Selasa, 13 Maret 2012

HIDUP ALA BARBIE

HIDUP ALA BARBIE

Ulasan the Making of an Icon

Oleh:

Rusnoto Susanto & Sakdiyah Makruf

I’m a Barbie girl,

In a Barbie world,

Life in plastic,

It’s fantastic

You can brush my hair

Undress me everywhere

Imagination…

Life is your creation..

(Barbie Girl-Aqua)

Plastik Paling Kondang

Siapa tak kenal Barbie? Boneka cantik dari Amerika ini adalah salah satu produk mainan yang paling terkenal di negara asalnya dan di seluruh dunia. Gretchen Morgenson dalam The Making of an Icon menyatakan bahwa kesuksesan dan popularitas Barbie dapat disejajarkan dengan Coca Cola dan Marlboro. Tentu sebuah prestasi extraordinary ketika produk mainan yang kebanyakan hanya dikonsumsi oleh segmen pasar tertentu -dalam hal ini anak-anak- dapat disejajarkan dengan produk konsumsi semua kalangan macam Coca Cola.

Kesuksesan ini sebenarnya bukan kesuksesan yang diraih dalam semalam. Dilahirkan di tahun 1950-an, Barbie mencapai masa keemasannya baru pada periode 1990-1996. Pada masa-masa tersebut, Barbie mendapat pengakuan luas bukan hanya dari media dan pasar, tetapi juga dari lembaga-lembaga prestisius seperti Los Angeles Craft & Folk Art Museum serta Smithsonian Institute. Sedemikian suksesnya Barbie, sampai-sampai ia berhasil ”mengalahkan” ikon perang vietnam dan ikon penjaga kepentingan Amerika di luar negeri, boneka G.I. Joe.

Apa yang membuat Barbie sedemikian populer? Salah satunya adalah usaha gigih dan kejeniusan tim Mattel dalam memanipulasi realitas, mengkonstrusi dan merekonstrusi kehidupan seorang Barbie. Menempatkan Barbie pada realitas kehidupan masyarakat Amerika dan masyarakat dunia pada umumnya hanya tugas awal yang telah mereka laksanakan. Selanjutnya, penggila Barbie-lah yang mengkreasikan 1001 kisah hidup Barbie. Tugas Mattel selanjutnya adalah menghubungkan kisah hidup masyarakat dunia yang senantiasa berubah (the popular) dengan Barbie untuk terus menerus menjamin kebaruannya. Kebaruan yang terus menerus inilah yang menjadi salah satu faktor yang mengukuhkan Barbie menjadi ikon popular culture abad ini.

Nenek yang Tak Pernah Tua

Usia Barbie sebenarnya tidak muda lagi, malah sudah nenek-nenek. Lahir di tahun 1950-an, Barbie mengarungi jaman dengan rambut pirang keemasan, mata biru, senyum mengembang, dan tubuh yang senantiasa kencang. Apakah sosok yang selamanya muda itu yang menjadi daya magnet Barbie? Bisa jadi.

Menjadi tua adalah issue tersendiri untuk perempuan. Industri kosmetik anti penuaan adalah industri beromset jutaan dollar setiap tahunnya. Ketakutan menjadi tua adalah salah satu dari sekian banyak socially constructed fear yang dimiliki perempuan. Barbie yang mengambil sosok “perempuan tercantik” versi Amerika kemudian menempati ruang dalam ilusi kemudaan pada diri perempuan. Sementara dalam real world, perempuan tidak akan mampu menghindari penuaan, Barbie world membuktikan sebaliknya. Grandma Barbie yang berusia lebih dari 50 tahun ini nyatanya forever young dan yang paling penting forever fresh.

Ilusi tentu tidak akan dapat diproduksi dan direproduksi hanya melalui seonggok boneka plastik dan Barbie bukan sekadar boneka plastik. Barbie adalah boneka yang bergerak dalam jiwa fashion, sementara fashion dihidupi oleh kebaruan. Dari sanalah ilusi kemudaan ini muncul. Barbie ternyata bukan nenek-nenek, dan ia tak akan pernah jadi nenek. Ia entitas yang selalu ada dalam setiap jaman dan muncul sebagai perwakilan jamannya. Ia yang sudah lama ada ini akan selalu ada dalam konteksnya yang baru di setiap era. Dengan demikian, ia akan selalu dekat dan punya hubungan dengan penggemarnya di setiap jaman.

Hubungan ini penting, karena fantasi dan ilusi sesungguhnya muncul berdasarkan pengalaman dan realitas. Orang yang tidak merasa terhubung dengan Barbie, tidak akan mampu mengkonstrusikan “hidup yang baru” bersama Barbienya. Dan karena fantasilah yang menjadi faktor penting larisnya Barbie, Mattel punya tim tersendiri untuk mekreasi dan rekreasi Barbie setiap saat. Lord dalam the Making of an Icon menyatakan bahwa ”Mattel has hundreds of people—designers, marketers, market researchers—whose full-time job it is continually to reinvent her by masterminding such cultural contradictions. These employees not only keep reinventing Barbie herself but also reconfigure her world so as to align it with what is currently popular. As a result, wherever anything is sold in many societies, Barbie is likely to be there or nearby.” Dimanapun Barbie dijual, ia akan selalu berada pada konteks masyarakatnya dan ia akan selalu dekat.

Ilusi Identitas

Barbie adalah boneka Amerika dengan gaya dan kecantikan yang ”disetujui” sebagai standar cantik Amerika. Namun, seperti yang dikatakan Lord diatas Barbie diciptakan untuk senantiasa cocok dalam masyarakat manapun dengan trend apapun. Maka, varian Barbie pun yang diproduksipun sangat beragam. Mulai dari Barbie kulit hitam untuk konsumsi masyarakat Amerika, sampai Barbie Minang dan Barbie Jilbab di Indonesia. Barbie pun kemudian diberi identitas yang dekat dengan konsumennya.

Persoalan yang muncul kemudian adalah satu boneka tidak bisa hadir dengan multi identitas. Di Amerika, saja blonde hair, blue eyes, dan glamorous life yang dipunyai Barbie sendiri masih kontroversial karena dianggap menciptakan ilusi identitas dan ilusi kecantikan tak tergapai yang menjebak anak-anak perempuan. Anak-anak perempuan kemudian diajak mengidentifikasi diri dengan apa yang dipakai Barbie dan bagaimana Barbie berpenampilan, dan lebih dari itu wujud Barbie sendiri. Hal ini berpotensi memunculkan krisis identitas diri.

Meskipun tidak berbicara secara spesifik tentang Barbie, namun potensi krisis yang sama ini pernah direflesikan Toni Morrison pada novelnya yang terkenal yaitu The Bluest Eyes. Dalam novel tersebut diceritakan nestapa anak perempuan kulit hitam yang merasa dirinya seolah bukan manusia karena ia tidak bermata biru. Jika ini persoalannya, Barbie juga punya varian kulit hitam, kulit kuning, kulit coklat yang akan membuat anak-anak kulit berwarna merasa dekat dengan Barbie. Tapi Barbie tetaplah Barbie. Perubahan kulit dan pakaian tidak serta merta membuat Barbie memiliki identitas genuine baru. Barbie hanya menampilkan ilusi akan identitas. Dibalik kulitnya yang hitam, kain songket keemasan, atau jilbabnya, tersimpan Barbie yang sama, Barbie yang merupakan ikon hedonistik dibungkus tubuh langsing tanpa cela.

Barbie: Ikon Hidup Mewah dan Mudah

Kelompok musik AQUA menggambarkan Barbie World sebagai dunia dimana kehidupan begitu fantastis dan dapat dirubah setiap saat, kapanpun diinginkan. Barbie adalah hidup ciptaan kita sendiri dengan segenap imajinasi kita. Benarkah, kita dapat berimajinasi sebebas-bebasnya dengan Barbie? Bisakah kita misalnya mengangankan Barbie kita sebagai sosok perempuan ilmuwan kuper pencipta senjata nuklir?

Barbie memang memungkinkan kita untuk berimajinasi, bahkan melarikan diri dari kehidupan nyata kita dengan menciptakan kehidupan baru bersama boneka-boneka kita. Namun, pada akhirnya yang kita lakukan bukan menciptakan kehidupan melainkan hanya mereproduksi citra-citra kemewahan dan kemudahan hidup. Mengapa kita tidak bebas berfantasi? Karena kehidupan ala Barbie tentu bergantung pada busana, aksesoris, dan tema-tema kehidupan yang disodorkan Mattel yang tentu saja muncul sebagai respon Mattel atas cita-cita utopis atas kehidupan yang serba senang, mudah, dan mewah.

Demikianlah Barbie diciptakan dan dijual oleh penciptanya serta diciptakan dan diproduksi ulang oleh konsumennya sehingga ia menjadi ikon dengan segenap kontradiksinya. Apakah strategi Mattel merupakan satu-satunya faktor yang membuat Barbie menjadi ikonik? Tentu tidak. Citraan dan ciptaan yang ditempatkan dalam masyarakat dan kemudian berevolusi bersama dengan masyarakat tersebut tentu senantiasa saling berinteraksi dalam kerangka relasi kuasa. Berbagai ilusi yang dideskripsikan diatas pun bukan muncul dari ruang hampa, tetapi muncul dari interaksi antara pengalaman masyarakat dan konstruksi sosial yang melingkupi masyarakat tersebut yang membuat Barbie ditolak atau diterima. Berdasarkan uraian tersebut, pertanyaan selanjutnya adalah:

  1. Mengapa Barbie baru mencapai masa keemasannya hampir 40 tahun setelah ia diciptakan?
  2. Bagaimana situasi sosial, budaya, politik, ekonomi masyarakat Amerika pada dekade 50’an sampai 80’an sehingga Barbie tidak banyak mendapat perhatian?
  3. Bagaimana situasi sosial, budaya, politik, ekonomi masyarakat Amerika pada dekade 90’an sehingga Barbie berhasil mengukuhkan dirinya sebagai ikon?

Selain pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas, menarik juga untuk lebih lanjut melakukan kajian tentang Barbie di Indonesia karena Indonesia adalah pasar potensial Barbie sekaligus pabrik Barbie dimana buruhnya bekerja keras untuk segenap ilusi kemewahan dan kecantikan Barbie dengan gaji bulanan yang bahkan belum cukup untuk membeli Barbie Calvin Klein.***

Barbie hanya diproduksi di China dan di Tangerang Indonesia.

THE IMITATION JOURNEY Menyoal Perjalanan Palsu Dalam Konteks Psikososial

THE IMITATION JOURNEY

Menyoal Perjalanan Palsu Dalam Konteks Psikososial

Netok Sawiji_Rusnoto Susanto, Kurator

Hey Jacky...jangan engkau bersedih
Hey Jacky...buang resah di hati

Karena ayahmu nanti pasti akan kembali
Tak sampai pagi hari dia pasti kembali

Hey Jacky...basuhlah debu di kaki
Hey Jacky...cepatlah tidur dan bermimpi

Terlihat air mata...bundamu di malam hari
Dengar ia berbisik...hanya engkau di hati
Hey Jacky...engkau tak sendiri...

[Teks syair lagu ‘Hey Jacky’, Boomerang]

Prolog

The Imitation Journey adalah tema penting yang dipresentasikan pada pameran tunggal Khadir Supartini. Pameran tunggal pertama ini menandai begitu pentingnya sebuah komitmen dan realita ideal yang jauh dari kepalsuan dalam peran sosial orang tua dan orang-orang terkasih kita dalam penjelajahan spiritual manusia dewasa ini. The Imitation Journey sering diidentikan secara radikal dengan term The Fake Journey. Namun presentasi pameran ini tak sekedar merefleksi ruang-ruang pengalaman empirisnya namun sebuah upaya mengurai dimensi yang mempertemukannya dengan realita yang berjarak dengan idealisasi-idealisasi umum. Khadir hendak melakukan eksplanasi pemikiran, kegelisahan, kegalauan, ketaknyamanannya berkaitan dengan eksistensi dan identitas dirinya secara psikologis. Ia segera menyampaikan secara lugas dengan elemen estetik mengenai realita yang berjarak dengan idealitas-idealitas dirinya yang secara umum orang lain menikmatinya sebagai perjalanan sejati tanpa kepalsuan.

Materi pameran yang dihadirkan sebagai representasi kerja intens seorang Khadir Supartini mengolah ikhwal perjalanan emosi yang dimanifestasikan ke dalam 15-17 karya lukisan dan 2 karya 3 dimensi dan instalasi. Khadir memanifestasikan sejumlah temuan fakta psikologis dan fakta sosial yang tak terbantahkan karena ia benar-benar merasakan pengalaman empirisnya menjadi picu lahirnya gagasan pameran ini. Ia dengan kesadaran psikologisnya membawa diri dan kehidupannya untuk menjumpai realita sosial yang kemudian baginya dianggap garis takdir. Garis tak terbantah. Garis dimana ia merasa sedang dikecoh dengan idealisasi hidup semu dengan role perjalanan palsu. Perjalanan dimana ia tetap belum mencapai titik terang kesejatian perjalanan itu sendiri. Sebuah komitmen perjalanan yang dikaburkan sejumlah alibi kebenaran sepihak.

Membaca Kembali Teks-Teks Visual pada Konteks Psikososial

Ketika membaca karya-karya Khadir Supartini dengan pencitraan ekspresif, menggugah, menggugat dan memiliki daya agresifitas tinggi terhadap berbagai persoalan sosial yang berakitan dengan pergolakan psikiisnya maka mengingatkan saya pada tinjauan psikologi sosial yang bisa membidik persoalan sosial dari aspek psikologis pada ruang-ruang terbatas. Psikososiologi gugus ilmu sosiologi yang berfokus pada tindakan sosial berskala mikro yang lazim memiliki kemelekatan dengan ‘miniaturisme sosiologis’, menilai keseluruhan masyarakat melalui studi pikiran, emosi dan kelakuan dari sekelompok kecil juga individu. (Stolte, John F; Fine, Gary Alan; Cook, Karen S., 2001: 387-413). Masalah khusus bagi sosiolog psikologi adalah cara menjelaskan berbagai jenis fakta demografi, sosial, dan budaya terhadap interaksi sosial manusia. Beberapa topik besar dalam bidang ini adalah ketidaksetaraan sosial, dinamika kelompok, prasangka, agresi, persepsi sosial, kelakuan kelompok, perubahan sosial, kelakuan nonlisan, sosialisasi, keselarasan, kepemimpinan, identitas sosial dan interaksionisme simbolis. Psikologi sosial dapat diajarkan dengan penekanan psikologis sebagai orientasi tinjauan kasus pada pengaruh sosial, persepsi dan interaksi sosial. Pada proses kreatif Khadir setidaknya bisa diduga kuat menggali kedalaman perihal tersebut dengan format presentasi format kognisi kontemporer pada karyanya akhir-akhir ini.

Pada tahun 1980an konsep kognisi sebagian besar mewarnai konsep sikap. Kognisi berfungsi menunjukkan adanya proses mental dalam diri seseorang sebelum melakukan tindakan. Teori kognisi kontemporer memandang manusia sebagai agen yang secara aktif menerima, menggunakan, memanipulasi, dan mengalihkan informasi. Kita secara aktif berpikir, membuat rencana, memecahkan masalah dan mengambil keputusan. Manusia memproses informasi dengan cara tertentu melalui struktur kognitif yang kemudian diberikan istilah ‘schame’ oleh Markus dan Zajon, 1985; Morgan dan Schwalbe, 1990; Fiske dan Taylor, 1991. Struktur tersebut berperan sebagai kerangka yang dapat menginterpretasikan pengalaman-pengalaman sosial yang kita miliki. Jadi struktur kognisi bisa membantu kita mencapai keterpaduan dengan lingkungan dan membantu kita untuk menyusun realitas sosial. Sistem ingatan yang kita miliki diasumsikan terdiri atas strukrur pengetahuan yang tak terhitung jumlahnya. Fritz Heider [1946-1958] memperkenalkan konsep ‘causal attribution’ sebuah proses penjelasan tentang penjelasan suatu perilaku. Penyebab internal (internal causality) merupakan atribut yang melekat pada karakteristik dan kualitas pribadi atau personal dan penyebab eksternal (external causality) terdapat dalam lingkungan.

Publikasi lain yang dianggap fenomenal dalam kelahiran psikologi sosial adalah tulisan dari Floyd Allport pada tahun 1924. Dalam tulisannya Allport terlihat berorientasi modern, setidaknya dalam padangan saat ini. Argumentasinya terbukti bahwa tingkah laku sosial berakar dari berbagai faktor, mulai dari kehadiran orang lain hingga penggunaan metode eksperimental untuk penelitian psikologi sosial. Ia juga mengangkat isu yang ternyata di kemudian hari masih diperbincangkan dan didiskusikan misalnya konformitas dan emosi seseorang yang terlihat dari ekspresi wajah. (Sarwono, 2009 : 8). Pada perkembangan psikologi, Kurt Lewin. Lewin dengan Teorinya Field Theori (teori lapangan) mengembangkan bagaimana perilaku terbentuk. Dia memberikan rumusan teoretis B = f (P,E). Tingkah laku (B: Behavioral) merupakan hasil dari fungsi (f) individu (P) dan lingkungan (E: Environment). Psikologi sosial juga merupakan pokok bahasan dalam sosiologi dikenal dua perspektif utama, yaitu perspektif struktural makro yang menekankan kajian struktur sosial, dan perspektif mikro yang menekankan pada kajian individualistik dan psikologi sosial dalam menjelaskan variasi perilaku manusia. Di American Sociological Association terdapat satu bagian yang dinamakan "social psychological section".

Pada presentasi karya mutakhirnya, Khadir hendak menuturkan sebuah kerinduan yang luar biasa dengan figur sang ayah yang tak pernah ditemuinya sejak ia kecil. Di sisi lain ia mengedepankan kecintaannya yang tak terbatas pada sang ibu yang baginya sebagai anugerah terindah dalam hidupnya. Dan, ia seolah hendak mempertemukan kembali antara dua figur terdekatnya yang melekat, mengalir dalam darahnya, dan mewarisi identitas yang ditempa dalam kesepian. Ia mengetengahkan sebuah penolakan terhadap realita perjalanan hidupnya yang sesungguhnya dianggap palsu belaka. Ia memiliki ayah yang tak pernah menampakkan sosok sebenarnya karena tak pernah dijumpainya, memiliki seorang ibu namun kebahagiaan tak diperolehnya sejak kanak-kanak, hanya perhatian kecil dan kasih sayang seadanya dirasakan justru dari neneknya yang berbeda rumah ketika ia menjalani masa kanak-kanak hingga kini.

Meskipun demikian Khadir begitu sangat memuja sosok ibu dalam kehidupannya. Ia senantiasa bangga dengan memberi imbuhan di belakang nama Khadir dengan nama ibunya yakni Supartini, ini sesuatu yang tak lazim karena kebanyakan orang akan bangga dengan nama belakang sebagai penanda trah nama seorang ayah. Pemujaan-pemujaannya terhadap ibu baginya menjadi bagian yang melekat pada sikap keseharian Khadir pada figur-figur ibu dan perempuan secara umum yang ia hormati. Kemudian iapun menggambarkan detail-detail dari pengalaman jiwa untuk selalu mencari titik temu sesuatu yang ia gelisahkan. Ia menerjemahkan hampir keseluruhan perjalanan hidupnya terasa palsu. Kita segera menemukan siratan psikologis semacam ini pada gejala visual yang dihamparkan penuh kekuatan emosi.

1. Pengembaraan Identitas Diri

Hasratnya menjumpai sang ayah sampai suatu hari ia sangat gelisah dan ingin menuruti keinginannya pergi ke Madinah Arab, negeri dimana sang ayah pergi meninggalkannya. Negeri yang selalu ia bayangkan mampu mempertemukannya dengan seseorang yang luar biasa ia harapkan dan banggakan. Seseorang yang membuka kisah, kebahagiaan, hasrat, harapan dan membentangkan perjalanan panjang kehidupannya. Ia sering menatap Arab dari balik jendela kamar tidur dan acapkali melongok Arab dari jalan setapak di tengah sawah-sawah sekitar rumah. Hasrat yang menggila tetapi baginya sangat wajar sebagai bentuk kerinduan seorang anak pada ayahnya kemudian terartikulasi pada red journey. Dorongan ini semata serpihan impian-impian yang tak terpuaskan sejak kanak-kanak.

‘Red Journey’, 180x610cm, Acrylic on Canvas, 2011

Pria macho keturunan Arab-Jawa ini sejak usia beberapa bulan, ketika ia belajar merangkak saja ia tak berkesempatan bertemu dengan Ayahnya yang konon kembali ke Madinah. Semenjak itu ia diasuh ibu dan neneknya. Kemudian pada usia 8 tahun ia benar-benar hidup sendiri yang hanya dipantau oleh neneknya karena ibunya memutuskan untuk menikah lagi dengan pria asli Jawa yang membawanya tinggal di tempat asalnya. Praktis Khadir hidup sendiri dalam rumah dan pergaulan sekitar kampungnya. Ia berada pada ruang bebas melakukan apa saja dan mau pulang jam berapa saja hingga usia remaja dan dewasa seperti sekarang ini. Hasratnya untuk menemui ayahnya tak padam yang tumbuh sejak puluhan tahun silam.

Cermati saja karya ‘Red Journey’, 180x610cm, Acrylic on Canvas, 2011, sebuah presentasi psikologis yang memiliki kedalaman emosional, bergerak lembut dengan kedalaman dan kekuatan untuk membedah kembali muatan memori mengenai sebuah perjalanan. Paparan visual mengenai perjalanan merah yang memiliki konotasi sebuah perjalanan yang dihampar dengan spirit cinta, kekuatan kasih sayang, pengharapan dan impian menemuan kehangatan oase yang membangkitkan kembali daya hidupnya. Perjalanan cinta untuk menemukan hakikatnya bukan sekedar perjalanan cinta dengan gelimang hasrat kepalsuan, seperti yang ia terima dari alam sebagai kodrat dan garis hidup. Pada setiap panel karya sesungguhnya memberi refleksi situasional dan kwalitas emosional yang diacu ke dalam konsep visual. Ia bertutur mengenai energi kebahagiaan meskipun kebahagiaan selalu tertunda dalam penggalan-penggalan ruang dan waktu. Ruang yang egosentris dan waktu yang melankolis.

Ia begitu sangat terwakili dengan lirik lagu ‘Hey Jacky’ Boomerang; “Hey Jacky...jangan engkau bersedih, Hey Jacky...buang resah di hati, Karena ayahmu nanti pasti akan kembali, Tak sampai pagi hari dia pasti kembali, Hey Jacky...basuhlah debu di kaki, Hey Jacky...cepatlah tidur dan bermimpi, Terlihat air mata...bundamu di malam hari, Dengar ia berbisik...hanya engkau di hati, Hey Jacky...engkau tak sendiri...”. Kemudian ia nyatakan bahwa ia merasa lagu tersebut seolah diciptakan untuknya walaupun lirik lagu itu diciptakan sebelum bertemu dengan pencipta lagu tersebut. Lirik pelipur lara yang baginya sangat meyakinkan dirinya bahwa ia tak lagi sendiri dalam membentangkan impian hidupnya. Titik-titik inilah yang sesungguhnya menjadi proses pendewasaan untuk menemukan bentangan rahasia dimensi organis yang terus-menerus bergerak memaknai setiap ruang yang kita jumpai. Presentasi karya sejenis juga ada pada karya ‘My father Head’, ‘My Father Head in My Head’, ‘Summertime’ dan ‘My Self Melancoly’.

2. Qattar: Impulse dan Landscape Seksualitas

Sekitar tujuh bulan Khadir Supartini tinggal di Qattar, negeri kecil nan kaya raya itu baginya menyimpan berbagai kejutan dan banyak hal yang ia tak mampu pahami. Pemandangan seluruh kota di pelosok negeri ini tak satupun ia temui perempuan membuka cadar apalagi jilbab dan gamisnya. Ia sesekali mengintip bentuk lekuk telinga atau dagu maupun leher seorang gadis Qattar, dadanya bergemuruh seolah libidonya melonjak. Lantas ia berpikir pantas saja penduduk pribumi Qattar memiliki libido tinggi dan memiliki 4-9 istri. Kehidupan poligami lazim dilakukan di sana yang kemudian secara kultural pandangan umum mengenai perempuan menjadi rendah.

Hampir setiap hari libur satu keluarga besar seorang suami dengan 4 orang istri dan belasan anaknya berjalan-jalan di pusat perbelanjaan dengan dandanan gemerlap. Kehanggatan dan kemesraan istri-istrinya serta keakraban anak-anaknya menjadi sajian pemandangan yang memesona mata. Tetapi masyarakat Qattar umumnya seorang laki-laki tak pernah puas dengan istri-istrinya yang banyak tersebut masih saja melakukan pelecehan seksual terhadap pegawai dan pembantu rumah tangganya. Kalau kita cermati, sejak dulu rata-rata nasib buruh perempuan di Timur Tengah khususnya di Qattar tak sedikit menjadi pelampiasan nafsu birahi kaum laki-laki baik majikan, adik laki-laki, kakak laki, mertua laki-laki majikannya maupun anak laki-laki majikan keluarga tersebut. Mulai dari pelecehan seksual, pemerkosaan hingga pembunuhan buruh migran perempuan. Selebihnya banyak frustrasi kemudian mengakhiri hidupnya dengan melompat dari apartemen maupun lantai tiga rumah majikannya, ada beberapa puluh menemui kasus-kasus pidana dan dihukum pancung.

‘I Have Many Bubble Gum’, 140x180cm, Acrylic on canvas, 2011

Seks sebuah representasi kenikmatan duniawi. Bisa kapan saja, di mana saja dan sama siapa saja hasrat semacam ini dilampiaskan. Tentu hal ini pandangan segelintir manusia yang tidak menghargai perdaban, tetapi secara permukaan hasrat seksual seperti itulah dorongannya. Praktis, nikmat, dan cepat menghilang begitu saja seperti gelembung udara yang tertiup angin; indah, mempesona, penuh sensasi dan cepat punah bersama udara bebas. Seakan kenikmatan dan kedalaman tak lagi pening namun kenikmatan dan kepuasan sesaat itulah yang menjadi ekstase. Dan, Khadir menggambarkan kritik tersebut melalui sebuah karya yang puitik pada karya ‘I Have Many Bubble Gum’, 140x180cm, Acrylic on canvas, 2011.

Lukisan ini merupakan penggambaran sehari-hari, ketika kita asyik mengejar impian dan pemuasan hasrat apapun termasuk hasrat seks. Sepintas bentuk bubble gum menyerupai stereotype kondom warna-warni dan bermacam rasa dengan konfigurasi eksotis. Representasi seseorang berpose nyaman, rileks, bergairah menikmati bubble gum yang berterbangan warna-warni melayang harmoni dan ritmis yang pada akhirnya menguap musnah. Kesadaran mengenai kesementaraan menjadi poin penting pada lukisan ini. Sesuatu yang indah, penuh pesona dan menawarkan kenikmatan serta kepuasan lahiriah biasanya cepat berlalu tanpa kedalaman. Ia hanya keriaan sementara, artifisial dan banal.

3. Persepsi, Imajinasi dan Aktualisasi Sebuah Identitas Sosial

Sebuah lukisan ‘Antara Ayah dan Ibuku Adalah Aku’, 200x400cm, Mixed media, 2011 yang sangat menonjol. Pada lukisan yang terdiri 3 panel berukuran besar di kanan-kiri dan pada panel diantaranya berukuran relatif lebih kecil. Ada beberapa benda penting dan berharga yang mengonstruksi persepsi dan imajinasinya mengenai sosok ayah yaitu sepotong baju gamis khas Timur Tengah dan sepasang sandal berukuran besar. Pada panel paling kiri bagi saya sangat mengejutkan. Rasa bangga dan kerinduan yang luar biasa pada sosok sang ayah kemudian ia membayangkan bahwa figurnya disandingkan dengan sosok ibu yang ia cintai. Sosok ibunya dilukiskan pada panel sebelah kanan. Dengan mengorbankan benda peninggalan ayahnya (baju gamis putih bergaris-garis dikolase diatas kanvas sebagai media ekspresi.

Antara Ayah dan Ibuku Adalah Aku’, 200x400cm, Mixed media, 2011

Tampaknya ia menanamkan kerinduan mendalam, kasih sayang berlebih, kegalauan, kebencian dan dendam dilampiaskan dengan sangat ekspresif. Garis-garis yang muncul mengesankan ketegasan pribadinya, rasa yang terepresentasi dengan lugas dan berbagai harapan yang kandas. Luapan jiwa meledak-ledak ketika ia mengeksplorasi baju gamis ayahnya yang ia hasratkan sebagai figur ayah yang sesungguhnya. Berbagai perasaan dan misteri yang dipendan serta dikubur dalam-dalam namun nuraninya berlawanan. Warna-warna kelabu cenderung mencitrakan atmosfer temaram, beberapa bagian pada baju gamis yang ditempelkan pada bidang kanvas dengan brushstroke terhampar liar mengisyaratkan sebuah atmosfer yang kosong, pejal dan tak terpecahkan. Atmosfer kejiwaan yang sengkarut ketika berada pada fokus itu, nyaris berada pada titik sebuah aktualisasi identitas diri yang terseret pada konstruksi psikologi sosial yang mengacaukan pikiran dan emosinya sejak kanak. Karena pada dasarnya seseorang dibentuk oleh interaksi namun demikian struktur sosial juga yang membangun interaksi tersebut. (Sheldon, 1980).

