Kamis, 05 April 2012

Visi Baru : Kekuatan Imajinasi dan Kebaruan-Kebaruan Estetik

Bagian II.
Visi Baru : Kekuatan Imajinasi dan Kebaruan-Kebaruan Estetik

All children are born geniuses (Daniel Goleman)

Tesis ‘All children are born geniuses’ dari Daniel Goleman cukup melegakan bagi semua orang tua yang melahirkan anak karena meyakini bahwa semua anak dilahirkan sebagai jenius. (Tjokronegoro, 2002: 241). Jenius secara logis, emosional maupun jenius secara spiritual bergantung pada potensi ia menjadi seorang Einstein, menjadi seorang Newton maupun menjadi seorang da Vinci. Setiap bayi memiliki potensi untuk menjadi Imago Dei (citra Tuhan) di muka bumi. Imago Dei sebagai given yang tak terbeli, hanya dengan membayar mahal dengan curahan daya untuk menjaga dan merawat hingga nilainya tetap meninggi bukan malah sebaliknya. Bagaimana potensi ini hidup, tumbuh, bergerak, dan berkembang dengan kecenderungan kecerdasan masing-masing dan visi hidupnya yang mematangkannya.
Jika dunia sebagai landscape terindah dari semua planet dalam sistem tata surya kita, maka ruang imajinasi, intuisi dan eksplorasi-eksplorasi estetik masih memiliki keluasan ruang untuk digali lebih jauh. Pengetahuan menjadi perincian-perincian metodik untuk mengelola medan kreatif melalui pengembaraan imajinasi dengan gagasan-gagasan baru dalam melakukan konstruksi kebaruan-kebaruan estetika. Visi baru bagi seorang seniman adalah tetap menjaga kegelisahan kreatif dan intensitas kreatif pada titik didih tertinggi sebab tidaklah sederhana menjadi jenius meskipun secara alamiah dibekali potensi itu. Jenius selalu saja melalui serangkaian proses kerja eksperimentasi dan sebuah tempaan dari semua sistem terkait yang berperan melakukan konstruksi tersebut.

