan otak untuk meraih kesuksesan dan kehormatan yang tinggi karena siklus aktif dan positif beredar di dalam atmosfer yang terus tumbuh, hidup, dan bergerak.
Pada proses kreatif, seorang seniman seleluasa mungkin mengeksplorasi kekuatan otak dengan sedikit memberikan treatment kejut dengan memikirkan, membayangkan, dan melakukan berbagai hal baru yang sama sekali tak pernah ia lakukan kendati sudah diekplorasi banyak orang. Efek kejut maupun guncangan pada saraf otak memiliki dampak fisik maupun psikologis yang positif dalam meremajakan, menguatkan, dan menajamkan kepekaan otak dalam mengolah kecerdasan sehingga menghasilkan output yang mencengangkan. Karena potensi otak kita dalam merespon sesuatu yang berkelebat (nyata maupun imajiner) pastilah berbeda cara pandang dan penggunaan metodenya yang sangat bergantung pada referensi (berkaitan dengan pengalaman empiris, literatural, kemampuan menyerap informasi, interpretasi visual atas pengalaman orang lain, dan fenomena kehidupan sehari-hari dengan latar sosio kultural) atau ground individual. Seni berada pada ruang bebas dan cair untuk membuka berbagai kemungkinan terbuka dengan berbagai tindakan eksperimentatif baik mencampur, memisah, menipiskan, menebalkan, mengeraskan, melunakan, mengiris, memotong, menyambung, mengurang, menambah, menekan, mengangkat bahkan membuangnya sama sekali dan merevitalisasi menjadi sesuatu yang baru. Kesadaran atas kebaruan-kebaruan ini menjadi picu kinerja otak dengan segenap jalinan pusat-pusat kecerdasan yang mengarah pada titik orientasi kreatif untuk memunculkan gagasan-gagasan baru yang lebih kontekstual dan fresh.

D. Revolusi: Shock Visual dan Penggelontoran Gagasan Imajinatif
Imajinasi dipetakan William C. Chittick (2001: 124) menjadi tiga tingkatan dasar: kosmos itu sendiri, alam makrokosmis antara dan mikrokosmis antara. Ciri yang paling menonjol adalah ambiguitas sifat dasarnya. Bayangan mimpi misalnya, penting untuk dijelaskan baik menurut pengalaman subjektif maupun muatan objektifnya bahwa bayangan mimpi tersebut bisa benar juga bisa tidak, karena bisa jadi menurut seseorang kejadian tertentu itu tampak sementara menurut orang lain tidak seperti yang pernah di nyatakan Ibnu ‘Arabi yang menyebut alam semesta dengan ‘imajinasi’. Ia memandang adanya status ambigu dari semua yang ada kecuali Tuhan dan fakta bahwa kosmos menampilkanNya seperti halnya bayangan dalam cermin yang mempresentasikan sebuah realitas tentang diri orang yang melihat pada cermin.
Imajinasi alam makrokosmis antara adalah alam antara yang ada di tengah-tengah dua makhluk yang fundamental, yakni alam spiritual dan alam badaniah. ‘Dunia atau Alam Imajinasi’ mikrokosmis digambarkan dengan ‘tidak/tidak juga’ atau ‘baik (keduanya)/maupun’. (Chittick, 2001: 124). Ambiguitas intrinsik dari alam imajinasi tampak membawa entitas-entitas ruhaniah ke dalam hubungan dengan entitas jasmaniah yakni dengan meberikan realitas psikis dengan atribut-atribut yang bersifat fisikal.
Rumusan-rumusan imajinasi di atas sudah barang tentu cukup berbeda dari konteks imajinasi yang kita bayangkan berkaitan dengan aktivitas seni apalagi pada konteks pendekatan proses penciptaan seni. Namun, di sini picu utama Ibnu ‘Arabi mengenai alam semesta sebagai imajinasi memberi kesadaran mental kita bahwa bagaimana sebuah persepsi dibangun begitu filosofis sementara aspek yang ditafsir dan diidentifikasi adalah sesuatu yang sebenar-benarnya realistis. Akarnya justru di sini, sebuah hentakan yang perlu perumusan-perumusan ulang mengenai imajinasi atas realitas yang terhampar begitu luas di semesta yang semula sesungguhnya representasi dari imajinasi Tuhan tentang semesta. Kita diberikan keluasan untuk melakukan eksplorasi dan interpretasi-interpretasi bebagai gejala yang mengemuka di alam semesta. Ketika semesta di dekati dengan kata imajinasi maka sesungguhnya teks ini menggiring interpretasi kita bahwa alam sebagai sumber inspirasi, sumber imajinasi, sumber nilai dan sumber aktivitas kreatif serta kebaruan-kebaruannya. Bukankah hampir semua ilmu pengetahuan yang juga dipicu oleh kekuatan imajinasi manusia bersumber dari berbagai gejala dan fenomena yang alam semesta sajikan ke hadapan manusia?