Di sisi yang lain, ia mempresentasikan sosok ibu dengan mengenakan kain tenun khas Timur Tengah yang diberikan sang ayah ke ibunya dulu. Kain kesayangan ibunya dan favorit ayahnya konon menurut ibunya justru dijadikan media ekspresi yang dilekatkan di atas kanvas. Khadir Supartini membayangkan kedua orang tuanya suatu saat yang sama mengenakan pakaian kenangan tersebut. Kedua pakaian ini konon menjadi favorit mereka untuk menghadiri acara-acara resmi. Ia merasakan kemesraan dan luapan cinta yang luar biasa kedua orang tuanya. Panel ini justru ia seolah tengah melantunkan puisi cinta, kasih sayang dan harapan. Paduan warna harmoni, ceria, dinamis dan mencuatkan daya hidup di sekujur panel ini. Garis dan warna yang muncul seolah sosok ibu sumber hidup dan cinta. Garis liris dan brushstroke lembutnya hendak menuturkan identitas pribadi sang ibu yang lembut, periang dan penuh kasih sayang.

Kemudian pada kedua sosok tersebut tepat pada posisi mata dan mulut terdapat garis tipis merah yang melintas menyeberangi posisi panel gelap yang lebih kecil seolah ada sebentuk interelasi spirit tertentu. Lintasan garis terhubung persis melambung di atas cakrawala. Garis yang menurut Khadir Supartini adalah representasi perasaan cinta, spirit kasih sayang dan sejumlah harapan yang dilesatkan. Dan, ia tetap tercenung berada di antara kedua sosok orang tuanya yang menempati ruang sosial berbeda. Ia berada pada ruang identitas ‘takdir’ seorang anak merajut asa dan menjumput makna hidup dari sebuah perjalanan ‘palsu’ itu. Namun, esensi dari perjalanan tersebut justru pada kehadiran identitas baru yang mengikat keduanya tetap ada dalam sejarah perjalanan hidup hingga saat ini yakni kehadiran identitas sosial ‘Khadir Supartini’. Khadir Supartini yang bangga melakukan sublimasi pertautan dua manusia dengan dua budaya, dua identitas dan dua latar belakang sosial melalui identitas sejarah yang diwariskan dengan hadiah terindah identitas dua kultur yakni ‘Khadir’ dan ‘Supartini’. Khadir merupakan nama hadiah terindah dari seorang ayah ‘Arab’ dan Supartini dijumput dari nama ibu dengan nama khas ‘Jawa’ itu. Secara psikologis maupun sosiologis maka Khadir Supartini tetap menemukan identitas diri dan identitas sosial yang terhormat.

4. Pertentangan dan Kristalisasi Realitas Hidup

Beberapa seri lukisannya mempresentasikan seseorang yang membawa kepala terpenggal. Figur kepala yang menyeret persepsi karakter seorang laki-laki Arab berkulit gelap dan berjenggot. Kepala yang ditenteng begitu saja mengekspresikan berbagai kesan; kesan kejengkelan, dendam, kerinduan dan kasih sayang melaui spirit pencarian identitas seorang ayah ‘I Love My Fathers Head’, 200x150cm, Acrylic on Canvas, 2011. Kemudian ada lukisan ‘Dog Family’ 140x300cm, acrylic on canvas, 2011 sebagai bentuk kritik terhadap pranta sosial yang berangkat dari rumusan identitas-identitas personal dalam keluarga (Dog Family sepintas sebuah landscape keluarga lucu, ideal dan harmonis namun ketika diucapkan dengan meninggikan intonasi maka menjadi ‘Keluarga Anjing..!!!’ hingga berubah menjadi makian) dan pada ‘Something Hank’, 200x180cm, Acrrylic on Canvas, 2011 sebagai ujud kristalisasi realitas hidupnya saat ini.

‘I Love My Fathers Head’, 200x150cm, Acrylic on Canvas, 2011

Pada suatu kesempatan di studionya secara singkat kita bicarakan perihal yang hidup dan tumbuh pada pribadinya di karya ‘I Love My Fathers Head’, 200x150cm, Acrylic on Canvas, 2011, saya melihat bahwa ia memiliki pengalaman pribadi yang mengesankan berkaitan dengan pengembaraan untuk menemukan identitasnya sebagai anak untuk menemukan sosok sang Ayah hingga ke Qattar. Sepeninggalnya di Qattar selama tujuh bulan meyakinkannya untuk meneruskan niatnya ke Medinah, dimana ayahnya menarik diri dari keluarga kecilnya di Jogja. Perhitungan emosionalnya untuk melompat ke Madinah tinggal di depan mata, namun ia urungkan karena tak memperoleh ijin sang ibu yang mendadak sakit karenanya. Ibunya merasa sangat shock. Ia sangat mengkhawatirkan ibunya kemudian tak lama sejak itu ia memutuskan pulang untuk menemui ibunya yang paling ia sayangi.

Berangkat dari cerita-cerita tetangganya mengenai figur ayahnya dulu, ia mengolah kekuatan imajinasinya untuk mempresentasikan secara visual sosok ayahnya sebagai bentuk kecintaan yang luar biasa. Figur merah (juga figur yang mempresentasikan red journey) membawa sepotong kepala berkarakter Timur Tengah dengan latar belakang kelabu bukan semata mengartikulasikan citra kesadisan dan sejenisnya. Namun, kita bisa segera mengkonstruksi interpretasi kita mengenai seseorang dengan kekuatan impian, cinta, pengharapan dan spirit meraih kebahagiaan menemukan kembali esensi jati dirinya. Jati diri yang mengalir dari darah sang ayah yang ia yakini akan diketemukan meski dalam perjalanannya masih tak menentu dan misteri. Kemanapun ia pergi yang ada di benaknya; kapan dan bagaimana caranya aku bisa menemukan ayahnya untuk melacak identitas sosialnya yang terputus. Ada semacam kehendak perjalanan yang jedah dari rangkaian perjalanan yang diidealkan oleh Khadir Supatini.

Luisan ini mengingatkan saya pada teks Father I want to Kill You petikan syair lagu ‘The End’ dari The Doors yang saat itu disenandungkan Khadir; ingin kubunuh ayahku dan ku tiduri ibuku. Teks tersebut kemudian menjadi dasar kuno psikoanalitik dan psikologi anak laki-laki. Tentu teks ini tak sekonyong-konyong mengisyaratkan realitas sesungguhnya. Sikap anak laki-laki terhadap seorang ayah acapkali terjadi rivalitas dan kompetitor maskulinitas entah pada wilayah perasaan, sikap maupun ideology sebagai laki-laki. Namun, ketika teks ‘ingin ku tiduri ibuku’ bisa diinterpretasikan sebuah kemelekatan hubungan emosional dan spiritualitas seorang anak dengan ibunya dalam jalinan kasih sayang serta cinta yang tak terperi. Hubungan seorang ibu dengan anak-anaknya jauh lebih melekat ketimbang perasaan seorang ayah terhadap anak-anaknya.

5. The Imitation Journey: Narasi, Representasi dan Reinterpretasi The Soul Trajectory

Sebuah representasi The Imitation Journey yang paling kuat kemunculan tema ini adalah ketika kita berada pada ruang totalitas kesadaran mengenai problem eksistensial maka tampak jelas. Bahwa sesungguhnya diri kita sedang merefleksikan apa-apa yang hidup dalam jiwa kita seputar problem presentasi. Problem dasar ini kemudian merambah pada kegelisahan problem representasi, ekspresi diri dan kekacauan kita berhadapan pada sistem organis manusia secara umum yakni reinterpretasi konstruksi The Soul Trajectory. Kemudian lahirnya kesadaran bahwa sesuatu ada karena sebuah gejala yang kita pahami atau malahan gejala-gejala yang tak sanggup kita pahami. Sebuah lintasan jiwa kita temui pada karya-karya Khadir yang mengemukakan ikhwal jiwanya yang tak menentu.

‘Something Hank’, 200x180cm, Acrrylic on Canvas, 2011

Tampak kian menegas pandangan ini terhadap kemuculan karya ‘Something Hank’, 200x180cm, Acrrylic on Canvas, 2011, kehadiran suatu gumpalan merah yang menggantung di langit-langit hitam berlubang seluas langit-langit tersebut dengan bayangan menghitam dihimpit ruang abu-abu yang kosong dengan hamparan bercak noda dan darah di hampir semua bagian. Sudut dalam ruangan yang tak teratur, usang dan mencekam. Seolah ia tengah menuturkan problem eksistensi dengan atmosfer semacam ini. Karya tersebut menguatkan dugaan saya mengenai sisi representasi keseluruhan problem yang diusung Khadir Supartini dalam mengelola problem eksistensi, emosi, perasaan, pengalaman, kekuatan obsesi dan mencuatkan tesis-tesis dirinya mengenai perihal identitas yang kemudian memposisikan dirinya pada ruang galau.

Ia benar-benar menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan situasi psikologis dan problem sosiologis yang tak memunculkan kejelasan. Semua tampak menjadi sesuatu yang semrawut, menggumpal seperti gulungan benang yang kusut. Sosok yang menggantung dan nyata hidup dalam petak ruang abu-abu yang melesukan dan mematikan spirit. Pola presentasinya mengisyaratkan semangatnya untuk mendedah berbagai situasi yang abu-abu itu dan mengurai sesuatu yang menggumpal, bergulung-gulung dan semrawut. Khadir memiliki kehendak yang cukup meyakinkan untuk mengurainya menjadi jalinan-jalinan temali yang terpola dan terstruktur meskipun berada pada dimensi dramatisasi yang tak terhindarkan.