A. Medan Kreatif Sebagai Visi Baru Kehidupan

Membicarakan medan kreatif sesungguhnya menyeret kita pada diskusi panjang mengenai inspirasi, gagasan, imajinasi, intuisi, visi kreatif, ideologi estetika, dan wacana visi baru kehidupan yang melatarbelakangi itu semua. Bagaimana sebuah picu kreatif dimunculkan sebagai pembentang keterperincian visi baru kehidupan yang sesungguhnya sebuah potensi yang melekat pada manusia kreatif, intuitif, eksploratif dan imajinatif. Jika kita punya cukup waktu mugkin saja kita bisa membentangkan keluasan pokok ini jauh sebelum manusia menemukan semua yang tumbuh, bergerak dan berkembang di luar dirinya sebagai sebuah kebudayaan yang ia lahirkan dari interaksi dengan alam sekitarnya. Pokok yang begitu luas sekedar kita runut jejaring-jejaring yang memiliki simpul penting untuk mengelaborasinya secara singkat dan permukaan.
Visi realitas baru didasarkan atas sebuah kesadaran kesalingterhubungan dan saling ketergantungan esensial seluruh fenomena fisik, biologis, psikologis, sosial, dan kultural. Fritjof Capra pada The Turning Point (2007: 317) menyatakan bahwa visi ini melampaui bataas-batas konseptual dan disiplin yang ada dewasa ini dan akan dicari di setiap lembaga baru. Saat ini tak ada kerangka baku yang mapan baik secara konseptual maupun institusional yang membantu perumusan paradigma baru. Namun garis besar kerangka semacam ini telah dibentuk oleh banyak pribadi, komunitas, dan jaringan yang mengembangkan cara-cara baru untuk memikirkan dan melakukan pengorganisasian diri sesuai atau beradaptasi dengan prinsip-prinsip baru. Sebagai suatu pendekatan sistem budaya kontemporer sebagai upaya merumuskan jaringan konsep yang terkait dalam pengembangan organisasi sosial yang lebih fundamental dalam sistem yang secara intrinsik bersifat dinamis.
Melalui sejarah, telah kita ketahui bahwa pikiran manusia sanggup menampung dua macam pengetahuan dan dua modus kesadaran sekaligus yang sering dibatasi oleh rasionalitas dan intuisi; masing-masing secara tradisional diasosiasikan dengan sains dan agama. Wilayah pengetahuan rasional, tentu saja merupakan wilayah sains yang hanya bisa menggukkur, mengkuantifikasi dan menganalisisnya. Keterbatasan pengetahuan yang dicapai lewat metode-metode ini menampakkan realitasnya secara telanjang di lapangan sains modern. (Eko Wijayanto, 2002: 7)
Sebagian besar kita mengalami begitu sulitnya sadar akan keterbatasan-keterbatasan dan tentang relativitas pengetahuan konseptual. Ini lebih disebabkan karena representasi kita tentang realitas sangat mudah dimengerti dibanding dengan realitas itu sendiri. Kita cenderung mengacaukan keduanya dan menggunakan konsep-konsep dan simbol-simbol untuk realitas. Kecenderungan proses riset ilmiah disusun dari pengetahuan dan aktivitas-aktivitas rasional kendati tak seluruhnya benar semua tersusun secara rasional. Pada wilayah rasional dari riset seenarnya tak berguna bila tak dilengkapi oleh kekuatan dan kedalaman intuisi yang memberikan para ilmuwan mengenai pemahaman-pemahaman intuitif dan karakteristik personal tertentu. Begitu juga sebaliknya. Pengalaman empirik berada di wilayah kekuatan pikiran dan dicapai dengan kapasitas memahami ketimbang kualitas memikirkan dalam menjalami serangkaian riset atas subjek maupun fenomena. Metode eksperimentatif dan induktif tampaknya paling representatif dilakukan oleh ilmuwan kebudayaan dan seniman yang mengorganisasikan kekuatan imajinasi dan intuisi sebagai motor penggerak proses kreatifnya. Sepertinya kita juga sedang diingatkan Capra (2000:22) bahwa pengetahuan rasional dan berbagai aktivitas rasional lain pastinya merupakan bagian terbesar riset ilmiah, namun bukan itu saja yang ada di sini. Aspek rasional dari riset bahkan tak berguna jika tidak dilengkapi dengan kekuatan intuisi yang memberi para ilmuwan berbagai wawasan baru dan menjadikan mereka kreatif. Inilah yang setidaknya menjadi variabel-variabel penting yang mampu menjadi perekat antara ilmu pengetahuan dengan pengetahuan seni.
Seni dan ilmu pengetahuan memiliki kesamaan mempresentasikan temuan-temuan berdasarkan fakta-fakta dan argumentasi-argumentasi yang meyakinkan. Dengan begitu sesugguhnya kajian-kajian seni, cultures studies dan ilmu-ilmu humaniora memiliki dasar penalaran yang serumpun untuk menemukan tiap detail imajinasi yang mengemuka. Ilmu pengetahuan bukan melulu menghamparkan pikiran dan penalaran begitu pula seni bukan landscape ilmu yang semata-mata mengawang pada presentasi perasaan, hati dan kekuatan imajinasi. Karena keduanya justru lahir dan dikembangkan berabad-abad dengan peran fakta dan kekuatan imajinasi, bukankah keduanya sesungguhnya sama-sama lahir dan hadir dari satu budaya? Budaya imajinatif-kreatif. Perumusan dan eksplanasinya merupakan buah dari eksplorasi-eksplorasi imajiner dan dari sesuatu yang awalnya tak tampak.
