KI HADJAR DEWANTARA:
TOKOH AVANT GARDE KEBANGKITAN NASIONALISME
PENDIDIKAN DI INDONESIA
Ki Moh. Rusnoto Susanto, S.Pd, M.Sn
(Tim Pamong Ketamansiswaan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta)
Setiap tahun bangsa Indonesia dengan heroik menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam momen penting peringatan hari besar negara yang kita cintai, khususnya pada saat upacara Hari Pendidikan Nasional setiap tanggal 2 Mei. Namun, sudahkah kita betul-betul menghayati dan meresapi dengan segenap jiwa raga bahwa lagu Indonesia Raya hadir di setiap awal upacara peringatan hari sakral ini? Seberapa dalam kita mampu menyelami bait demi bait dan kata demi kata padayang begitu padu dan selaras dengan nafas perjuangan pendahu kita? Bagaimana lagu ini begitu penting sebagai lagu wajib yang bersenyawa dengan lagu Hymne Guru dalam ritual sakral ini kalau bukan karena adanya kehendak anak negeri yang ingin mendudukan pentingnya pendidikan dan kemerdekaan yang diperjuangkan Pahlawan Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara yang secara lantang mendirikan perguruan untuk mengajarkan budi pekerti dan ilmu pengetahuan agar dapat melawan dan mengusir penjajah dari nusantara. Kesadaran anak bangsa yang luar biasa kendati berisiko tinggi karenanya secara terang-terangan dapat berhadapan kapan saja dengan Belanda ketika itu. Kegigihannya membuktikan rasa cintanya terhadap rakyat Indonesia sebagai impiannya melepaskan bangsa dari ketertindasan dan hak sebagai manusia yang menerdeka menuntut ilmu maupun merdeka untuk memiliki diri danmenentukan masa depannya sendiri.
Beliau mengorbankan rasa aman, kenyaman dan kenikmatan hidupnya untuk memperjuangkan hak rakyat untuk dapat mengenyam pendidikan setara dengan bagsa-bangsa lain. Ki Hadjar Dewantara memimpikan bangsanya memiliki kepribadian, bermartabat dan meninggikan derajat budaya bangsanya yang diperoleh dari proses pendidikan. Pertanyaan selanjutnya, sudahkah kita meyakini bahwa apa yang dicapai bangsa ini bukan sekedar bentangan sejarah dan untaian harapan semata tetapi sebagai bentangan harapan masa depan ‘merah-putih’ yang ditebus jiwa patriotik pendahulu kita. Lantas, bisakah kita berterima kasih pada jasa-jasanya dengan mewarisi jiwa merdeka sebagai pendidik dari seorang Avant Garde kebangkitan nasionalisme pendidikan di Indonesia? Konsep pendidikan yang berjiwa nasionalisme dan berakar pada ruh kebudayaan serta nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dalam membangun karakter bangsa yang tangguh dan mandiri berazaskan Pancasila dan Panca Dharma Tamansiswa. Karena kedua azas ini menyatu dalam ikatan sejarah, falsafah, nilai, dan ideologi.
Hardiknas : Spirit Ki Hadjar Dewantara dan Ruh Pendidikan Nasional
Hari pendidikan Nasional tak dapat dipisahkan dengan tokoh Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara. Dalam dunia akademi Dr. (HC) RM. Soewardi Soerjaningrat memperoleh gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada tahun 1957 yang memperoleh kehormatan dengan dihadiri Presiden RI Dr. (HC) Ir. Soekarno adalah momentum istimewa dalam sebuah upacara penganugerahan gelar kehormatan. Dalam pidatonya Ki Hadjar Dewantara mengaskan kembali mengenai konsep-konsep pendidikan nasional yang diperjuangkannya. Ki Hadjar Dewantara dikenal sebagai tokoh avant garde (garda depan) Pendidikan Nasional yang memperoleh penghormatan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional yang ditetapkan pada 28 November 1959 melalui Keppres No. 305 Tahun 1959 sesaat kemudian disusul Keppres No. 316 Desember 1959 pada tanggal 16 Desember 1959 yang menetapkan penghargaan sebagai tokoh pendidikan nasional menetapkan tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional. Penetapan tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional diambil dari tanggal lahir Ki Hadjar Dewantara tepatnya hari Kamis Legi, 2 Mei 1889 di Yogyakarta sebagai penghargaan atas baktinya dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Pendidikan Nasional memiliki sejarah panjang sejak jaman penjajahan, revolusi, masa kemerdekaan, masa pembangunan, hingga masa reformasi saat ini tak lepas dari spirit yang diwarisi Ki Hadjar Dewantara dan ruh pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional dirintis oleh tokoh-tokoh bangsa melalui karya sastra, pendidikan, agama, pergerakan pencerdasan bangsa yang tersebar dipenjuru nusantara dari Ki Hadjar Dewantara, Abdul Muis, RA. Kartini, RM. Soerjopranoto, KH. Ahmad Dahlan, KH. Agus Salim, KH. Hasyim Ashari, Jelantik, Buya Hamka, Hazairin, Mustopo, Sardjito hingga tokoh pendidikan masa kini Arief Rachman, Ahmad Syafii Maarif, Seto Mulyadi, dan Anies Baswedan serta tikoh-tokoh pendidikan lainnya yang mendedikasikan ilmu dan mengabdikan dirinya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta memuliakan bangsanya melalui kontribusi berharganya dalam membentuk karakter bangsa yang kuat.
Tokoh-tokoh pendidikan nasional secara historis meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional berbasis pada nasionalisme dan karakter budaya Indonesia. Pendidikan yang lahir dan tumbuh dari hasrat memerdekakan bangsa dari belenggu penjajah dan hasrat mencerdaskan kehidupan bangsa. Seperti Ki Hadjar Dewantara meletakkan dasar pendidikan melalui nilai-nilai, ajaran pekerti luhur, diktum, doktrin filosofis, dan berbagi fatwa untuk meninggikan harkat martabat, dan derajat budaya bangsa sendiri. Ki Hadjar Dewantara dalam buku I Pendidikan: Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka (2013: 15) secara tegas menyatakan bahwa pendidikan nasional menurut faham Taman Siswa ialah pendidikan yang beralaskan garis-hidup dari bangsanya (cultureel nationaal) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan (maatschappelijk) yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar dapat bekerjasama dengan bangsa lain untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia.
Sehingga nilai ini dapat dimanifestasikan bahwa pendidikan nasional tidak menemukan kebingungan ketika menentukan langkah dan penetapan kurikulum pendidikan nasional. Hal ini juga dikuatkan dengan pernyataan Ki Hadjar Dewantara melalui buku Puncak-Puncak dan Sari-Sari Kebudayaan di Indonesia (1927: 3) bahwa kebudayaan nasional ialah segala puncak-puncak dari kebudayaan yang terdapat di seluruh kepulauan Indonesia, baik yang lama maupun baru yang berjiwa nasional itulah kebudayaan nasional. Ketika itu dapat diartikan ada suatu kebangkitan nasionalisme pendidikan di Indonesia.
Kemudian saat ini sistem pendidikan berada pada upaya reorientasi nasionalisme mengenai konsep pendidikan melalui pendidikan karakter meskipun muatan lokal yang merepresentasikan pendidikan karakter tetap tidak diposisikan secara strategis dalam praktik pendidikan secara riil. Terbukti bahwa kurikulum dan sistem pengajaran yang masih kebarat-baratan dengan mencaplok metodologi dan ideologi pendidikan Barat. Bagaimana dengan sistem pendidikan nasional kita saat ini yang telah mereduksi pentingnya kebudayaan kendati sistem kurikulum kita masih tetap mondar-mandir memperkarakaran basis dan disibukkan dengan penggalian nilai-nilai kokal dalam memperkuat pendidikan yang berbasis karakteristik budaya nasional. Konsep pendidikan nasional terasa kehilangan orientasi, maka seyogyanya semua pihak pemangku kepentingan pendidikan di Indonesia selekas mungkin melakukan pembenanhan dan reorientasi pada sistem dan konsep pendidikan nasional yang digagas oleh Ki hadjar Dewantara.
Pendidikan Berakar pada Nilai Budaya dan Nilai Estetika
Secara eksplisit Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa sistem pendidikan nasional harus berdasarkan sistem, tata nilai, azas, dan bersumber dari akar budaya nasional. Sehingga dalam konsep pendidikan nasional memberikan kerangka sistem pendidikan yang berkebudayaan dengan sistem among, panca dharma, tri pusat pendidikan, trikon, trilogi kepemimpinan, trihayu, dan fatwa hidup tamansiswa. Pendidikan yang bertumpu pada upaya memerdekakan bukan memaksakan karena Ki Hajar Dewantara menekankan pamong dalam melakukan proses pendidikan mengacu pada proses belajar yang menyenangkan dan membahagiakan. Menekankan sistem among dan among sistem dalam kultur ke -Indonesiaan.
Sistem Among merupakan sistem pendidikan yang pada pelaksanaan pembelajaran menamkan jiwa kekeluargaan, meyakini secara kodrat alam seorang anak memiliki potensi cerdas lahir bathin dan menamakan jiwa merdeka. Dalam praktiknya sistem among menuntut setiap pamong (guru) sebagai pemimpin dalam proses pendidikan dengan memanifestasikan diktum Ing Ngarsa Sung Tuladha, Tut Wuri Handayani, Ing Madya Mangun Karsa, dengan menekankan ajaran perilaku jujur, tertib, damai, salam, dan berpekerti luhur. Sitem among berfungsi menopang segala potensi didik melalui asah, asih, asuh dan ngerti, ngroso, nglakoni untuk dapat mengembangkan individu yang berkarakter. Sistem ini menjadikan anak didik bebas menemukan potensi dirinya dan segala yang menjadi impiannya. Peran pamong membimbing, mendampingi, memupuk, menyemangati, dan mengantarnya ke dalam dimensi-dimensi tertentu pilihannya tanpa menekan, mengintervensi, dan melukai apa yang menjadi harapan maupun impian masa depannya.
Untuk mewujudkan Sistem Among, menurut Ki Hadjar Dewantara (1952:55-56) pendidikan berdasar pada kodrat alam dan kemerdekaan. Dasar kodrat alam perlu untuk mengganti system pendidikan cara lama yang menggunakan perintah, paksaan dan hukuman. Pendidikan tak sekedar mencerdaskan aspek intelektualitas (IQ) anak didik semata namun harus pula mampu mencerdaskan aspek emosional (EQ) dan spiritualitas (SQ). Jika semua aspek dicerdaskan maka anak didik menjadi pribadi yang memiliki mental sempurna sebagai manusia yang berkepribadian. Di sinilah pentingnya konsep pendidikan karakter yang dicita-citakan Ki Hadjar Dewantara.
Berkaitan dengan dukungan kurikulum yang berorientasi pada konsep membangun karakter manusia Indonesia seutuhnya maka kita selekasnya menggali dan mengkaji ulang baik-baik dasar-dasar pemikiran Ki Hajar Dewantara mengenai Pendidikan Nasional yang berbais pada kebudayaan dalam buku induk jilid I Pendidikan dan jilid II Kebudayaan. Menilik sejenak Disertasi Hajar Pamadi yang berjudul Dimensi Estetika Seni Ruang Publik di Yogyakarta Relevansinya Bagi Pengembangan Pendidikan Seni di Indonesia (2015: 32) dalam meraih predikat Doktor Ilmu Filsafat menyatakan bahwa strategi penyusunan kurikulum harus berangkat dari asumsi: (a) kurikulum menyesuaikan kondisi politik, ekonomi, dan teknologi, (b) kurikulum berangkat dari analisa sejarah, maka kurikulum harus selaras dengan sejarah keberadaan negara, (c) kurikulum berangkat dari kebutuhan dasar perkembangan jiwa dan filsafatnya. Pengembangan psikologis pendidikan pada ranah cipta, rasa, dan karsa sedangkan filsafat menguatkan berpikir kritis melalui ranah epistemologi, ontologi, dan aksiologi. Pada praktiknya pendidikan melatih kepekaan rasa melalui pengalaman empirikal untuk mengurangi natural deficit disorder yang secara prinsip mengaitkan langsung dengan persoalan sosiokultural dan lingkungannya, seperti prinsip tujuan pendidikan estetika menurut Swayer dan Italio (1974: 4) bahwa prinsip pengajaran secara kontekstual terkait dengan lingkungan pikiran dan perasaan dapat disatukan untuk membaca masalah (problem based learning) dan memahami isi berdasarkan pengamatan (research based learning).
Konklusi dan Rekomendasi
Pendidikan akan lebih indah ketika sistem yang dibangun adalah kedalaman ruh kebudayaan dan keelokan estetika. Indonesai memiliki keanekaragaman kebudayaan yang luar biasa sehingga pendidikan di Indonesia haruslah bertumpu pada kekayaan pendidikan multikulturalisme. Semua aspek yang melekat pada semangat multikulturalisme bangsa kita menjadi modal untuk melakukan proses pendidikan dengan ideal.
Saya teringat diskusi panjang lebar dengan Ki Sutikno di Perpustakaan Museum Dewantara Kirti Griya, beliau menginterpretasi gagasan pendidikan nasional menurut Ki Hadjar Dewantara ialah pendidikan yang diselenggarakan secara non diskriminatif, modern, religius, dan tematik (disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan dan jiwa jaman). Hal ini hanya bisa diimplementasikan dan dilembagakan pada jiwa pamong di era teknologi digital harus mampu melakukan proses pembelajaran dalam paket edutainment (pendidikan yang menghibur) sesuai semangat Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan yang didalamnya dilaksanakan oleh jiwa-jiwa merdeka tidak perlu memerintah, tidak memaksa, mengintervensi, dan tidak menghukum karena akan memerkosa jiwa anak dalam belajar. Pendidikan yang menyenangkan, menggairahkan, dan tepat guna dalam mengisi kekosongan kebutuhan jiwa yang dibutuhkan saat itu. Pendidikan yang kontekstual dan menyatu secara alami dengan kebutuhan perkembangan psikologis anak. Mengingat kembali falsafah Ki Hadjar Dewantara (ojo nunggang motor ning mbrebes mili ning mikulo dawet rengeng-rengeng) ‘Jangan naik mobil tetapi bersedih hatinya lebih baik hidupnya berat tapi hatinya bernyanyi karena bahagia batinya’. Pendidikan yang bertumpu pada kebahagiaan jiwa merdeka karena pada jiwa yang merdeka disana kejujuran pada diri terhadap kebutuhan psikologisnya sebagai peluang besar untuk menyerap ilmu pengetahuan dan pengembangan kepribadian lainnya. Sehingga seorang anak senantiasa memahami kebutuhan dan bertanggungjawab atas segala sesuatu yang dibutuhkannya. Di sinilah titik tolak sebuah perencanaan kurikulum dititik beratkan.
Sistem pendidikan hendaknya dibangun atas dasar cinta kasih, kebudayaan, dan basis estetika luhur. Bukan berdasarkan kehendak manusia dewasa semata tanpa memahami kebutuhan jiwa anak, tanpa sentuhan kasih sayang (Asah, Asih, Asuh), target nilai tertentu tanpa sentuhan estetika sistem pendidikan. Jika ini yang terjadi maka sistem pendidikan nasional mengutamakan wadag dari jiwa kosong dan pendidikan yang hanya mampu menciptakan manusia-manusia cerdas secara intelektual tanpa memiliki perilaku kepribadian yang baik warisan pekerti luhur dan keringnya tata nilai spiritualitas bangsa yang religius dan bertabat. Sikap jujur, saling menghormati, gotong royong, tepo sliro, anggah-ungguh, sopan santun, menghargai hak orang lain, dan lain sebagainya sehingga produk pendidikan kita tidak hanya cerdas intelegensi tetapi bangga ketika melakukan tindakan korupsi, tanpa merasa berdosa ketika melakukan pelecehan seksual maupun pembunuhan. Ini merupakan potret nyata masyarakat sekarang yang memprihatinkan, semoga ini teratasi dengan pembenahan sistem pendidikan nasional yang lebih berkarakter ke-Indonesiaan. Dan, Perguruan Taman Siswa akan mendukung sepenuhnya mengawal melalui jalur pendidikan pekerti yang kini terabaikan. Semoga jauh di hadapan kita ke depan akan tumbuh jiwa-jiwa Dewantara yang memiliki peran penting dalam membangun mutu dunia pendidikan nasional Indonesia yang lebih baik.
Referensi:
Dewantara, Ki Hadjar. 2004. Pendidikan. Cetakan ketiga. Majelis luhur Persatuan Tamansiswa. Yugyakarta
_________________. 1952. Tamansiswa 30 Tahun. Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. Yogyakarta.
_________________. 1927. Puncak-Puncak dan Sari-Sari Kebudayaan di Indonesia, Yogyakarta: Percetakan Taman Siswa.
Pamadi, Hajar. 2015. Dimensi Estetika Seni Ruang Publik di Yogyakarta Relevansinya Bagi Pengembangan Pendidikan Seni di Indonesia (Ringkasan Naskah Disertasi Ujian Terbuka Doktor Ilmu Filsafat UGM), Yogyakarta: Fakultas Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta.
Harrah's Cherokee Casinos - Mapyro
BalasHapusFind the best Harrah's Cherokee Casinos in Cherokee, 이천 출장샵 NC. 천안 출장마사지 MapYRO® offers complete casino 서귀포 출장샵 information, slot machines, table games, 원주 출장안마 live 광양 출장샵 entertainment,