Slipping in and Out Dreams’, 140x220cm, Mixed Media, 2012

Sisi yang berbeda dengan narasi yang secara mengesankan pada ‘Slipping in and Out Dreams’, 140x220cm, Mixed Media, 2012. Karya yang bukan saja menyerupai selembar daun pintu yang di lukis di kedua sisinya namun satu tanda penting diantara tanda penting lainnya. Sebuah proses aktualisasi identitas melalui pertemuannya dengan seseorang yang terus-menerus berada dalam mimpinya. Teks tergelincir atau istilah puitisnya menyelinap ke dalam dan keluar dari mimpi setidaknya mampu menjadi pintu masuk untuk menggali lebih jauh mengenai kedalaman karya ini. Karya ini memberi paparan visual antara seorang ayah dan ibu yang dinyatakan Khadir bahwa, pintu sebagai media keluar masuk dimana ibu selalu setia menanti karena ibu jika pergi ia akan selalu kembali tetapi jika ayah datang justru untuk pergi. Ia tengah menyampaikan satu pernyataan realistis mengenai sejumlah peristiwa yang pada akhirnya bermuara pada realitas bukan lagi sekedar impian. Kesadaran untuk keluar dari mimpi saja sudah memberi isyarat filosofis bahwa kita diajak untuk keluar dari keterbuaian mimpi dan segera keluar untuk menatap lebih benderang realita yang hidup disekitar kita. Sebuah realita yang terus tumbuh.

Pada satu sisi pintu lekat dengan visualisasi maskulinitas dan sebaliknya mencuat citra tubuh feminin. Tubuh maskulin tampil dengan ketelanjangan namun pada tubuh feminin tampil bergaun panjang, anggun, sahaja dan terhormat. Satu fakta baru lagi yang melengkapi argumentasi Khadir tentang penghormatannya pada sosok perempuan dengan atribut identitas individu, identitas sosial, harkat, martabat dan lengkap dengan tata nilai sosial lainnya. Relasi maskulinitas dan femininitas menjadi ruang perenungan, sesuatu yang menggugah dan memberikan ruh bagi daya hidup bagi sekitarnya. Ini sebentuk reinterpretasi spiritual dalam mencerap nilai the imitation journey, dengan mengalihkan energi negatif untuk selalu berhadap-hadapan dengan kenyataan yang menipu dengan memberdayakan potensi enegi positif tubuh dan sistem kerja otak kita melalui presentasi estetik yang substantif.

Epilog

Ruang komunikasi visual ini dipresentasikan atas sebuah kesadaran berbagi kesadaran personal dan sosial. Kesadaran merespon realitas untuk menumbuhkan kesadaran-kesadaran yang bergerak dan organis di dalamnya. Kehendak menangkap esensi bentangan pengalaman empiris yang menjadi bagian hidupnya dan juga bisa saja menjadi referensi bagi orang lain yang memiliki sejarah kehidupan yang sejenis. Khadir mengaktualisasikan sejumlah temuan data psikologis dan realita sosial yang tak terbantahkan dari pengalaman empirisnya yang menjadi picu kegelisahan kreatifnya. Eksplorasi kesadaran psikologisnya membawa diri dan kehidupannya untuk menjumpai realita sosial yang kemudian baginya dianggap garis takdir. Sebuah titik dimana ia harus melakukan peran kecil tapi sangat penting sebagai pelaku dari sebuah rangkaian panjang perjalanan yang dianggap hanya mengimitasi dan palsu. Garis dimana ia merasa sedang dikecoh dengan idealisasi hidup semu dengan role perjalanan palsu. Narasi ini yang kemudian kelak mengantar Khadir Supartini mencapai titik terang kesejatian perjalanan itu sendiri. Bukan lagi sebuah komitmen perjalanan yang dikaburkan sejumlah alibi kebenaran sepihak namun ia segera menjadi bagian yang memiliki kesadaran dan kekuatan untuk menafsir ulang the imitation journey menjadi the reality journey.

Pameran ini tentu menjadi sederhana untuk sebuah pencapain besar seorang perupa yang berniat besar untuk mendedikasikan diri dan kehidupannya untuk berkesenian. Karena berkesenian sesungguhnya bukan pilihan yang bisa dipilah-pilih sebegitu sederhana. Saya meletakan harapan besar pada karya-karya Khadir Supartini agar dapat menjadi pijakan yang kokoh untuk proses kreatif selanjutnya, menjadi bagian penting dalam menempuh dunia profesi yang segera diukirnya, menjadi picu untuk meledakkan kegelisahan kreatifnya, dan mampu memberi inspirasi bagi penikmat karya-karyanya.

Netok Sawiji_Rusnoto Susanto

Kurator Independen-Mahasiswa Program Doctor di PPs ISI Yogjakarta

Referensi:

Costanzo, Philip R. and Shaw, Marvin E. (1985), Theories of Sosial Psychology, Second Edition, McGraw-Hill, Inc

Goldenberg, Sheldon (1987), Thinking Sociologically, Wadsworth, Inc

Stolte, John F; Fine, Gary Alan; Cook, Karen S. (2001). ‘Sociological Miniaturism: Seeing The Big Through The Small in Social Psychology’. Annual Review of Sociology vol. 27: pp. 387–413.

Wirawan, Sarlito (2009), Psikologi Sosial, Jakarta: Salemba Humanika

Wrightsman, Lawrence S. and Daux, Kay (1988), Social Psychology, Fifth Edition, Wadsworth, Inc

Wiggins, james A., Wiggins, Bevely B. and Zanden, James Vander (1994), Social Psychology, Fifth Edition, McGraw-Hill, Inc

THE IMITATION JOURNEY Menyoal Perjalanan Palsu Dalam Konteks Psikososial

THE IMITATION JOURNEY

Menyoal Perjalanan Palsu Dalam Konteks Psikososial

Netok Sawiji_Rusnoto Susanto, Kurator

Hey Jacky...jangan engkau bersedih
Hey Jacky...buang resah di hati

Karena ayahmu nanti pasti akan kembali
Tak sampai pagi hari dia pasti kembali

Hey Jacky...basuhlah debu di kaki
Hey Jacky...cepatlah tidur dan bermimpi

Terlihat air mata...bundamu di malam hari
Dengar ia berbisik...hanya engkau di hati
Hey Jacky...engkau tak sendiri...

[Teks syair lagu ‘Hey Jacky’, Boomerang]

Prolog

The Imitation Journey adalah tema penting yang dipresentasikan pada pameran tunggal Khadir Supartini. Pameran tunggal pertama ini menandai begitu pentingnya sebuah komitmen dan realita ideal yang jauh dari kepalsuan dalam peran sosial orang tua dan orang-orang terkasih kita dalam penjelajahan spiritual manusia dewasa ini. The Imitation Journey sering diidentikan secara radikal dengan term The Fake Journey. Namun presentasi pameran ini tak sekedar merefleksi ruang-ruang pengalaman empirisnya namun sebuah upaya mengurai dimensi yang mempertemukannya dengan realita yang berjarak dengan idealisasi-idealisasi umum. Khadir hendak melakukan eksplanasi pemikiran, kegelisahan, kegalauan, ketaknyamanannya berkaitan dengan eksistensi dan identitas dirinya secara psikologis. Ia segera menyampaikan secara lugas dengan elemen estetik mengenai realita yang berjarak dengan idealitas-idealitas dirinya yang secara umum orang lain menikmatinya sebagai perjalanan sejati tanpa kepalsuan.

Materi pameran yang dihadirkan sebagai representasi kerja intens seorang Khadir Supartini mengolah ikhwal perjalanan emosi yang dimanifestasikan ke dalam 15-17 karya lukisan dan 2 karya 3 dimensi dan instalasi. Khadir memanifestasikan sejumlah temuan fakta psikologis dan fakta sosial yang tak terbantahkan karena ia benar-benar merasakan pengalaman empirisnya menjadi picu lahirnya gagasan pameran ini. Ia dengan kesadaran psikologisnya membawa diri dan kehidupannya untuk menjumpai realita sosial yang kemudian baginya dianggap garis takdir. Garis tak terbantah. Garis dimana ia merasa sedang dikecoh dengan idealisasi hidup semu dengan role perjalanan palsu. Perjalanan dimana ia tetap belum mencapai titik terang kesejatian perjalanan itu sendiri. Sebuah komitmen perjalanan yang dikaburkan sejumlah alibi kebenaran sepihak.

Membaca Kembali Teks-Teks Visual pada Konteks Psikososial

Ketika membaca karya-karya Khadir Supartini dengan pencitraan ekspresif, menggugah, menggugat dan memiliki daya agresifitas tinggi terhadap berbagai persoalan sosial yang berakitan dengan pergolakan psikiisnya maka mengingatkan saya pada tinjauan psikologi sosial yang bisa membidik persoalan sosial dari aspek psikologis pada ruang-ruang terbatas. Psikososiologi gugus ilmu sosiologi yang berfokus pada tindakan sosial berskala mikro yang lazim memiliki kemelekatan dengan ‘miniaturisme sosiologis’, menilai keseluruhan masyarakat melalui studi pikiran, emosi dan kelakuan dari sekelompok kecil juga individu. (Stolte, John F; Fine, Gary Alan; Cook, Karen S., 2001: 387-413). Masalah khusus bagi sosiolog psikologi adalah cara menjelaskan berbagai jenis fakta demografi, sosial, dan budaya terhadap interaksi sosial manusia. Beberapa topik besar dalam bidang ini adalah ketidaksetaraan sosial, dinamika kelompok, prasangka, agresi, persepsi sosial, kelakuan kelompok, perubahan sosial, kelakuan nonlisan, sosialisasi, keselarasan, kepemimpinan, identitas sosial dan interaksionisme simbolis. Psikologi sosial dapat diajarkan dengan penekanan psikologis sebagai orientasi tinjauan kasus pada pengaruh sosial, persepsi dan interaksi sosial. Pada proses kreatif Khadir setidaknya bisa diduga kuat menggali kedalaman perihal tersebut dengan format presentasi format kognisi kontemporer pada karyanya akhir-akhir ini.

Pada tahun 1980an konsep kognisi sebagian besar mewarnai konsep sikap. Kognisi berfungsi menunjukkan adanya proses mental dalam diri seseorang sebelum melakukan tindakan. Teori kognisi kontemporer memandang manusia sebagai agen yang secara aktif menerima, menggunakan, memanipulasi, dan mengalihkan informasi. Kita secara aktif berpikir, membuat rencana, memecahkan masalah dan mengambil keputusan. Manusia memproses informasi dengan cara tertentu melalui struktur kognitif yang kemudian diberikan istilah ‘schame’ oleh Markus dan Zajon, 1985; Morgan dan Schwalbe, 1990; Fiske dan Taylor, 1991. Struktur tersebut berperan sebagai kerangka yang dapat menginterpretasikan pengalaman-pengalaman sosial yang kita miliki. Jadi struktur kognisi bisa membantu kita mencapai keterpaduan dengan lingkungan dan membantu kita untuk menyusun realitas sosial. Sistem ingatan yang kita miliki diasumsikan terdiri atas strukrur pengetahuan yang tak terhitung jumlahnya. Fritz Heider [1946-1958] memperkenalkan konsep ‘causal attribution’ sebuah proses penjelasan tentang penjelasan suatu perilaku. Penyebab internal (internal causality) merupakan atribut yang melekat pada karakteristik dan kualitas pribadi atau personal dan penyebab eksternal (external causality) terdapat dalam lingkungan.

Publikasi lain yang dianggap fenomenal dalam kelahiran psikologi sosial adalah tulisan dari Floyd Allport pada tahun 1924. Dalam tulisannya Allport terlihat berorientasi modern, setidaknya dalam padangan saat ini. Argumentasinya terbukti bahwa tingkah laku sosial berakar dari berbagai faktor, mulai dari kehadiran orang lain hingga penggunaan metode eksperimental untuk penelitian psikologi sosial. Ia juga mengangkat isu yang ternyata di kemudian hari masih diperbincangkan dan didiskusikan misalnya konformitas dan emosi seseorang yang terlihat dari ekspresi wajah. (Sarwono, 2009 : 8). Pada perkembangan psikologi, Kurt Lewin. Lewin dengan Teorinya Field Theori (teori lapangan) mengembangkan bagaimana perilaku terbentuk. Dia memberikan rumusan teoretis B = f (P,E). Tingkah laku (B: Behavioral) merupakan hasil dari fungsi (f) individu (P) dan lingkungan (E: Environment). Psikologi sosial juga merupakan pokok bahasan dalam sosiologi dikenal dua perspektif utama, yaitu perspektif struktural makro yang menekankan kajian struktur sosial, dan perspektif mikro yang menekankan pada kajian individualistik dan psikologi sosial dalam menjelaskan variasi perilaku manusia. Di American Sociological Association terdapat satu bagian yang dinamakan "social psychological section".

Pada presentasi karya mutakhirnya, Khadir hendak menuturkan sebuah kerinduan yang luar biasa dengan figur sang ayah yang tak pernah ditemuinya sejak ia kecil. Di sisi lain ia mengedepankan kecintaannya yang tak terbatas pada sang ibu yang baginya sebagai anugerah terindah dalam hidupnya. Dan, ia seolah hendak mempertemukan kembali antara dua figur terdekatnya yang melekat, mengalir dalam darahnya, dan mewarisi identitas yang ditempa dalam kesepian. Ia mengetengahkan sebuah penolakan terhadap realita perjalanan hidupnya yang sesungguhnya dianggap palsu belaka. Ia memiliki ayah yang tak pernah menampakkan sosok sebenarnya karena tak pernah dijumpainya, memiliki seorang ibu namun kebahagiaan tak diperolehnya sejak kanak-kanak, hanya perhatian kecil dan kasih sayang seadanya dirasakan justru dari neneknya yang berbeda rumah ketika ia menjalani masa kanak-kanak hingga kini.

Meskipun demikian Khadir begitu sangat memuja sosok ibu dalam kehidupannya. Ia senantiasa bangga dengan memberi imbuhan di belakang nama Khadir dengan nama ibunya yakni Supartini, ini sesuatu yang tak lazim karena kebanyakan orang akan bangga dengan nama belakang sebagai penanda trah nama seorang ayah. Pemujaan-pemujaannya terhadap ibu baginya menjadi bagian yang melekat pada sikap keseharian Khadir pada figur-figur ibu dan perempuan secara umum yang ia hormati. Kemudian iapun menggambarkan detail-detail dari pengalaman jiwa untuk selalu mencari titik temu sesuatu yang ia gelisahkan. Ia menerjemahkan hampir keseluruhan perjalanan hidupnya terasa palsu. Kita segera menemukan siratan psikologis semacam ini pada gejala visual yang dihamparkan penuh kekuatan emosi.

1. Pengembaraan Identitas Diri

Hasratnya menjumpai sang ayah sampai suatu hari ia sangat gelisah dan ingin menuruti keinginannya pergi ke Madinah Arab, negeri dimana sang ayah pergi meninggalkannya. Negeri yang selalu ia bayangkan mampu mempertemukannya dengan seseorang yang luar biasa ia harapkan dan banggakan. Seseorang yang membuka kisah, kebahagiaan, hasrat, harapan dan membentangkan perjalanan panjang kehidupannya. Ia sering menatap Arab dari balik jendela kamar tidur dan acapkali melongok Arab dari jalan setapak di tengah sawah-sawah sekitar rumah. Hasrat yang menggila tetapi baginya sangat wajar sebagai bentuk kerinduan seorang anak pada ayahnya kemudian terartikulasi pada red journey. Dorongan ini semata serpihan impian-impian yang tak terpuaskan sejak kanak-kanak.

‘Red Journey’, 180x610cm, Acrylic on Canvas, 2011

Pria macho keturunan Arab-Jawa ini sejak usia beberapa bulan, ketika ia belajar merangkak saja ia tak berkesempatan bertemu dengan Ayahnya yang konon kembali ke Madinah. Semenjak itu ia diasuh ibu dan neneknya. Kemudian pada usia 8 tahun ia benar-benar hidup sendiri yang hanya dipantau oleh neneknya karena ibunya memutuskan untuk menikah lagi dengan pria asli Jawa yang membawanya tinggal di tempat asalnya. Praktis Khadir hidup sendiri dalam rumah dan pergaulan sekitar kampungnya. Ia berada pada ruang bebas melakukan apa saja dan mau pulang jam berapa saja hingga usia remaja dan dewasa seperti sekarang ini. Hasratnya untuk menemui ayahnya tak padam yang tumbuh sejak puluhan tahun silam.

Cermati saja karya ‘Red Journey’, 180x610cm, Acrylic on Canvas, 2011, sebuah presentasi psikologis yang memiliki kedalaman emosional, bergerak lembut dengan kedalaman dan kekuatan untuk membedah kembali muatan memori mengenai sebuah perjalanan. Paparan visual mengenai perjalanan merah yang memiliki konotasi sebuah perjalanan yang dihampar dengan spirit cinta, kekuatan kasih sayang, pengharapan dan impian menemuan kehangatan oase yang membangkitkan kembali daya hidupnya. Perjalanan cinta untuk menemukan hakikatnya bukan sekedar perjalanan cinta dengan gelimang hasrat kepalsuan, seperti yang ia terima dari alam sebagai kodrat dan garis hidup. Pada setiap panel karya sesungguhnya memberi refleksi situasional dan kwalitas emosional yang diacu ke dalam konsep visual. Ia bertutur mengenai energi kebahagiaan meskipun kebahagiaan selalu tertunda dalam penggalan-penggalan ruang dan waktu. Ruang yang egosentris dan waktu yang melankolis.

Ia begitu sangat terwakili dengan lirik lagu ‘Hey Jacky’ Boomerang; “Hey Jacky...jangan engkau bersedih, Hey Jacky...buang resah di hati, Karena ayahmu nanti pasti akan kembali, Tak sampai pagi hari dia pasti kembali, Hey Jacky...basuhlah debu di kaki, Hey Jacky...cepatlah tidur dan bermimpi, Terlihat air mata...bundamu di malam hari, Dengar ia berbisik...hanya engkau di hati, Hey Jacky...engkau tak sendiri...”. Kemudian ia nyatakan bahwa ia merasa lagu tersebut seolah diciptakan untuknya walaupun lirik lagu itu diciptakan sebelum bertemu dengan pencipta lagu tersebut. Lirik pelipur lara yang baginya sangat meyakinkan dirinya bahwa ia tak lagi sendiri dalam membentangkan impian hidupnya. Titik-titik inilah yang sesungguhnya menjadi proses pendewasaan untuk menemukan bentangan rahasia dimensi organis yang terus-menerus bergerak memaknai setiap ruang yang kita jumpai. Presentasi karya sejenis juga ada pada karya ‘My father Head’, ‘My Father Head in My Head’, ‘Summertime’ dan ‘My Self Melancoly’.

2. Qattar: Impulse dan Landscape Seksualitas

Sekitar tujuh bulan Khadir Supartini tinggal di Qattar, negeri kecil nan kaya raya itu baginya menyimpan berbagai kejutan dan banyak hal yang ia tak mampu pahami. Pemandangan seluruh kota di pelosok negeri ini tak satupun ia temui perempuan membuka cadar apalagi jilbab dan gamisnya. Ia sesekali mengintip bentuk lekuk telinga atau dagu maupun leher seorang gadis Qattar, dadanya bergemuruh seolah libidonya melonjak. Lantas ia berpikir pantas saja penduduk pribumi Qattar memiliki libido tinggi dan memiliki 4-9 istri. Kehidupan poligami lazim dilakukan di sana yang kemudian secara kultural pandangan umum mengenai perempuan menjadi rendah.

Hampir setiap hari libur satu keluarga besar seorang suami dengan 4 orang istri dan belasan anaknya berjalan-jalan di pusat perbelanjaan dengan dandanan gemerlap. Kehanggatan dan kemesraan istri-istrinya serta keakraban anak-anaknya menjadi sajian pemandangan yang memesona mata. Tetapi masyarakat Qattar umumnya seorang laki-laki tak pernah puas dengan istri-istrinya yang banyak tersebut masih saja melakukan pelecehan seksual terhadap pegawai dan pembantu rumah tangganya. Kalau kita cermati, sejak dulu rata-rata nasib buruh perempuan di Timur Tengah khususnya di Qattar tak sedikit menjadi pelampiasan nafsu birahi kaum laki-laki baik majikan, adik laki-laki, kakak laki, mertua laki-laki majikannya maupun anak laki-laki majikan keluarga tersebut. Mulai dari pelecehan seksual, pemerkosaan hingga pembunuhan buruh migran perempuan. Selebihnya banyak frustrasi kemudian mengakhiri hidupnya dengan melompat dari apartemen maupun lantai tiga rumah majikannya, ada beberapa puluh menemui kasus-kasus pidana dan dihukum pancung.

‘I Have Many Bubble Gum’, 140x180cm, Acrylic on canvas, 2011

Seks sebuah representasi kenikmatan duniawi. Bisa kapan saja, di mana saja dan sama siapa saja hasrat semacam ini dilampiaskan. Tentu hal ini pandangan segelintir manusia yang tidak menghargai perdaban, tetapi secara permukaan hasrat seksual seperti itulah dorongannya. Praktis, nikmat, dan cepat menghilang begitu saja seperti gelembung udara yang tertiup angin; indah, mempesona, penuh sensasi dan cepat punah bersama udara bebas. Seakan kenikmatan dan kedalaman tak lagi pening namun kenikmatan dan kepuasan sesaat itulah yang menjadi ekstase. Dan, Khadir menggambarkan kritik tersebut melalui sebuah karya yang puitik pada karya ‘I Have Many Bubble Gum’, 140x180cm, Acrylic on canvas, 2011.

Lukisan ini merupakan penggambaran sehari-hari, ketika kita asyik mengejar impian dan pemuasan hasrat apapun termasuk hasrat seks. Sepintas bentuk bubble gum menyerupai stereotype kondom warna-warni dan bermacam rasa dengan konfigurasi eksotis. Representasi seseorang berpose nyaman, rileks, bergairah menikmati bubble gum yang berterbangan warna-warni melayang harmoni dan ritmis yang pada akhirnya menguap musnah. Kesadaran mengenai kesementaraan menjadi poin penting pada lukisan ini. Sesuatu yang indah, penuh pesona dan menawarkan kenikmatan serta kepuasan lahiriah biasanya cepat berlalu tanpa kedalaman. Ia hanya keriaan sementara, artifisial dan banal.

3. Persepsi, Imajinasi dan Aktualisasi Sebuah Identitas Sosial

Sebuah lukisan ‘Antara Ayah dan Ibuku Adalah Aku’, 200x400cm, Mixed media, 2011 yang sangat menonjol. Pada lukisan yang terdiri 3 panel berukuran besar di kanan-kiri dan pada panel diantaranya berukuran relatif lebih kecil. Ada beberapa benda penting dan berharga yang mengonstruksi persepsi dan imajinasinya mengenai sosok ayah yaitu sepotong baju gamis khas Timur Tengah dan sepasang sandal berukuran besar. Pada panel paling kiri bagi saya sangat mengejutkan. Rasa bangga dan kerinduan yang luar biasa pada sosok sang ayah kemudian ia membayangkan bahwa figurnya disandingkan dengan sosok ibu yang ia cintai. Sosok ibunya dilukiskan pada panel sebelah kanan. Dengan mengorbankan benda peninggalan ayahnya (baju gamis putih bergaris-garis dikolase diatas kanvas sebagai media ekspresi.

Antara Ayah dan Ibuku Adalah Aku’, 200x400cm, Mixed media, 2011

Tampaknya ia menanamkan kerinduan mendalam, kasih sayang berlebih, kegalauan, kebencian dan dendam dilampiaskan dengan sangat ekspresif. Garis-garis yang muncul mengesankan ketegasan pribadinya, rasa yang terepresentasi dengan lugas dan berbagai harapan yang kandas. Luapan jiwa meledak-ledak ketika ia mengeksplorasi baju gamis ayahnya yang ia hasratkan sebagai figur ayah yang sesungguhnya. Berbagai perasaan dan misteri yang dipendan serta dikubur dalam-dalam namun nuraninya berlawanan. Warna-warna kelabu cenderung mencitrakan atmosfer temaram, beberapa bagian pada baju gamis yang ditempelkan pada bidang kanvas dengan brushstroke terhampar liar mengisyaratkan sebuah atmosfer yang kosong, pejal dan tak terpecahkan. Atmosfer kejiwaan yang sengkarut ketika berada pada fokus itu, nyaris berada pada titik sebuah aktualisasi identitas diri yang terseret pada konstruksi psikologi sosial yang mengacaukan pikiran dan emosinya sejak kanak. Karena pada dasarnya seseorang dibentuk oleh interaksi namun demikian struktur sosial juga yang membangun interaksi tersebut. (Sheldon, 1980).

Di sisi yang lain, ia mempresentasikan sosok ibu dengan mengenakan kain tenun khas Timur Tengah yang diberikan sang ayah ke ibunya dulu. Kain kesayangan ibunya dan favorit ayahnya konon menurut ibunya justru dijadikan media ekspresi yang dilekatkan di atas kanvas. Khadir Supartini membayangkan kedua orang tuanya suatu saat yang sama mengenakan pakaian kenangan tersebut. Kedua pakaian ini konon menjadi favorit mereka untuk menghadiri acara-acara resmi. Ia merasakan kemesraan dan luapan cinta yang luar biasa kedua orang tuanya. Panel ini justru ia seolah tengah melantunkan puisi cinta, kasih sayang dan harapan. Paduan warna harmoni, ceria, dinamis dan mencuatkan daya hidup di sekujur panel ini. Garis dan warna yang muncul seolah sosok ibu sumber hidup dan cinta. Garis liris dan brushstroke lembutnya hendak menuturkan identitas pribadi sang ibu yang lembut, periang dan penuh kasih sayang.

Kemudian pada kedua sosok tersebut tepat pada posisi mata dan mulut terdapat garis tipis merah yang melintas menyeberangi posisi panel gelap yang lebih kecil seolah ada sebentuk interelasi spirit tertentu. Lintasan garis terhubung persis melambung di atas cakrawala. Garis yang menurut Khadir Supartini adalah representasi perasaan cinta, spirit kasih sayang dan sejumlah harapan yang dilesatkan. Dan, ia tetap tercenung berada di antara kedua sosok orang tuanya yang menempati ruang sosial berbeda. Ia berada pada ruang identitas ‘takdir’ seorang anak merajut asa dan menjumput makna hidup dari sebuah perjalanan ‘palsu’ itu. Namun, esensi dari perjalanan tersebut justru pada kehadiran identitas baru yang mengikat keduanya tetap ada dalam sejarah perjalanan hidup hingga saat ini yakni kehadiran identitas sosial ‘Khadir Supartini’. Khadir Supartini yang bangga melakukan sublimasi pertautan dua manusia dengan dua budaya, dua identitas dan dua latar belakang sosial melalui identitas sejarah yang diwariskan dengan hadiah terindah identitas dua kultur yakni ‘Khadir’ dan ‘Supartini’. Khadir merupakan nama hadiah terindah dari seorang ayah ‘Arab’ dan Supartini dijumput dari nama ibu dengan nama khas ‘Jawa’ itu. Secara psikologis maupun sosiologis maka Khadir Supartini tetap menemukan identitas diri dan identitas sosial yang terhormat.

4. Pertentangan dan Kristalisasi Realitas Hidup

Beberapa seri lukisannya mempresentasikan seseorang yang membawa kepala terpenggal. Figur kepala yang menyeret persepsi karakter seorang laki-laki Arab berkulit gelap dan berjenggot. Kepala yang ditenteng begitu saja mengekspresikan berbagai kesan; kesan kejengkelan, dendam, kerinduan dan kasih sayang melaui spirit pencarian identitas seorang ayah ‘I Love My Fathers Head’, 200x150cm, Acrylic on Canvas, 2011. Kemudian ada lukisan ‘Dog Family’ 140x300cm, acrylic on canvas, 2011 sebagai bentuk kritik terhadap pranta sosial yang berangkat dari rumusan identitas-identitas personal dalam keluarga (Dog Family sepintas sebuah landscape keluarga lucu, ideal dan harmonis namun ketika diucapkan dengan meninggikan intonasi maka menjadi ‘Keluarga Anjing..!!!’ hingga berubah menjadi makian) dan pada ‘Something Hank’, 200x180cm, Acrrylic on Canvas, 2011 sebagai ujud kristalisasi realitas hidupnya saat ini.

‘I Love My Fathers Head’, 200x150cm, Acrylic on Canvas, 2011

Pada suatu kesempatan di studionya secara singkat kita bicarakan perihal yang hidup dan tumbuh pada pribadinya di karya ‘I Love My Fathers Head’, 200x150cm, Acrylic on Canvas, 2011, saya melihat bahwa ia memiliki pengalaman pribadi yang mengesankan berkaitan dengan pengembaraan untuk menemukan identitasnya sebagai anak untuk menemukan sosok sang Ayah hingga ke Qattar. Sepeninggalnya di Qattar selama tujuh bulan meyakinkannya untuk meneruskan niatnya ke Medinah, dimana ayahnya menarik diri dari keluarga kecilnya di Jogja. Perhitungan emosionalnya untuk melompat ke Madinah tinggal di depan mata, namun ia urungkan karena tak memperoleh ijin sang ibu yang mendadak sakit karenanya. Ibunya merasa sangat shock. Ia sangat mengkhawatirkan ibunya kemudian tak lama sejak itu ia memutuskan pulang untuk menemui ibunya yang paling ia sayangi.

Berangkat dari cerita-cerita tetangganya mengenai figur ayahnya dulu, ia mengolah kekuatan imajinasinya untuk mempresentasikan secara visual sosok ayahnya sebagai bentuk kecintaan yang luar biasa. Figur merah (juga figur yang mempresentasikan red journey) membawa sepotong kepala berkarakter Timur Tengah dengan latar belakang kelabu bukan semata mengartikulasikan citra kesadisan dan sejenisnya. Namun, kita bisa segera mengkonstruksi interpretasi kita mengenai seseorang dengan kekuatan impian, cinta, pengharapan dan spirit meraih kebahagiaan menemukan kembali esensi jati dirinya. Jati diri yang mengalir dari darah sang ayah yang ia yakini akan diketemukan meski dalam perjalanannya masih tak menentu dan misteri. Kemanapun ia pergi yang ada di benaknya; kapan dan bagaimana caranya aku bisa menemukan ayahnya untuk melacak identitas sosialnya yang terputus. Ada semacam kehendak perjalanan yang jedah dari rangkaian perjalanan yang diidealkan oleh Khadir Supatini.

Luisan ini mengingatkan saya pada teks Father I want to Kill You petikan syair lagu ‘The End’ dari The Doors yang saat itu disenandungkan Khadir; ingin kubunuh ayahku dan ku tiduri ibuku. Teks tersebut kemudian menjadi dasar kuno psikoanalitik dan psikologi anak laki-laki. Tentu teks ini tak sekonyong-konyong mengisyaratkan realitas sesungguhnya. Sikap anak laki-laki terhadap seorang ayah acapkali terjadi rivalitas dan kompetitor maskulinitas entah pada wilayah perasaan, sikap maupun ideology sebagai laki-laki. Namun, ketika teks ‘ingin ku tiduri ibuku’ bisa diinterpretasikan sebuah kemelekatan hubungan emosional dan spiritualitas seorang anak dengan ibunya dalam jalinan kasih sayang serta cinta yang tak terperi. Hubungan seorang ibu dengan anak-anaknya jauh lebih melekat ketimbang perasaan seorang ayah terhadap anak-anaknya.

5. The Imitation Journey: Narasi, Representasi dan Reinterpretasi The Soul Trajectory

Sebuah representasi The Imitation Journey yang paling kuat kemunculan tema ini adalah ketika kita berada pada ruang totalitas kesadaran mengenai problem eksistensial maka tampak jelas. Bahwa sesungguhnya diri kita sedang merefleksikan apa-apa yang hidup dalam jiwa kita seputar problem presentasi. Problem dasar ini kemudian merambah pada kegelisahan problem representasi, ekspresi diri dan kekacauan kita berhadapan pada sistem organis manusia secara umum yakni reinterpretasi konstruksi The Soul Trajectory. Kemudian lahirnya kesadaran bahwa sesuatu ada karena sebuah gejala yang kita pahami atau malahan gejala-gejala yang tak sanggup kita pahami. Sebuah lintasan jiwa kita temui pada karya-karya Khadir yang mengemukakan ikhwal jiwanya yang tak menentu.

‘Something Hank’, 200x180cm, Acrrylic on Canvas, 2011

Tampak kian menegas pandangan ini terhadap kemuculan karya ‘Something Hank’, 200x180cm, Acrrylic on Canvas, 2011, kehadiran suatu gumpalan merah yang menggantung di langit-langit hitam berlubang seluas langit-langit tersebut dengan bayangan menghitam dihimpit ruang abu-abu yang kosong dengan hamparan bercak noda dan darah di hampir semua bagian. Sudut dalam ruangan yang tak teratur, usang dan mencekam. Seolah ia tengah menuturkan problem eksistensi dengan atmosfer semacam ini. Karya tersebut menguatkan dugaan saya mengenai sisi representasi keseluruhan problem yang diusung Khadir Supartini dalam mengelola problem eksistensi, emosi, perasaan, pengalaman, kekuatan obsesi dan mencuatkan tesis-tesis dirinya mengenai perihal identitas yang kemudian memposisikan dirinya pada ruang galau.

Ia benar-benar menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan situasi psikologis dan problem sosiologis yang tak memunculkan kejelasan. Semua tampak menjadi sesuatu yang semrawut, menggumpal seperti gulungan benang yang kusut. Sosok yang menggantung dan nyata hidup dalam petak ruang abu-abu yang melesukan dan mematikan spirit. Pola presentasinya mengisyaratkan semangatnya untuk mendedah berbagai situasi yang abu-abu itu dan mengurai sesuatu yang menggumpal, bergulung-gulung dan semrawut. Khadir memiliki kehendak yang cukup meyakinkan untuk mengurainya menjadi jalinan-jalinan temali yang terpola dan terstruktur meskipun berada pada dimensi dramatisasi yang tak terhindarkan.

Slipping in and Out Dreams’, 140x220cm, Mixed Media, 2012

Sisi yang berbeda dengan narasi yang secara mengesankan pada ‘Slipping in and Out Dreams’, 140x220cm, Mixed Media, 2012. Karya yang bukan saja menyerupai selembar daun pintu yang di lukis di kedua sisinya namun satu tanda penting diantara tanda penting lainnya. Sebuah proses aktualisasi identitas melalui pertemuannya dengan seseorang yang terus-menerus berada dalam mimpinya. Teks tergelincir atau istilah puitisnya menyelinap ke dalam dan keluar dari mimpi setidaknya mampu menjadi pintu masuk untuk menggali lebih jauh mengenai kedalaman karya ini. Karya ini memberi paparan visual antara seorang ayah dan ibu yang dinyatakan Khadir bahwa, pintu sebagai media keluar masuk dimana ibu selalu setia menanti karena ibu jika pergi ia akan selalu kembali tetapi jika ayah datang justru untuk pergi. Ia tengah menyampaikan satu pernyataan realistis mengenai sejumlah peristiwa yang pada akhirnya bermuara pada realitas bukan lagi sekedar impian. Kesadaran untuk keluar dari mimpi saja sudah memberi isyarat filosofis bahwa kita diajak untuk keluar dari keterbuaian mimpi dan segera keluar untuk menatap lebih benderang realita yang hidup disekitar kita. Sebuah realita yang terus tumbuh.

Pada satu sisi pintu lekat dengan visualisasi maskulinitas dan sebaliknya mencuat citra tubuh feminin. Tubuh maskulin tampil dengan ketelanjangan namun pada tubuh feminin tampil bergaun panjang, anggun, sahaja dan terhormat. Satu fakta baru lagi yang melengkapi argumentasi Khadir tentang penghormatannya pada sosok perempuan dengan atribut identitas individu, identitas sosial, harkat, martabat dan lengkap dengan tata nilai sosial lainnya. Relasi maskulinitas dan femininitas menjadi ruang perenungan, sesuatu yang menggugah dan memberikan ruh bagi daya hidup bagi sekitarnya. Ini sebentuk reinterpretasi spiritual dalam mencerap nilai the imitation journey, dengan mengalihkan energi negatif untuk selalu berhadap-hadapan dengan kenyataan yang menipu dengan memberdayakan potensi enegi positif tubuh dan sistem kerja otak kita melalui presentasi estetik yang substantif.

Epilog

Ruang komunikasi visual ini dipresentasikan atas sebuah kesadaran berbagi kesadaran personal dan sosial. Kesadaran merespon realitas untuk menumbuhkan kesadaran-kesadaran yang bergerak dan organis di dalamnya. Kehendak menangkap esensi bentangan pengalaman empiris yang menjadi bagian hidupnya dan juga bisa saja menjadi referensi bagi orang lain yang memiliki sejarah kehidupan yang sejenis. Khadir mengaktualisasikan sejumlah temuan data psikologis dan realita sosial yang tak terbantahkan dari pengalaman empirisnya yang menjadi picu kegelisahan kreatifnya. Eksplorasi kesadaran psikologisnya membawa diri dan kehidupannya untuk menjumpai realita sosial yang kemudian baginya dianggap garis takdir. Sebuah titik dimana ia harus melakukan peran kecil tapi sangat penting sebagai pelaku dari sebuah rangkaian panjang perjalanan yang dianggap hanya mengimitasi dan palsu. Garis dimana ia merasa sedang dikecoh dengan idealisasi hidup semu dengan role perjalanan palsu. Narasi ini yang kemudian kelak mengantar Khadir Supartini mencapai titik terang kesejatian perjalanan itu sendiri. Bukan lagi sebuah komitmen perjalanan yang dikaburkan sejumlah alibi kebenaran sepihak namun ia segera menjadi bagian yang memiliki kesadaran dan kekuatan untuk menafsir ulang the imitation journey menjadi the reality journey.

Pameran ini tentu menjadi sederhana untuk sebuah pencapain besar seorang perupa yang berniat besar untuk mendedikasikan diri dan kehidupannya untuk berkesenian. Karena berkesenian sesungguhnya bukan pilihan yang bisa dipilah-pilih sebegitu sederhana. Saya meletakan harapan besar pada karya-karya Khadir Supartini agar dapat menjadi pijakan yang kokoh untuk proses kreatif selanjutnya, menjadi bagian penting dalam menempuh dunia profesi yang segera diukirnya, menjadi picu untuk meledakkan kegelisahan kreatifnya, dan mampu memberi inspirasi bagi penikmat karya-karyanya.

Netok Sawiji_Rusnoto Susanto

Kurator Independen-Mahasiswa Program Doctor di PPs ISI Yogjakarta

Referensi:

Costanzo, Philip R. and Shaw, Marvin E. (1985), Theories of Sosial Psychology, Second Edition, McGraw-Hill, Inc

Goldenberg, Sheldon (1987), Thinking Sociologically, Wadsworth, Inc

Stolte, John F; Fine, Gary Alan; Cook, Karen S. (2001). ‘Sociological Miniaturism: Seeing The Big Through The Small in Social Psychology’. Annual Review of Sociology vol. 27: pp. 387–413.

Wirawan, Sarlito (2009), Psikologi Sosial, Jakarta: Salemba Humanika

Wrightsman, Lawrence S. and Daux, Kay (1988), Social Psychology, Fifth Edition, Wadsworth, Inc

Wiggins, james A., Wiggins, Bevely B. and Zanden, James Vander (1994), Social Psychology, Fifth Edition, McGraw-Hill, Inc