Persoalan hakiki bagi ilmuwan adalah mempresentasikan kebenaran dan sanksi dari fakta yang dialami, the sanction of experienced fact sebagai figurdan perwajahan dari kebenaran itu sendiri atas hipotesis-hipotesis yang mendasarinya. Sedangkan persoalan hakiki seniman bukan mencari kebenaran namun mengetengahkan perspektif baru yang berbeda dengan kebaruan-kebaruan dan sesuatu yang distinctive atas sesuatu yang umum pahami selama ini. Ilmuwan mengkonstruksi visinya acceptable secara lebih sitematik dari visi seniman meskipun banyak seniman yang dijadikan subjek kajian yang memiliki ‘a strong sense of belonging’.
Saya sangat terinspirasi pernyataan DR. Daoed Joesoef dalam Visi Baru Kehidupan (2002: 115-116) bahwa seni dan ilmu pengetahuan sebenarnya lahir dari satu induk yang sama: budaya iajinatif-kreatif, sebuah penyatuan ‘a complete culture, a unity out of variety’ sebagai sesuatu uiversalitas yang sepantasnya dihayati. Bukankah ‘great moments’ dari penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan pembaruan-pembaruan seni adalah saat di mana ilmuwan dan seniman melihat suatu kaitan baru antara aspek-aspek realitas yang berbeda dan tampak tak adad kaitannya selaa ini. Dengan enciptakan pola-pola baru, ilmuwan dan seniman mengadakan perubahan; yang mereka ubah adalah ‘the division of live’ yang sekaligus secara implisit memupuk ‘the culture of living change’. Dua bagian saling terkait dengan aktivitas dan visi melakukan sesuatu dengan memikirkan dan merasakannya. Karena apa yang diimajinasikan sebagai visi akhirnya dilakukan sebagai tindakan nyata. Medan kreatifnya adalah aktivitas kreatif dan kekuatan imajinasi sebagai picu utama. Tanpa visi baru yang lahir sebagai imajinasi-imajinasi dan kreasi-kreasi maka medan kreatif tak menghasilkan temuan apapun kecuali akan menjadi monster yang menakutkan yang tidak mampu membesarkan nyali untuk mendekatinya apalagi bermain di wilayah itu.
Visi ‘kreatif’ kehidupan memiliki ruang eksplorasi tak terbatas dan ruang yang bagi siapa saja memiliki potensi yang sama untuk meraihnya. Jim Taylor dan Watts Wacker, Visionary’s Handbook (2008: 262) membagi lima teori tahapan yakni keberanian, keberuntungan, kompleksitas, kontaminasi dan faktor-faktor yang tak terkendali. Metode ini berkonsentrasi pada produktivitas ide, pengelolaan ide kreatif dan teknologi yang membingkai visi pembetukan masa depan. Budaya imajinatif-kreatif tumbuh dari kesadaran manusia yang dibentuk menurut konsep ini sebagai realitas. Di balik penampilan dunia yang kasat mata terdapat arus dari suatu realitas yang lebih memiliki kebenaran yang kedalaman dan keluasannya tak dapat diduga secara pasti. Justru realitas inilah yang kemudian menjadi objek ilmu pengetahuan dan seni yang lahir sebagai instrumen yang menguak misteri realitas yang memiliki kebenaran. Ilmu pegetahuan dan seni yang berkaitan dengan aktivitas kreatif maka imajinasi saling menyempurnakan dan memperkuat peran atau fungsi untuk membangun nilai-nilai tertentu. Situasi semacam ini merupakan representasi kecil dari sebuah visi kreatif yang mampu memberi vibrasi organis bagi penjelajah imajinasi untuk mengguncang pikiran dan mengeksplorasi realitas sesederhana apapun yang mampu menginspirasi imajinasi kreatif selanjutnya.
Jika seseorang menelaah secara sungguh-sungguh kehidupan semesta dan aktif di dalam pengembangan konsep mengenai pengalaman bahwa hubungan kehidupan dengan pengalaman bukanlah hubungan universal dan partikular. Georg Simmel dalam Gadamer (2004: 77) setiap pengalaman mempunyai sesuatu tentang proses petualangannya. Jadi, petualangan memberikan kehidupan yang dirasakan sebagai keseluruhan di dalam nafas dan kekuatannya. Petualangan memiliki pesona dengan menghilangkan syarat dan kewajiban keseharian masuk dan berada dalam ketidakpastian. Petualangan menghamparkan sebuah ‘ujian’ sebagai proses pengayaan dan pematangan sekaligus karena kehidupan juga sesungguhnya dapat dipandang sebagai objek pengalaman estetik. Objek pengalaman ini yang biasa disebut Erlebniskunst (seni mengalami) sebagai bentuk seni sejati. Gagasan dalam sebuah karya seni merupakan transformasi inspirasi genius pengalaman untuk menciptakan karya seni.
Brainshocking sesungguhnya medan kreatif untuk individu-individu bernyali. Brainshocking bukan sekedar mengolah hal-hal yang bersifat fenomena semata namun menggali, megelola, mengolah secara liar berbagai hal yang noumena sekalipun. Sesuatu yang tak nampak menjadi ikhwal kemunculan ribuan bahkan jutaan presentasi imajiner yang segera mengemuka dari kesadaran dan visi baru kehidupan untuk menjelajahi segala kemungkinan. Menggapai ceruk-ceruk yang paling mendasar dari kekuatan imajinasi dan menggapai langit-langit intuisi yang tak terbatas.