Kekuatan imajinasi mengilhami Newton membangun teori gravitasi karena apel yang jatuh di kebunnya, yang menggugah pikirannya bahwa buah apel tersebut telah ditarik ke bumi oleh gravitasi karena konsep ini sudah lama ada sebelum dia menyempurnakannya. Nah, yang menggugahnya saat itu adalah imajinasi bahwa daya gravitasi yang telah mencapai puncak pohon apel ini sebenarnya terus mencuat ke luar bumi hingga mencapai bulan; dan gravitasi ini pula yang telah menahan bulan itu dalam orbitnya. Dalam menindaklanjuti temuan imajinasinya Newton menangkap similaritas fenomena keduanya, mirip tapi tak serupa. Bukankah gerakan apel ke bumi dan gerakan bulan di angkasa luar memang tidak mirip sama sekali kendati di dalam gerakan-gerakan tersebut dia melihat dua ekspresi dari dua konsep tunggal yaitu gravitasi. Konsep penyatuan ini dapat dikualifikasikan oleh Newton sebagai sebuah kreasi bebas, orisinal, dan sesuatu yang tak lazim saat itu. Sama ketika Keppler, berusaha menguak misteri alam semesta 100 tahun sebelum Newton, merumuskan hukum-hukum gerakan planet melalui pandangan-pandangan imajinatif-kreatif bahwa ia tak memikirkan hal tersebut sebagai suatu keseimbangan dari neraca bank kosmis namun sebagai sebuah ungkapan dari adanya kesatuan dalam semua kenaturalan ‘unity in all nature’. Fakta ini hendak menyampaikan bagaimana proses penggelontoran gagasan imajinatif dilakukan secara spektakuler sebagai tonggak sejarah dan ilmu pengetahuan. Tanpa keberanian mengajukan hipotesis dan melakukan serangkaian kajian atau penelitian maka ilmu pengetahuan tak pernah lahir dan berkembang.
Dalam konteks sejarah kebudayaan landscape semesta juga menjadi picu utama kreativitas dan pengembaran imajinasi. Karya-karya legendaris lahir melalui proses kreatif yang panjang dan perjuangan ideologi estetika yang melelahkan. Begitu banyak hal yang dikorbankan mulai dari aspek waktu, orientasi pikiran, materi, dan mengorbankan kebahagiaan-kebahagiaan yang ditunda untuk memprioritaskan proses kreatifnya. Proses kreatif kemudian dapat dianggap melekat dengan proses hidup itu sendiri. Kepahaman dan pemahfuman ini diyakini sejak jamam klasik hingga era kontemporer. Dan, tetap menjadi bagian yang menarik untuk dibanggakan sebagai suatu identitas dan prestige.
Legendaris dunia Leonardo da Vinci, Rembrant van Rijn, Theodore Gericoul, Gustave Courbet dan J. Louis David adalah sedikit dari banyak seniman dunia yang memiliki ketangkasan dan serba bisa, manusia yang menguasai banyak hal mulai dari pengetahuan filsafat hingga kepiawaian teknik. Saat itu mereka ditempa dengan realitas yang memungkinkan untuk menggali dan menguasai berbagai pengetahuan teknik (bahan, material dan proses) termasuk teknik sederhana pembuatan warna yang diolahnya sendiri. Mereka berhadapan dengan tuntutan untuk menguasai ilmu kimia dan pengetahuan dasar teknologi. Kemudian bergeser dengan perkembangan jaman semua bahan dan teknologi dapat disediakan pasca-industri hingga saat ini seniman dibebaskan memilih dan menentukan penggunaan media apa saja untuk mewujudkan gagasan kreatifnya. Dari hal-hal yang bersifat materi yang melekat pada kata seni hingga pencanggihan aplikasi teknologi dalam mengeksekusi konsep seni yang diusung.
Fakta sebagai akibat logis dari zaman Renaisance munculnya revolusi intelektual, demokrasi, dan teknologi. (Djatiprambudi, 2009: 86). Revolusi intelektual berdampak pada mencuatnya perkembangan ilmu pengetahuan, revolusi demokrasi mengakibatkan atmosfer kebebasan berpikir dan bertindak masyarakat dunia melonjak, dan kemunculan revolusi teknologi membuka ruang baru pada masyarakat dunia pada era globalisasi hingga saat ini. Hal tersebut secara signifikan mempegaruhi pergulatan kreatif seniman sehingga banyak memunculkan faham seni lukis yang pada saat itu berkembang pesat, mulai dari kelahiran Neoklasikisme sampai Abstrak kemudian mencuatnya era postmodernisme atau seni kontemporer: Pop Art, Op Art, Super Realism, Happening Art dan Conceptual Art. Sebuah revolusi besar-besaran yang memberi pengaruh luar biasa pada kebebasan mempresentasikan konsepsi, pengayaan gagasan imajinatif, dukungan pencapaian ide secara teknologi, keliaran kreativitas ‘visual shock’, dan tanda penting perkembangan peta seni rupa dunia.
Pada era post-modernisme, peranan teknologi merambah kemana-mana termasuk melecutkan berbagai pergeseran konsep visual, pencapaian teknis, persilangan media yang sangat eksploratif dan melahirkan berbagai pandangan filsafat sehingga berdampak pada pergeseran perspektif estetika. Masing-masing seniman mengusung paradigma sendiri-sendiri sebagai langkah besarnya untuk strategi identifikasi yang mampu mencuri perhatian para filsof untuk mendekati cara berpikir dan kreativitasnya, misalnya kaum modernis yang mempersoalkan struktur dan konstruksi seperti Piet Mondrian, Adolf Loos, dan Brancusi. Ada pula yang menggali esensi bentuk sebut saja Picasso, Delaunay dan Branque, kemudian beberapa yang menawarkan persoalan bentuk biomorfik seperti W. Kandinsky, Joan Miro dan Paul Klee. Bisa kita amati juga pada konsep estetika Monet yang menawarkan pemikiran relasi cahaya dengan warna dan konsep Le Courbusier yang memanifestasikan elemen-elemen organik pada perencanaan konsep arsitektur.
Pada era kontemporer, konsep estetika secara ekstrim dilontarkan para perupa kontemporer dengan jargon anti estetika keselarasan yang mengedepankan untuk memperoleh seni dengan kehidupan. Picu ini berakibat positif dengan gairah luar biasa pada praktik-praktik seni eksperimental pasca–industri yang dituntaskan secara gila-gilaan oleh Christo, Joseph Beuys, Robert Morris, dan sederet avant garde dunia.
Konsep-konsep avant garde setengah abad kemudian membius kelompok Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia yakni sebuah gerakan kesenian yang tak lagi berusaha menyuguhkan ‘isme’ tertentu namun menonjolkan dimensi seni esperimental dan kebaruan gagasan dengan the ultimate purity. Konsep estetika bergeser dan runtuh satu persatu dengan bantahan-bantahan dengan kemunculan berbagai teori seni baru yang menjungkirbalikkan konsep dan fakta estetik dengan the end of art theory.
Imam Buchori dalam Djuli Djatiprambudi (2009: 88) mencatat beberapa paradigma penting yang menggejala; (1) penolakan faham unity dan harmoni karena dianggap mengisolasikan objek seni dengan kehidupan, (2) penolakan konsep ideal (seperti keindahan) sebagai unsur akhir seni, (3) penolakan sikap kontemplatif berseni, (4) penolakan pada disinterestedness. Tak ada batas antara objek seni dan kehidupan dengan menolak ‘mengagung-agungkan’ keunikan seni. Seni bukan ekspresi belaka namun aspirasi yang memiliki dua dimensi sekaligus yakni dimensi spiritual dan fungsional. Pandangan ini yang memicu kelahiran karya-karya happenning art dan conceptual art.
Jika dunia sebagai landscape terindah dari semua planet dalam sistem tata surya kita, maka ruang imajinasi, intuisi dan eksplorasi-eksplorasi estetik masih memiliki keluasan ruang untuk digali lebih jauh. Pengetahuan menjadi perincian-perincian metodik untuk mengelola medan kreatif dengan pengembaraan imajinasi dengan gagasan-gagasan baru dalam melakukan konstruksi kebaruan-kebaruan estetika. Visi baru bagi seorang seniman adalah tetap menjaga kegelisahan kreatif dan intensitas kreatif pada titik didih tertinggi. Shock visual menjadi sebuah tanda penting kebolehjadian ‘keniscayaan’ yang tak dapat ditolak. Semua lahir dan tumbuh bersama pembaharu sebagai jiwa jaman. Semacam nilai-nilai yang diperjuangkan untuk terus menemukan rumusan-rumusan terbaru. Bukankah sebuah ‘revolusi’ estetika lahir dari kegelisahan kreatif seorang seniman untuk menemukan idelogi estetika yang diidealkan.