Minggu, 22 Juli 2012

Bagian IV Transformasi Lompatan Quantum, Eksplorasi Media, dan Estetika Futuristik

Bagian IV
Transformasi Lompatan Quantum, Eksplorasi Media, dan Estetika Futuristik 

Kita belum memaksimalkan dan melakukan transformasi kinerja otak kita. Kemampuan otak dapat mengguncang dunia dan mendorong proses perubahan. [Dr. Yhosse Alberto]


A.     Transformasi Lompatan Quantum dan Eksplorasi Media
Mencermati pertumbuhan, perkembangan teknologi komunikasi, dan pencanggihan teknologi simulasi cybernetic sangat pesat dalam kurun 5-10 tahun terakhir khususnya dalam membangun dan mengembangkan jejaring internet yang dengan cepat menjadi tren masyarakat masa kini kendati memiliki efek simulasi tinggi dan bersifat manipulatif.   Setiap saat ruang imajiner begitu ugal-ugalan dieksplorasi sebagai area surfing menjelajah hasrat dalam ruang tanpa batas, mulai informasi politik, hiburan, pendidikan, bisnis, perniagaan, networking, jejaring sosial sampai eksplorasi identitas-identitas baru yang serba palsu.  Banyak peristiwa penting dunia yang digerakkan oleh sistem jejaring sosial dalam ruang praktik cyberspace bahkan sebuah kudeta politik dan peruntuhan kekuasaan status Quo di beberapa negara diktator bisa dimobilisasi melalui sistem jejaring sosial.
Hal tersebut berbanding lurus pada peran cybernetic dengan berbagai aspek yang muncul sebagai sebuah konsekuensi perubahan sistem sosio-kultural.  Ketika dunia virtual mendominasi dunia realitas sehingga dapat dikatakan menjadi semacam ‘alam atau dunia kedua’ masyarakat kontemporer.  Jalur-jalur informasi bebas menyergap pada ruang aktivitas kapan saja dan di mana saja untuk menikmati fenomena global dengan pemanfaatan ruang elektronis pada serabut optik (fibre optic) berkecepatan cahaya begitu luar biasa yang interaksinya kian abai pada eksistensi fisik.  Visi urban kemudian melekat pada budaya sebagai bagian yang terintegrasi dengan perkembangan masyarakat kontemporer.  Kecenderungan hidup semacam ini berada dalam pengaruh cyberspace dan idealisasi virtual space yang mengkristal secara laten pada masyarakat dunia akhir-akhir ini.
Pada era globalisasi dan era digitalisasi dimana teknologi komunikasi simulasi menjadi candu masyarakat dunia merupakan sebuah konsekuensi logis.  Sebuah era yang menerobos semua aspek kehidupan yang menggerakkan kekuatan imajinasi penduduk dunia dengan sistem networking dan penyedia layanan jaringan yang luar biasa termasuk kemampuannya menggerakan arah kebudayaan dunia yang paling kontemporer sekalipun.  Fenomena ini sesungguhnya sebuah transformasi mekanis yang hidup, tumbuh, dan bergerak sebagai manifestasi masyarakat dunia yang hibrid untuk melakukan lompatan quantum.  Perubahan besar-besaran hanya ditransformasikan melalui signal yang memuat miliaran data base seluruh dunia berada dalam media jejaring yang sangat populer yakni internet.  Internet hanya salah satu kasus penting dunia sebagai produk cybercultures dalam mengubah perilaku, gaya hidup dan cara pandang.  Sehingga memunculkan jargon konsumerisme, internet menjadikan dunia dalam genggaman.
Era baru yang menuntut pemberdayaan potensi (diri) kreatif manusia yang lebih dari sekedar memadai.  Kita memerlukan sejumlah metode-metode penggalian diri yang lebih bersifat progresif revolusioner untuk mampu menghadapi tantangan dan bergerak berkesesuaian dengan spirit jiwa jaman.  Spirit keberanian mengakses berbagai potensi dan menyediakan ruang probabilitas untuk mengakomodir self development dan peluang lompatan quantum. Kemampuan menangkap gejala yang berkembang di dunia dalam mentransformasi lompatan quantum sebagai bagian penting referensi kita untuk melakukan lompatan batasan yang imajinatif.
Saya teringat diskusi seru saya dengan seorang penggila cybernetic dan Master of Arts pengkaji American Studies, Sakdiyah Maruf mengenai materi novel 1984 karya emas George Orwell, yang sesungguhnya sudah diduga Gramsci mengenai hegemoni dan represi sebagai dasar teori kritis sosio-kultural.  Pada novel tersebut memaparkan cerita yang mirip-mirip yang dialami dunia sekarang ini ‘the totalitarian nightmare’ yang bukan berasal dari pemerintahan yang otoriter tapi dari hal-hal yang sering dibicarakan banyak orang selama ini.  Di dalam buku (novel) tersebut ada kamus Bahasa Inggris baru terbitan pemerintah yang namanya Newspeak.  Isinya kata-kata istilah bahasa Ingris standar yang disingkat-singkat tidak keruan.  Nah di awal, pemerintah otoriter itu menghanguskan semua buku dan sumber ilmu yang membahayakan partai tapi setelah masyarakat terbiasa dengan newspeak.  
Novel itu bisa saja beredar kembali toh orang-orang sudah tidak bisa memahami karena mereka sudah menggunakan bahasa yang beda dan pada akhirnya tidak akan ada lagi pemberontakan.  Sama halnya dengan anak-anak juga masyarakat sekarang dengan kemunculan new media technology yang kemudian memunculkan ‘bahasa baru’ dengan segala model kata singkatan dan istilah-istilah gaul baru muncul.  Pada suatu hari, kalau arus ini tidak di counter, satu generasi akan kehilangan kemampuan bicara dan menulis kemudian memberontak maka tunduklah mereka pada kekuatan-kekuatan represif (apapun itu bentuknya).  Yang lebih mengerikan lagi bentuk represi yang paling dahsyat jika ada consent of the oppressed yang diduga Gramsci, jika sudah begini tidak ada yang merasa tertindas lagi.  Perubahan ini sebagai ekses perkembangan teknologi digital, televisi, koran, majalah, radio, internet, dan lainnya.  Kecenderungan masyarakat mengadaptasi ‘bahkan mengadopsi’, salah satunya budaya konsumerisme sebagai hegemoni budaya, dan sosial yang terus-menerus berkembang dan mengikis nilai-nilai budaya lokal bahkan terancam punah. 
Televisi merupakan produk budaya pop yang pengaruhnya sangat besar di masyarakat.  Melalui televisi, masyarakat mulai meniru berbagai hal: gaya berbahasa, gaya berbusana, gaya hidup, dan pola pikir.  Dampaknya, terjadi perubahan sosial dan esensi nilai-nilai budaya lokal lenyap.  Kapitalisme sebagai penguasaan alat produksi oleh kaum pemilik modal, dan diproduksi semaksimal mungkin untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, secara tidak sadar, budaya konsumerisme dan hegemoni kapitalistik tumbuh subur di Indonesia.  Dasawarsa 1920-an dan 1930-an merupakan titik balik penting yang diingatkan Dominic Strinati (2003: 4) bawa dalam kajian dan evaluasi budaya popular dimulai dari munculnya sinema dan radio produksi massal dan konsumsi kebudayaan, bangkitnya fasisme dan kematangan demokrasi liberal di sejumlah negara barat, semuanya memainkan peran dan memunculkan perdebatan atas budaya massa.
Grafik pengguna produk cybernetic (tv, hp, PDA, IPhone, monitor capsule IPad, Android, Blackberry, email, tweeter, friendster, face book, badoo dan lainnya) berada pada peringkat dominasi tertinggi di Indonesia.  Fakta bahwa negeri ini sebagai bagian dari masyarrakat dunia yang konsumtif.  Pengguna jejaring sosial yang mewabah akhir-akhir ini memiliki motif sebagai media komunikasi ‘silaturahmi’ semata dengan teman lama untuk romantisme atau menggilainya dengan motif-motif tertentu hingga berselancar membangun jaringan bisnis.  Pola ini bergerak dengan pasti menunjukkan disposisi budaya Jawa dalam konteks kesadaran eksistensi dan kesadaran humanistik antar-pengguna.  Hilangnya tradisi anggah-ungguh, tepo seliro, sowan, sungkeman dengan orang tua saat Idhul Fitri yang tergantikan serta merta secara mekanis dengan fasilitas cybernetic.  Situasi ini lazim dipraktikan pada berbagai perayaan keagamaan hingga momen ulang tahun.    
 Pada wacana neurofisiologis, model cybernetic telah dipergunakan untuk mengurai dan menjelaskan secara rinci berbagai aspek dari kerja otak.   Model cybernetic telah digunakan dalam embriologi sejak awal 1950-an.  Lima model cakupan kerja otak pada model cybernetic yang khusus yakni;
1)    model untuk jaringan saraf disederhanakan, terutama yang mewakili proses perseptual;
2)    model statistik untuk osilasi kompleks dan peraturan aktivitas saraf nyata;
3)    algoritma model yang berkaitan atau rencana untuk proses pengkondisian;
4)    model untuk mekanisme yang bertanggung jawab untuk menjaga dan mengarahkan perhatian;
5)    dan model untuk perubahan secara terperinci apa-apa yang terjadi di persimpangan sinapsis antara neuron.
Di luar kerja otak, prinsip cybernetic banyak digunakan untuk menjelaskan kontrol fungsi tubuh dalam proses otonom (hormon yang dimediasi sistem pengaturan, pengendalian otot, dan sebagainya) dalam jumlah yang sangat mengejutkan mengingat besar biologi molekuler dan bio-kimia bersandar pada model yang menggambarkan organisasi dari berbagai sistem enzim dan kontrol hirarki sintesis enzim.  Dibutuhkan tipe penjelasan yang menjanjikan untuk memiliki utilitas lebih lanjut yang berhubungan dengan instruksi kode genetik untuk mengidentifiaksi aspek ekonomi selular. 
Cybernetic dalam konteks psikologi menjelaskan beberapa klasifikasi perilaku dan aspek kognisi dalam hirarki sistem kontrol yang sebelumnya menyatakan sebuah perencanaan dan sistem belajar dalam bidang terkait.  Pada tingkat makroskopik, ide cybernetic diaplikasikan untuk sistem interaksi interpersonal seperti percakapan, perilaku komunikatif kelompok kecil, komunikasi pada jejaring sosial yang tak terbatas, dan proses homeostatis yang mempertahankan status quo dalam sistem sosial.  Cybernetics memiliki aksiomatik dan aspek filosofis. Paradigma aksiomatis dipahami sebagai upaya mengasumsikan postulat tertentu tentang sebuah sistem dan untuk menyimpulkan sifat sistem (seperti reproduksi, pembelajaran diferensiasi) yang merupakan konsekuensi dari asumsi ini. 
Kemudian aspek filosofis sering berkaitan dengan teori-teori, misalnya, teori penyederhanaan (bagaimana sifat kompleks dari sistem nyata dapat dikurangi menjadi proporsi yang dikelola tanpa kehilangan informasi penting) dan teori perintah.  Tapi itu juga khawatir dengan isu relevansi serta dengan identifikasi yang tepat antara berbagai jenis model cybernetic sistem informasi yang dikendalikan mekanika mesin dan sistem informasi realitas.  Pada pengembangan teknologi cybernetics dan pengembangan teori-teori tertentu secara berkelanjutan, diantaranya adalah melibatkan teori permainan atau simulasi, teori komunikasi, teori linguistik, grafis, teori informasi, baik dalam arti informasi statistik selektif, atau dalam arti lebih luas yang melibatkan informasi semantik dan pragmatis.  Pencanggihan teknologi komunikasi mencapai puncak pencapaian dengan kecenderungan masyarakat yang begitu luar biasa mencandui simulasi virtual di jejaaring maya.  Sebuah presentasi yang menggairahkan sekaligus mengkhawatirkan dirasakan karena teknologi simulasi ini kemudian menjadi bagian integral dari pembentukan sistem sosial dan perubahan perilaku masyarakat kontemporer.
Fakta sosial yang mencengangkan justru pengguna fasilitas ini merambah ke semua lapisan masyarakat dan menerabas ke semua usia serta strata sosial dari pusat hingga pelosok desa sampai jangkauan terjauh satelit dari providernya.  Internet kini berada dalam genggaman.  Aktivitas kehidupan dihabiskan untuk sebuah siklus kerja akselarasi tinggi menjadi perangkap dalam ritme percepatan sekaligus mempersempit ruang dan waktu bagi perjalanan kehidupan spiritual.  Pencapaian puncak percepatan di satu sisi meningkatnya tingkat efisiensi, efektivitas dan kenyamanan, di sisi lain adalah picu dalam mempersempit tingkat pencapaian spiritualitas humanistik untuk berbagi ruang dan waktu untuk berbasa-basi, tegur-sapa serta berinteraksi sosial.  Konsep kehadiran riil bergeser ke ruang maya, di mana konsep kehadiran imajiner menjadi dominan sebagai ekses penurunan kualitas interaksi sosial dan kehilangan lapis-lapis toleransi humanistiknya. 
Bergesernya berbagai paradigma ruang eksistensi dan pola-pola hubungan sosial, aktivitas ekonomi, religi, dan sebagainya menguatkan pandangan bahwa sebuah perubahan atau pergeseran terjadi begitu luar biasa selaras dengan konsep budaya yang diskursif dan dapat berubah menzaman.  Sehingga terjadinya pergeseran nilai dan substansinya yang dipicu oleh perkembangan teknologi cyberspace.  Perubahan budaya dan karakteristik dapat dipahami sebagai kelaziman dan keniscayaan.  Pertumbuhan dan perkembangannya yang kian melampaui populasi penduduk bumi yang hampir seluruh aspek telah diambil alih, meski tidak sepenuhnya daya pikat teknologi simulasi ke dalam semua aspek sistem informasi yang mengarah pada pembentukan budaya baru yakni akumulasi multikultur dalam paket cybercultures.