B. Kekuatan Imajinasi dan Kebaruan-Kebaruan Estetik

Imajinasi dipandang sebagai cara yang tidak biasa untuk menciptakan sesuatu yang benar-benar baru dan distingsi. Seperti Beckwith (2007: 58) ketika menggilai petikan gitar George Harrison dan mencermati Roger McGuin pemusik rock yang mempelajari musik klasik, ia menyatakan bahwa tidak semua inovator menciptakan hal yang benar-benar baru seperti McGuin tinggal menggabungkan elemen-elemen yang sudah ada dengan cara yang belum pernah dilakukan orang lain. Meski sederhana kedengarannya namun tak setiap langkah ini akan berhasil dan imajinatif.
Dalam analisis mendalam, imajinasi bukanlah anugerah yang diberikan begitu saja pada orang yang sedang beruntung. Kita memiliki imajinasi khususnya bagi yang meluangkan cukup waktu dan menyediakan perasaannya untuk mengamati sekeliling dengan empati yang terpelihara. Semakin intens melakukan mengamatan dan pencermatan serta sedikit keberanian untuk membayangkan sesuatu yang tak tampak sebagai permukaan maka saya yakin kita semakin imajinatif. Karena dengan kekuatan imajinasi, visi inovatif dan kehendak mewujudkannya maka dengan mudah kita memperoleh temuan kebaruan-kebaruan estetik yang orisinal. Dan, untuk menciptakan lompatan-lompatan batasan yang lebih jauh hanya dengan mempelajari sesuatu yang baru. Hal baru berpotensi memicu imajinasi dan kreativitas baru.
Kekuatan imajinasi tak hanya terkait dengan sejumlah rasa melalui penglihatan, pendengaran, sentuhan namun kemudian ia harus berurusan dengan konstruksi berpikir dan penalaran ketik imajinasi hendak diwujudkan. Kekuatan imajinasi mengambil peran penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara keseluruhan baik dari ilmu-ilmu pasti sampai pada detail ilmu humaniora, imajinasi yang menuntut segenap persepsi, nalar dan cara pandang untuk mengembangkan keluasan jangkauan ilmu pengetahuan itu sendiri. Seorang ilmuwan sejati berusaha menyusupi alam (alam dalam pengertian sebenarnya atau alam dalam dunia imajinasi) untuk memahami dengan visi imajinasi kreatifnya. Hal ini nyata ketika kita mencermati konteks revolusi ilmiah petama terdahulu diawal penemuan keilmuan.
DR. Daoed Joesoef dalam Visi Baru Kehidupan (2002: 106) menyatakan bahwa revolusi tersebut terjadi tahun 1543 ketika Copernicus menerima kopi cetakan pertama dari buku yang telah disiapkannya belasan tahun. Tesisnya adalah bahwa bumi yang bergerak megeliligi matahari –suatu pandangan heliosentris tentang alam semesta- yang saat itu menentang pandangan geosentris yang berlaku. Langkah awal yang dilakukan Copernicus mengarah ke perumusan tesis ini dengan membuat lompatan imajinasi: melepasan diri dari bumi, membubung ke angkasa, lalu hinggap di matahari. ‘Menangkap bumi dari matahari’, demikian tulisannya dan ‘Mataharilah yang mengatur gugusan bintang-bintang’.
Kekuatan imajinasi mengilhami Newton membangun teori gravitasi karena apel yang jatuh di kebunnya, yang menggugah pikirannya bahwa buah apel tersebut telah ditarik ke bumi oleh gravitasi karena konsep ini sudah lama ada sebelum dia menyempurnakannya. Nah, yang menggugahnya saat itu adalah imajinasi bahwa daya gravitasi yang telah mencapai puncak pohon apel ini sebenarnya terus mencuat ke luar bumi dan angkasanya begitu rupa hingga mencapai bulan; dan gravitasi ini pula yang telah menahan bulan itu dalam orbitnya. Dalam menindaklanjuti temuan imajinasinya Newton menangkap similaritas fenomena keduanya, mirip tapi tak serupa. Bukankah gerakan apel ke bumi dan gerakan bulan di angkasa luar memang tidak mirip sama sekali kendati di dalam gerakan-gerakan tersebut dia melihat dua ekspresi dari dua konsep tunggal yaitu gravitasi. Konsep penyatuan ini dapat dikualifikasikan oleh Newton sebagai sebuah kreasi bebas, orisinal dan sesuatu yang tak lazim saat itu. Sama ketika Keppler, ketika berusaha menguak misteri alam semesta 100 tahun sebelum Newton, merumuskan hukum-hukum gerakan planet melalui pandangan-pandangan imajinatif-kreatif bahwa ia tak memikirkan hal tersebut sebagai suatu keseimbangan dari neraca bank kosmis namun sebagai sebuah ungkapan dari adanya kesatuan dalam semua kenaturalan ‘unity in all nature’.
