Senin, 05 Agustus 2013

Karya Fotografi Kontemporer by Agung Prabowo

Karya Fotografi Kontemporer
 
  Saya teringat dengan komentar yang bernada agak "sinis" yang keluar dari mulut seorang pengunjung saat menyaksikan karya Davy Linggar dalam sebuah pameran fotonya tahun 1999 lalu. Hal yang sama pun terjadi saat pameran fotografi karya-karya mahasiswa ISI Yogyakara di GFJA, yang bertajuk Revolution #9, yang menurut saya benar - benar sangat revolusi (sesuai dengan tajuknya) .
Menurut saya kata sinis tersebut harus keluar karena ia harus menikmati karya brillian tadi ditengah pengetahuannya selama ini bahwa karya foto harus selalu indah-indah, atau kata itu harus terlontar karena ketidak biasaanya melihat karya-karya tadi ditengah karya-karya yang bisa dilihat yang selalu bernuansa indah, salonis dll.
Kata sinis seharusnya tidak keluar jika kita menengok dan sadar inti dari penciptaan seni sendiri (yaitu ekspresi), maka kita akan paham dan harus mulai tidak bersikap menganak tirikan karya-karya tersebut. (Baca : Fotografi adalah seni). Dan sepanjang jalan sejarah fotografi diIndonesia belakangan ini sebelum dua pemeran yang saya sebutkan itu, telah banyak karya-karya yang mucul dengan nada-nada yang sama seperti itu, tentu kita tidak lupa dengan Arkeologi Abad Mesin karya Nico Dharmajungen yang menurut saya sangat brillian. Dan mendapat pujian diluar negeri.
Jika kita ingat dan sadari apa yang kita ekspresikan melalui karya-karya kita, maka karya tersebut akan bicara tentang manusia (si penciptanya) yang sedang menyampaikan sesuatu kepada dunia melalui karyanya. Si pencipta berupaya menyimbolkan (dalam fotografi) & mentransformasikan (dalam seni rupa), tentang apa yang dirasakanya dalam dirinya (perasaan, kejiwaan,emosi dll) dan diluar dirinya (komunitas, sosial, budaya dll), yang semua itu dituangkannya kedalam media yang dipilihnya.
Dan kadang apabila ia berusaha untuk menjelaskan tentang segala sesuatu yang ada diluar dirinya ia akan cenderung mengunakan kajian atau presepsi dirinya sendiri untuk mentransformasikan atau menyimbolkan hal tersebut. Subyektif.

Andres Serrano
The Morgue Series: Rat Poison Suicide II
Courtesy Paula Cooper Gallery
Hal itu saya sebut dengan proses kreatif (konseptual), bahwa pengekspresian sebuah karya pasti berasal atau melalui proses kreatif si seniman, bahwa si seniman pasti dapat melalui salah satu atau beberapa proses-poses ini, sebelum menciptakan karyanya ia akan : membanyangkan atau mengimajinasikan, kontemplasi atau perenungan, merasai, meresapi, menciptakan presepsi sendiri, memikirkan & mengkonsepkan, karya yang hendak diciptaknnya.
Saat karya berbicara tentang si pencipta yang sedang mengambarkan apa yang dirasakanya atau apa yang dialaminya maka, melalui proses kreatif itu kita akan menyadari bahwa semua itu akan sangat subyektif dan relatif, karena proses kreatif itu berasal dari diri si seniman. Maka segala hal bisa ekspresikan, keindahan pun menjadi subyektif, aturan dan golden rule pun menjadi satu yang subyektif, akhirnya seni menjadi abstrak, universal dan bebas.
Dan kebebasan itu akhirnya membuat belengu keteraturan, kemapanan, komposisi, golden rule dan lain sebagainya dengan sengaja diporak - porandakan (memberontak), yang akhirnya kita akan mengenal banyak sekali aliran dalam karya seni (khususnya seni rupa). Yang berasal dari pemberontakan tatanan yang sebelumnya ada.
Contoh pada masa klasik di masa selanjutnya muncul realism selanjutnya impresionisme, selanjutnya ekspresionisme dan selanjutnya muncul suryalis, dadais dan lain sebagainya. Masing-masing memiliki ciri yang berbeda-beda, tapi yang satu akan mendobrak yang lain, yang baru mendobrak kemapanan.

Wols (Alfred Otto Wolfgangschulze)
Pada masa sekarang apa yang dimunculkan oleh karya fotografer yang saya sebut diawal adalah bentuk perkembangan seni menurut konteks masanya.
Menurut saya pada konteks dasar atau awal, karya Conetemporary art (seni kontemporer) atau karya fotografi kontemporer adalah seni berusaha mendobrak tatanan dan kemapanan yang telah ada, ia memberontak aturan-aturan dan mengangapnya sebagai belengu yang membelengu kebebasan (golden rule/komposisi dll), ia berusaha memberontak dari keindahan yang oleh seniman dulu keindahan malah dipuja (padahal keindahan tidak selalu berasal dari hal yang indah tapi dari apa yang kusam dan selanjutnya dengan segaja ditampilkan indah (dihiasi), itu semua terkesan menjadi tidak jujur dan munafik).

Apalagi pada era globalisasi saat ini, seniman dapat menjadi jemu dan jenuh, mungkin karena pengaruh dari dinamika dunianya, sosial atau komunitasnya, atau tekanan yang menekan dan memarjinalkan kesenimanan (khususnya seniman kontenporer), tapi memang yang paling klasih adalah ia menjadi jemu untuk mengikuti aturan dan menampilkan keindahan (yang munafik menurutnya), ia secara berani menampilkan ketidak indahan karena memang itu adanya atau sesuatu yang benar-benar tidak indah menjadi tujuan, hal ini dikatakan oleh Herbert Read (1893-1968) "Seni rupa pada akhirnya adalah penyingkapan kesadaran secara tidak senonoh...karena itu dalam seni rupa kontemporer keindahan bukan lagi tujuan", Selanjutnya apa yang secara tak sengaja/sengaja di lakukan oleh seniman kontemporer dengan menampilkan ketidak indahan, memberontak dari kebisasaan atau ketidak laziman, atau bahkan nyeleneh (aneh) dll sepertinya akan menimbulkan daya tarik atau sengaja dilakukan untuk menarik perhatiaan dari audiance atau penonton, memberikan satu kejutan, sesuatu yang lain dari pada yang lain.
Karya Seni rupa
V-yramid (1982), a pyramid of 40 working television sets, is an example of the work of Nam June Paik, an experimentalist in television imagery and an enthusiastic participator in musical and multimedia happenings. (Whitney Museum of American Art, New York
Karya Seni rupa
Non-Site (1965), by Robert Smithson
Dan menurut budayawan kita Dick Hartoko dalam bukunya Manusia dan seni, penerbit Kanisius, ia mengatakan "Sifat umum yang dewasa ini sering nampak dalam kesenian dunia barat tak lain adalah tak bukan ialah usaha untuk menimbulkan efek "shock", memperlihatkan rasa fustrasi, dan kejemuan yang dirasakan oleh sang seniman dan .....sebagian masyarakat. Baik dalam seni sastra, seni drama, seni pahat, seni film , dimana-mana kita jumpai gejala-gejala serupa itu, " Shock " : menggoncang (istilah saya memberontak) yang dulu dianggap mapan dan stabil, melemparkan batu ke kaca-kaca yang melindungi harta nilai-nilai tradisional, dengan sengaja menertawakan dan mencemoohkan apa yang oleh angkatan-angkatan dulu diangap suci dan keramat, memberontak terhadap tata tertib yang dulu tak pernah diragu-ragukan serta membubuhkan tanda tanya dibelakang setiap pernyataam dam ucapan. Gejala frustasi nampak dari suasana keabu-abuan yang meliputi banyak karya seni koentemporer rupanya tak ada gairah, ditonjolkan tanpa emosi secara faktual saja".
Andrea Modica
"Treadwell, New York"
Courtesy Julie Saul Gallery, New York
Tapi dalam perkembangan selanjutnya menurut saya karya kontemporer bukan lagi bicara pemberontakan kepada keindahan (dalam seni) atau upaya untuk memberontak dari aturan baku (tatanan yang ada komposisi, golden rule dll) dalam seni, tapi memang tidak dimungkinkan unsur itu akan selalu ada.
Dan selanjutnya pada perkembangan saat sekarang dan nanti karya kontemporer akan selalu menurut pada dinamika waktu, karya kontemporer itu sendiri akan berusaha terus memasukan kejemuan, frustasi, unsur sindirian, protes dan yang terpenting ia akan selalu memasukan unsur pada masa itu atau masa sekarang/masa kekinian, selanjutnya sesuai dengan masanya ia akan berusaha memasukan dan mengikuti trend atau gaya pada saat itu, teknologi (contohnya video dan Tv), bahkan berusaha memasuk-masukan unsur metropolitan / kosmopolitan yang berlaku saat itu dan yang terakhir yang saya tahu bahwa karya kontemporer mencoba kembali kepada alam dan kesederhanaan, dengan memasukan unsur alam dan etnikal. Sepertinya ada kefrustasiaan kepada moderenisme.

Sedangkan karya fotografi kontenporer lebih berbicara pengunaan kamera utuh untuk secara realistis merekam konseptual pemikiran si fotografer, ia akan selalu tampil jujur apa adanya, mempertontonkan ketidak indahan, subyektifitas, keburaman (out of focus seperti karya David Amstrong), blur, kesengajaan dalam proses pencucian dan pencetakan (seperti karya Ernst Hesse), kesederhanaan subyek yang menjadi obyek rekamnnya, kadang kesimpang siuran entah itu bidang atau garis diagonal dari benda yang ditemuinya (seperti karya Nico Dharmajungen), itu semua dijadikan satu alternatif untuk menentang keteraturan dan semua itu masuk dan berdampingan dengan fotografi yang merekam keindahan (salonis) dalam dunia fotografi sejak fotografer seperti Walker Evans, Man Ray atau Stern mulai mengabadikan sesuatu yang dimasa itu disebut aneh dan di masa sekarang karya mereka dihargai sebagai karya fotografi kontemporer yang brillian.
Saya lebih melihat ini semua sebagai gejala proses perkembangan karya seni sesuai dinamika yang terus berubah. Maka di era musik Alternatif, karya foto kontemporer adalah alternatifnya dunia fotografi.
Jika kita pahami karya-karya itu sebagai satu ragam yang baru dan apresiasi yang baru, segar dan modern maka kita akan sadar bahwa karya-karya itu akan benar-benar dikemudian hari akan memperkaya khasanah seni fotografi di Indonesia dan pada akhirnya dapat diterima.

http://apphoto.8m.com/note05.htm

Wimo Ambala Bayang :Menelisik Fotografi Kontemporer [Agung Frigidanto]

Wimo Ambala Bayang :Menelisik Fotografi Kontemporer

Sekarang fotografi sudah tidak peduli lagi pada bagaimana mengambil obyek dengan gaya tertentu, obyek tidak menjadi patokan dalam membuat foto menjadi indah. Bagaimana sudut pandang obyek harus dikuasai? Ini yang menjadi penekanan kontemporer. Ataukah cara lain memperlihatkan benda itu sebagai obyek foto. Vitalisasi obyek inilah yang membedakan dalam fotografi kontemporer. Bahwa obyek tidak begitu diperhatikan dalam pengambilan gambar. Benarkah?
Ada pengertian mendasar bagaimana memahami fotografi kontemporer dalam pameran Wimo ini. Selain itu obyektivitas melihat fotografi secara kekinian. Mungkin, bisa dilihat obyek mempunyai nilai dalam ranah fotografis, dilihat atau di foto secara apa adanya, atau melalui reka visual subyektif. Wimo mencoba meletakan pembacaan fotografis melalui benda-benda yang dihadapinya.
Wimo dan Obyek Fotografi
Melalui foto yang dipamerkan Wimo Ambala Bayang dengan judul pameran: Not So High (Heels), tempat:  D gallerie, Jalan Barito , Jakarta, pada tanggal: 27 Juli – 10 Agustus 2010. pertanyaan diatas menjadi bagian dari visual foto. Interpretasi terhadap foto merupakan bagian kontekstualisasi terhadap konsep apa yang dibawa oleh juru foto. Penekanan konsep karya dan konsep pameran menjadi sesuatu yang fragmentatif. Bagian karya, foto, bukan lagi diluar pameran tetapi menyatu dengan pameran tersebut. Sehingga apa yang diungkapkan dalam karya dengan konsep tidak ada batas.
Pada pameran ini Wimo mengungkapkan tentang bagaimana sepatu dengan tumit tinggi terlihat dari berbagai sisi, atau diberbagai tempat dimanapun berada. Seperti di atas tanah, bahkan dilumpur. Terlihat bagaimana permainan dengan benda-benda itu menjadi sesuatu yang menarik untuk dilihat lebih jauh. Karena tidak setiap saat benda itu atau sepatu high heels berada di lumpur. Layaknya permainan yang dilakukan oleh anak-anak menghadapi situasi alam. Tetapi sepatu yang digunakan Wimo untuk membuat visual fotografis lebih monumental dalam meletakan high heels tersebut. Sebab latar belakang dimana high heels ada merupakan keberadaannya.
Selain itu penutup kepala yang wujudnya seperti bulu kambing. Menutup kepala, dan seluruh rambut tertutup rapat, hingga terlihat bahwa kepala tergantikan oleh penutup mirip bulu domba tersebut. Melalui gaya pemotretan dengan latar belakang gedung dan kolam renang, serta model menggunakan baju renang, memperlihatkan keberadaan di tempat yang, mungkin, tidak semestinya. Karena bulu-bulu yang menempel dan menutup seluruh kepala seperti tidak tahan air. Tetapi kondisi model masih diatas air, sedang mempersiapkan diri diatas kolam renang.
Pameran ini memperlihatkan konteks bagaimana menggunakan benda yang subyektif dalam wilayah pemotretan. Apa yang diperlihatkan secara obyektif bukan cara memotret, tetapi apa yang dipotret. Sedangkan sudut pandang juru potret adalah subyektif, dan memberi pemaknaan bagaimana melihat benda diluar konteks setiap harinya. Inilah yang memberi pemaknaan baru terhadap benda, serta sudut pandang visual yang lebih atraktif.
Menafsir Obyek Non Permanen
Ketika kita mengunjungi pameran dan belum dibuka atau masih dalam tahap persiapan pembukaan, apa yang kita lakukan? Pertanyaan ini merupakan motif utama ketika Wimo mengerjakan proyeknya. Saat dia mengunjungi ArtStage, Singapore dan ArtHongkong tahun lalu. Wimo mencoba membuat foto-foto persiapan pembukaan, foto dengan obyek karya-karya yang hendak dipamerkan, atrau yang sedang ditata di booth, dijadikan obyek oleh Wimo Ambala Bayang.
Pada tahun 1990 Wimo Ambala Bayang mendirikan MESS56, kelompok fotografi di Jogjakarta. Karya-karya mereka yang tergabung dalam kelompok ini banyak dipamerakn di luar negeri, seperti di Australia, Jepang dan Korea. Berbagai pameran di Eropa sudah mereka jelajahi, bahkan menjadi artis in resident di berbagai negara. Fotografi kontemporer menjadi karya yang menarik, bahkan balai lelang Sothebys dan Christie’s melelang fotografi kontemporer dengan harga yang lumayan tinggi.
Melalui pameran: IsHot, dibuka pada tanggal 12 November 2011, bertempat di The Goods Dept, lantai 4, Plaza Indonesia, Jakarta. Wimo Ambala Bayang memajang karya hasil proyek pemotretan di art fair: ArtStage, Singapore dan Art Hongkong. Apa yang ada dalam pameran tersebut, terutama karya yang dipamerkan menjadi obyek utama Wimo dan dipamerakan dalam pameran kali. Berbagai karya yang ada di pameran itu menjadi obyek fotografis.
Melalui dua pameran tunggal diatas Wimo mencoba menjembatani bagaimana fotografi digunakan untuk membuat obyektivitas melihat benda dengan kenyataan dan lingkungan yang menjadi tempatnya. Atau bagaimana benda itu berada di suatu tempat dengan kondisi apa adanya. Disini pengertian fotografi kontemporer menjadi telaah yang mendasar, bukan bagaimana mengejawantahkan obyek tetapi apa yang ada secara nyata dalam obyek.(Frigidanto Agung)