B.    Eksplorasi Digital dan Guncangan Estetika Futuristik
Dalam Film David Cronenberg Videodrome, seorang pria tertelan ke televisi. Artis Stelarc menempel pada setiap bagian dari sensor tubuh dan stimulator yang terhubung ke internet secara harfiah dari perpaduan teknologi dan tubuh.  Dengan cara yang sama, komputer dan media elektronik lainnya memiliki dimensi tertentu dimana kita bisa merasakan mereka datang ke dalam kontak dengan kulit tubuh kita.  Realitas kehidupan kita sehari-hari sudah terstruktur sebagai dunia maya, dengan tubuh kita mendapatkan sensasi sentuhan mereka dari dunia maya sesungguhnya bukan ruang arsitektur aktual maupun lansekap kota.  Pada titik tertentu kita seolah tengah dikelilingi oleh arsitektur virtual dan tertutup dalam interior imajiner dalam sebuah raksasa besar inkubator (cyberspace).  Dalam novel cyberpunk, ekspansi arsitektur virtual ini terkait dengan penurunan, kerusakan kota, dan distorsi-dekonstruksi arsitektur.  Sementara arsitek cyber resort formalisme sebagai fashion arsitektur virtual dalam bungkus realitas, realitas aktual di sekitar ditandai kian terkikisnya eksistensi tubuh kita melalui kontak dengan media elektronik yang diabaikan dalam arsitektur virtual dengan mengejar formalistik citra.
Di akhir abad ke-18, struktur megalomaniak yang diilustrasikan oleh Etienne-Louis Boulee sebagai raksasa untuk direalisasikan.  Kemudian pada tahun 1920-an, para arsitek avant-garde Rusia membayangkan bangunan mengambang di udara.  Pada saat ini masih hanya mimpi, tetapi ketika kita sampai kubah geodesik Buckminster Fuller yang membainshocking publik dimana kita dapat menemukan sesuatu yang khusus karena mereka memiliki daya tarik Boulee dengan para raksasa.  Tentu saja sebuah bangunan mengambang tersebut tidak lagi sebagai sebuah fantasi belaka yang hidup dalam ruang imajiner.  Fuller kemudian membranding dirinya dengan membuat sejumlah gambar rancangannya dari kubah geodesic raksasa mengambang di langit.  Awalnya sangat tidak rasional dan mustakhil namun kini menjadi realitas perancangan arsitektur yang mencengangkan dan menjadi tonggak avant garde. 
Rusnoto Susanto pada proceeding makalah seminar nasional Arsitektur di Universitas Atma Jaya Yogyakarta ‘Cyber-Architecture Paradigm and The Contruction of Cyberculture Lifestyle in Contemporary Society’ (2011: 629-630) memaparkan bahwa kegilaan perancangannya menabrak kebuntuan patron arsitektur dan justru karena gravitasi didefinisikan batas penting untuk arsitektur yang Heidegger paparkan dari kuil Yunani yang bangkit dalam hubungan ketegangan dengan bumi (ketika awal seni muncul). Pada sisi lain, arsitek telah mati-matian berusaha untuk dibebaskan dari keterbatasan ini. Telah berulang kali bermimpi bagaimana sebuah bangunan seolah terbang layaknya seorang astronot melayangkan tubuhnya pada ruang hampa udara. Saat ini, seorang arsitek yang mengaku sebagai desainer dari cyber-architecture menyatakan kebebasan mereka untuk merancang dalam ruang digital yang bebas dari batasan gravitasi.
Situasi ini menjadikannya dunia maya hadir atau dihadirkan untuk menggantikan ruang yang sebenarnya sebagai target untuk penanaman modal dan lain sebagainya.  Tampak bahwa pengertian terminologi arsitektur memperluas dirinya untuk memasukkan konfigurasi ruang virtual dalam tampilan komputer beserta simulasi-simulasi visualnya.   Ini fakta yang terus hidup di akhir abad ke-20 melalui pertemuan fisik, sensual, dan erotis dengan komputer sebagai sebuah eksplorasi arsitektural yang dapat menjadi ruang baru dan memiliki kekuatan untuk mengubah paradigma seni arsitektur kontemporer.
Rentang waktu tahun 1960 sampai 1970-an, perbincangan tentang posmodernisme mulai masuk ke dunia arsitektur.   Diruntuhkannya bangunan perumahan Pruitt Igoe, St. Louis, Missouri, yang memiliki karakter arsitektur modern (arus arsitektur International Style yang dipelopori Mies van der Rohe) menandai lahirnya pemikiran arsitektur posmodernisme.  Arsitektur posmodern membawa tiga prinsip dasar yakni: kontekstualisme, allusionisme, dan ornamental.  Robert Venturi, arsitek sekaligus teoretisi awal konsep arsitektur posmodern, dalam bukunya Complexity and Contradiction in Architecture (1966) menyatakan bahwa, arsitektur posmodern lebih mengutamakan elemen gaya hybrid (ketimbang yang murni), komposisi paduan (ketimbang yang bersih), bentuk distorsif (ketimbang yang utuh), ambigu (ketimbang yang tunggal), inkonsisten (ketimbang yang konsisten), serta kode ekuivokal (ketimbang yang monovokal).  Sementara itu Charles Jencks dalam The Language of Postmodern Architecture (1977), menyebut beberapa atribut konsep arsitektur posmodern yakni; metafora, historisitas, ekletisisme, regionalisme, adhocism, semantik, perbedaan gaya, dan pluralistik.  Arsitektur posmodern juga memiliki sifat-sifat hybrid, kompleks, terbuka, kolase, ornamental, simbolis, dan humoris.  Jencks juga menyatakan bahwa konsep arsitektur posmodern ditandai oleh suatu ciri double coding sebagai prinsip arsitektur posmodern yang memuat tanda, kode dan gaya yang berbeda dalam suatu konstruksi bangunan.  Arsitektur posmodern hingga kini menerapkan prinsip double coding selalu merupakan campuran ekletis dari konsep medium dan nilai estetikanya.
Keberadaan kota pada era posmodern tentu dipengaruhi berbagai aspek yang dibentuk oleh warna-warni pandangan, kecenderungan, keyakinan, gagasan, citra, tanda, dan makna.  Citra hunian masa kini cenderung mengaplikasi konsep electricity yang ekletis, minimalis, kadang menekankan pada bentuk-bentuk disain arsitektur yang kompleks, detail-rumit, dan kontradiktif.  Karakteristik inilah yang tumbuh dan hidup dalam siklus serta ritme masyarakat kontemporer.  Terkonstruksinya citra semacam ini sesungguhnya merupakan manifestasi life style masyarakat kontemporer.  Semakin tingginya kecenderungan pada konsumerisme dan kapitalistik maka dapat dipastikan berpengaruh pada meningkatnya cita rasa terhadap berbagai perspektif dalam upaya pemenuhan kebutuhan.  Baik dari kebutuhan sehari-hari hingga hal yang berhubungan dengan pencitraan dan kemewahan.  Cita rasa yang dipengaruhi oleh gaya hidup yang dibentuk cybercultures secara signifikan pula mempengaruhi berbagai gaya dan pencitraan arsitektur posmodern dengan citra cyber-architecture.
Pengembang hunian dan apartemen kini cenderung menekankan pencitraan pada konsumen sesuai gaya hidup, memiliki nilai investasi progressif, prestisius, dan strategis maka memunculkan konsep-konsep super block mewah pada perancangan arsitektural yang energik, ekletis, benderang, glamour, gemerlap warna-cahaya, prestisius, elegan, stylist, dan futuristic.  Kecenderungan menentukan desain citra arsitektur posmodern dengan sentuhan etnik khusus menciptakan ruang bersifat bebas, anekaragam, dan pluralisme.  Bangunan yang kreatif dan imajinatif menjadi khas masyarakat yang bebas berekspresi.  Relasi khusus dengan arsitektur cyber ini dipengaruhi hal-hali diatas dianggap dapat menawarkan jawaban atas obsesinya.
Pencitraan arsitektur ruang publik di Indonesia khususnya mengacu pada perkembangan arsitektur futuristik di Eropa dan Amerika.  Karya arsitekturnya cenderung mengacu pada konsep landmark kota.  Cermati saja pada citra arsitektur pusat belanja, perkantoran, niaga, pusat laboratorium pendidikan, pusat kebudayaan, pusat-pusat hiburan, dan tempat peribadatan di kota-kota besar (Jakarta, Surabaya, Malang, Makasar, Bogor, Bumi Serpong Damai, Cikarang, Medan, dan Bandung).  Tak hanya pada arsitektur fungsional, projek pencitraan futuristik mewabah di area jembatan jalan tol, peristirahatan sementara dan gerbang-gerbang beberapa kawasan hunian yang difungsikan sebagai pencitraan public space.  Kawasan Kelapa Gading Jakarta mampu membenamkan miliaran rupiah untuk sebuah projek pencitraan kawasan dengan membangun monumen karya pematung Rita Widagdo sebagai landmark Summarecon.  Kota wisata, BSD, Agung Podomoro Group, Ocean Park, The Jungle, Menara BNI 46, FedEx, Surabaya Town Square, Green Bay Pluit, City Cat Walk dan lainnya secara sadar membranding dirinya dengan citra kawasan futuristik.  Ada juga super block yang tampil mencolok seperti Seaview Condominium di Green Bay Pluit yang berada tepat di atas Mall sebagai paket kawasan hunian elit yang dilengkapi ruang publik berupa Botanical Garden seluas 12 hektar.  Kawasan dengan view eksotik khas bahari terintegrasi dengan sarana pendidikan dasar hingga Perguruan Tinggi, resto, sport, resort, pusat kebugaran, wisata Ancol, Pantai Indah Kapuk dan sarana pusat kesehatan.  Mengingatkan kita pasa Vivo City Singapore dan Yokohama Land.
Citra futuristik pada bangunan berarti citra yang mengesankan bahwa ekspresi arsitekturnya berorientasi masa depan (futuristik) atau mengikuti perkembangan jaman.  Fleksibilitas dan kapabilitasnya mampu melayani dan mengikuti perkembangan kebutuhan fungsi sekaligus pencitraan. Kriteria tersebut menampung tuntutan aktivitas yang senantiasa berkembang melayani perubahan ruang dan perwajahan.  Futuristik sebagai core values layaknya Ferary maupun Lamborgini bercitra dinamis, estetis, dan inovatif terutama dari segi teknologi yang dipakai (dinamis, canggih dan ramah lingkungan) dengan mengadopsi bentuk-bentuk bebas yang impresif, ekspresif, dan futuristik.  Futuristik merupakan lambang perubahan, dinamis dan menembus ruang imajinatif sebagai movement, ekstrim, berlebihan dan tidak natural. Nampak senada dengan paradigma perkembangan arsitektur yang bebas dan sarat dekonstruksi.
Pranata teknologi simulasi cybernetic, jauh dari asal-usul dunia maya dapat ditelusuri pada seni abstrak modernis Malevich.  Malevich mengakui kekuatan magnet, gravitasi, gelombang radio, kekuatan virtual lainnya, dan potensi melawan gravitasi yang dimemiliki tiap objek lukisan.  Sepanjang garis yang sama, dia membayangkan sebuah bangunan mengambang dengan pondasi bangunan keluar, citra floating dibangun di atas sebuah struktur imajiner-virtual melalui afterimages, dan mekanisme lain dari perspektif tertentu.  Gejala perancangan dengan pelibatan kecanggihan teknologi digital merepresentasikan segenap obsesi dan keliaran imajinatif seorang arsitek dalam menerjemahkan desain virtual ke dalam perwujudan tiga dimensi pada ruang fisik.  Untuk membuat modifikasi artbitrer terhadap fleksibilitas ruang untuk mengejar objek yang tidak pernah bisa diungkapkan dalam kenyataan.  Penampilan sesaat dari ruang maya dengan cara menggerakan objek, afterimages, dan efek stereoskopik. Ini menunjukkan betapa gigih ia mengejar ambiguitas ruang antara dua dan tiga dimensi sub- zona, interval, stasiun transfer yang disebut ‘materi imaterial’.  Imaterial, lahir dari cahaya dan gerak benda, memiliki unsur-unsur yang sama dengan ruang media elektronik. Arsitektur sangat cair pada ruang cyber dan ini jelas arsitektur imaterial. Tipikal arsitektur yang tidak lagi puas dengan bentuk, cahaya, dan aspek lain dari dunia nyata.
Perkembangan arsitekturnya masa kini mengutamakan komposisi mixed, bentuk distorsif, ambigu, inkonsisten, dan kebebasan ekspresi visual.  Citra arsitektur posmodern menjelaskan dan menguraikan dinamika kehidupan masyarakat kontemporer yang kian beragam dan rumit.  Era posmodern juga diwarnai prilaku masyarakat yang ekspresif, bebas, dan pluralistik.  Perubahan teknologi yang kian pesat menimbulkan sebuah ledakan budaya visual melalui berbagai fantasi dan visualisasi yang merupakan unsur dominan di dalam realitas mekanis sistem cybernetic.  Hal ini juga memberi pengaruh yang luar biasa baik pada penggunaan fasilitas cyberspace untuk mengeksplorasi gagasan dengan mengakses –mengupdate- perkembangan wacana desain arsitektur dunia maupun dalam praktik perancangan arsitektur masa kini yang memaksimalkan konsep eksplorasi desain-desain inovasinya melalui berbagai fasilitas cyber.  Kita dapat cermati maraknya program-program talk show dan life style seputar materi arsitektur di cyberspace baik di televisi maupun di situs-situs internet, sebut saja Metro TV dan AnTV hampir rutin setiap Sabtu-Minggu menayangkan paket program arsitektur dan life style dengan durasi satu jam untuk mengentertainment (Green Bay Pluit, Agung Podomoro, Rasuna Apartemet, dan Kawasan Ancol) produk-produk arsitektur inovatif berbagai pengembang properti kelas wahid dengan presentasi desain serba glamour, kontemporer, posmo, dan imajinatif.  Dari mulai hunian terbatas peruntukannya hingga hunian yang terintegrasi dengan lingkungan public space.  Televisi lain menyajikan paket program arsitektur dari provider dalam paket reality show (Bedah Rumah, Penghuni Terakhir, maupun Rumah Idaman).
Apartemen yang dilaunching ugal-ugalan mengindikasikan bahwa citra arsitektur kita tengah menjadi bagian dari simulasi cyberspace menjadi penanda sederhana sebuah kecenderungan masyarakat memiliki daya serap potensial yang ditunjukkan maraknya bisnis property.  Investasi properti menjadi bagian gaya hidup yang dibangun secara laten oleh cyberculture.  Semakin tingginya kecenderungan pada konsumerisme dan kapitalistik maka dapat dipastikan berpengaruh pada meningkatnya cita rasa terhadap berbagai perspektif dalam upaya pemenuhan kebutuhan.  Baik dari kebutuhan sehari-hari hingga hal yang berhubungan dengan pencitraan dan kemewahan.  Cita rasa yang dipengaruhi oleh gaya hidup yang dibentuk cybercultures secara signifikan pula mempengaruhi berbagai gaya dan pencitraan arsitektur posmodern dengan citra cyber-architecture.
Argumentasi di atas diurai untuk menemukan relasinya antara realitas dan keberadaan teknologi simulasi ruang maya pokok persoalan sebuah transformasi lompatan quantum yang terjadi setiap detik di layar fiber optic.  Inilah titik picu bagaimana sesungguhnya positioning kebudayaan bergeser dan terjadi penggantian maya (sebagai fenomena Virtual Replacement) pada berbagai perspektif dan perubahannya di tengah arus postmoderisme.  Kemudian konsep Virtual Replacement menjadi sebuah kritik terhadap praktik cybercultures dalam disertasi saya di Program Doktoral ISI Yogyakarta, bahwa virtual replacement memicu kesadaran saya bahwa ketika para pengguna produk cybercultures mendudukkannya sebagai budaya baru akan terjadi disposisi.  Kendati demikian hendaknya tetap memiliki kesadaran berusaha melakukan reposisi manusia ‘budaya’ Jawa berada pada konteks representasi eksistensi fenomena cybercultures.  Bagaimana pun sebuah perubahan dan perkembangan budaya mutlak berlangsung pada hampir seluruh kebudayaan di belahan bumi ini.  Persoalannya adalah bagaimana upaya memetakan kembali aspek lokal ‘local genius’ dalam perspektif global yang mampu memberi kontrol terhadap derasnya arus perubahan budaya global yang saat ini melekat menjadi bagian integral pada sebagian besar masyarakat Indonesia. 
Grafik pengguna produk cybernetic (tv, hp, PDA, IPhone, monitor capsule IPad, Android, Blackberry, email, tweeter, freindster, face book, badoo dan lainnya) berada pada peringkat tertinggi di Indonesia.  Fakta bahwa negeri ini sebagai bagian dari masyarakat dunia yang konsumtif.  Pengguna jejaring sosial yang mewabah akhir-akhir ini memiliki motif sebagai media komunikasi ‘silaturahmi’ semata dengan teman lama untuk romantisme atau menggilainya dengan motif-motif tertentu hingga berselancar membangun jaringan bisnis.  Pola ini bergerak dengan pasti menunjukkan disposisi budaya Jawa dalam konteks kesadaran eksistensi dan kesadaran humanistik antar-pengguna.  Hilangnya tradisi anggah-ungguh, tepo seliro, sowan, sungkeman dengan orang tua saat Idhul Fitri tergantikan serta merta secara mekanis dengan fasilitas cybernetic.  Situasi ini lazim dipraktikan dalam berbagai perayaan sakral keagamaan hingga momen ulang tahun.     
Fakta sosial yang mencengangkan justru pengguna fasilitas ini merambah ke semua lapisan masyarakat dan menerabas ke semua usia serta strata sosial dari pusat hingga pelosok desa sampai jangkauan terjauh satelit dari providernya.  Internet kini berada dalam genggaman.  Aktivitas kehidupan dihabiskan untuk sebuah siklus kerja akselarasi tinggi menjadi perangkap dalam ritme percepatan sekaligus mempersempit ruang dan waktu bagi perjalanan kehidupan spiritual.  Pencapaian puncak percepatan di satu sisi meningkatnya tingkat efisiensi, efektivitas dan kenyamanan, di sisi lain adalah picu dalam mempersempit tingkat pencapaian spiritualitas humanistik untuk berbagi ruang dan waktu untuk berbasa-basi, tegur-sapa serta berinteraksi sosial.  Konsep kehadiran riil bergeser ke ruang di mana konsep kehadiran imajiner menjadi dominan sebagai ekses penurunan kualitas interaksi sosial dan kehilangan lapis-lapis toleransi humanisnya.
Bergesernya berbagai paradigma ruang eksistensi dan pola-pola hubungan sosial, aktivitas ekonomi, religi, dan sebagainya menguatkan pandangan bahwa sebuah perubahan atau pergeseran terjadi begitu luar biasa sehingga terjadinya pergeseran nilai dan substansinya yang dipicu oleh perkembangan teknologi cyberspace.  Perubahan budaya dan karakteristik dapat dipahami sebagai kelaziman dan keniscayaan.  Pertumbuhan dan perkembangannya yang kian melampaui populasi penduduk bumi yang hampir seluruh aspek telah diambil alih meski tidak sepenuhnya oleh daya pikat teknologi simulasi ini secara langsung mampu mendiskualifikasikan semua aspek sistem informasi yang mengarah pada pembentukan budaya baru yakni akumulasi multikultur dalam paket cybercultures.  Pencermatan inilah kemudian dijadikan mediasi untuk melihat kembali pemicu aspek-aspek ledakan maya yang signifikan membangun karakteristik budaya masyarakat hari ini hingga masa yang akan datang. 
Serangkaian eksplorasi media yang begitu radikal mewarnai kehidupan masyarakat dunia akhir-akhir ini.  Ini semacam fenomena spektakuler akhir-akhir ini dimaa sebuah paket kebudayaan yang berbasis teknologi simulasi cybernetic dengan produk-produk cybercultures mampu memberi pengaruh sangat signifikan ke semua aspek yang terkait dan mengubahnya menjadi energi spiritual gaya baru masyarakat kontemporer.  Sebuah penerjemahan kekuatan pikiran melalui energi virtual, energi emosional, spiritual yang terkonsentrasi, dan memiliki kemampuan mengubah berbagai paradigma komunikasi ke dalam wilayah perluasannya yang lebih pragmatis.  Sebuah ruang eksplorasi energi yang mentransformasi semua gejala virtual yang sangat imajinatif ke dalam bahasa visual maupun simulasi audio visual yang bergerak, kontinu, konstan, organik, berkecepatan tinggi, dan hibrid.  Energi media sebagai spiritualitas baru bergerak pada tiap simpul saraf dalam melakukan inkubasi untuk melahirkan gagasan imajiner ke dalam wujud seolah-olah nyata sebagai manifestasi komunal masyarakat kontemporer.
Esensi dari eksplorasi media mengarah pada konsep quatum yang tak terpastikan namun membuka pandangan sebagai ruang bebas untuk menemukan kebaruan-kebaruan melalui transformasi quantum pada realitas quantum yang melekat pada diri kita sehari-hari.  Karena semua realitas quantum membuka ruang probabilitas yang luas dan memadai untuk dijadikan media eksploratif kebudayaan.  Sesungguhnya kita dapat menjumput sejumlah nilai-nilai estetika futuristik yang lebih menarik, antusias, segar, penuh kejutan, sensasional, shock terapi otak, dan terbarukan terus-menerus.   Ruang estetika futuristik yang kemudian dibangun begitusangat personal dan temuan-temuan yang partikular.  Nilai-nilai estetika futuristik yang menjadi jiwa jaman, menjadi bagian penting dari perubahan, spirit kemajuan teknologi, dan ruh bagi perkembangan kebudayaan dunia.



KONTEKSTUALITAS PILAR-PILAR PEMIKIRAN PENDIDIKAN, KONSEP KEBUDAYAAN, DAN IDEOLOGI POLITIK KI HADJAR DEWANTARA
(makalah seminar seminggu 'Kaderisasi Tamansiswa' LP3M-UST Yogyakarta)

Moh. Rusnoto Susanto, S.Pd, M.Sn
[Dosen Program Pendidikan Seni Rupa UST Yoyakarta]

Saya mempunyai keyakinan, Saudara Ketua, bahwa seandainya bangsa kita tidak keputusan naluri atau tradisi, tidak kehilangan “garis kontinu” dengan zaman yang lampau, maka sistem pendidikan dan pengajaran di negeri kita… pasti akan mempunyai bentuk serta isi dan irama, yang lain daripada yang kita lihat sekarang…(Ki Hadjar Dewantara).

Pendahuluan

Di era pencanggihan teknologi komunikasi simulasi, gaya hidup digitalisasi dan perubahan budaya kontemporer hari ini sebagian besar masyarakat dipengaruhi perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi (teknologi informasi dan komunikasi simulasi) tersebut.  Sehingga melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain, perlunya melakukan aktivitas sosial di dalam masyarakat, pentingnya menghargai sesama lebih daripada apa yang berhasil dibuatnya, dan lain sebagainya.  Seringkali teknologi yang dibuat manusia untuk membantu manusia tidak lagi dikuasai oleh manusia tetapi sebaliknya manusia yang terkuasai oleh kemajuan teknologi. Manusia tidak lagi bebas menumbuhkembangkan dirinya menjadi manusia seutuhnya dengan segala aspeknya.
Kita sekarang berada dalam arus deras globalisasi, arus komunikasi, dan teknologi serba digital yang membentuk karakteristik masyarakat dunia makin bersikap individualis, serba cepat, serba instan, dan memicu watak serba emosional. Masyarakat terpesona dengan penemuan-penemuan dan launching produk-produk baru (produk cybercultures) berteknologi canggih, sehingga cenderung melupakan eksistensi dirinya dan aspek humanistik yang melekat sebagai manusia madani.  Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran bertumpu pada nilai-nilai local genius sebagai dasar ilmu pedagogik.  Sistem pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau spirit kebersamaan. Pendidikan dan pembelajaran harusnya dijadikan fasilitator untuk melayani proses kebudayaan dikembalikan kepada kebutuhan aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik dan muatan lokal sebagai basis proses pendidikan.  Pendidikan yang humanis yang menekankan pada pentingnya membangun eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang sejalan dengan spirit filosofis yang diwarisi Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (psikomotorik).  Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand !”
Ki Hajar Dewantara, melihat manusia lebih pada aspek psikologis dengan manifestasi bahwa manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya.  Sebuah proses pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara erimbang.  Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia, begitu sebaliknya dengan ketegasannya menyatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakat karena hilangnya hubungan emosional dan menipisnya dasar nilai humanistik.  Kita cermati bersama, bahwa pendidikan hingga sekarang hanya menekankan pada pentingnya proses pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa.   Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia yang dishumanis atau tidak manusiawi.
Pada perspektif sosio-anthropologis, distingsi kekhasan manusia dengan makhluk hidup lainnya adalah bahwa manusia memiliki kemampuan berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak memiliki kemampuan berbudaya.  Dengan demikian jika ingin menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan aspek kebudayaannya.  Karena dengan kebudayaannya manusia menunjukkan derajat kemanusiaannya dan manusia akan benar-benar menjadi manusia madani jika mampu hidup dalam konteks-konteks nilai budaya yang melekat pada diri dan lingkungannya.
Dalam tatapan inilah sesungguhnya masyarakat kita seharusnya menjadi masyarakat yang kuat, tangguh, dan siap menjawab tantangan jaman karena kita sudah dibekali sebuah investasi yang luar biasa dari seorang Ki Hadjar Dewantara.  Sejumlah investasi intektual melalui pilar-pilar pemikiran pendidikan nasional, konsep-konsep kebudayaan, dan konsep ideologi politik yang sudah teruji baik secara ilmu pengetahuan maupun teruji waktu menjawab kebutuhan hidup sesuai jiwa jaman. Semua berorientasi pada kontekstualitas pilar-pilar pemikiran pendidikan nasional, konsepsi kebudayaan dan pengembangan cara pandang ideologi politik Ki Hadjar Dewantara sebagai landasan formal sistem pendidikan dan landasan strategik berkebudayaan serta berpolitik negeri ini.

1.    Menghayati Tokoh Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara
Memperbincangkan mengenai pendidikan masa kini berarti mencermati problematiknya sebagai bagian proses menghayati sejarah pendidikan generasi terdahulu.  Begitu pentingnya pendidikan bagi bangsa ini yang direpresentasikan  dengan sejumlah tokoh penting yang memiliki titik orientasi terhadap pemikiran dan sistem pendidikan nasional.  Bagaimana para tokoh bangsa Soekarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara, Buya Hamka, KH. Ahmad Dahlan, St. Syahrir, Agus Salim, Cipto Mangun Kusumo, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh bangsa ini yang besar dan dikenal tak hanya di negeri sendiri tapi juga di luar sana, tak lain karena pendidikan. Pendidikan yang mencetak mereka menjadi manusia-manusia yang kritis dan cerdas ini pada akhirnya Belandapun kerepotan karenanya. Pendidikan yang pada awalnya hanya bertujuan untuk mempermudah Belanda dalam hal penyedian tenaga kerja murah dengan membuat pendidikan berjenjang yaitu tidak berlaku untuk semua kalangan dan berdasarkan tingkat.
Begitu banyaknya batasan-batasan sistem pendidikan yang tidaak menguntungkan pribumi pada masa itu, tak membuat anak-anak pribumi ini lemah dan patah semangat dengan kecakpan memanfaatkan kesempatan-kesempatan sederhana sebagai kesempatan emas kendati diperlakukan berbeda dengan anak-anak Belanda.  Sehingga tak sedikit dari mereka bisa melanjutkan kuliah hingga ke negeri Belanda.  Peluang ini dipergunakan oleh mereka sebagi sebuah strategi perang intelektual yang kelak melandasi semangat perjuangan kemerdekaan dengan mobilisasi rakyat pribumi untuk memperoleh hak merdekanya.  Kondisi yang tak pernah dibayangkan oleh belanda, ”senjata makan tuan” bahwa pendidikan yang mereka berikan dengan mencetak manusia-manusia cerdas sebagai pemenuhan tenaga ahli, pendidik, dan cedikia yang murah ini malah membuat goyah kedudukan Belanda.  Beberapa tokoh inipun mendedidikasikan segenap ilmu dan hasil pendidikan luar negerinya dengan mendirikan sekolah-sekolah pribumi agar anak-anak bangsanya berpengetahuan, kritis dan berpikiran maju.
Satu diantara mereka adalah Ki Hadjar Dewantara, tokoh yang paling berjasa atas pemikiran-pemikiran luar biasa sebagai modal dasar (investasi intelektual) untuk memajukan pendidikan di Indonesia ini bergelar R.M. Suwardi Suryaningrat.   Aktivitasnya dimulai sebagai jurnalis pada beberapa surat kabar kemudian bersama EFE Douwes Dekker, mengelola De Expres.  Ki Hadjar pun aktif menjadi pengurus Boedi Oetomo dan Sarikat Islam.  Selanjutnya bersama Cipto Mangun Kusumo dan EFE Douwes Dekker yang dijuluki ”Tiga Serangkai”.  Tak lama kemudian ki Hadjar dewantara mendirikan Indische Partij, sebuah organisasi politik pertama di Indonesia yang dengan tegas menuntut Indonesia merdeka.  Di sinilah Ki Hadjar dikenal sebagai tokoh penting dalam sejarah politik tanah air sebagai kendaraan perjuangan bangsa saat itu.  Pada zaman Jepang, peran Ki Hadjar tetap menonjol.  Bersama Soekarno, Hatta, dan Mas Mansur, mereka dijuluki “Empat Serangkai”, dan memimpin organisasi Putera.  Ketika merdeka, Ki Hadjar Dewantara ditetapkan Menteri Pengajaran Pertama.
Ki Hadjar dikenal dengan ajaran-ajarannya, diantarnya ajaran kepemimpinan.  Ajaran kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara yang sangat poluler di kalangan masyarakat adalah Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, dan Tut Wuri Handayani.  Maknanya Di depan anak didik seorang Pamong (guru, pemimpin, dan orang tua) memberi contoh teladan, ditengah-tengah atau bersama anak didik seorang Pamong (guru, pemimpin, dan orang tua) membangun semangat dan harapan, dan menjadi pendorong dan pendamping anak didik seorang Pamong (guru, pemimpin, dan orang tua) untuk selalu terus maju meraih cita-cita. Untuk mengenang jasa beliau, maka 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional yang bertepatan dengan hari lahirnya Ki Hadjar Dewantara.

2.    Ki Hadjar Dewantara: Menyejarah Bersama Tamansiswa
   
Gb. 1
Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswa sebagai panji-panji perjuangan untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajah dan terbebas dari kebodohan.

Tokoh peletak dasar pendidikan nasional ini dilahirkan di Yogyakarta pada hari Kamis, tanggal 2 Mei 1889 dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat putra dari Pangeran Suryaningrat, cucu dari KGPAA Paku Alam III.  Sejak kecil tumbuh di lingkungan keluarga kraton Yogyakarta.  Pendidikan dasarnya diperoleh di Sekolah Dasar ELS (sekolah dasar Belanda) Yogyakarta dan meneruskan ke STOVIA (sekolah kedokteran Bumi putera) di Jakarta, tetapi tidak sempat menuntaskan studinya.   Kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedya Tama, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.  Ia tergolong penulis tangguh pada masanya, semua tulisan-tulisannya sangat tegas dan patriotik serta mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Sebagai tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara memiliki visi revolusioner mengenai konsepsi, sistem pembelajaran, dan arah masa depan dunia pendidikan, berbanding terbalik dengan Ivan Illich atau Rabrindranath Tagore yang sempat menganggap sekolah sebagai siksaan yang harus segera dihindari.  Ki Hadjar berpandangan mendalam perihal ini dan menyatakan bahwa melalui pendidikan akan terbentuk kader bangsa yang berpikir, berperasaan, dan berjasad merdeka serta percaya akan kemampuan diri sendiri.  Beliau menegaskan kembali bahwa arah pendidikannya bertumpu pada nilai kemanusiaan, bernafaskan kebangsaan, dan berlanggam kebudayaan.
 Ivan Illich pernah berseru agar masyarakat bebas dari sekolah.  Niat deschooling tersebut berangkat dari anggapan Ivan Illich bahwa sekolah tak ubahnya pabrik yang mencetak anak didik dalam paket-paket yang sudah pasti, dengan melanjutkan pernyataannya “…bagi banyak orang, hak belajar sudah digerus menjadi kewajiban menghadiri sekolah”.   Senada dengan Rabindranath Tagore yang sempat menganggap bahwa sekolah seakan-akan sebuah penjara, kemudian ia menyebutnya sebagai “siksaan yang tertahankan”.  Kedua pandangan ini jelas memiliki latar belakang khusus yang menguatkan argumentasi-argumentasi radikalnya.  Ki Hadjar justru bertolak pada pengalaman hidup bangsanya yang tertindas karena kebodohan dan semangat memerdekakan aspek kemanusiaan diri dan bangsanya yang kemudian terefleksi dalam sejumlah pilar-pilar penting pemikirannya, baik pada aspek pendidikan, kebudayaan, politik, dan membakar daya juang masyarakat pribumi untuk hidup layak dengan merumuskan dasar negara yang sesungguhnya dirintis ke dalam butir-butir pemikiran Pancasila.
Tak sedikit kalangan acapkali menyejajarkan Ki Hajar Dewantara dengan Rabindranath Tagore (seorang pemikir, pendidik, dan pujangga besar kelas dunia) yang telah berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional India hanya karena mereka bersahabat dan memiliki kesamaan visi-misi perjuangan untuk memerdekakan bangsanya dari keterbelakangan yang diciptakan kaum imperalisme.  Di banyak sisi keduanya memiliki perbedaan khusus dan refleksi karakteristik problem sosiokultural yang sangat khas.
Memiliki kesamaan karakeristik yang menonjol antara Tagore dan Ki Hajar memiliki  kedekatan dengan rakyat, cinta kemerdekaan, dan bangga atas budaya bangsanya sendiri.  Tagore pernah mengembalikan gelar kebangsawanan (Sir) pada raja Inggris sebagai protes atas keganasan tentara Inggris dalam kasus Amritsar Affair.  Tindakan Tagore itu dilatarbelakangi kecintaannya kepada rakyat, senada dengan Ki Hadjar yang menanggalkan gelar kebangsawanan (Raden Mas) yakni Raden Mas Suwardi Suryaningrat, putra dari Pangeran Suryaningrat, cucu dari KGPAA Paku Alam III, adalah satu di antara putera terbaik bangsa yang berupaya menjalin dan menyambung kembali peradaban bangsa Indonesia melalui gerakan pendidikan dengan Perguruan Nasional Taman Siswa atau Nationaal Onderwijs Instituut.  Tindakannya juga dilatarbelakangi keinginan untuk lebih dekat dengan rakyat dari segala lapisan tanpa sekat-sekat strata sosial dan kebangsawanannya.   Antara Ki Hajar dengan Tagore juga merupakan sosok yang sama-sama cinta kemerdekaan dan bangga dengan budaya bangsanya sendiri.   Bidang pendidikan dan kebudayaan dipilih sebagai medan perjuangan tentu tak lepas dari “strategi” untuk melepaskan diri dari belenggu imperalisme.   Logika sederhananya bahwa; apabila rakyat memperoleh pendidikan yang memadai maka berpengetahuan, wawasannya semakin luas, dan kritis serta memiliki visi kehidupan baru untuk mengolah impian masa depannya sendiri.  Dengan demikian semua rakyat bersama-sama memiliki keinginan untuk merdeka jiwa dan raganya semakin tinggi. 



Gb.2
Taman Siswa Bersemayam Spirit Ki Hajar Dewantara


Keandalan Ki Hadjar Dewantara melalui pemikiran-pemikirannya mampu meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional yang bercirikan kebangsaan dan kebudayaan nasional sebagai bagian dari politik pendidikan dan mobilisasi intelektual yang kritis untuk meruntuhkan rezim penjajah ketika itu.  Melalui upaya kerasnya membangun kembali kesadaran bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, bermartabat, dan berperadaban tinggi setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia.  Tentu kita ingat di Barat, Paulo Freire menonjol dengan konsep pendidikan pembebasan dan di sini, Ki Hajar Dewantara menjadi pahlawan pendidikan nasional karena pendidikan sistem among yang ia kembangkan di taman siswa.  Ungkapannya sangat populer dan legendaris yakni “tut wuri handayani”, “ing madya mangun karsa”, dan “ing ngarsa sung tulada”. Istilah tersebut tak hanya populer di kalangan dunia pendidikan, tetapi juga pada berbagai aspek kehidupan lain juga dalam kepemimpinan pada dunia interdisipliner.
Sosok Ki Hadjar Dewantara adalah pigur pejuang gigih, politisi handal, guru besar bangsa, pendiri Taman Siswa, dan pelaku sejarah.  Sebagai pribadi yang keras tapi lembut, ayah yang demokratis, sosoknya yang sederhana, dan penggemar barang bekas adalah sisi lain kehidupannya yang tak banyak diketahui banyak orang.  Bahkan sejarah tidak cukup benderang menuturkan ke publik secara luas bagaimana muasalnya beliau dipanggil dengan nama Ki Hajar Dewantara juga belum banyak yang tahu.  Namun sejarah terjelaskan dalam tulisan Theo Riyanto, bahwa perubahan nama tersebut dapat dimakna bahwa beliau ingin menunjukkan perubahan sikap ningratnya menjadi pendidik, yaitu dari ‘satria pinandita’ ke ‘pinandita satria’ yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didiknya untuk melindungi bangsa dan Negara ini.  Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan memiliki spiritualitas yang mengabdikan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa.  Yang utama sebagai pendidik adalah fungsinya sebagai model keteladanan dan sebagai fasilitator kelas yang berperan sebagai pelayan proses pendidikan itu sendiri.
Ki Hajar Dewantara memiliki keinginan kuat mengenai pentingnya figur-figur seorang guru (among) yang memiliki kelimpahan mentalitas, moralitas, dan spiritualitas.   Nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan serta menguasai masalah-masalah sosial kemasyarakatan.  Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia dan mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini).   Sebagai pendidik baginya merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.  Bagaimanapun beliau adalah seorang tokoh pendidikan kebangsaan yang meletakaan dasar pendidikan dan kebudayaan pada konsep tri pusat yang diabadikan di kedua bagian bukunya yakni bagian pertama Pendidikan dan bagian kedua Kebudayaan.
 
Gb.3
Konsep Tri Pusat Pendidikan dan Kebudayaan


1)    Keluarga: merupakan tempat pertama bersemainya pendidikan dan kebudayaan
2)    Sekolah: merupakan tempat pendidikan dan pelestarian serta pengembangan kebudayaan
3)    Masyarakat: merupakan tempat pendidikan dan pelestarian serta pengembangan kebudayaan yang beragam fungsinya dan pada umumnya kurang terkontrol
Catatan: diperlukan konsistensi tri-pusat pendidikan dan pelestarian serta pengembangan kebudayaan  (penjelasan dikutip dari Prof. Slamet PH, MA, MEd, MA, MLHR, Ph.D dalam presentasi makalah Kaderisasi Ketamansiswaan 2012)
Pendidikan dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tumbuh berkembang dan tak dapat dipisahkan karena pendidikan mengembangkan ketajaman cipta (daya pikir), memperhalus rasa dan memperkuat suci karsa (daya hati), dan membina raga (daya fisik) agar yang di didik menjadi manusia berbudi pekerti luhur.  Sementara itu, kebudayaan merupakan buah dari keadaban manusia.  Karena adab sebagai cerminan sifat keluhuran budi, maka buah-buah dari budi yang beradab itu kemudian disebut budaya.  Jadi kebudayaan memiliki sifat-sifat sistemik yang tertib, indah, tumbuh, organik, hibrid, berfaedah, luhur, memberi rasa damai, menyenangkan, membahagiakan, dan sebagainya.  Kesemua aspek yang melingkupinya dibangun melalui ketajaman berpikir, kehalusan perasaan, suci, kuatnya kemauan, dan kesehatan raganya yang hanya dapat dimanifestasikan melalui tri-pusat pendidikan dan kebudayaan dalam arti seluas-luasnya, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.

3.    Pilar-Pilar Pemikiran Pendidikan dan Konsep Kebudayaan Ki Hajar Dewantara 
Sebuah pemikiran cerdas Ki Hadjar untuk mendirikan sekolah atau perguruan taman siswanya dan revolusioner karena ide besar ini mencuat jauh sebelum Indonesia mengenal arti kemerdekaan.  Konsepsi Taman Siswa pun manifestasi urgensi bagi Ki Hajar Dewantara dalam menemukan solusi menyikapi kegelisahan-kegelisahan rakyat terhadap kondisi pendidikan dengan tingginya diskriminasi dan perlakuan tidak adil kolonialis kepada pribumi ketika itu, sebagaimana digambarkan dalam asas dan dasar yang diterapkan Taman Siswa.  Bahwa Orientasi Asas dan Dasar Pendidikan Dari Ki Hajar Dewantara diupayakan sebagai asas perjuangan yang dibutuhkan rakyat pribumi waktu itu melalui usaha menjelaskan sifat pendidikan yang memiliki asas kebangsaan.  Azas ini mempengaruh pemikiran mayarakat yang sesungguhnya dalam proses pendidikan adalah menumbuhkan dasar nilai-nilai kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri.
Pelaksanaan pengajaran merupakan upaya nyata di dalam mendidik murid-murid sebagai subjek didik supaya dapat melatih kepekaan perasaan, mempertajam pemikiran, dan senantiasa bekerja merdeka demi pencapaian tujuannya dan perlunya kemajuan sejati untuk mewujudkan perkembangan subjeek didik secara kodrati.  Hak mengatur diri sendiri berdiri (Zelfbeschikkingsrecht) bersama dengan tertib dan damai (orde en vrede) dan bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke groei).   Ketiga aspek tersebut merupakan dasar instrumen pendidikan bagi anak-anak yang disebut “metode among” (sistem-among) yang diantaranya ialah mewajibkan guru-guru sebagai pemimpin yang berdiri di belakang tetapi mempengaruhi dengan memberi kesempatan subjek didik untuk belajar sendiri (memiliki karakteristik mandiri). Inilah yang disebut dengan semboyan “Tut Wuri Handayani”.   Menyinggung masalah kepentingan sosial, ekonomi dan politik kecenderungan dari bangsa kita untuk menyesuaikan diri dengan hidup dengan spirit kebarat-baratan. 
Menurut Ki Hadjar Dewantara bahwa sistem pengajaran kita telah terlampau memikirkan kecerdasan pikiran yang sesungguhnya melanggar dasar-dasar kodrati yang terdapat dalam kebudayaan itu sendiri.  Sementara hal yang menyangkut mengenai dasar kerakyatan untuk mempertinggi pengajaran atau memperluas pengajaran dan memiliki pokok dasar untuk percaya pada kekuatan sendiri tereduksi orientasinya pada keterpacuannya pada kecerdasan pikiran semata.  Padahal dalam dunia pendidikan seharusnya dibukanya ruang keikhlasan lahir batin bagi guru-guru untuk mendekati subjek didiknya.  Karena sesungguhnya hal tersebut merupakan sebuah proses pembelajaran dan pengetahuan Ki Hadjar mengenai pendidikan Barat yang mengusahakan kebahagiaan diri sendiri, bangsa, dan kemanusiaan.
Karya-karya Ki Hadjar, taman siswa sebagai representasi institusi pendidikan pribumi pada masa kolonial dan tetap eksis sapai hari ini.  Tulisan Ki Hadjar dalam bidang pendidikan dan kebudayaan yang diterbitkan Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, pada bagian I Pendidikan (1962) dan bagian II kebudayaan (1967) merupakan fakta sejarah otentik mengenai kepiawaian dan intelektualitasnya sebagai penulis dan wartawan.  Pada bagian I  Pendidikan yang terbagi dalam 8 bab (Pendidikan Nasional, Politik Pendidikan, Pendidikan Kanak-Kanak, Pendidikan Kesenian, Pendidikan Keluarga, Ilmu Jiwa, Ilmu Adab, dan bahasa).  Tulisan tertua dalam buku ini ialah mengenai Pendidikan dan Pengajaran Nasional yang pernah disampaikan sebagai prasarana kongres PPPKI pada 31 Agustus 1928.   Ki Hadjar dalam tulisannya menyatakan bahwa kemerdekaan dalam dunia pendidikan memiliki 3 sifat; berdirisendiri, tidak tergantung pada orang lain, dan dapat mengatur diri sendiri.  Pada buku bagian II Kebudayaan, terbagi dalam 5 bab; Kebudayaan Umum, Kebudayaan dan Pendidikan/Kesenian, Kebudayaan Kewanitaan, Kebudayaan Masyarakat, dan bab mengenai Hubungan dan Penghargan kita. Dua buku tersebut sebagai representasi dari buah pemikiran dn pembuktian dalam praktik Pendidikan dan pengejawantahan  konsep-konsep pengajaran Ki Hadjar.  Pendidikan dan kebudayaan adalah basis kehidupan yang sesungguhnya sangat menentukan kwalitas manusia dan citra sebuah bangsa.  Pendidikan dan kebudayaan juga sebuah senyawa spiritualitas yang menempatkan harkat bangsa pada derajat yang lebih tinggi karena senyawa inilah yang menjadikan Indonesia terlahir di muka bumi.

a.    Pendidikan Karakter dan Kontekstualitas Pemikiran Ki Hajar Dewantara
 Pendidikan dalam perspektif Ki Hadjar Dewantara, pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi semua pemangku kepetingan (stakeholdernya) pendidikan mengenai mendidik itu sendiri.  Menurut Ki Hadjar Dewantara mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), yakni proses pengangkatan manusia ke taraf insani.  Mendidik  dalam  hirarki pembelajaran merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki secara kontinuitas, dilanjutkan secara konsisten, dan disempurnakan secara konvergen. Jadi pendidikan sesungguhnya usaha sebuah bangsa yang secara bersama-sama membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka dan mengurai tabir-tabir aktual-transendental dari sifat alami manusia (humanis).  Berkaitan dengan ini Ki Hajar Dewantara menyatakan tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri” sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia (proses humanisasi sebagai hasil akhir).  Penguasaan diri sebagai langkah yang harus ditempuh untuk tercapainya pendidikan manusia yang madani.  Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, maka sesungguhnya mereka akan mampu berpikir jernih, berdaya kritis dengan mempertimbangkan keputusan-keputusannya dalam menentukan sikap dan tindakannya.   Maka  proses inilah menjadi laboratorium yang mampu menumbuhkan sikap kritis, humanis, dan membangun generasi dewasa yang mandiri.  Hal serupa sejalan dengan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang membedakan 2 hal penting yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus bersinergi.  Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan) sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dalam mengambil keputusan, martabat, dan membangun mentalitas demokratik).
Menerjemahkan konsep dan pemikiran Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan nasional, para ahli pendidikan menyimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia haruslah memiliki 3 Landasan filosofis, yaitu nasionalistik, universalistik dan spiritualistik.
1)    Nasionalistik, maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual.
2)    Universalistik, artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia.
3)    Spiritualistik, lebih berorientasi pada pengembangan mental dan daya spiritual peserta didik. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati kemudian pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental, dan spiritual.  Pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan, pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu dengan perbedaan potensi-potensinya tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan, pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri, setiap orang harus hidup sederhana, dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya.
Hasil akhir pendidikan adalah membentuk peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya, dan kesejahteraan orang lain.   Dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara, metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh.   Metode ini secara teknik pengajaran educate the head, the heart, and the hand.
Dalam sebuah proses belajar, sadar atau tidak semua ‘perilaku’ seorang guru akan menjadi media komunikasi (penyampaian pesan) paling efektif dan memiliki pengaruh sangat besar (90%) pada peserta didik.  Perilaku inilah yang kemudian menjadi ‘teladan’ bagi kehidupan sosial peserta didiknya secara psikologis pengaruh ‘perilaku’ tersebut merupakan bentuk pengaruh bawah sadar peserta didik yang terefleksi saat peserta didik melakukan aktifitas sehari-hari dalam bersikap dan bertindak pada diri  dan lingkungan sosialnya. Sehingga dalam prosesnya ‘mengajar’ seorang guru seharusnya menjadi ajaran Ki Hadjar sebagai cara hidup untuk mencapai keimpahan fungsi among melalui ‘pengabdiannya’ dan proses menebarkan ‘kehormatan’ tersebut pada hati, kepala dan pancaindera peserta didiknya dengan sikap asih, asah dan asuh, hal ini dibutuhkan guru sebagai motivtor yang tidak hanya mampu ‘mengajar’ tetapi juga mampu ‘mendidik’.   

b.    Kontekstualitas Konsep Pendidikan Karakter Ki Hajar Dewantara dan Revitalisasi ‘Sistem Among’ 
Ki Hadjar Dewantara mendefinisikan pendidikan sebagai daya upaya memajukan budi pekerti, pikiran dan jasmani anak untuk memajukan kesempurnaan hidup yakni hidup dengan menghidupkan anak selaras dengan alam dan masyarakatnya.  Ki Hadjar Dewantara dengan mewarisi falsafah  tringa  (ngerti, ngrasa,  dan  nglakoni) yang mampu mempengaruhi dinamika perkembangan dunia pendidikan sekaligus perkembangan ilmu kebudayaan dengan mengingatkan, bahwa terhadap segala ajaran hidup, cita-cita hidup yang kita anut diperlukan pengertian, kesadaran, dan kesungguhan pelaksanaannya.  Mengetahui dan mengerti saja tidak cukup kalau tidak merasakan, menyadari, dan tidak ada artinya kalau tidak melaksanakan dan tidak memperjuangkannya.  Merasa saja dengan tidak mengerti, memahami, tidak melaksanakan menjalankan tanpa kesadaran dan tanpa pengertian tidak akan membawa hasil.  Sebab semua aspek itu merupakan prasyarat bagi peserta didik dalam setiap perjuangan cita-citanya maka ia harus tahu, mengerti apa maksudnya, dan apa tujuannya.  Ia pun harus mampu merasakan dengan sadar akan arti dan cita-cita itu dan merasa pula perlunya bagi diri dan masyarakat.  Dan, harus mengamalkan perjuangan itu dengan mengemukakan suatu filosofi bahwa “Ilmu tanpa amal seperti pohon kayu yang tidak berbuah”, “Ngelmu tanpo laku kothong”, laku tanpa ngelmu cupet”.  Dalam pengertian ‘Ilmu tanpa perbuatan adalah kosong, perbuatan tanpa ilmu pincang’, maka seharusnya diseimbangkan keduanya untuk mewujudkan sesuatu yang dicita-citakan.
Berkaitan dengan konsep pendidikan karakter ini lebih lanjut Suyanto (2010) menjelaskan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).  Menurut Thomas Lickona kemudian menegaskan kembali bahwa tanpa keterlibatan ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.  Melalui pendidikan karakter yang diterapakan secara sistematis, kontinu atau berkelanjutan, dan konvergen maka seorang anak akan menjadi cerdas intelektual, emosinal, dan memiliki kecerdasan yang kuat pada sisi spiritualnya.  Keberhasilan prestasi akademi membutuhkan kenampuan mengolah aspek emosional dan mengelola aspek spiritualitasnya agar ilmu yang diperoleh di dunia akademik bisa bermanfaat secara tepat untuk menjawab kebutuhan dan tantangan masa depan untuk kemasylahatan masyarakat luas. 
Visi Pendidikan karakter adalah upaya lebaga pendidikan, orang tua, lingkungan sosial, dan pemerintah yang berorientasi pada bagaimana membangun mutu pendidikan nasional yang berbasis character building setiap subjek didik.  Membangun karakter setiap individu subjek didik dengan penggalian potensi dasar yang dimilikinya dan potensi kebudayaan serta nilai-nilai lokal yang melingkupinya dalam interaksi kehidupan sehari-hari.  Dengan mutu pendidikan karakter yang baik maka generasi muda dengan kemampuannya masing-masing bisa diandalkan untuk membangun bangsa ini dengan sistemdan fundamental yang mengacu pada karakteristik manusia adiluhung yang menjunjung niai-nilai luhur secara universal.  Ada 9 pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yakni:
(1) memiliki karakter cinta, ketaqwaan kepada Tuhan dan segenap ciptaan-Nya;
(2) memiliki sikap mental kemandirian dan tanggung jawab;
(3) memiliki karakter jujur, amanah, dan diplomatis;
(4) memiliki sikap hormat dan santun;
(5) memiliki sifat dermawan, suka tolong menolong dan gotong royong/kerjasama;
(6) memiliki rasa percaya diri dan mental sebagai pekerja keras;
(7) memiliki jiwa kepemimpinan dan keadilan;
(8) memiliki sikap baik dan rendah hati;
(9) memiliki karakter bertoleransi, cinta perdamaian, dan kesatuan.
Kemudian arakter inilah sebagai proses ejawantah dari nilai-nilai luhur yang perlu ditanamkan dalam pendidikan karakter secara komperehensif dan holistik dengan menggunakan metode-metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good.  Dengan kata lain kita selalu mendasari kesadaran mengenai good knowing, good feeling, dan good action untuk memperoleh hasil akhir yang baik, karena output yang baik dipengaruhi oleh input dan proses yang bersih, baik, luhur, dan andal.
Dewasa ini lembaga-lembaga pendidikan dan guru ‘among’ dihadapkan pada tuntutan yang semakin berat, terutama untuk mempersiapkan siswa agar mampu menghadapi berbagai dinamika perubahan yang berkembang pesat.  Semua perubahan dari sitem sosial, teknologi komunikasi, perubahan tata  nilai, dampak politik, dampak krisis ekonomi global, dan arus kebudayaan asing yang menyergap sebagai konsekuensi logis dari semangat globalisasi.   Lebih dari itu perubahan yang laten menyentuh pada berbagai perubahan dan pergeseran aspek nilai moral yang terjadi dalam merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, terjadinya penyimpangan-penyimpangan perilaku sosial yang amoral saat ini diantaranya maraknya tawuran antar pelajar, penganiayaan, kekerasan dalam  rumah tangga, perampokan, pembunuhan diserta mutilasi, korupsi, dan berbagai penyimpangan di kalangan remaja seperti peenyim pangan seksual, penggunaan narkotika, perkosaan, dan pornografi yang meresahkan masyarakat.  Ini semacam potret buruk masyarakat sekarang dan ini sebuah tantangan bagi dunia pendidikan, ancaman bagi stabilitas keamanan, dan signal pemerosotan nilai-nilai luhur masyarakat dalam menjaga kebudayaan bangsa.
 Poin ini sebagai titik penting dilaksanakannya kembali pendidikan karakter untuk membentengi dari krisis multidimensi masyarakat kontemporer pada era globalisasi.  Krisis-krisis tersebut berpulang pada jati diri, ketahanan mental dengan karakteristik andal, dan bagaimana menemukan kembali dengan merevitalisasi mengembangkan pendidikan karakter bangsa.    Pengembangan pendidikan karakter bangsa yang menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif dan pemberdayaan aspek afektif, dan kekuatan aspek psikomotorik sehingga mampu mewujudkan sebuah generasi cerdas yang memiliki karakter dengan nilai-nilai luhur yang dapat menjawab tuntutan bangsa. 
Fakta lapangan, bahwa sistem pendidikan yang menempatkan guru layaknya mesin ATM untuk mentransfer bahan ajar ke subjek didik, dan  subjek didik hanya mengambil secara instan-cepat, menampung apa yang disampaikan guru tanpa mencoba berpikir lebih jauh tanpa melakukan proses seleksi atau analisis secara kritis merupakan sebuah siste pembelajaran cara lama yang tidak kontekstual dan jauh dari semangat pendidikan yang berorientasi pada pengembangan potensi subjek didik.  Russell dan Ratna (2010) mengemukakan bahwa pada taraf jenjang sekolah dasar, mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter pun semisal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan pada praktiknya masih sebatas teori dan belum menyentuh pada tataran aplikatif.  Praktik pendidikan yang cenderung kognitif-intelektualistik, perlu direvitalisasi sebagai wahana pengembangangan pendidikan karakter bangsa, pembangunan kecerdasan, akhlak dan kepribadian peserta didik secara utuh sesuai dengan tujuan pendidikan nasional (Sardiman, 2010. Kedaulatan Rakyat).  Jauh dari kompetensi guru sebagai among untuk mengelaborasi analogi dan temuan-temuan sampel yang dapat direalisasikan secara aplikatif dalam sistem pembelajaran yang ideal.   Revitalisasi untuk mewujudkan peradaban bangsa melalui pendidikan karakter, budaya, dan moral dengan merujuk pilar-pilar pemikiran dan konsep Ki Hadjar Dewantara dengan merintis konsep  tri pusat pendidikan yang menyebutkan bahwa wilayah pendidikan untuk membangun konstruksi fisik, mental, dan spiritual yang andal dan tangguh dimulai dari; (i) lingkungan keluarga; (ii) lingkungan sekolah; dan (iii) lingkungan masyarakat seperti yang sudah dipaparkan di muka.
Ketika proses pendidikan di lingkungan keluarga (informal) mulai terabaikan dan sepenuhya dipercayakan pada lingkungan sekolah, serta lingkungan sosial yang kita tahu sudah semakin tidak kondusif dengan hilangnya kesadaran atas nilai-nilai luhur dan moral. Hendaknya proses pendidikan di lingkungan sekolah yang dikelola guru sebagai frontliner dalam pelaksanaan peningkatan mutu pendidikan karakter, budaya dan moral harus lebih melihat potensi dan kebutuhan subjek didik secara komperehensif.   Peran guru sebagai among dalam filosofi Jawa disebut digugu dan ditiru, dipertaruhkan dedikasi dan kompetensinya untuk pemaksimalan efektivitas proses pembeljaran.   Guru tidak sekedar sebagai pengajar semata karena dalam sistem among yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara bahwa guru berkewajiban mengetahui, memantau, dan membimbing subjek didik baik mulai di lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, hubungan sosialnya hingga di lingkungan masyarakat.  Ia juga berperan mendidik dan membangun karakter subjek didik, khususnya melalui pengajaran yang dapat mengembangkan rasa hormat, toleransi, menghargai orang lain, dan sikap tanggung jawab.  Bukan sekedar pendidik akademis tetapi juga merupakan pendidik karakter, moral dan budaya tetapi harus menjadi teladan, model, mentor dalam mengembangkan mental dengan membangun perilaku yang berkarakter.  
Pembelajaran nilai-nilai luhur secara sistemik membangun karakter tak terbatas pada eksplorasi aspek kognitif, tetapi seharusnya mengeksplorasi lebih dalam kepekaan sosial dan merangsang daya kritis yang dapat diimplementasikan melalui pengamalan nyata dalam kehidupan anak didik sehari-hari di dalam interaksinya dengan masyarakat.  Sehingga proses pendidikan dalat menerjemahkan secara baik ajaran hidup Ki Hadjar Dewantara, “Tringa” yang meliputi ngerti, ngrasa, dan nglakoni.   
 Ironisnya, tak sedikit guru tak sepenuhnya menghayati profesinya sebagai ‘among’ dan menyandang predikat Pahlawan Tanpa Jasa.  Tak sedikit dari mereka diluar jam belajar tak mau lagi memiliki kepeduian dengan subjek didiknya, dan tak mau lagi diganggu waktunya diluar jam sekolah untuk sekedar membantu belajar siswa-siswanya.  Sehingga ada istilah less privat yang sekarang  populer hanya sebatas bahan pelajaran selesai mereka sampaikan di kelas walaupun anak-anak belum paham.   Seyogyanya kita sebagai among senantiasa mengaktualisasikan ajaran falsafah Ki Hadjar Dewantara “Ing ngarso sung tuladha, ing madyo mangun karso, dan tutwuri handayani” sebagai kontrol moral ketika melangsunkan proses pendidikan maupun dalam interaksi internal keluarga dan hubungan sosial kemasyarakatan.

4.    Kontekstualitas Perjuangan Intelektual dan Berbagai Pandangan Ideologi Politik
a.    Pendidikan Sebagai Jalan Perjuangan dan Politik

R.M. Soewardi S di tengah kesibukannya sebagai seorang wartawan muda juga aktif dalam organisasi sosial dan politik.  Pada tahun 1908 beliau aktif di organisasi Boedi Oetama dan mendapat tugas di seksi propaganda.  Memiliki aktivitas dalam mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia mengenai pentingnya kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian setelah bergabung dengan Boedi Oetomo pada tanggal 25 Desember 1912 Ki Hadjar mendirikan Indische Partij yakni sebuah organisasi yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka, bersama dengan dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo dalam mempelopori organisasi tersebut. Organisasi ini sempat diupayakan berdan hukum dengan mendaftarkan status resminya pada pemerintahan kolonial Belanda namun ditolak pada 11 Maret 1913, yang surat resmi penolakannya dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil pemerintah Belanda di negara jajahan dengan alasan karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda !
   
Gb. 4
Tiga Serangkai (dr. Cipto Mangoenkoesoemo, dr. Douwes Dekker dan Ki Hadjar Dewantara)

Kemudian dalam tahun yang sama terbit tulisan Ki Hajar Dewantara yang terkenal dengan tajuk “Seandainya Aku Seorang Belanda” (judul asli: Als ik eens Nederlander was), terbit dalam surat kabar de Expres milik Dr. Douwes Dekker, tahun 1913.  Artikel tersebut ditulis dalam konteks rencana pemerintah Belanda untuk mengumpulkan sumbangan dari Hindia Belanda (Indonesia), yang saat itu masih belum merdeka untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis.  Kutipan tulisan tersebut antara lain:
“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengkongsi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingan sedikitpun”.
(sumber:http://nurdayat.wordpress.com/2008/03/13/ki-hajar-dewantara-1889-1959-sosok-yang-keras tapi-tidak-kasar-2/)

Kepribadian Ki Hadjar yang sudah diakui rekan-rekan sejawatnya adalah wataknya yang Keras tapi Tidak Kasar atau dengan kata lain Kras maar nooit grof, keras namun tidak pernah kasar. Karakteristik semacam ini menjadi khas melekat pada setiap aktivitas Ki Hadjar dalam memperjuangkan pendirian, ideologi politik, dan prinsip kepartaiannya.  Hal ini ditegaskan kembali ketika Partai Hindia atau Indische Partij (IP) dibredel pemerintah Belanda pada tahun 1912, beliau tidak putus asa kemudian melakukan kritik pedas kepada penjajah juga dilontarkan melalui artikel kritisnya di de Express November 1913, berjudul Als ik eens Nederlander was (Seandainya saya orang Belanda) yakni dengan melontarkan sikap dalam bentuk teks sindiran tajam.  Ki Hadjar menyatakan rasa malunya ketika harus merayakan hari kemerdekaan negerinya dengan memungut uang dari rakyat Hindia yang terjajah.  Saat itu beliau masih dikenal sebagai Soewardi bahkan mengirim telegram kepada Ratu Belanda berisi usulan untuk mencabut pasal 11 RR (Regerings Reglement – UU Pemerintahan Negeri Jajahan) yang melarang organisasi politik di Hindia-Belanda.  Dampak dari tulisan tersebut maka Ki Hadjar kemudian direncanakan akan dibuang ke pengasingan namun beliau memilih lokasi pengasingannya di negeri Belanda.  Kemudian permohonannya dikabulkan pemerintah Belanda dan dibuang ke Belanda pada Oktober 1914 beserta gadis yang baru saja dipersuntingnya yakni R.A. Sutartinah sebagai teman dalam pengasingan sekaligus honey moon.
 Di pengasingan Ki Hadjar tetap mendalami masalah pendidikan dan pengajaran sehingga berhasil memperoleh Europesche Akte sebagai prestasi prestisius.  Sekembalinya ke negeri ini pada 1918, Ki Hadjar mencurahkan perhatian dan mendedikasikan seluruh waktu dan kemampuannya di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.   Bersama rekan-rekan seperjuangan kemudian beliau mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau lebih dikenal dengan Perguruan Nasional Tamansiswa yang resmi didirikan pada 3 Juli 1922, yakni sebuah perguruan yang bercorak nasionalatau kebangsaan.  Perguruan nasional Taman Siswa menerpkan konsep perpadukan model pendidikan barat dengan budaya-budaya negeri sendiri yang bersifat mandiri.
Karakteristiknya yang keras tapi tidak kasar ditegaskannya kembali ketika peristiwa rapat umum di Lapangan Ikada (sekarang Monas), 19 September 1945 yang saat itu pemerintah R.I. menghadapi tantangan, apakah presiden dan jajaran kabinetnya berani menembus kepungan senjata tentara Jepang di sekeliling lapangan.  Sebagian menuntut Presiden, Wapres, dan segenap anggota kabinet hadir di Lapangan Ikada agar tidak mengecewakan rakyat.  Yang lain menolaknya dengan pertimbangan keselamatan.  Akhirnya, semua sepakat untuk hadir di lapangan ikada.  Namun, siapa menteri yang harus membuka jalan memasuki Lapangan Ikada, sebelum rombongan presiden karena ada kemungkinan Jepang membantai rombongan menteri yang pertama masuk Ikada untuk mencegah keberhasilan Pemerintah RI menyatakan eksistensinya kepada rakyat dan dunia internasional.  Pada saat kritis inilah sebagai Menteri Pengajaran Ki Hadjar Dewantara unjuk keberanian, bersama Menlu Mr. Achmad Subarjo, Mensos Mr. Iwa Kusuma Sumantri menyediakan tubuhnya menjadi tameng padahal Ki Hadjar yang saat itu bisa dibilang tak lagi muda.  Saat diingatkan oleh Sesneg Abdul Gafur Pringgodigdo, “Ingat, Ki Hadjar ‘kan sudah tua.” “Justru karena itulah, mati pun tidak mengapa,” jawab Ki Hadjar enteng.  Sikap inilah yang memberi ketegasan nyali mendasari prinsip bersikap dan bertindak tidak main-main sebagai patriotik.  Ini manifestasi dari filosofis dari falsafah tut wuri handayani adalah bagian dari kesatuan yang lengkapnya berbunyi, ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani mengandung pengertian bahwa di depan memberi teladan, di tengah menghidupkan gairah, di belakang memberi pengarahan.  
Mungkin, peristiwa di atas sekaligus bisa memberi jawaban, apakah yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin kalau masyarakat yang dipimpinnya terancam bahaya.  Tindakannya tersebut sebagai manifestasi falsafah-falsafahnya baik dalam pndidikan maupun konsep kepemimpinan yang menjadikannya sebagai sikap keteladanan.  Bagaimanapun juga Ki Hadjar adalah seorang among dalam konteks kependidikan dan kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara sehingga beliau selalu menyampaikan amanat bahwa para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu, memiliki kompetensi, berkepribadian luhur, dan kerohanian yang kuat.  Setelah itu kemudian dapat menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa.   Beliau sendiri ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yang bermakna pahlawan yang berwatak guru spiritual ke tarap guru spiritual yang berjiwa ksatria dengan mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Artinya, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model seorang among atau figur seorang among yang memiliki derajat keteladanan, sebagai fasilitator atau pendidik.  Sebab itulah nama Hajar Dewantara menjadi putusan nama barunya yang memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, dan keutamaan.  Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus mempuni menguasai masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
 Ki Hadjar Dewantara telah diakui dunia internasional bahwa kecerdasan, keteladanan, dan kepemimpinannya yang telah berhasil meletakkan dasar Pendidikan Nasional Indonesia yang berazaskan kebangsaan.   Selain sebagai seorang tokoh masyarakat, konseptor dasar-dasar negara, dan tokoh politik, beliau juga dianugerahi sebagai pahlawan pendidikan yang dengan diabadikan kelahirannya 2 Mei sebagai hari Pendidikan Nasional.  Sebuah penanda penting bangsa Indonesia dalam mewarisi ajaran-ajaran dan spirit Ki Hadjar Dewantara dalam bidang pendidikan.  Tak hanya itu, pada tahun 1957 Ki Hadjar Dewantara dianugerahi gelar kehormatan Doctor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.  Tak lama berselang melalui Surat Keputusan Presiden RI no. 395 Tahun 1959 pada 28 November 1959 Ki Hadjar Dewantara ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional.  

b.    Berbagai Pandangan Politik Ki Hajar Dewantara dan Pengaruh Terhadap Tokoh Lainnya
Hanya dengan sedikit pengecualian, secara umum bangsa kita gagal dalam pembentukan kesadaran berpolitik dan melahirkan pemimpin yang wibawa yang memiliki bobot dan kualitas terbaik, bahkan juga gagal dalam mentransformasikan idealisme kepada lapisan baru dalam menuntun kelahiran pemimpin-pemimpin baru yang berkualitas.  Pada gilirannya, pemimpin-pemimpin baru yang tak berkualitas, yang naik karena pilihan terbatas the bad among the worst, juga tak mampu menciptakan sistem rekrutmen yang baik untuk sistem kepemimpinan guna melahirkan pemimpin baru yang lebih baik berlangsung turun temurun dalam kehidupan sosial maupun kehidupan politik secara menyeluruh mengalami krisis kepemimpinan. Kewajiban dan tugas melakukan pendidikan politik bagi rakyat secara luas tentu saja dengan sendirinya tak sempat tersentuh.
Sejumlah nama tokoh yang idealis dan berkualitas –yang beberapa di antaranya terjun mendirikan atau setidaknya menggagas lahirnya sebuah partai politik atau menggagas berbagai gerakan lainnya untuk kepentingan bangsa– dapat disebutkan dalam konteks ini, walau kerap memiliki nuansa berbeda, yakni Tjipto Mangoenkoesoemo, Wahidin Soedirohoesodo, hingga Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, HOS Tjokroaminoto serta Mohammad Natsir dan Haji Agoes Salim.  Meski memiliki landasan idealisme yang berbeda, dua nama tokoh komunis bisa pula disebutkan di sini, yakni Semaun dan Darsono yang pernah berada dalam Sarekat Islam, di luar nama-nama seperti Alimin dan Muso yang kontroversial. 
Selain tokoh-tokoh tersebut, Ki Hajar Dewantara yang dengan tegas sangat banyak melontarkan pemikiran-pemikiran baru yang berakar dari kebudayaan Indonesia sendiri (terutama kebudayaan Jawa) dan menempatkannya sebagai alternatif terbaik untuk dipergunakan sebagai landasan pendorong pembangunan manusia dan masyarakat yang insani. “Pemikiran-pemikiran baru itu berusaha mencari relevansi dari kebudayaan sendiri dalam proses perubahan dan pembaharuan masyarakat, dan oleh karena itu ia bertindak sebagai pelopor dari gerakan kebangkitan atau renaissance kebudayaan”, demikian Alfian.  Jika Ki Hajar Dewantara menyebut kebudayaan Indonesia sebagai mata air bagi arus utama pemikirannya, maka Tan Malaka mengaku bahwa cara berpikir maju yang diperkenalkannya banyak berasal dari dunia barat yang rasional dan logis, termasuk pikiran Marx-Lenin.  Akan tetapi menurut Rudolf Mrazek, cara berpikir yang dikemukakan Tan Malaka, terutama justru merupakan visi yang lahir dari struktur pengalamannya yang sejak lama terbentuk oleh adat dan falsafah Minangkabau, Sumatera Barat (Rudolf Mrazek, Tan Malaka: A Political Personality’s Structureof Experience, Indonesia, October 14, 1972).
Pada titik inilah dapat dibandingkan dengan Ki Hajar Dewantara yang berlatar belakang kebudayaan Jawa dan Mrazek mempelajari Tan Malaka melalui pendekatan struktur pengalaman seorang personalitas politik. Tan Malaka menyampaikan gagasan-gagasannya melalui pemikiran sosialistis yang sebenarnya berasal dari barat namun merupakan reaksi terhadap pemikiran barat sebelumnya, yakni kapitalisme yang liberalistis.  Tan Malaka mengajukan suatu pertanyaan uji yang amat relevan: Dalam revolusi nasional, apakah bangsa yang terjajah yang berjuang untuk membela kemerdekaannya ini sesungguhnya menjadi bangsa yang merdeka dalam segala lapangan kehidupannya terhadap bangsa lain, atau kembali dijajah dengan cara lama atau cara baru?  Suatu pemikiran yang menggambarkan mengenai kelahiran suatu masyarakat baru, yang akan mempunyai pengetahuan, pengalaman, dan perbendaharaan yang diperoleh seluruhnya dari berbagai bentuk dan warna sepanjang keseluruhan sejarah manusia dalam kurun ratusan tahun sebagai jenjang waktu dan peluang Indonesia membangun masyarakat baru dalam konteks politik dan membangun karakter kepemimpinan bangsa Indonesia. 
Figur tokoh pemikir lainnya dengan latar belakang yang juga sosialistis adalah Sutan Sjahrir banyak mengadopsi nilai-nilai barat yang dianggapnya baik menjadi nilai-nilai baru untuk membangun manusia Indonesia sebagai suatu masyarakat baru yang modern dan karenanya menjadi bangsa yang tangguh.  Namun pada sisi yang lain, Sutan Sjahrir juga bersikap selektif dan tak segan-segan melancarkan kritik terhadap berbagai unsur negatif dalam kebudayaan barat itu.  Setelah proklamasi, tatkala sisa-sisa perilaku fasisme masa pendudukan Jepang belum terkikis dari kalangan pemuda Indonesia, dengan semangat kemanusiaan dalam pemikiran barat yang diperbaharui, Sutan Sjahrir mengingatkan jangan sampai semangat revolusi meluap menjadi kekerasan dan teror yang tak bertanggungjawab. 
Jika pemikiran-pemikiran baru yang ditawarkan Ki Hajar Dewantara berakar pada penggalian nilai-nilai kebudayaan Indonesia sendiri, maka Mohammad Natsir yang pada dasarnya memiliki disiplin ilmu pengetahuan barat menambahkan dan menemukan pemikiran-pemikiran baru tentang Islam yang kemudian dikenal sebagai pemikiran modernisme Islam. Menurut Dr. Alfian, sebagaimana pemikiran baru tentang kebudayaan, pemikiran modernisme Islam berusaha pula mencari relevansi baru dari nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama dengan tuntutan perubahan dan pembaharuan masyarakat.  Meski harus diakui bahwa pemikiran-pemikiran yang bersandar pada referensi Barat, maupun yang dikembangkan dengan nilai-nilai dari akar budaya Indonesia yang dikembangkan berdasar nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama telah menghasilkan pemikiran-pemikiran baru yang orisinal.  Kendati tetap saja ada perbenturan antar pemikiran baru itu yang kadangkala amat sulit dipertemukan. Salah satu penyebab utama adalah ideologi maupun ajaran-ajaran agama yang menjadi landasan dasarnya masing-masing memiliki sejumlah nilai dasar atau bahkan dogma yang tak dapat ditawar-tawar sehingga sewaktu-waktu menyebabkan pencemaran dalam kehidupan bersama sebagai bangsa. Dalam pada itu, secara kultural atau pun dalam kebudayaan yang menjadi dasar tempat berpijak sebagai bangsa, terdapat benturan-benturan yang tak pernah berhasil dituntaskan. Sejumlah perbedaan sistim nilai yang terjadi secara horizontal di masyarakat tak berhasil dipertemukan melalui suatu dialog budaya yang bersungguh-sungguh dan dilakukan secara tekun. Padahal, para pemimpin masyarakat kala itu adalah tokoh-tokoh terbaik yang pernah dimiliki bangsa Indonesia, memiliki kualitas integritas dan idealisme yang tak perlu disangsikan lagi. 
Kemudian Soekarno terinspirasi oleh dasr-dasar pemikiran dan konsep politik Ki Hajar Dewantara mulai membangun kerangka pemikirannya ke dalam suatu konsep baru pandangan hidup bersama yang menghimpun nilai-nilai dasar yang terkandung dalam berbagai aliran pemikiran yang hidup dalam masyarakat menjadi satu rangkaian yang tak terpisah-pisah. Kristalisasi dari pemikirannya merupakan proses menghimpun berbagai pemikiran yang hidup di masyarakat dan dalam pikiran sejumlah tokoh yang menjadi pendiri bangsa, dipaparkannya dalam pidato 1 Juli 1945 mengenai Pancasila.  Namun Soekarno tidak pernah melakukan analisa dan penjelajahan pemikiran yang memadai tentang kebudayaan. Sehingga, sama dengan sejumlah tokoh lain yang menjadi pendiri bangsa ini, ia tidak begitu ‘mau’ mendalami fakta benturan kebudayaan, dan tak banyak berbuat untuk membangun dialog sebagai solusi menyelesaikan aneka konflik kebudayaan dan sistim nilai.  Disinilah kita bisa belajar dari ajran-ajaran Ki Hajar Dewantara yang menjadi pokok dasar pemikiran politik di Indonesia.

c.    Prinsip Dasar Kepemimpinan dan Dasar Ideologi Kepemimpinan Ki Hajar Dewantara
Pendidikan berada pada titik orientasi dalam membantu peserta didik untuk menjadi pribadi yang merdeka dan independen secara fisik, mental, dan spiritual.  Pendidikan tak sekedar mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan, karena pendidikan mampu memperkaya setiap individu dengan berbagai potensi dasar yang khas.  Proses pendidikan dapat memperkuat rasa percaya diri dan mengembangkan diri seoptimal mungkin.  Sebab itu seorang guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya untuk membangun seorang yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas intelektual, cerdas kepribadiannya, cerdas spiritualitasnya, dan memiliki relasi sosial menjadi bagian dari masyarakat yang berdaya guna dan pribadi bertanggungjawab.  
 Pendidikan nasional yang berkebangsaan dengan menggunakan sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love).   Asas Guru dapat dipandang sebagai suatu relasi pola atau tingkah laku antara Guru dengan subjek didik yang terdiri atas 3 pernyataan yang dirumuskan dari Ki Hadjar Dewantara, yaitu:
1)    Ing Ngarso Sung Tulodo, di depan seorang guru harus dapat memberikan contoh atau Teladan yang baik kepada siswa-siswinya. Ing ngarsa sung tulada juga dapat diimplementasikan dalam konteks kepemimpinan. Seorang pemimpin hendaknya mampu membentuk, memperhatikan, memelihara, menjaga kehendak dan keperluan atasan kepada bawahan dengan baik, dan mampu bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama (keberhasilan tim).  Menurut Ki Hadjar bahwa dalam kepemimpinan ketika proses pengambilan keputusan sebuah organisasi merupakan proses mengubah sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga terjadi peningkatan produktivitas kerjanya lebih baik dengan tetap memperjuangkan visi-misi organisasi.
2)    Ing Madya Mangun Karso, di tengah atau bersama-sama dengan subjek didik, seorang guru diharapkan dapat aktif bekerjasama dengan subjek didik dalam usaha mencapai tujuan pendidikan.  Ing Madya Mangun Karso juga dapat diimplementasikan dalam konteks kepemimpinan.
3)    Tut Wuri Handayani, di belakang, seorang guru harus mampu mengarahkan dan memotivasi subjek didik agar dapat mencapai hasil belajar yang optimal.  Tut Wuri Handayani juga dapat diimplementasikan dalam konteks kepemimpinan.
Jika kita dapat mengimplementasikan 3 Asas tersebut dengan baik dan bijak maka tujuan pendidikan “Mencerdasakan kehidupan Bangsa”  dapat tercapai dengan kesempurnaan yang ideal dalam menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kwalitas kehidupan yang memadai baik jasmani maupun ruhani.  Falsafah ini pun dapat diaplikasikan dalam kepemimpinan dengan arti seluas-luasnya.
Pemimpin sebagai mobilisator yang senantiasa mempengaruhi, mendorong, memotivasi, dan mengarahkan orang-orang yang dipimpinnya dengan penuh semangat, percaya diri, dan kerja keras untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi.   Seorang pemimpin seharusnya dapat memandu, menuntun, membimbing, memberi atau membangun motivasi kerja, mengemudikan organisasi, monitoring, dan membangun networking dengan semua stakeholder sehingga mampu membawa arah organisasi dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan bersama.  

d.    Revitalisasi dan Kontektualitas Pilar-Pilar Pemikiran Ki Hadjar Dewantara
Saya mempunyai keyakinan, Saudara Ketua, bahwa seandainya bangsa kita tidak keputusan naluri atau tradisi, tidak kehilangan “garis kontinu” dengan zaman yang lampau, maka sistem pendidikan dan pengajaran di negeri kita… pasti akan mempunyai bentuk serta isi dan irama, yang lain daripada yang kita lihat sekarang…(Ki Hadjar Dewantara).
Pernyataan di atas adalah sikap Ki Hadjar Dewantara yang disampaikan dalam Pidato Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada pada 7 November 1956. Teks ini secara tegas memperlihatkan refleksi Ki Hadjar Dewantara mengenai keadaan bangsa Indonesia yang mengalami distorsi atau penyimpangan jalannya sejarah peradaban masa silam selama 350-an tahun sebagai akibat penjajahan Belanda.  Dampak dari situasi penjajahan ini kemudian berakibat terputusnya tradisi dan budaya, termasuk di dalamnya sistem pendidikan bangsa Indonesia.  Bangsa Indonesia sangat lama mengalami kevakuman dan dengan sangat ‘terpaksa’ harus berkiblat ke Barat dalam bentuk, isi, dan irama sistem pendidikan dan pengajaran yang diadaptasi selama ini.  
Ki Hadjar Dewantara mencermati bahwa pendidikan ala Belanda yang muncul sebagai Ethische Politiek pada permulaan abad ke-20 pun dianggap tidak sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia karena sekedar mementingkan aspek intelektual, individual, material, dan kepentingan kolonial serta tidak mengandung cita-cita kebudayaan nasional.  Kemudian sistem pendidikan yang berkembang pasca era itu tetap masih memperlihatkan pengaruh sangat kuat sistem pendidikan ala Belanda.  Menurut Ki Hadjar, padahal tradisi bangsa Indonesia yang mengenal istilah pendidik seperti pujangga, dalang, dwidjawara, hadjar, pendita, wiku, begawan, wali, kyai, dan istilah anak didik seperti mentrik, sontrang, dahyang, cantrik, dan santri menunjukkan bahwa bangsa kita telah memiliki akar sejarah pendidikan yang panjang berasal dari budaya bangsa sendiri, namun akar sejarah dan akar budaya kita sempat terputus karena penjajahan Belanda yang berlangsung selama 350 tahun disusul kolonialisme lainnya Portugis dan Jepang.



Gb. 5
Ki Hadjar Dewantara bersama anak didiknya di Taman Siswa

Masa inilah bisa dikatakan masa terdistorsinya tradisi, budaya, pendidikan, dan sejarah bangsa Indonesia yang pernah mengalami masa keemasan dalam berbagai ilmu, misalnya ketatanegaraan, sastra, budaya, teknologi, pelayaran, pertanian, dan filsafat ketika masa Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur (abad IV), Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat (abad V), Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah (abad VI), Kerajaan Sriwijaya di Sumatra (abad VII), dan Kerajaan Majapahit (abad XIV).  Kemudian ketika kolonialis singgah dan menguasai nusantara, bangsa kita mengalami masa-masa pembodohan, pemiskinan, dan pengkerdilan sebagai bangsa terjajah.  Awal terjadinya ‘eksodus’ besar-besaran dimana berbagai ilmu khas Nusantara banyak diambil dan dipelajari oleh kaum penjajah dijadikan bahan kajian yakni studi tentang budaya, bahasa, teknologi pertanian, ilmu maritim, dan kesusasteraan nusantara.   Aset-aset budaya nusantara seolah dimampatkan dan dirampas sampai pada terampasnya kesempatan mengenyam pendidikan.
Masa generasi yang hilang pernah dialami bangsa Indonesia.  Masa sulit itu terjadi pada waktu Kerajaan Mataram di era pasca Sultan Agung hingga era Kebangkitan Nasional.  Dalam kurun waktu selama itu, bangsa Indonesia mengalami penetrasi dalam segala hal, seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya oleh Veerenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dan pemerintah Hindia Belanda. Masa-masa itu terjadi pembodohan, pemiskinan, dan pengkerdilan yang luar biasa yang mengakibatkan hilangnya harkat dan martabat sebagai bangsa besar.  Banyak upaya fisik dan non-fisik yang telah dilakukan oleh putera-puteri terbaik bangsa mulai dari perlawanan Sultan Agung, Amangkurat, Raden Mas Said atau Pangeran Samber Nyawa, Pangeran Mangkubumi, Pattimura, Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, RA Kartini, dan sebagainya.  Hingga perlawanan dengan jalur politik seperti Indische Partij, Budi Utomo, Sarekat Dagang Islam (SDI), serta perlawanan melalui jalur pendidikan dengan munculnya sekolah keagamaan dan kebangsaan seperti Perguruan Nasional Taman Siswa atau Nationaal Onderwijs Instituut. (sumber: KGPAA Sri Paku Alam IX yang dimuat dalam rubrik Opini harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Kamis Wage 5 Juni 2008)

Penutup
Perguruan berbasis nasional kebangsaan yang prakarsai Raden Mas Suwardi Suryaningrat atau Ki Hadjar Dewantara, putera dari Pakualaman Yogyakarta yang secara intens berupaya menyambung kembali garis tradisi bangsa Indonesia yang terputus dengan kejayaan masa lampau melalui jalur pendidikan.  Ki Hadjar dengan perguruan Taman Siswa berupaya meletakkan kembali dasar-dasar kebudayaan bangsa dan semangat kebangsaan di dalam gerakan pendidikan yang dilakukan di Jawa, Sumatra, Borneo, Sulawesi, Sunda Kecil, dan Maluku.  Dediksinya untuk memulihkan harkat dan martabat bangsa dengan impian besarnya untuk menghilangkan kebodohan, kekerdilan, dan feodalisme sebagai akibat nyata dari penjajahan dari muka bumi Indonesia. 
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan memberikan harapan baru untuk kemajuan bangsa Indonesia, bukan hanya pada masa awal kemerdekaan, masa kemerdekaan, dan masa pasca kemerdekaan.  Namun sebagai perenungan bagi bangsa untuk merevitalisasi ajaran dan falsafah Ki Hadjar Dewantara secara kontekstual ketika bangsa ini mengalami carut-marut pendidikan pada masa kemerdekaan, revolusi, reformasi, dan globalisasi.  Seperti yang dipaparkan KGPAA Sri Paku Alam IX yang dimuat dalam rubrik Opini harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Kamis Wage 5 Juni 2008, yaitu:
1)     Pertama, Ki Hadjar Dewantara melihat pendidikan melalui perspektif antropologis, yaitu bagaimana masyarakat dapat meneruskan warisan budaya kepada generasi berikutnya dengan mempertahankan tatanan sosial.  Ki Hadjar menyatakan bahwa “pendidikan adalah tempat persemaian segala benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan”.  Bahwa, segala unsur peradaban dan kebudayaan dapat tumbuh dengan sebaik-baiknya dan diteruskan kepada generasi muda berikutnya dalam menyongsong masa depan. Ki Hadjar memandang pentingnya pewarisan budaya sebagai cara merekatkan kembali sejarah dengan menyambung kembali peradaban bangsa yang pernah terdistorsi itu.  Menurut Ki Hadjar, budaya terus tumbuh sejalan dengan pendidikan merupakan proses akulturasi, dalam pengertian masyarakat tidak hanya menyerap warisan budaya tetapi juga memadukan berbagai unsur budaya tanpa menghancurkan unsur inti atau tema utama kebudayaan nasional (Cultureel Nationalisme). 
Ki Hadjar Dewantara (1964:19) memunculkan Asas Tri-Kon, bahwa pertukaran kebudayaan dengan dunia luar harus dilakukan secara Kontinuitet dengan alam kebudayaannya sendiri,  lalu Konvergensi dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang ada dan akhirnya jika sudah bersatu dalam alam universal bersama-sama mewujudkan persatuan dunia dan manusia yang Konsentris.  Konsentris berarti bertitik pusat satu dengan alam-alam kebudayaan sedunia tetapi masih tetap memiliki garis lingkaran sendiri-sendiri.  Inilah suatu bentuk dari sifat Bhinneka Tunggal Ika.  Ki Hadjar Dewantara menganjurkan untuk bersikap arif dan selektif terhadap unsur budaya Barat karena beliau pernah mengenyam pendidikan Barat, baik ketika di ELS (Sekolah Dasar untuk orang Eropa) maupun ketika mengalami masa pembuangan di Belanda bersama dua sahabat karibnya, Dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo.  Bahkan menurut kesaksian Bambang Sukawati Dewantara, dalam bukunya yang berjudul “Mereka yang Selalu Hidup: Ki Hadjar Dewantara dan Nyi Hadjar Dewantara”, dituliskan bahwa Ki Hadjar Dewantara, yang pada waktu itu bernama Raden Mas Suwardi Suryaningrat, sangat senang ketika mendengar kabar dari ayahnya yakni Suryaningrat bahwa dia diperbolehkan masuk ELS atas ijin dari Meester Abendanon.
2)    Kedua, Ki Hadjar Dewantara memiliki pemikiran bahwa pendidikan nasional harus berdasarkan pada garis hidup bangsanya dan ditujukan untuk keperluan peri kehidupan yang dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya.  Sehingga sederajat kedudukan dan pantas bekerjasama dengan bangsa lain untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia. Pemikiran ini menunjukkan bahwa Ki Hadjar Dewantara adalah seorang yang sangat menghargai pluralisme atau kemajemukan yang berpikiran visioner dan futuristik karena sistem pendidikannya memiliki sikap tanggap dan mampu menjawab tatanan dunia yang mengglobal menembus batas ruang waktu.  Pembebasan waktu dan ruang yang oleh Giddens (1990) dan Sastrapratedja (2001) disebut sebagai disembedding merupakan faktor dari proses modernisasi dan membawa implikasi pada universalisasi yang memungkinkan jaringan global berbagai hubungan antarbangsa melintasi ruang dan waktu.
Hal ini sudah sejak awal diprediksi Ki Hadjar Dewantara dalam konsep pendidikan nasional mengenai digagasnya asas Tri-Kon, yakni kontinuitet, konvergensi, dan konsentris sebagai cara dalam mengubah paradigma dan pola berpikir dalam menyikapi kemajemukan budaya nasional maupun multikulturalisme melalui pendidikan.  Kemajemukan pada akhirnya membuka peluang berkembangnya sikap toleran, inklusivisme, dan non-sektarianisme yang merupakan wujud konkret dari Bhinneka Tunggal Ika.
3)    Ketiga, Ki Hadjar Dewantara memandang sangat pentingnya pendidikan budi pekerti.  Baginya, sistem pendidikan ala Barat hanya berorientasi pada aspek intelektualisme, individualisme, dan materialisme yang tidak sepenuhnya sesuai dengan corak budaya dan kebutuhan bangsa Indonesia yang mengedepankan budi pekerti luhur.   Budi pekerti, nilai-nilai luhur budaya, dan religiusitas bangsa Indonesia hendaknya terpelihara, dilestarikan, diwariskan, dan  dijadikan dasar pedoman atau sebagai perekat kekuata sendi-sendi perilaku sehari-hari dalam kehidupan masyarakat Indonesia.  Nilai-nilai luhur inilah sebagai bentuk kearifan budi pekerti yang memperlihatkan ketinggian derajat, harkat, dan martabat bangsa.

Pendidikan dalam konteks pemikiran Ki Hadjar Dewantara tak cukup hanya menjadikan subjek didik cerdas kognitifnya, namun haruslah mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki anak seperti daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif atau psikomotorik).  Pendidikan juga harus mampu mengembangkan anak menjadi mandiri dan sekaligus memiliki rasa kepedulian terhadap orang lain, bangsa, dan kemanusiaan. Dengan demikian, pendidikan akan mampu membawa anak menjadi seorang yang humanis dan lebih berbudaya.  Dan, kata kunci dari semua itu adalah membentuk karakteristik bangsa Indonesia yang unggul secara intelektual, emosional, dan tangguh spiritualitasnya. Sehingga efek dari proses pendidikan nasional mampu membangun kekhasan sistem pendidikan dengan menghasilkan pribadi-pribadi bangsa yang cerdas berbudi pekerti luhur, kreatif, mandiri, berkepribadian, andal dan berkarakter kebangsaan yang humanis untuk menjawab tuntutan kebutuhan selaras dengan jiwa jaman.



Referensi:
Bulletin Folder Buku vol.4/Th.I/Mei 2003
http://nurdayat.wordpress.com/2008/03/13/ki-hajar-dewantara-1889-1959-sosok-yang-keras-tapi-tidak-kasar-2/
http://blog.elearning.unesa.ac.id/alim-sumarno/pengaruh-pemikiran-ki-hajar-dewantara-dalam-pendidikan
Johny Rusly http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2012/05/23/3-prinsip-dasar-kepemimpinan-ki-hajar-dewantara/
Ki Hadjar Dewantara  (1962), Bagian I Pendidikan, Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa
__________________ (1967), Bagian II Kebudayaan, Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa
KGPAA Sri Paku Alam IX yang dimuat dalam rubrik Opini harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Kamis Wage 5 Juni 2008 (1 Jumadilakir 1941 S). http://nurdayat.wordpress.com/2009/05/02/ki-hadjar-dewantara-menerobos-distorsi-dan-menyambung-benang-merah-peradaban/
Slamet PH, (2012), Pendidikan dan Kebudayaan, dalam presentasi makalah Kaderisasi Ketamansiswaan, Yogyakarta: LP3M UST
Theo Riyanto, FIC http://bruderfic.or.id/h-59/pemikiran-ki-hajar-dewantara-tentang-pendidikan.html
https://sociopolitica.wordpress.com/2010/04/13/indonesia-dalam-malapetaka-politik-ideologi-dan-keruntuhan-ekonomi-2/#comments




 BIOGRAFI PENULIS

  

Rusnoto Susanto, was born in Tegal, Indonesia on September 30th, 1972.
2012  Doctoral Candidate at Indonesian of Arts Institute, ISI  Yogyakarta (Studied Doctoral since 2010)
2007 Studied Fine Art of Post Graduate Program at Indonesian of Arts Institute Yogyakarta, 2009 (Cumlaude)
1992  Studied Visual Art Education in from FBS State University of Jakarta(UNJ),  graduate in 1997 
Employer  :   Visual Artist, Lecture and   Independent Curator
Address     :   Jl. Suryodiningratan  MJ II/712 Yogyakarta  Indonesia 55141
Mobile       :   081586185965  Email :  m_rusnoto@yahoo.com   blog: http: //netoksawijirusnoto.blogspot.com

SEMINARY
2012   Panelist ‘REVOLUSI BUDAYA VISUAL DAN SHOCK CULTURE’ at FKIP UST Yogyakarta
2011 Panelist ‘REKONSTRUKSI NILAI-NILAI MULTIKULTURALISME: Eksistensi dan Revitalisasi Citra Pendidik Seni Budaya’ Seminar Bahasa dan Seni dalam Merangkul Kebudayaan Nasional, at FKIP Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta
2010 Panelist INTERNATIONAL SEMINARY ‘Exploring Noble Values of Local Wisdom and Prime Javanese Culture to Strengthen the Nation Identity’ at The Institute Javanology Sebelas Maret University, Surakarta
2010  Panelist Indonesia Art Award for Teacher 2010, ‘KONSTRUKSI MULTIKULTURALISME: Eksistensi dan Revitalisasi Citra Pendidik Seni Budaya’ at PPPPTK art gallery Yogyakarta
2010  Panelist of National Seminary ‘Mempertimbangkan Kembali Multikulturalisme dalam Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan’ at UNY, Yogyakarta
2010  Panelist ‘Perspektif Multikultural dan Pemberdayaan Muatan Lokal dalam Pendidikan Seni Budaya’at Museum Pendidikan UNY, Yogyakarta

PUBLISHING
2011  Procceding ‘Life Style & Architectur’ with fullpaper: CYBER-ARCHITECTURE PARADIGM AND THE CONSTRUCTION OF CYBERCULTURE LIFESTYLE IN CONTEMPORARY SOCIETY at National Seminary, Atmajaya University, Yogyakarta. 
2011  Procceding ‘Exploring Noble Values of Local Wisdom and Prime Javanese Culture to Strengthen the Nation Identity’ at The Institute Javanology Sebelas Maret University, Surakarta.
2010 SOULSCAPE: The Treasure of Spiritual Art, (AA. Nurjaman, Anton Larenz, Netok Sawiji_Rusnoto Susanto, Sulebar M Soekarman), Yogyakarta: Yayasan Seni Visual Indonesia: Jakarta
2010 Virtual Displacement di SURYA SENI Jurnal Penciptaan dan Pengkajian Seni, PPs ISI Yogyakarta, Vol.6 No.1 February 2010
2009  Mempertimbangkan Kembali Paradigma Multikultural Dalam Pendidikan Seni Rupa & Kriya, (Penulis: Dr. M Dwi Marianto, Kasiyan, MHum, Dr. Djuli Djatiprambudi, Hajar Pamadhi, M Rusnoto Susanto, dkk), Penerbit FBS UNY: Yogyakarta
2008 SENI ABSTRAK INDONESIA: Renungan, Perjalanan dan Manifestasi Spiritual, (Penulis: AA. Nurjaman, Netok Sawiji_Rusnoto Susanto, Sulebar M Soekarman), Yayasan Seni Visual Indonesia: Jakarta.