Pada abad ke 17 René Descartes memperkenalkan konsep mekanistik yang dirancang dan dikembangkan sebagai perwujudan jiwa atau roh dari ilu pengetahuan modern untuk dijadikan pilar peradaban yang dipercaya bisa mencerahkan dan membebaskan manusia dari belenggu nilai-nilai pengetahuan dan kekuasaan jaman sebelumnya. Konsep pencerahan melalui berbgai pandangan ilmuwan dan budayawan dalam prosesnya kemudian melahirkan pemahaman materialisme dalam setiap aspek kehidupan ilmiah. Kemudian bergerak pemahaman terhadap materialisme yang mendorong manusia semakin percaya bahwa mereka sesungguhnya makhluk dominan yang semkin menjauhkan manusia itu sendiri dari alam yang menjadi bagian dari dirinya. Kemudian manusia membangun habitusnya yang superior tersebut. Manusia melakukan sesuatu seyogyanya harus dimulai dengan gagasan yang bisa berkembang menjadi konsep sebelum melakukan suatu tindakan bukan sebaliknya layaknya kerja otomatis mekanika mesin.
Yos Suprapto (2009: 24-25) menggambarkan bahwa Leonardo da Vinci sosok pemikir sistemik yang paham betul tentang kesatuan hidup alam yang saling mendukung dan memiliki hubungan tak terpisahkan di dalam kaitannya dengan energi. Dengan memelajari seluruh kumpluan buku catatannya yang dilengkapi dengan gambar-gambar sketsa original tangannya kita bisa menyimpulkan bahwa sumbangan Leonardo merupakan feomena hidup dari sebuah keyakinannya terhadap kekuatan alam yang ia hormati. Observasinya yang rinci bagaimana alam dan pikiran manusia menjadi sumber gerak eksploratifnya yang inspiratif dalam pengembangan ilmu pengetahuan kreatif dan perluasan nilai estetika yang dikedepankan sebagai bentuk ilmu pengetahuan yang memiliki nilai-nilai spiritual untuk lebih menghargai potensi alam dan kekuatan imajinasi manusia.
Sebuah pernyataan René Descartes yang mampu hidup beberapa abad, ‘Cogito Ergo Sum’ ‘Aku berpikir, maka aku ada’. Pernyataan ini mematahkan keragu-raguan filsuf rasionalis (1596-1650) dan itulah yang diyakini banyak orang telah membuka ruang berpikir manusia untuk melahirkan ilmu pengetahuan. Bahwa seseorang tokoh dunia yang memiliki impian besar bermula dari keberanian menggali potensi dirinya dengan ide-ide besar. Sejak Napoleon Bonaparte hingga Soekarno, dari Michael Angelo, Leonardo Da inci, Marchel Duchamp hingga Christo semua beranjak dari kegilaan-kegilaan ide-ide brilian melahirkan kreativitas-kreativitas yang mengguncang persepsi dan melahirkan nilai-nilai. Bagaimana ‘mimpi’ Wright bersaudara untuk bisa melenting terbang layaknya burung yang melipat jarak dan meringkas waktu Jakarta-London hanya 12 jam. Ide luar biasa bola lampu Thomas Alfa Edison dalam mengubah dunia melawan gulita dan Guttenberg-James Watt dengan ide gilanya menjadi lokomotif revolusi industri hingga pengembangan teknologi berikut proses pencanggihannya.
Mereka hidup dalam gelimang ‘dunia ide’ seperti yang disebutkan Plato mampu membangkitkan daya hidup hingga saat ini dan guncangan ‘dunia ide’ inilah yang mendekonstruksi segenap kemapanan cara berpikir saat ini dengan menempuh cara berpikir baru. Kreatif bukan sekedar berpikir dan bertindak asal beda melainkan bagaimana mengembangkan ide-ide segar dengan kreativitas tinggi dan pencapaian nilai-nilai estetika individual. Ide-ide segar dan kreativitas itu sumber creativepreneurship dan entrepreneurship yang terus meletakkan kita pada strategi berpikir ‘think out the box’. Ide gila menyatu dan mengalir sebagai spirit manusia yang sedikit banyak mewarisi gagasan Tuhan dalam proses penciptaannya. Karena saya yakin Tuhan memiliki ide-ide gila yang luar biasa ketika berniat mencitakan manusia yang dibekali kreativitas berpikir di atas mahluk ciptaan lainnya di muka bumi. Ide gila Tuhan mungkin akan menjadi suatu ide gila yang tak akan pernah terjadi lagi. Sekali dan berdampak luar biasa. Ide gila membangun mekanisme dan kinetika alam seisinya digerakan dan di benturkan bahkan. Ide gila yang meruntuhkan seluruh keangkuhan manusia. Ide gila yang menyelamatkan kau dan aku.
Sebuah ide gila selalu bersumber dari kekuatan imajinasi hasil kinerja otak kanan dan bekerjasama dengan otak kiri pada Era konseptual dimana perlu upaya melengkapi penalaran otak kiri kita dengan menguasai enam kecerdasan (hight concept, hight touch) penting yang difokuskan pada kerja otak kanan untuk membantu mengembangkan sebuah pikiran yang benar-benar baru sesuai tuntutan jiwa jaman. Phink (2006: 93-95) memaparkan; 1) Tidak hanya fungsi tetapi juga disain. Tak cukup fungsional di era kontemporer namun secara ekonomi penting dan bernilai secara personal menciptakan sesuatu yang juga indah, sedikit fantastis, dan menarik secara emosional. 2) Tidak hanya argument namun juga Cerita. Ketika hidup kita penuh informasi dan berbagai data, mengumpulkan argumentasi yang efektif tidaklah memadai. Sesungguhnya dibutuhkan esensi dari persuasi, komunikasi, dan pemahaman diri sebagai suatu kemampuan untuk menciptakan kisah yang menarik. 3) Tidak hanya fokus tetapi juga Simponi. Begitu banyak dari era-era industri dan informasi membutuhkan fokus dan spesialisasi-spesialisasi. Namun ketika pekerjaan kerah putih dialihkan ke Asia dan direduksi ke dalam software, ada sebuah penghargaan terhadap kecerdasan. Sebaliknya, menggabung-gabungkan bagian-bagian sebagai simponi. Kemudian apa yang menjadi permintaan terbesar saat ini bukanlah analisa namun sintesa. Sintesa untuk melihat secara keseluruhan perspektif, melintas batasan-batasan, dan dapat mengkombinasikan bagian-bagian terpisah ke dalam ruang satu kesatuan baru yang mengesankan dan memukau. 4) Tidak hanya logika tetapi juga empati. 5) Tidak hanya keseriusan namun juga Permainan. 6) Tidak hanya akumulasi tetapi juga Makna.
Paparan saya di atas dengan sejumlah tokoh dunia yang inspiratif dan berbagai pandangan filosofis meyakinkan dan meneguhkan pilihan-pilihan kita. Tak puas dengan segala yang kita lakukan, maka lakukanlah peran (dengan meminjam istilah Pink) sebagai ‘penyeberang batasan’. Sebuah upaya radikal untuk mengembangkan keahlian beragam bidang, berbeda bahasa, atmosfer yang berbeda, dan menemukan kesenangan –kenyamanan- dalam keberagaman pengalaman orang lain. Peran ‘penyeberang batasan’ bukan peran sederhana dan main-main karena dibutuhkan nyali sang juara, visioner, berani mengambil risiko terburuk dan siap untuk menjadi penyeberang batasan yang mencandu. Semua batasan menjadi sesuatu tanpa batasan, semua disiplin akan menjadi penting ketika kita berada di sana dan bergulat melepaskan batasan-batasan yang memejarakan. Penggambaran sosok Leonardo da Vinci ‘pelompat batasan’ bahkan mengingatkan kita pada karya-karya besarnya yang menginspirasi dunia kedokteran, seni rupa bahkan titik tumpu perkembangan teknologi penerbangan.
Para penyeberang batasan, Andy Tuck yang seorang profesor filsafat dan pianis yang menerapkan keahlian-keahlian yang mempertajam dalam bidang-bidang untuk menjalankan perusahaan konsultasi manajemennya. Gloria White-Hammond, seorang pastur dan dokter anak di Boston. ToddMachover, penulis opera dan membangun peralatan musik berteknoogi tinggi. Jhane Barnes, memiliki keahlian matematika menginspirasi disain-disain pakaiannya yang kompleks. Mihalyi Csikszentmihalyi, seorang psikolog dari Universitas Chicago yang menulis buku klasik Flow: The Psychology of Optimal Experience dan buku Creativity: Flowand the Psychology of Discovery and Invention, telah mempelajari kehidupan orang-orang yang kreatif dan menemukan bahwa ‘kreativitas pada umumnya mencakup penyeberangan batasan–batasan wilayah’. Orang yang paling kreatif diantara kita yang melihat hubungan-hubungan yang paling tidak pernah diketahui oleh orang lain. (Pink, 2006: 176-177)
Selanjutnya bahwa Mihalyi Csikszentmihalyi juga mengungkapkan dimensi bakat penyeberang batasan yang berkaitan: mereka yang memilikinya seringkali menjauhi pembuatan stereotipe peran gender tradisional. Temuannya bahwa ‘ketika tes-tes maskulinitas/feminitas diberikan kepada anak muda, secara berulang-ulang seorang akan menemukan gadis-gadis yang kreatif dan berbakat lebih dominan dan kuat daripada gadis-gadis lainnya. Dan, anak laki-laki yang kreatif lebih sensitif dan kurang agresif daripada teman-temannya’. Csikszentmihalyi dalam Pink (2006: 179) menegaskan bahwa ‘seseorang yang androgini secara psikologis sebenarnya menggandakan daftar respon-responnya dan dapat berinteraksi dengan dunia terkait dengan spektrum peluang-peluang yang begitu lebih kaya dan bervariasi’. Kemudian dikatakan Samuel Taylor Coleridge bahwa pada dua ratus tahun lalu para penyeberang batasan mengingatkan kita pada saat ini, pikiran-pikiran yang besar adalah androgini. Senada ketika ia meneliti Cobbet, ‘saya telah mengenal pikiran-pikiran yang hebat, dengan gaya-gaya seperti Cobbet yang mengesankan, tidak meragukan; akan tetapi, saya tidak pernah menjumpai pikiran besar seperti ini. Kebenarannya adalah, sebuah pikiran yang besar pastinya berwatak androgini’.
Ketika seorang seniman mengeksplorasi semua kemungkinan ruang kreatifnya dengan presentasi pola-pola personal, spesifik, dan original sesungguhnya ia tengah menggali dan menjumput nilai-nilai estetika baru. Nilai baru lahir karena kemunculan pandangan-pandang personal atas fenomena, respons atas berbagai fenomena, respons atas pengalaman empiris, representasi pengetahuan intelektualitasnya dan berbagai hal menyentuh kepekaan estetiknya.

C. Persoalan Estetis dan Estetika yang Tak Terumuskan

Salah seorang skeptis yang paling menonjol Morris Weitz, menyampaikan anggapan banyak kalangan sebagai argumentasi yang cukup memuaskan untuk kata ‘seni’ yang tak dapat didefinisikan secara baku. Hal senada disampaikan filsuf Ludwig Wittgenstein, bahwa ‘seni’ menunjuk pada hal-hal yang paling kehilangan ‘family resemblance’ (memiliki kemiripan dalam hubungan satu sama lainnya). Ia beranggapan bahwa kondisi keharusan dan mencukupi untuk penggunaannya yang tepat dan tak dapat diberikan layaknya game (bola, golf, dragon, spionase dan game bawah tanah (Dungeon). Apa karakteristik yang sama antara Fifth Symphony pada Beethoven, Mona Lisa pada Leonardo Da Vinci, dan Hamlet pada Shakespeare? Karya Marchel Duchamp yang dipajang museum kota Hartford ‘Fountain by R. Mutt’ adalah original luar biasa. John Cage ‘4 minuts and 33 Sconds of Silence’ dan beberapa puisi kontemporer menyajikan halaman kosong sebagai ‘puisi’ kemudian ada juga film beberapa menit yang tidak menghadirkan apa-apa kecuali suatu ruang hall kosong dan tarian kerumunan orang berjalan maju mundur melintasi panggung. (Eaton, 2010: 9-10).
Jerome Stolnitz dalam Eaton (2010: 32) menyatakan bahwa ada teori ekspresi Tolstoy merupakan versi teori yang kuat mengingat sesungguhnya teori ini menggabungkan dua cara untuk menjelaskan ekspresi artistik, yaitu: (a) dalam pengertian perasaan seniman dan (b) dalam perasaan penikmat. Masing-masing sudut pandang dapat digunakan terpisah untuk menjelaskan ekspresi. Mungkin kita dapat menyatakan bahwa karya seni sedih atau mengekspresikan kegembiraan, kita telah membuat pernyataan tentang senimannya. Oleh karena itu kitapun dapat menyebut teori itu sebagai berikut: (1) y mengekspresikan y jika dan hanya jika seniman merasakan y ketika memproduksi x. (2) x mengekspresikan y jika dan hanya jika x menyebabkan (membangkitkan atau memadamkan) y pada penikmat. (3) x mengekspresikan y jika dan hanya jika x adalah y. (4) x mengekspresikan y jika dan hanya jika x mendeskripsikan atau menggambarkan seseorang yang merasakan y. (5) x mengekspresikan y jika dan hanya jika x memiliki ciri orang yang merasakan y. (6) x mengekspresikan y jika dan hanya jika x memperlihatkan sesuatu sedemikian rupa yang menunjukkan y. (Frase ‘jika dan hanya jika’ mengindikasikan bahwa apa yang mengikuti adalah kondisi keharusan dan mencukupi bagi apa yang mendahuluinya). Suatu karya seni akan mengekspresikan kesedihan jika dan hanya jika seniman merasa sedih ketika memproduksinya. Sebagai dukungan atas teori ini adalah kecenderungan kita untuk menganggap seniman sebagai orang yang lebih peka, yang bakatnya terletak pada kemampuannya meletakkan perasaan pada kata-kata, bunyi dan bentuk-bentuk atau gerakan. Sulit membayangkan seseorang yang tidak mengalami suatu kerinduan akan masa lalu yang tak dapat kembali dapat menuliskannya.
Suzanne Langer dalam Edmund Burke pada A Philosophical Inquiry into the Ideas of the Sublime and the Beautiful (1958) mempertimbangkan ekspresi artistik dengan cara lain tetapi sama. Ia berpendapat bahwa kita tidak dapat menjelaskan dengan baik tentang ekspresifitas seni hanya melalui penjelasan asosiasi yang kita tentukan antara ciri formal (seperti warna dan bentuk) dengan perasaan manusia. Menurutnya, perasaan berada dalam karya tentu saja bukan perasaan yang sesungguhnya tetapi gagasan tentang perasaan tersebut, misalnya bahwa musik merupakan analogi bunyi kehidupan emotif. Keduanya memiliki bentuk logis yang sama.
Objek seni yang digambarkan dalam teori-teori estetika secara bebas atau memerlukan konteks-konteks yang berkaitan dan tanpanya tidak akan ada. Pengalaman estetis telah dipandang sebagai sesuatu yang memfokuskan diri pada aspek properties formal yang intrinsik (warna, bentuk dan irama) atau sesuatu yang melibatkan diri dengan ciri signifikan atau kondisi yang melampaui objek itu sendiri.
Kemudian ahli sejarah seni Erwin Panofsky (1962) mengemukakan bahwa ikon seni dapat dipelajari menurut tiga tingkatan yakni: tingkat ikonik, sebuah gambar menunjuk sesuatu ia mirip dengan hal tersebut. Tingkat ikonografik, sebuah gambar menunjuk sesuatu melalui praktik yang dikenali misalnya seekor anjing yang berarti kesetiaan dan merpati yang berarti perdamaian. Tingkat ikonologis, sebuah gambar mengartikan suatu gagasan, misalnya mengekspresikan hubungan antara kebenaran dan keindahan atau mengacu pada klaim metafisik tentang kenyataan dunia fisik.
John Dewey kemudian juga mengusulkan teori ekspresi jenis yang lain yakni teori ekspresi yang mendasarkan teori seninya pada teori pengalaman yang menurutnya bahwa pengalaman merupakan unit koheren yang menghubungkan ciri yang hadir dalam interaksi yang rumit antara organism manusia dan kekacauan tumpukan benda-benda yang mempengaruhinya. Pengalaman selalu dimulai dengan ‘impulse’ –dorongan atas keinginan atau kebutuhan- dimana ekspresi merupakan pengalaman reflektif. Ekspresi melibatkan nilai-nilai yang melampaui momen sesaat dimana seseorang bertindak dan melibatkan ‘perkembangan’ dari apa-apa yang dirasakannya.
Di sinilah proses brainshocking dalam wilayah kreativitas mengkonstruksi estetika-estetikanya sendiri. Dan, sejumlah hal besar dan penting kemunculan ‘seni’ secara spektakuler tampaknya memberi pengayaan yang luas mengenai pendefinisian seni. Kemudian Weitz (1956: 32) menyatakan bahwa sifat kreatif seni tidak butuh untuk didefinisikan: yang paling jauh dari ciri petualangan seni adalah perubahannya yang terus berlangsung dan kreasi baru menjadikannya tak mungkin secara logis menjamin suatu perangkat ciri yang didefinisikan. Mencermati fakta bahwa perkembangan kreativitas seni yang konstruksinya dari berbagai perspektif, dengan lompatan-lompatan imajinatif dan berbagai paradigma terus berubah ‘berkembang’ maka seni mempresentasikan nilai estetika secara multi interpretatif. Seni bergerak ke wilayah-wilayah inter-disipliner dan senantiasa memperkaya nilai-nili yang diusung sehingga seni dengan estetikanya tak dapat dirumuskan secara ketat dan baku. Namun, hal ini menjadi ruang maha luas bagi seni itu sendiri untuk melalukan perluasan-perluasan nilai dengan merangsang berbagai perspektif lahir karenanya. Perumusan hanya persoalan identifikasi dan prosedur ilmiah di luar nilai-nilai yang dibangun oleh seniman melalui kerja estetiknya.

referensi:

Beckwith, Harry (2007), The Invisible Touch, Yogyakarta: Think

Capra, Fritjof (2000), The Tao of Physics: menyingkap Kesejajaran Fisika Modern dan Mistisisme Timur, terj: Aufiya Ilhamal Hafizh, Yogyakarta: Jalasutra

Eaton, Marcia Muelder (2010), Persoalan-Persoalan Estetika, Jakarta: Salemba Humanika dan Waveland Press, Inc.

Joesoef, Daoed (2002) ‘Mencari Pemahaman mlalui Pengetahuan’ dalam Visi Baru Kehidupan: Kontribusi Fritjof Capra Dalam Evolusi Pengetahuan dan Implikasinya Pada Kepemimpinan, Eko Wijayanto, Yusuf Sutanto, Ramelan dkk (Ed). Jakarta: PPM

Gadamer, Hans-Georg (2004), Truth and Method, terj: Ahmad Sahiha, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Panofsky, Erwin (1962), Studies in Iconology; Humanities Theme in the Art of the Rennaisance, New York: Oxford University Press

Pink, Daniel H (2006), Misteri Otak Kanan Manusia, terjemahan dari judul asli: A Whole New Mind, New York, Riverhead Books, 2006 dialihbahasakan oleh: Rusli, Yogyakarta: Think

Suprapto, Yos (2009), Teknologi Tepat Guna Dalam Konteks Estetika, Yogyakarta: Program Pascasarjana ISI Yogyakarta

Tjokronegoro, Arjatmo (2002), ‘Prinsip dan Fenomena Biologis dalam Kehidupan’ dalam Visi Baru Kehidupan: Kontribusi Fritjof Capra Dalam Evolusi Pengetahuan dan Implikasinya Pada Kepemimpinan, Eko Wijayanto, Yusuf Sutanto, Ramelan dkk (Ed). Jakarta: PPM

Weitz, Morris (1956), The Role of Theory in Aesthetics, Journal of Aesthetics and Art Criticism 15.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar