Selasa, 03 April 2012

Brainshocking: Menggugah dan Membongkar Ide Kreatif

Bagian I.
Brainshocking: Menggugah dan Membongkar Ide Kreatif

Stimulasi listrik kemungkinan besar tidak akan mengubah Anda menjadi Albert Einstein, namun kekuatan ‘kebaruan’ imajinasi yang akan mengguncang persepsi orang lain terhadap potensi diri kita. [Cohen Kados].

A. Lompatan Quantum: dari Brainstorming ke Wacana Brainshocking
Berlian diperoleh dari mengaduk-aduk ratusan ton batu yang tak berguna. (James Mapes)

Saya ingin memetik ungkapan Erbe Sentanu (2007: 2) bahwa ‘semua yang tampak berasal dari sesuatu yang tidak tampak. Semua yang bisa dilihat berawal dari sesuatu yang tidak bisa dilihat’ untuk mengawali pembicaraan mengenai lompatan quantum yang terkait dengan pembahasan mengenai wacana brainshocking sebagai tema penting. Wacana yang mampu mengeluarkan kita dari confort zone dan memasuki quantum zone yang akan merevolusi cara pandang kita untuk meraih impian dengan membongkar ‘mengeksplorasi’ ruang-ruang gulita dan menemukan kebaruan-kebaruan nilai.
Dalam perspektif quantum, Mapes dalam Dwi Marianto (2004: 37) bahwa sebuah perubahan mendadak dan revolusioner itu bisa disebut sebagai lompatan quantum (quantum leap). Sebuah lompatan quantum, betapapun kecilnya selalu memberikan perbedaan besar dari masa lalu. Ia adalah lompatan yang terputus dari sebuah elektron dari satu orbit menuju orbit lain, dan partikelnya sama sekali tidak meninggalkan jejak. Ia adalah runtuhan seketika atas sebuah gelombang probabilitas ke dalam suatu peristiwa nyata. Ia menyeruakan penjelasan atas hubungan antara dua tempat, peristiwa, atau gagasan yang sama sekali terpisah satu sama lainnya yang sebelumnya tidak dapat dijelaskan dan selanjutnya, sebuah teori radikal baru telah lahir (Science Digest). Lompatan quantum inilah yang kemudian memunculkan istilah berfikir lompat quantum, sebuah rangkaian gagasan, konsep, distingsi, dan keahlian yang apabila disenyawaan seperti bahan-bahan kimia aktif akan meledak dan melemparkan kita ke tingkat yang lebih tinggi dengan pilihan–pilihan yang lebih besar. Dengan cara berpikir semacam ini kita akan mengalami ledakan-ledakan kreatif.
Lompatan quantum dipicu dengan metode brainstorming. Brainstorming lazim dikenal sebagai sebuah aktivitas curah gagasan atau curah pendapat. Sesi-sesi curah gagasan yang efektif bersifat acak atau tidak teratur sehingga gagasan deras kemunculannya tanpa ada hambatan dan rasa takut salah atau malu menyampaikan gagasan yang menurut kita kurang keren dan sebagainya. Nyali penting untuk proses brainstorming. Yang dibutuhkan adalah pernyataan, lesatan ide gila dan lompatan-lompatan yang tidak umum. Semacam lompatan quantum. Untuk melakukan sesi curah gagasan Tom Kelley dalam buku The Ten Faces of Inovation memaparkan item-item yang menuntun proses ini dengan aturan main sebagai berikut: 1) Kejar kuantitas, gagasan-gagasan yang bagus, baik dan cemerlang muncul dari banyak gagasan yang dikemukakan. Menyusun tujuan yang dinilai numeris dengan jumlah maksimal. 2) Dorong munculnya gagasan yang liar dan ekstrem. Ekstremisme sesungguhnya sebuah nilai yang baik. 3) Ciptakan gambar-gambar, dengan gambar-gambar akan merangsang kreativitas dan merangsang kembali kemunculan gagasan-gagasan baru yang lebih segar. 4) Tunda penilaian, dengan menunda penilaian maka proses curah gagasan berjalan wajar dan tanpa intervensi otak kiri kita yang selalu melakukan penalaran. Tak ada gagasan buruk maka buang orang-orang dengan pikiran skeptis. Mulailah berpikir secara kreatif dan kritis. 5) Satu percakapan dalam satu waktu, dengarkan dan berlaku sopan serta jadikan pendapat-pendapat orang lain sebagai fondasi.
Paparan di atas kemudian diurai kembali Tom Kelley dalam buku The Art of Inovation (2001: 73-80) memperinci metode brainstorming sebagai berikut: 1) Pertajam Fokus, sesi curah ‘gagasan’ pendapat harus dimulai dengan perumusan masalah yang jelas, bentuknya bisa saja seederhana pertanyaan namun spesifik. 2) Mulai dengan ide-ide apa saja, jangan mulai dengan mengkritik atau mendebat ide-ide. Biarkan ide-ide terlontar dengan bebas dan perasaan leluasa, bahkan ide-ide gila sekalipun bisa dilontarkan. 3) Menentukan jumlah ide yang hendak dicurahkan misalnya seratus ide dalam satu sesi curah gagasan selama satu jam seperti yang sering dilakukan IDEO. 4) Membangun dan Melompat, pertahankan energi ketika energi mulai melemah dan berupaya terus mengembangkan ide-ide kreatif. 5) Tulis aliran-aliran ide pada media yang dapat dilihat oleh peserta curah gagasan sehingga perkembangan ide terlihat alurnya. 6) Regangkan otot-otot mental untuk melontarkan ide-ide liar dan kreatif. 7) Lakukan secara visual, dengan mem buat sketsa, memetakan pikiran, meggambar diagram dan menempel gambar.
Sebagai teknik modern, brainstorming telah dikenal sejak 1938. Namun James Mapes dalam Dwi Marianto (2004: 40) menyatakan bahwa metode ini telah lama dilakukan oleh orang-orang Hindu, dan dalam metode inilah diperoleh kesempatan untuk melakukan lompatan quantum. Dengan teknik yang sangat sederhana, dengan mengutarakan ide-ide secara bebas tanpa kritik dan debat. Semakin liar dan gila ide-idenya muncul kemudian pada fase analisis melakukan pembahasan untuk mengategorikan gagasan dan melakukan seleksi untuk dibahas lebih mendalam. James Mapes pada Quantum Leap Thinking meberi penegasan kembali pentingnya brainstorming untuk melakukan lompatan quantum, dalam arti untuk memperoleh ide-ide cemerlang yang menerobos dan produktif, sebagai berikut: 1) Tuangkan ide sebanyak-banyaknya, fase ini bertujuan untuk membentuk gagasan sebanyak-banyaknya dalam waktu yang ditetapkan. 2) Jangan mengkritik, ketika kita memberikan penilaian maka berarti memojokkan semangat kreatif. 3) Bergerak bebas, meskipun aneh sebuah gagasan. 4) Membonceng, kita bisa terinspirasi ‘membonceng’ ide orang lain. 5) Bergembiralah, menciptakan suasana menyenangkan dan humor untuk meningkatkan proses kreatif, menstimulasi gagasan, mempercepat pemecahan masalah, meningkatkan proses pembelajaran, dan secara umum membuat hidup lebih menarik. 6) Istirahat, menyempatkan istirahat pada sesi pembentukan gagasan dan sebelum beralih ke sesi evaluasi kritis. Karena dengan istirahat memberian masa inkubasi bagi gagasan.
Wacana Brainshocking sesungguhnya terinspirasi dari metode brainstorming sebagai metode kuno yang terus menerus diperbaharui esensi dan interpretasinya disesuaikan dengan konteks persoalan yang berkembang dan konteks waktu yang menempa metode ini. Brainshocking merupakan proses mental ‘guncangan otak’ atau semacam upaya meakukan kejutan secara neurologis dalam menemukan gagasan imajinatif, proses penciptaan seni, dan perluasannya yang memberi efek kejut selanjutnya pada orang-orang di sekitarnya. Dengan begitu, memberi pengaruh proses produkivitas gagasan kreatif selanjutnya pada diri dan orang di sekitarnya. Wacana ini masih mengikat hampir keseluruhan metode brainshocking namun menekankan pada visi dan efek bagaimana sebuah gucangan otak dimulai dari kesadaran kita untuk memperoleh gagasan-gagasan imajinatif yang menekankan dan memiliki efek psikologis. Pada proses penggalian gagasan kreatif dimulai dengan menumbuhkan kesadaran melakukan lompatan-lompatan batasan yang sama sekali belum terpikirkan bahkan dieksekusi diri kita sendiri juga orang lain.
Wacana brainstorming menarik benang merah sejumlah disiplin ilmu pengetahuan untuk mengonstruksi termasuk di dalamnya berbagai perspektif neurologi, psikologi, antropososial, antrovisual, perspektif lompatan quantum dan estetika. Sudah barang tentu wacana semcam ini dianggap asing karena (masih dini dan belum banyak dibicarakan) perlu waktu untuk membuktikan berbagai tesis yang dikembangkan dan tinjauan kasus-kasus yang spesifik. Namun saya berkeras memaparkan berbagai analogi yang berkaitan dengan brainshocking sebagai pendekatan kreatif melaui tinjauan kemunculan ilmu pengetahuan, kasus-kasus proses kreatif dan karya seni monumental. Kasus-kasus monumental tersebut yang memberi pengaruh signifikan pada perkembangan ilmu pengetahuan –seni dan estetika- sebagai mental training membuka ruang kebaruan-kebaruan. Semua proses ini otaklah yang mengambil peran penting.
Seorang penulis terkenal Brian Tracy pernah menyatakan bahwa ‘kekayaan tunggal yang terbesar yang kita miliki terletak di antara dua telinga, yaitu otak dan kekuatan berpikirnya, bukan otot dan kekuatannya’. Kita harus mampu membangunkan dan memfokuskan diri kita kepada ‘si raksasa yang sedang tidur ‘otak’ kita ini. Karena otak merupakan sumber imajinatif, kreatif, intuitif, inovatif dan sumber penciptaan yang memiliki kemampuan berpikir jernih (clear thingking) dan kemampuan belajar cepat (accelerated learning). Organ tubuh kita yang paling canggih yang berfungsi sebagai pusat pengendali seluruh organ tubuh dan perilaku serta sebagai pusat studi dan berpikir.
Seperti diketahui pada disiplin neurology bahwa belahan otak kiri berpikir sistematis, struktural, superior dalam analisa dan menguasai artikulasi verbal. Belahan otak kanan berpikir holistik, mengenali pola-pola, mengonstruksi pola-pola, imajinatif, intuitif, dan presentasi ekspresi-ekspresi visual. Dalam kehidupan sehari-hari peran otak kiri begitu dominan dan menekan tindakan eksperimentatif yang sesungguhnya mampu mengubah dunia. Seorang seniman tentu memiliki pola kerja kreatif yang demikian menggilai kerja–kerja eksperimentatifnya yang membangun pola-pola kerja spesifik serta memerlukan ritme kerja otak kanan sehingga melahirkan ide-ide gila dan eksekusi visualnya mengguncang persepsi dan imajinasi orang lain.
Lingkup kerja seni selalu saja bisa didekati sebagai laboratorium brainshocking. Pada sejumlah kasus; gerakkan dadaisme, ekspresionisme, op art, dan pop art? Bagaimana karya-karya periode tersebut mengguncang otak masyarakat dunia pada saat itu, bukankah mereka bertumpu pada pola brainshocking? Malevich yang kita kenal sebagai pelukis sekaligus seorang arsitek pernah menggagas sebuah bangunan yang di presentasikan menggambang di atas laut. Citra floating dibangun di atas konstruksi struktur imajiner dan mekanika dengan perspektif yang sangat spesifik. Ia memainkan persepsi orang lain atas gagasan tersebut yang mengguncang otak bagi yang tak mampu menemukan interkoneksi imajinasinya yang menggila. Saat itu ditolak dan di anggap tidak masuk akal namun dalam perkembangan arsitektur kontemporer kita sering kali menjumpai landscape kota-kota dengan citra arsitektur yang demikian. Bahkan memicu kemunculan wacana dan praktik cyber-architecture belakangan ini. Malevich juga seniman yang bekerja atas dasar Brainshoking.
Plato dibingungkan oleh semacam intensitas psikologis seperti kehidupan Van Gogh yang dramatis dan menarik. Plato meyakini bahwa seniman selalu mendekati karyanya dengan semacam kegilaan. Sigmund Frued dan ahli psikologi lainnya telah memikirkan bahwa apa yang membuat suatu kegiatan artistik yang menjadi khas adalah kepribadian senimannya. Seniman mengubah fantasi dan keinginan-keinginan bawah sadarnya yang tertekan menjadi objek-objek yang dikenal, yang sebagian dari kita menikmatinya karena kita mempunyai fantasi dan keinginan-keinginan yang sama tetapi tidak mempunyai keterampilan dan kepribadian yang memungkinkan kita mengekspresikannya secara terbuka. Pendekatan teori Freud, baik secara filosofis maupun psikologis sangat penting karena mengimplikasikan sesuatu tentang watak seni sebagai rujukan watak psikologis khas seniman. Karakteristik semacam ini melekat dari waktu ke waktu di belahan bumi ini.

B. Brainshocking: Mental Training Sebagai Refreshing Otak
Penelitian-penelitian neurologis seringkali mampu menunjukkan adanya jarak waktu antara peristiwa elektris yang terjadi di dalam otak dan peristiwa mental yang terjadi di dalam kesadaran, namun hal tersebut tak berarti keduanya terpisah. Seperti yang diilustrasikan Calne (1999: 378) bahwa ketika petir berkilat sebelum gelombang tekanan udara jadi guruh yang memekakkan telinga, tapi kilatan petir itu aslinya merupakan gelombang tekanan udara. Secara rasional mustahil ini sebagai hasil kegiatan yang terjadi di otak karena otak kita begitu sangat sibuk mengendalikan seluruh organ tubuh kita tanpa kita sadari. Namun, berdasarkan berbagai temuan bahwa kegiatan elektris sel-sel saraf tetap berlangsung selama seseorang dalam keadaan koma bahkan. Ia menggambarkan adanya shock visual yang memberi efek kejut secara psikologis dengan sejumlah referensi yang muncul seketika petir menyambar dan disusul gemuruhnya guruh. Secara spontan semua saraf otak kita merespon atau mengasosiasikan berbagai referensi sejenis sebagai efek yang muncul seputar perubahan cuaca seketika itu juga dan memproduksi konstruksi-konstruksi suasana tertentu kemudian. Saya membayangkan ketika seni visual mengambil peran ini sebagai titik pijak brainshocking dalam kegiatan mental training, niscaya terjadi proses identifikasi dan pengayaan nilai estetik.
Melalui bahasa visual, brainshocking dalam proses kreatif adalah sebuah proses mental seperti ketika bahasa verbal telah mempermudah kita mengolah, mendeskripsikan, dan menyampaikan proses mental. Sebuah pengamatan neurologis yang menunjukkan bahwa rasionalitas dan bahasa sebagai hasil kinerja otak tak dapat dipisahkan. Frans de Waal dalam Calne (1999: 387) menegaskan dalam konteks kontemporer menyatakan bahwa a steady continuum dan tak ada tahapan yang bisa menunjukkan di mana akal budi muncul; dalam garis evolusi yang landai, semakin jauh evolusinya maka semakin meningkat ukuran dan kerumitan otak. Lebih lanjut Colin McGinn secara argumentatif menyatakan bahwa gejala-gejala mental dibagi dalam dua golongan besar yakni: ‘sensation’ (serba rasa) dan ‘attitudes” (serba sikap). Konsep sensation mencakup bagaimana menyadari bahwa dunia luar, merasakan emosi, dan mengalami fungsi-fungsi jasmaniah. Konsep attitudes mencakup bagaimana memikirkan proporsi. Konsepnya McGinn sebagian psikolog dan filsuf berpendapat bahwa istilah sensation seharusnya terbatas pada pengalaman langsung, baku (crude), sedangkan perception seharusnya dipergunakan untuk bentukan-bentukan mental yang lebih halus dan ditafsirkan sebagai citra-citra mengenai dunia luar. Maka tak berlebihan jika kita memahami struktur dan kinerja otak kita secara detail.
Otak menempati suatu ruang dalam tempurung kepala yang terhubung dengan sistem saraf tulang belakang manusia yang memiliki bobot sekitar 1400 gram (2%) berat tubuh seseorang. Keseluruhan bagian otak memenuhi seluruh rongga kepala yang terlindung lapisan-lapisan jaringan kuat yang ditopang dengan cairan otak yang menahan guncangan dan benturan pada tulang tengkorak. Anatomi belahan otak terdiri otak besar (cerebrum) berkait dengan daya serap pengetahuan dan proses pembelajaran, otak kecil (cerebellum) berperan dalam proses koordinasi dan keseimbangan, dan batang otak (brain stem) yang berfungsi mengatur denyut jantung serta proses pernafasan. Bentuknya akan menyesuaikan dengan pola pikir dan hidup seseorang yang menggerakkan mekanisme kerja otak tergantung kapasitas dan karakteristik kecerdasan yang dimilikinya. Semakin dewasa dan semakin berlekuk-lekuk dengan kedalaman lekukannya maka menandakan seseorang semakin banyak menyimpan informasi yang berarti semakin tinggi tingkat kecerdasannya.
Otak besar kita memiliki dua serambi; belahan kiri dan kanan yang terpisah oleh lekukan-lekukan memanjang (Fissura Longitudinalis) yang terdiri dari sebuah jaringan corpus callosum. Snell dalam Kushartanti (2005: 27) menggambarkan ketika otak dibelah secara vertikal pada bagian luar (cortex cerebri) berwarna abu-abu dan bagian dalam berwarna putih. Cortex cerebri berfungsi sebagai sensorik untuk menerima masukan, asosiasi yang bertugas mengolah masukan dan motorik berfungsi mereaksi masukan dengan gerakan tubuh. Otak memiliki kemampuan menyimpan seluruh informasi dengan menggunakan kekuatan asosiasi, semakin banyak informasi yang tersimpan maka produksi jaringan sel-sel otak berkembang membentuk relasi-relasi baru. Semakin meningkat jumlah jalinan saraf terbentuk dengan sendirinya semakin kuat informasi tersimpan dan tahan lama. Hubungan antar sel saraf yang berlangsung mengubah energi listrik menjadi energi kimiawi mengeluarkan neurotransmitter kemudian diubah kembali menjadi energi listrik pada jaringan sel-sel selanjutnya. Otak menangkap sejumlah stimulus untuk dipersepsi melalui kerja sel-sel saraf, sirkuit saraf, dan neurotransmitter.
Ketika kita menghadirkannya kembali maka otak akan menanggapi dengan cara yang sama berdasarkan referensi stimulus sejenis. Stimulus yang kontinu mempercepat peredaran energi listrik ke saraf-saraf otak yang mampu merefresh otak kita menjadi rileks dan fokus untuk melakukan sejumlah pekerjaan-pekerjaan besar berkaitan dengan penjelajahan kreativitas, menjelajah ide kreatif dan temuan-temuan inovasi. Mengutip pernyataan Taufik dalam Kushartanti (2005:27) bahwa fakta inilah yang membedakan otak manusia dengan unit komputer. Sekalipun komputer dirancang berdasarkan prinsip kerja otak, namun mekanika komputer semakin sering digunakan maka semakin aus yang akhirnya rusak. Namun otak manusia semakin digunakan akan semakin canggih karena ia mengikuti hukum ‘use it pr lose it’ (gunakan atau hilang) seperti hanya otot dan tulang kita. Saat ini kita masih mendapati hampir semua guru besar yang menyandang gelar Profesor di usia senja sekalipun masih memiliki ketajaman ingatan, kemampuan berpikir analitis dengan jernih, kecemerlangan gagasan dan kecanggihan berpikir dalam mengembangkan konsep-konsep ilmu yang digali melalui serangkaian studi dan penelitian yang tidak sederhana. Hal ini disebabkan karena kinerja otaknya selalu dipacu untuk mencerap berbagai informasi dan ilmu pengetahuan yang selalu diberdayakan untuk melahirkan temuan-temuan hasil pemikirannya. Dengan demikian sistem kerja otak semakin kuat dan tahan lama dalam menyimpan informasi.
Lebih lanjut Snell menyatakan munculnya eksplorasi era otak atau Brain Era (pada kurun 1990-2000) berhasil menunjukkan fakta bahwa otak menyediakan komponen anatomis untuk aspek rasional (IQ: Intelligence Quotient), aspek emosional (EQ: Emotional Quotient) dan aspek spiritual (SQ: Spiritual Quotient). Otak kita memiliki tiga cara berpikir yang kemudian dikenal berpikir rasional, emosional dan spiritual. Pada perkembangannya penelitian neurosains sedikitnya ada tujuh jenis kecerdasan yang diungkap Gardner (1999) yakni linguistik, matematika, spasial, kinestetik, musik, antarpribadi, dan interpribadi. Kemudian ia menambahkan adanya kecerdasan naturalistik, eksistensia dan spiritual. Begitu banyak misteri yang belum mampu terungkap namun secara sederhana Dryden, 2001) merumuskan ‘10 hukum dasar otak’ yakni: pertama, otak menyimpan semua informasi dalam sel-sel saraf. Kedua, otak memiliki komponen untuk menciptakan kebiasaan dalam berpikir dan berperilaku. Ketiga, otak menyimpan dalam bentuk kata, visual dan warna. Keempat, otak tak mampu mebedakan fakta dan ingatan yang bisa dicermati pada bentuk reaksi yang sama pada keduanya. Kelima, imajinasi dapat memperkuat otak dan mencapai sesuatu yang dikehendaki. Keenam, otak menyusun konsep dan informasi dalam bentuk pola-pola. Ketujuh, indera dan reseptor saraf menghubungkan otak dengan aktivitas dunia luar maka latihan indera dan latihan fisik memperkuat otak. Kedelapan, otak tak pernah istirahat, ketika rasional kelelahan dan tak dapat menuntaskan pekerjaan maka otak kanan secara intuitif mengambil alih peran untuk melanjutkan dengan pengembaraan imajinasi dengan kepekaan-kepekaan intuisinya. Kesembilan, otak dan hati senantiasa berusaha dekat. Otak yang diasah kepekaannya secara kontinu akan menjadikan seseorang semakin arif, bijak dan tenang kepribadiannya. Kesepuluh, kekuatan otak ditentukan oleh asupan gizi sehari-hari.
Tiga cara berpikir otak yang dikenalkan Snell dengan konsep Brain Era, bisa dijabarkan sebagai berikut:
1. Otak Rasional
Pusat otak rasional di cortex cerebri atau pada bagian luar otak besar yang berwarna abu-abu dengan volume memungkinkan manusia berpikir rasional dan berakal. Seseorang semakin tinggi budayanya maka ia mampu menggeser tabiat dan perilakunya lebih memusat dengan berpikir rasional. Cortex cerebri terdiri dua bagian dimana pada belahan otak kiri berfungsi untuk berpikir rasional, linier dan sekuensial sedang pada belahan otak kanan berkaitan dengan pemberdayaan aspek imajinasi, visual dan kreativitas. Keduanya kemudian bekerjasama dan berinteraksi untuk saling memahami serta mengeksplorasi yang memuka kemungkinan berbagai pemecahan masalah secara holistik.
Pemberdayaan pendekatan otak secara keseluruhan (Whole Brain Approach) mengacu pada potensi kinerja kognisi dan emosi yang tak terpisahkan. Kedua aspek yang saling menunjang, melengkapi dan sebagai controling. Ada berbagai informasi yang dikemas dala bentuk kata, gambar, visual, dan warna serta wewangian maka kedua belahan otak akan bekerja bersamaan secara otomatis dengan menyimpan informasi dan referensi pengalaman atau pengetahuan tersebut pada file penyimpanan baik pada data visual maupun yang non visual. Dengan begitu dinyatakan Dryden bahwa segenap informasi yang disajikan dalam keterpaduan kata dan visual akan lebih cepat terserap atau tersimpan. Kita bisa membayangkan keduanya terkoneksi melalui corpus callosum seperti sistem saklar yang maha rumit dengan jaringan 300 juta sel saraf aktif tak pernah berhenti bekerja. Inilah yang secara konstan menyeimbangkan semua pesan otak kiri-kanan dengan mengabstraksi semua informasi konkret, logis, dan holistik.
2. Otak Emosional
Otak yang terpusat pada sistem limbik secara evolutif jauh lebih senior dari cortex cerebri yang menunjukkan bahwa perkembangan otak manusia diawali dengan impulse emosional sebelum mendayagunakan pikiran rasionalnya dalam merespon lingkungan sekitar. Kemudian Goleman (1997) merumuskan bahwa kecerdasan emosional sebagai sebuah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi rasa frustrasi, mengendalikan dorongan hati, mengatur mood, dan menjaga agar stress tak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan berdoa. Karakteristik di atas sesungguhnya sangat berdekatan dengan kinerja otak spiritual dalam pengertian seluas-luasnya.
Secara genetik serangkaian muatan emosi tertentu menentukan temperamen kita namun dengan treatmen mental training dapat membentuk sirkuit emosi dan meningkatkan kecerdasan emosional yang mencakup; mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan. Kecerdasan emosional tersebut dapat ditreatment dan dikembangkan untuk pengendalian emosi yang mampu menentukan kualitas hidup, karena kualitas hidup dicapai dengan keleluasaan berpikir, bertindak, dan aktualisasi diri dengan pencapaian tingkat kenyamanan psikologis yang memadai.
3. Otak Spiritual
Otak spiritual berpusat di noktah Tuhan yang ditemukan Ramachandran di lobus temporal. Titik inilah, sebuah kesadaran tinggi manusia yaitu eksistensi diri tereksplorasi secara maksimal. Sebuah kesadaran tersebut dibangun oleh sel-sel kelabu dalam otak manusia secara alamiah melahirkan pikiran-pikiran rasional sebagai pijakan menuju kesadaran tingkat tinggi manusia. Sedikitnya ada empat bukti penelitian yang memperkuat hipotesa potensi spiritual yang berkembang secara neurologis membangun kesadaran sejati tanpa pengaruh panca indera, Taufik (2003) merinci sebagai berikut: pertama, Osilasi 40 Hz temuan Denis Pare dan Rudolpho. Melalui instrumen MEG (Magneto Encephalograph) ditemukan bahwa gerakan-gerakan sarat akan berlangsung secara terpadu pada tingkatan frekuensi 40 Hz. Kedua, Alam bawah sadar kognitif ditemukan oleh Joseph de Loux. Ketiga, God Spot pada area temporal yang ditemukan oleh Ramachandran. Keempat, Somatic Marker yang diketemukan olah Antonio Damasio.
Keterpaduan ini mampu membentuk seseorang berpikir jernih yang mengacu pada kerangka nilai sistematisasi dari fungsi spiritual otak melalui koneksitas vertikal dengan penciptanya mewujudkan nilai budi, kecakapan emosional, dan ketenangan-kenyamanan hidup. Kenyamanan hidup denga sejumlah variabelnya sesungguhnya membangun kualitas hidup yang ideal. Hal ini lebih disebabkan karena otak spiritual merupakan ruang kontak vertikal yang hanya akan mengambil peranan penting ketika otak rasional dan panca indera telah difungsikan optimal.
Kaitannya dengan aktivitas seni, dimana seni lahir karena eksplorasi kerja otak melahirkan gagasan-gagasan kreatif dan tindakan estetik dengan mengoptimalisasikan kecerdasan otak pada belahan kanan. Cermati sejenak pengakuan Albert Einstein bahwa ‘Imagination is important than knowledge’. Sikapnya meyakinkan kita semua bahwa bagaimana pentingnya peran imajinasi dalam melakukan perjumpaan-perjumpaan sucinya dengan pengetahuan yang hidup dan aktivitas seni yang berpengaruh signifikan pada transformasi gelombang otak terhadap munculnya aktivitas-aktivitas kreatif selanjutnya yang dipicu oleh sebuah lompatan imajinasi. Imajinasi membuka semua ruang tertutup yang potensial menjadi pilar-pilar bernilai. Kekuatan imajinasilah yang mengeluarkan manusia dari sistem kebudayaan purba, gulita, jahiliah dan menggapai puncak-puncak langit yang sesungguhnya mustahil dijangkau. Pencapaian-pencapaian besar sejarah kemanusiaan dengan sistem-sistem peradabannya yang dipresentasikan secara terperinci dan benderang oleh kekuatan imajinasi mulai dari gagasan lahirnya artikulasi bahasa, tanda visual, simbol, konvensi-konvensi, hukum, tata sosial, hingga pencanggihan sistem telekomunikasi dengan pemberdayaan gelombang dan partikel pada sistem fisika quantum dan lain sebagainya. Dalam perspektif teori quantum biasa disebut sebagai lompatan quantum (Quantum leap) yang berkaitan dengan sejumlah tindakan lompat batasan, melakukan hal baru seperti neutron meninggalkan orbitnya.
Gelombang otak beta, alpha, theta, dan delta yang bersemayam pada otak kita dan yang senantiasa berada pada posisi siaga menerima stimulus. Keadaan betha (13-28 cps) ialah suatu keadaan gelombang otak yang sedang aktif bertindak (sadar). Keadaan alpha (7-13 cps) ialah keadaan sedang bertindak (sadar), gelombang yang penting untuk membuka jalan menuju kekuatan pikiran bawah sadar. Keadaan theta (3,5-7 pcs) ialah keadaan pikiran seseorang yang mengolah wilayah kreatif dan inspiratif. Tetha juga bisa berlangsung ketika dalam keadaan tertidur dan bermimpi sehingga kekuatan mimpi juga bisa jadi sangat inspiratif dalam praktik hidup sehari-hari. Keadaan delta (0,5-3,5 pcs) ialah keadaan gelombang otak pada saat kita tertidur pulas tanpa gangguan aktivitas lain juga tanpa gangguan mimpi sisa obsesi yang terpotong pada realita kehidupannya. Nah, pada saat seperti inilah sesungguhnya kondisi dimana terjadi proses penyembuhan dan proses peremajaan kembali sel-sel otak. Jika, peremajaan berlangsung secara optimal maka seseorang dapat memperoleh kembali keseimbangan kinerja otak kanan dan kiri, khususnya dalam memberi respon visual dari seluruh gerak tubuhnya (baik cara berpikir, mengolah informasi, mengendalikan emosional dan memproduksi gagasan visual) secara imajinatif. Keadaan ini juga membuka ruang-ruang bebas kepekaan intuitif bekerja maksimal.
C. Misteri Otak Kanan dan Optimalisasi Kekuatan Imajinasi
Otak kita sungguh luar biasa jika diberdayakan, otak memiliki 100 milyar sel yang masing-masing sel terkoneksi dan berkomunikasi hingga 10.000 kolega-koleganya. Bisa dibayangkan jika secara bersamaan mereka membentuk jaringan yang luas lebih dari satu quadrillion (1.000.000.000.000.000) hubungan yang menuntun bagaimana kita berbicara, makan, bernafas, dan bergerak. Floyd E. Bloom, dkk dalam Daniel H. Pink (2006:26) menyatakan bahwa James Watson, pemenang Hadiah Nobel karena membantu menemukan DNA. Ia menggambarkan otak manusia sebagai ‘hal paling kompleks yang belum kita temukan dalam dunia kita’. Karakteristiknya yang kompleks justru sederhana dan simetris topografinya. Ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa garis pembatas neurologis Mason –Dixon membagi otak ke dalam dua wilayah; otak pada sisi kiri adalah belahan yang sangat penting karena belahan otak inilah yang membuat kita menjadi manusia. Otak kiri kita bersifat rasional, analitis dan logis. Dan, pada belahan otak kanan bersifat diam, tidak linier, dan naluriah (sebuah organ tubuh dirancang oleh alam untuk sebuah rencana dan tujuan yang telah dikembangkan oleh manusia).
Pada 1860-an neurologis Prancis, Paul Broca menemukan bahwa bagian belahan otak kiri mengontrol kemampuan untuk mengucapkan bahasa. Satu dekade berikutnya, neurologis Jerman, Carl Wernicke dengan penemuan yang sama mengenai kemampuan memahami bahasa. Penemuan yang menghasilkan silogisme yang sesuai dan meyakinkan karena bahasa adalah apa-apa yang memisahkan dan memberdakan manusia dengan binatang buas. Bahasa kemudian menempati wilayah kerja otak kiri dalam mengaktalisasikan manusia sebagai manusia. Kemudian pandangan ini bertahan selama abad berikutnya hingga Profesor Caltech yang bernada lembut W. Sperry membentuk pemahaman kita tentang otak dan diri kita. Pada tahun 1950-an, Sperry meneliti pasien penderita epilepsi yang mengharuskan menghilangkan corpus callosum, ikatan yang tebal dari 300 juta urat otak yang menghubungkan dua belahan otaknya. Sperry memaparkan bahwa otak kiri berpikir secara berurutan, superior dalam analisis, dan menangani-menguasai bahasa verbal sedangkan otak kanan berpikir holistik, pengenali pola-pola serta menafsirkan emosi-emosi, dan ekspresi-ekspresi non verbal.
Seorang instruktur seni Universitas Negeri California, Bety Edwards pada tahun 1979 dibantu Prof. Spery memindahkan laboratorium ke ruang keluarga. Kemudian ia menerbitkan buku spektakuler ‘Drawing on The Right Side of The Brain’. Ia menolak gagasan bahwa sebagian orang tidak mempunyai kemampuan artistik.(Edwards, 1999: 4). Dengan begitu sesungguhnya potensi otak kanan sangat terbuka untuk dikembangkan bukan mengandalkan potensi given (maupun bakat bawaan). Menurut Robert Ornstein dalam ‘The Right Mind’ (1997: 2) bahwa sebagian penulis popular menyatakan bahwa belahan otak kanan merupakan kunci untuk memperluas pemikiran manusia, menghidupkan trauma, menyembuhkan autis dan seterusnya. Ia merupakan kursi kreativitas, jiwa, bahkan gagasan-gagasan besar. Semua ruang pemikiran dan kebaruan-kebaruannya masuk ke berbagai ranah untuk memberi ruang perluasan ilmu pengetahuan secara umum bahkan fungsi terapi.
Arjatmo Tjokronegoro dalam makalah ‘Prinsip dan Fenomena Biologis dalam Kehidupan’ (2002: 235-239) memaparkan secara detail perihal misteri kinerja otak kiri dan kinerja otak kanan. Bahwa dalam otak kita memiliki sistem komunikasi yang amat rumit, penyimpanan informasi-ingatan, berbagai perangkat afektif (alam perasaan) –bertindak aktif atau bertujuan yang halus-, kemampuan untuk memecahkan problem dan kemampuan untuk melakukan penyelidikan. Neokorteks ini sangat berhubungan dengan panca indera dan kecerdasan yang tinggi: berbicara, membaca, berpikir dan mencipta serta melakukan apresiasi.
Neokorteks otak terdiri dari empat lobus yaitu frontalis, temporalis, parietalis dan oksipitalis yang berfungsi untuk berbicara, mendengar, melihat dan meraba. Fungsi utama korteks frontalis adalah aktivitas motorik, intelektual, perencanaan konseptual, aspek kepribadian dan aspek produksi bahasa. Fungsi utama korteks tempoalis adalah bahasa, ingatan dan emosi. Fungsi utama parietalis adalah input visual, taktil dan auditorik. Lobus parietalis kiri memiliki peran dalam proses verbal dan lobus parietalis kanan berperan besar untuk proses visual-spasial. Dan, lobus oksipitalis merupakan korteks sensoris utama untuk input visual.
Pada tahun 1981, Dr. Roger Sperry dari Universitas California Amerika dikukuhkan dengan memperoleh hadiah Nobel dalam ilmu kedokteran untuk pekerjaan dan penelitian split cortext brain menjadi hemisfer kiri (otak kiri) dan hemisfer kanan (otak kanan) yang dipisahkan oleh fisura serebral longitudinal. Kedua belahan otak tersebut tak terpisah melainkan dihubungkan oleh jutaan jaringan neuron yang sangat kompleks, yakni antar kedua belahan otak ini secara terus-menerus terjadi pengiriman informasi secara bolak-balik. Digambarkan bahwa hemisfer kiri yang biasa disebut ‘otak akademik’ sebagai bagian otak yang rasional, realistis, logis namun memiliki kemampuan analitik, matematika, abstrak, simbolik, dan logistik. Otak kiri proses berpikirnya bersifat linier, runut, sekuensial dan sangat teratur untuk memproduksi kemampuan ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi auditorial, menempatkan detail dan fakta, fonetik, serta simbolisme. Sedangkan hemisfer kanan terlibat pada aktivitas kortikal perseptual, visual-spasial, artistik, musik, sintetik dan terlibat dengan persepsi dan ekspresi isi afektif. Bagian ini memiliki cara berpikir bersifat acak, tidak teratur, dan intuitif (bekerja dengan bayangan dan hubungan serta mengembangkan data yag masuk). Cara berpikirnya berkesusaian dengan cara-cara utuk mengetahui berbagai hal yang bersifat non-verbal seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang berkenaan dengan bagaimana merasakan suatu kehadiran, kesadaran spasial, pengenalan bentuk, pola, musik, irama, gerak, kepekaan warna, kreativitas, kepekaan intuisi, dan visualisasi. Disamping memiliki kemampuan mengorganisasikan pola dan perilaku juga memiliki kemampuan berkaitan dengan pemikiran konseptual, gagasan abstrak, cinta, keindahan, dan kesetiaan.
Kedua belahan otak kita sangatlah penting artinya dan harusnya kita dapat memanfaatkannya secara seimbang dengan begitu belajar menjadi terasa mudah, baik dalam pekerjaan maupun kehidupan sosial menjadi sempurna. Ketika menikmati musik, otak kiri menangkap syair lagu, mencerap dan menyelami kata demi kata syairnya, sedang otak kanan merespon dan memproses melodinya secara emosional. Terjadilah accelarated learning. Begitu pula ketika kita menikmati gambar, lukisan, patung, adegan performing art maupun film maka kedua peran otak kita bekerja sedapat mungkin seimbang.


Tabel perbandingan antara hemisfer kiri dan hemisfer kanan (dikutip dari buku Visi Baru Kehidupan, 2002: 237)

Kita hampir tak menyadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari, peranan otak kanan lebih tinggi (80%) ketimbang peranan otak kiri yang hanya sekitar (20%) saja. Jika kita memiliki habitus penggunaan kategori otak kiri dan tak melakukan upaya tertentu untuk merangsang aktivitas otak kanan maka terjadi ketidakseimbangan yang berakibat stres dan gangguan kesehatan mental sekaligus fisik buruk. Kehidupan seniman sungguh akan berbeda, karena pemberdayaan kinerja otak kanan selalu dipicu oleh serangkaian aktivitas yang bersifat refreshing meskipun dalam wilayah kerja serius. Semua itu memproduksi efek positif yang akan mendorong kekuatan otak untuk meraih kesuksesan dan kehormatan yang tinggi karena siklus aktif dan positif beredar di dalam atmosfer yang terus tumbuh, hidup, dan bergerak.
Pada proses kreatif, seorang seniman seleluasa mungkin mengeksplorasi kekuatan otak dengan sedikit memberikan treatment kejut dengan memikirkan, membayangkan, dan melakukan berbagai hal baru yang sama sekali tak pernah ia lakukan kendati sudah diekplorasi banyak orang. Efek kejut maupun guncangan pada saraf otak memiliki dampak fisik maupun psikologis yang positif dalam meremajakan, menguatkan, dan menajamkan kepekaan otak dalam mengolah kecerdasan sehingga menghasilkan output yang mencengangkan. Karena potensi otak kita dalam merespon sesuatu yang berkelebat (nyata maupun imajiner) pastilah berbeda cara pandang dan penggunaan metodenya yang sangat bergantung pada referensi (berkaitan dengan pengalaman empiris, literatural, kemampuan menyerap informasi, interpretasi visual atas pengalaman orang lain, dan fenomena kehidupan sehari-hari dengan latar sosio kultural) atau ground individual. Seni berada pada ruang bebas dan cair untuk membuka berbagai kemungkinan terbuka dengan berbagai tindakan eksperimentatif baik mencampur, memisah, menipiskan, menebalkan, mengeraskan, melunakan, mengiris, memotong, menyambung, mengurang, menambah, menekan, mengangkat bahkan membuangnya sama sekali dan merevitalisasi menjadi sesuatu yang baru. Kesadaran atas kebaruan-kebaruan ini menjadi picu kinerja otak dengan segenap jalinan pusat-pusat kecerdasan yang mengarah pada titik orientasi kreatif untuk memunculkan gagasan-gagasan baru yang lebih kontekstual dan fresh.

D. Revolusi: Shock Visual dan Penggelontoran Gagasan Imajinatif
Imajinasi dipetakan William C. Chittick (2001: 124) menjadi tiga tingkatan dasar: kosmos itu sendiri, alam makrokosmis antara dan mikrokosmis antara. Ciri yang paling menonjol adalah ambiguitas sifat dasarnya. Bayangan mimpi misalnya, penting untuk dijelaskan baik menurut pengalaman subjektif maupun muatan objektifnya bahwa bayangan mimpi tersebut bisa benar juga bisa tidak, karena bisa jadi menurut seseorang kejadian tertentu itu tampak sementara menurut orang lain tidak seperti yang pernah di nyatakan Ibnu ‘Arabi yang menyebut alam semesta dengan ‘imajinasi’. Ia memandang adanya status ambigu dari semua yang ada kecuali Tuhan dan fakta bahwa kosmos menampilkanNya seperti halnya bayangan dalam cermin yang mempresentasikan sebuah realitas tentang diri orang yang melihat pada cermin.
Imajinasi alam makrokosmis antara adalah alam antara yang ada di tengah-tengah dua makhluk yang fundamental, yakni alam spiritual dan alam badaniah. ‘Dunia atau Alam Imajinasi’ mikrokosmis digambarkan dengan ‘tidak/tidak juga’ atau ‘baik (keduanya)/maupun’. (Chittick, 2001: 124). Ambiguitas intrinsik dari alam imajinasi tampak membawa entitas-entitas ruhaniah ke dalam hubungan dengan entitas jasmaniah yakni dengan meberikan realitas psikis dengan atribut-atribut yang bersifat fisikal.
Rumusan-rumusan imajinasi di atas sudah barang tentu cukup berbeda dari konteks imajinasi yang kita bayangkan berkaitan dengan aktivitas seni apalagi pada konteks pendekatan proses penciptaan seni. Namun, di sini picu utama Ibnu ‘Arabi mengenai alam semesta sebagai imajinasi memberi kesadaran mental kita bahwa bagaimana sebuah persepsi dibangun begitu filosofis sementara aspek yang ditafsir dan diidentifikasi adalah sesuatu yang sebenar-benarnya realistis. Akarnya justru di sini, sebuah hentakan yang perlu perumusan-perumusan ulang mengenai imajinasi atas realitas yang terhampar begitu luas di semesta yang semula sesungguhnya representasi dari imajinasi Tuhan tentang semesta. Kita diberikan keluasan untuk melakukan eksplorasi dan interpretasi-interpretasi bebagai gejala yang mengemuka di alam semesta. Ketika semesta di dekati dengan kata imajinasi maka sesungguhnya teks ini menggiring interpretasi kita bahwa alam sebagai sumber inspirasi, sumber imajinasi, sumber nilai dan sumber aktivitas kreatif serta kebaruan-kebaruannya. Bukankah hampir semua ilmu pengetahuan yang juga dipicu oleh kekuatan imajinasi manusia bersumber dari berbagai gejala dan fenomena yang alam semesta sajikan ke hadapan manusia?
Kekuatan imajinasi mengilhami Newton membangun teori gravitasi karena apel yang jatuh di kebunnya, yang menggugah pikirannya bahwa buah apel tersebut telah ditarik ke bumi oleh gravitasi karena konsep ini sudah lama ada sebelum dia menyempurnakannya. Nah, yang menggugahnya saat itu adalah imajinasi bahwa daya gravitasi yang telah mencapai puncak pohon apel ini sebenarnya terus mencuat ke luar bumi hingga mencapai bulan; dan gravitasi ini pula yang telah menahan bulan itu dalam orbitnya. Dalam menindaklanjuti temuan imajinasinya Newton menangkap similaritas fenomena keduanya, mirip tapi tak serupa. Bukankah gerakan apel ke bumi dan gerakan bulan di angkasa luar memang tidak mirip sama sekali kendati di dalam gerakan-gerakan tersebut dia melihat dua ekspresi dari dua konsep tunggal yaitu gravitasi. Konsep penyatuan ini dapat dikualifikasikan oleh Newton sebagai sebuah kreasi bebas, orisinal, dan sesuatu yang tak lazim saat itu. Sama ketika Keppler, berusaha menguak misteri alam semesta 100 tahun sebelum Newton, merumuskan hukum-hukum gerakan planet melalui pandangan-pandangan imajinatif-kreatif bahwa ia tak memikirkan hal tersebut sebagai suatu keseimbangan dari neraca bank kosmis namun sebagai sebuah ungkapan dari adanya kesatuan dalam semua kenaturalan ‘unity in all nature’. Fakta ini hendak menyampaikan bagaimana proses penggelontoran gagasan imajinatif dilakukan secara spektakuler sebagai tonggak sejarah dan ilmu pengetahuan. Tanpa keberanian mengajukan hipotesis dan melakukan serangkaian kajian atau penelitian maka ilmu pengetahuan tak pernah lahir dan berkembang.
Dalam konteks sejarah kebudayaan landscape semesta juga menjadi picu utama kreativitas dan pengembaran imajinasi. Karya-karya legendaris lahir melalui proses kreatif yang panjang dan perjuangan ideologi estetika yang melelahkan. Begitu banyak hal yang dikorbankan mulai dari aspek waktu, orientasi pikiran, materi, dan mengorbankan kebahagiaan-kebahagiaan yang ditunda untuk memprioritaskan proses kreatifnya. Proses kreatif kemudian dapat dianggap melekat dengan proses hidup itu sendiri. Kepahaman dan pemahfuman ini diyakini sejak jamam klasik hingga era kontemporer. Dan, tetap menjadi bagian yang menarik untuk dibanggakan sebagai suatu identitas dan prestige.
Legendaris dunia Leonardo da Vinci, Rembrant van Rijn, Theodore Gericoul, Gustave Courbet dan J. Louis David adalah sedikit dari banyak seniman dunia yang memiliki ketangkasan dan serba bisa, manusia yang menguasai banyak hal mulai dari pengetahuan filsafat hingga kepiawaian teknik. Saat itu mereka ditempa dengan realitas yang memungkinkan untuk menggali dan menguasai berbagai pengetahuan teknik (bahan, material dan proses) termasuk teknik sederhana pembuatan warna yang diolahnya sendiri. Mereka berhadapan dengan tuntutan untuk menguasai ilmu kimia dan pengetahuan dasar teknologi. Kemudian bergeser dengan perkembangan jaman semua bahan dan teknologi dapat disediakan pasca-industri hingga saat ini seniman dibebaskan memilih dan menentukan penggunaan media apa saja untuk mewujudkan gagasan kreatifnya. Dari hal-hal yang bersifat materi yang melekat pada kata seni hingga pencanggihan aplikasi teknologi dalam mengeksekusi konsep seni yang diusung.
Fakta sebagai akibat logis dari zaman Renaisance munculnya revolusi intelektual, demokrasi, dan teknologi. (Djatiprambudi, 2009: 86). Revolusi intelektual berdampak pada mencuatnya perkembangan ilmu pengetahuan, revolusi demokrasi mengakibatkan atmosfer kebebasan berpikir dan bertindak masyarakat dunia melonjak, dan kemunculan revolusi teknologi membuka ruang baru pada masyarakat dunia pada era globalisasi hingga saat ini. Hal tersebut secara signifikan mempegaruhi pergulatan kreatif seniman sehingga banyak memunculkan faham seni lukis yang pada saat itu berkembang pesat, mulai dari kelahiran Neoklasikisme sampai Abstrak kemudian mencuatnya era postmodernisme atau seni kontemporer: Pop Art, Op Art, Super Realism, Happening Art dan Conceptual Art. Sebuah revolusi besar-besaran yang memberi pengaruh luar biasa pada kebebasan mempresentasikan konsepsi, pengayaan gagasan imajinatif, dukungan pencapaian ide secara teknologi, keliaran kreativitas ‘visual shock’, dan tanda penting perkembangan peta seni rupa dunia.
Pada era post-modernisme, peranan teknologi merambah kemana-mana termasuk melecutkan berbagai pergeseran konsep visual, pencapaian teknis, persilangan media yang sangat eksploratif dan melahirkan berbagai pandangan filsafat sehingga berdampak pada pergeseran perspektif estetika. Masing-masing seniman mengusung paradigma sendiri-sendiri sebagai langkah besarnya untuk strategi identifikasi yang mampu mencuri perhatian para filsof untuk mendekati cara berpikir dan kreativitasnya, misalnya kaum modernis yang mempersoalkan struktur dan konstruksi seperti Piet Mondrian, Adolf Loos, dan Brancusi. Ada pula yang menggali esensi bentuk sebut saja Picasso, Delaunay dan Branque, kemudian beberapa yang menawarkan persoalan bentuk biomorfik seperti W. Kandinsky, Joan Miro dan Paul Klee. Bisa kita amati juga pada konsep estetika Monet yang menawarkan pemikiran relasi cahaya dengan warna dan konsep Le Courbusier yang memanifestasikan elemen-elemen organik pada perencanaan konsep arsitektur.
Pada era kontemporer, konsep estetika secara ekstrim dilontarkan para perupa kontemporer dengan jargon anti estetika keselarasan yang mengedepankan untuk memperoleh seni dengan kehidupan. Picu ini berakibat positif dengan gairah luar biasa pada praktik-praktik seni eksperimental pasca–industri yang dituntaskan secara gila-gilaan oleh Christo, Joseph Beuys, Robert Morris, dan sederet avant garde dunia.
Konsep-konsep avant garde setengah abad kemudian membius kelompok Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia yakni sebuah gerakan kesenian yang tak lagi berusaha menyuguhkan ‘isme’ tertentu namun menonjolkan dimensi seni esperimental dan kebaruan gagasan dengan the ultimate purity. Konsep estetika bergeser dan runtuh satu persatu dengan bantahan-bantahan dengan kemunculan berbagai teori seni baru yang menjungkirbalikkan konsep dan fakta estetik dengan the end of art theory.
Imam Buchori dalam Djuli Djatiprambudi (2009: 88) mencatat beberapa paradigma penting yang menggejala; (1) penolakan faham unity dan harmoni karena dianggap mengisolasikan objek seni dengan kehidupan, (2) penolakan konsep ideal (seperti keindahan) sebagai unsur akhir seni, (3) penolakan sikap kontemplatif berseni, (4) penolakan pada disinterestedness. Tak ada batas antara objek seni dan kehidupan dengan menolak ‘mengagung-agungkan’ keunikan seni. Seni bukan ekspresi belaka namun aspirasi yang memiliki dua dimensi sekaligus yakni dimensi spiritual dan fungsional. Pandangan ini yang memicu kelahiran karya-karya happenning art dan conceptual art.
Jika dunia sebagai landscape terindah dari semua planet dalam sistem tata surya kita, maka ruang imajinasi, intuisi dan eksplorasi-eksplorasi estetik masih memiliki keluasan ruang untuk digali lebih jauh. Pengetahuan menjadi perincian-perincian metodik untuk mengelola medan kreatif dengan pengembaraan imajinasi dengan gagasan-gagasan baru dalam melakukan konstruksi kebaruan-kebaruan estetika. Visi baru bagi seorang seniman adalah tetap menjaga kegelisahan kreatif dan intensitas kreatif pada titik didih tertinggi. Shock visual menjadi sebuah tanda penting kebolehjadian ‘keniscayaan’ yang tak dapat ditolak. Semua lahir dan tumbuh bersama pembaharu sebagai jiwa jaman. Semacam nilai-nilai yang diperjuangkan untuk terus menemukan rumusan-rumusan terbaru. Bukankah sebuah ‘revolusi’ estetika lahir dari kegelisahan kreatif seorang seniman untuk menemukan idelogi estetika yang diidealkan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar