Kamis, 10 Mei 2012

Bagian III. Realitas Quantum Era Cybercultures dan Eksplorasi Futuris Elektromagnetik

Bagian III. 
Realitas Quantum Era Cybercultures dan Eksplorasi Futuris Elektromagnetik 


No one knows who will live in this cage in the future, or whether at the end of this tremendous development entirely new prophets will arise, or there will be a great rebirth of old ideas, or, if neither, mechanized petrification, embellished with a sort of convulsive self-importance. (Max Weber)

A.     Percikan Realitas Quantum di Era Cybercultures
Sejak kanak-kanak pada pertengah tahun 1970an saya dibesarkan dalam lingkungan masyarakat agraris yang berada tradisi budaya pesisiran di daerah kabupaten Tegal.  Sebuah lingkungan sosial transisi antara kota Madya sebagai representasi tata sosial masyarakat urban yang tumbuh pada sektor industrialisasinya dan kota Kabupaten masyarakat menghabiskan waktunya sebagai petani dan nelayan yang tetap mempertahankan spirit tradisi dan nilai-nilai budaya lokal.  Keduanya tumbuh berdampingan secara harmonis.  Masa remaja tetap tumbuh di lingkungan dengan tata nilai kultural yang saling berhadapan.  Secara alamiah saya mewarisi spirit masyarakat petani yang gila kerja dan memiliki potensi survival yang berbeda dengan masyarakat urban lainnya di kota tersebut.  Sebagian besar masyarakat menikmati dengan jenak pertunjukan wayang kulit, golek, sintren, kuda lumping, kuntulan, kethoprak, dan menyimak sandiwara radio Saur Sepuh.  Sementara pada sisi berbeda kita juga asyik menyedapi pertunjukan orkes melayu dangdut, orkes gambus, video dan film layar tancap pada tiap perhelatan orang-orang kaya kota.
Kemudian berbagai mitos dan perjumpaan pernik budaya kejawen yang tumbuh dengan fenomena metafisik khas pesisiran pun menjadi bagian pengalaman estetika yang khusus.  Jawa memiliki kemelekatan pada aspek cyber dalam pengertian khusus, karena Jawa memiliki sejarah luar biasa mengenai kecanggihan telepati, hipnotis, peralihan sugesti, pelet, santet, teluh, dan praktik-praktik pesugihan kemudian bahkan bisa dianggap secara spekulatif melecutkan cikal daya hidup serba quantum. Pada masa remaja ketika berada pada ruang pertunjukan, saat menikmati mocopat, dandang gula, sastra gendhing, pangkur dan wayang yang mampu membawa saya tengah berada pada layar datar dari fibre optic layar datar unit komputer raksasa.  Suatu unit khusus untuk memasuki dimensi imajiner dan simulasi digital yang berlapis-lapis membawa eksistensi ilutif saya surfing ke negeri Alengka, kawah Chandra Dimuka, perang Mahabharata yang memungkinkan kita merefleksikan penjiwaan karakter Krishna.  Pengalaman yang serupa seringkali saya nikmati dengan empati sepenuhnya pada pertunjukan-pertunjukan wayang secara langsung dalam perhelatan khitanan, pernikahan maupun syukuran kampung.   Ini fakta aktual bahwa fenomena cybernetic membangun ruang kesadaran imajinatif saya merasakan larut ’katarsis’ masuk ke dalam cerita wayang. 
Penjelajahan perasaan yang sama juga pada kesempatan menikmati sandiwara radio frekuensi cybernetic di sudut-sudut ruang belajar, ketika tengah memperoleh penghayatan ’imajinatif’ dari virtual audio seolah dipresentasikan secara visual.  Presentasi ilutifnya semacam ini begitu terasa ketika menyelami adegan-adegan dalam cerita sandiwara radio tersebut.  Penghayatan atas pengalaman ini berada pada penghayatan yang serupa ketika saya berada dihadapan ruang cybernetic yang lebih canggih teknologinya ‘internet’ sebagai ruang eksplorasi imajinatif yang populer hari ini sebagai sebuah produk cybercultures.  Bukankah pencapaian aktivitas budaya tradisi dengan presentasi yang sederhana semacam ini mampu melampaui gagasan besar cybercultures, sehingga Jawa dalam konteks kebudayaan memiliki korelasi kontekstual yang diadaptasi secara baru melalui pencanggihan teknologi simulasi digital.  Kemudian masyarakat begitu antusias untuk mengadaptasi hampir semua sistem memiliki ketergantungan terhadap kebudayaan cyber yang marak hari ini.  Berdasarkan survei dan data yang saya temui bahwa masyarakat masa kini baik di pusat maupun pelosok daerah hampir seluruhnya menjadi user yang hanya menikmati produk cyberculture yakni:  tv, hp, telepon, internet, email, twitter, friendster, dan facebook bahkan mayoritas pengguna sistem aktif.
 Perkembangannya sangat pesat dalam kurun 5-10 tahun terakhir khususnya dalam membangun dan mengembangkan jejaring internet yang dengan cepat menjadi tren masyarakat masa kini kendati memiliki efek simulasi tinggi, bersifat manipulatif?   Setiap saat ruang imajiner begitu ugal-ugalan dieksplorasi sebagai area surfing menjelajah hasrat dalam ruang tanpa batas.  Mulai informasi politik, pendidikan, bisnis, perniagaan, networking, jejaring sosial sampai eksplorasi identitas-identitas baru yang serba palsu.  Banyak peristiwa penting dunia, bahkan kudeta politik dan peruntuhan kekuasaan status Quo bisa dimobilisasi melalui jejaring sosial.
Hal tersebut berbanding lurus pada peran cybernetic dengan berbagai aspek yang muncul sebagai sebuah konsekuensi perubahan sistem sosio-kultural.  Ketika dunia virtual mendominasi dunia realitas sehingga dapat dikatakan menjadi semacam ‘alam atau dunia kedua’ masyarakat kontemporer, jalur-jalur informasi bebas menyergap pada ruang aktivitas kapan saja dan di mana saja untuk menikmati fenomena global dengan pemanfaatan ruang elektronis pada serabut optik (fibre optic) berkecepatan cahaya begitu luar biasa yang interaksinya kian abai pada eksistensi fisik.  Visi urban kemudian melekat pada budaya sebagai bagian yang terintegrasi dengan perkembangan masyarakat kontemporer.  Kecenderungan hidup semacam ini berada dalam pengaruh cyberspace dan idealisasi virtual space yang mengkristal secara laten pada masyarakat dunia akhir-akhir ini.
Di Indonesia khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan Yogyakarta telah menunjukkan perubahan sistem yang signifikan (sistem sosial, sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem pemerintahan, sistem politik dan sistem budaya) dalam konteks penggunaan instrumen cybernetic secara sporadik.   Aplikasi berbagai sistem jejaring mekanis cybernetic membawa perubahan besar sangat signifikan terhadap perubahan sosial dan perubahan sistem ekonomi.  Sebagai indikasi nyata ialah kemunculan gejala perubahan gaya hidup (gaya berkomunikasi, gaya berbelanja, gaya transaksi bisnis, gaya belajar dengan fasilitas cyberspace dan gaya seks).  Fasilitas ruang maya nampaknya mampu mengubah karakteristik masyarakat urban dengan budaya kontemporer dalam sistem digitalisasi.  Pada konteks masyarakat posmodern, urbanisasi tak lagi berarti perpindahan manusia ke kota di dalam ruang nyata, namun berkembang ke arah urbanisasi virtual yaitu perpindahan manusia secara besar-besaran ke pusat kota digital ‘cyberspace’.  Ketika manusia sampai pada titik tersebut maka manusia sejatinya berada pada kondisi krisis eksistensial.
Yasraf Amir Piliang, (2006: 57-58) menyatakan bahwa keberadaan dunia virtual, tidak hanya dimaknai sebagai bentuk manifestasi sistem komunikasi antar manusia, akan tetapi manifestasi hampir setiap aspek kehidupan manusia (tindakan, aksi, reaksi, komunikasi).  Masyarakat kosmopolitan kini dapat melakukan berbagai aktivitas (sosial, politik, ekonomi, seksual) dalam jarak jauh (telepresence) tanpa harus melakukan proses perpindahan di dalam ruang-waktu dari stasiun ke stasiun lainnya, sebab yang disebut stasiun itu kini telah terkoneksi secara virtual lewat jaringan internet dan cyberspace tanpa penjelajajahan ruang-waktu secara fisik hanya melalui ruang-waktu virtual.  Teknologi virtual reality ketika meningkatkan potensinya menterjemahkan mimpi menjadi keniscayaan elektronis maka proses pelenyapan dunia riil secara otomatis terkonstruksi sistemik dan menjadi tandingan dari realitas aktual.  Realitas virtual sebuah teknologi yang mampu mensimulasi dan menciptakan pelbagai realitas dengan teknik simulasi komputer telah melahirkan apa yang kemudian kita kenal sebagai teknologi realitas virtual, dimana pelbagi ilusi tiga dimensi  mampu mencitrakan imaji realistik.  
Dengan demikian masyarakat dunia dapat mengakses file berbagai informasi terkini dengan jejaring ruang maya, file tersebut seolah-olah tersimpan dalam satu komputer induk saja meski merupakan multi jejaring.  Max Weber dalam Steven & Kellner (1997: 38) menyatakan dalam sebuah analogi yang mampu merepresentasikan keadaan saat ini bahwa, No one knows who will live in this cage in the future, or whether at the end of this tremendous development entirely new prophets will arise, or there will be a great rebirth of old ideas, or, if neither, mechanized petrification, embellished with a sort of convulsive self-importance.   Bahwa tidak ada yang tahu siapa yang akan tinggal di kandang ini di masa depan, atau apakah pada akhirnya terjadi pembangunan yang luar biasa seperti kemunculan nabi baru, atau akan ada kelahiran kembali besar-besaran ide-ide lama, atau jika tidak maka berfungsi membatu secara mekanis, atau malah dihiasi semacam pentingnya shock individu semata.  Jejaring yang luar biasa tersebut dalam HTML kemudian memungkinkan setiap orang menciptakan isi yang kemudian menempatkannya dalam web.  Hasilnya adalah semacam ledakan data.  Kieron O’Hara (2002: 31) pada seri Posmodern Plato dan Internet mengungkapakan bahwa, dalam Web terdapat sekitar 2,5 miliar data pasti, jumlah yang luar biasa besar (sebesar 7,5 miliar gigabyte) dan hal ini menjadikan internet sebagai mesin bagi pengalihan kapabilitas manusia secara besar-besaran.  
Gejala tersebut mencuat ketika terjadi peningkatan populasi masyarakat urban pada suatu daerah.  Dalam konteks kajian ini saya fokus pada Jawa dengan berbagai kecenderungan; Jawa memiliki karakteristik masyarakat yang adaptif terhadap berbagai kebudayaan dan sistem yang tumbuh di sekitarnya, Jawa memiliki populasi penduduk yang tinggi yang didominasi pertumbuhan masyarakat urban beserta pertumbuhan kebudayaannya.  Jawa sebagai representasi budaya Timur yang terus tumbuh, diacu dan dipertahankan.  Jawa secara geografis berpotensi menjadi hot spot pertumbuhan masyarakat urban yang mengusung habitus dan latar belakang budaya lokalnya masing-masing.  Komunitas masyarakat Jawa khususnya merupakan entitas masyarakat yang setia mengacu nilai-nilai tradisi leluhurnya kemudian memiliki kecenderungan mewariskan secara turun-temurun dengan perubahan, perkembangan dan pengayaan pada setiap aspeknya.  Ketika arus urbanisasi deras beberapa kelompok masyarakat (sesama profesi) meninggalkan daerah-daerah ke pusat berikut arus kebudayaannya beralih saling-silang, merajut, membangun gugus kebudayaan baru yang mengadaptasi muatan lokal dan mengadopsi aspek budaya global termasuk budaya cyber.
Proses ini dimulai dengan intensitas sistemik masyarakat yang kemudian memiliki habitus di mana aktivitas dunia cybernetic berperan penting dalam membangun kebudayaan dengan pencitraan posmodernitas, maka di sana terjadi sebuah proses percampuran, persilangan, displacement, dan replacement atau semacam disposisi tumbuh bergerak memasuki ruang terbentuknya budaya baru.  Sebuah tren baru yang tak terelakkan.  Antusiasme masyarakat Jawa dengan berbagai strata sosial dan ekomomi bergeser perspektif hidupnya untuk menyerap sistem telekomunikasi, informasi, simulasi digital, aktivitas bisnis, pencitraan diri melalui dunia maya hingga pada tahap penikmatan sistem kenyamanan transaksional. 
Rusnoto Susanto dalam makalah seminar internasional Javanology mempresentasikn The Disposition and Reposition of The Javanese Cultural Existence in Cybercultures, (2010: 86) ‘in that context, the sporadic change-transfer process has to exchange the culture (cultural share), crosses, and mixed culture is always interesting to be seen related with the shift of individual modes and socety at large that appear in the big cities of Javaas a results of modernity-postmodernity projection through the touch of culture (cultural encounters).  The communication tended to construct intensity of cultural contact is so significant.  If the basic assumption is the communication as a basic material of culture process, the products of cybercultures make possibilitiesto extend the process of culture itself universally and have power to mobilize the cultures of Java on a single disposition chance or consciousness to repositioning’.  Bahwa masyarakat hingar-bingar tampil dengan representasi baru berada dalam kota-kota besar yang tetap beridentitas Jawa sebagai hasil dari proyeksi posmodernitas melalui sentuhan budaya (cultural encounters) yang heterogen.  Sistem komunikasi yang mendorong intensitas terkonstruksinya kontak-kontak budaya mewujud begitu signifikan.  Jika asumsi dasarnya adalah komunikasi merupakan materi pokok proses budaya maka produk-produk cybercultures membuka ruang bebas untuk melesatkan proses kebudayaan itu sendiri.  Sebuah proses kebudayaan yang secara universal memiliki daya untuk menggerakan praktik budaya pada ruang disposisi atau kesadaran mereposisinya.
Relasi budaya Jawa dan praktik cybercultures berujung pada sebuah proses penggantian maya (virtual replacement) sebagai bentuk representasi-representasi eksistensi manusia pada praktik digitalisasi.  Terpaan sporadis arus globalisasi telah mampu mengubah cara pandang masyarakat kita dalam melakukan kebudayaan.  Perlahan tetapi pasti, budaya lokal mulai tergerus hegemoni budaya popular.   Hegemoni budaya popular tidak saja mengubah tata sosial namun mempengaruhi perilaku, gaya hidup, dan pola pikir masyarakat.  Perubahan ini sebagai ekses perkembangan teknologi digital, televisi, koran, majalah, radio, internet, dan lainnya.  Kecenderungan masyarakat mengadaptasi ‘bahkan mengadopsi’ salah satunya budaya konsumerisme sebagai hegemoni budaya dan sosial yang terus-menerus berkembang dan mengikis nilai-nilai budaya lokal bahkan terancam punah. 
Televisi merupakan produk budaya pop yang pengaruhnya sangat besar di masyarakat.  Melalui televisi, masyarakat mulai meniru berbagai hal: gaya berbahasa, gaya berbusana, gaya hidup, dan pola pikir.  Dampaknya, terjadi perubahan sosial dan esensi nilai-nilai budaya lokal lenyap.  Kapitalisme sebagai penguasaan alat produksi oleh kaum pemilik modal, dan diproduksi semaksimal mungkin untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, secara tidak sadar, budaya konsumerisme dan hegemoni kapitalistik tumbuh subur di Indonesia.  Dasawarsa 1920-an dan 1930-an merupakan titik balik penting yang diingatkan Dominic Strinati (2003: 4) bawa dalam kajian dan evaluasi budaya popular dimulai dari munculnya sinema dan radio produksi massal dan konsumsi kebudayaan, bangkitnya fasisme dan kematangan demokrasi liberal di sejumlah negara barat, semuanya memainkan peran dan memunculkan perdebatan atas budaya massa.
Budaya massa atau budaya pop dengan bentuknya yang lebih canggih, lebih halus, dan lebih nikmat, berhasil menjerat pasar potensialnya yang begitu kuat mencengkeram media massa kita khususnya media televisi adalah kontes pencarian bakat dibidang musik atau film.  Model acara seperti ini di Indonesia adalah AFI, Indonesian Idol, KDI, Kondang In, Ajang Boyband dan Penghuni Terakhir.  Diantara kontes-kontes ini yang paling menyedot perhatian khalayak adalah Indonesian Idol dan AFI serta sederet audisi-audisi talent instan. 
Melalui layar elektronik (ada yang menampakkan diri dalam dimensi perbedaan dan multiplisitasnya) yang eksistensinya sangat menggugah rasa ingin tahu, membangkitkan berbagai hasrat, menghidupkan angan-angan, tetapi sekaligus menimbulkan kesadaran kebahagiaan semu atau bahkan terpersok pada kesadaran ketidakbahagiaan.  Yasraf Amir Piliang (2008: 225) menyatakan bahwa padatampilan permukaan, layar fibre optic tampil dalam  rangkaian perb edaan-perbedaan; akan tetapi pada kandungan isinya ia sering dilihat sebagai repetisi dari aneka kebanalan dunia harian.  Berkaitan dengan kesadaran, layar dapat dipandang sebagai ruang yag di dalamnya kesadaran digiring ke dalam sirkuit pacuan informasi tanpa jeda, tetapi juga sebagai sebentuk pelarian dari kesadaran tak bahagiadan hidup yang tanpa harapan. Layar elektronik adalah dunia penuh ambiguitas bahkan kontradiksi-kontradiksi, yang keber-ada-annya meninggalkan aneka enigma.

B.    Eksplorasi Futuris Elektromagnetik
‘Manusia adalah magnet dan setiap detail peristiwa yang dialaminya  atas daya tarik (undangan) nya sendiri’ (Elizabeth Towne, 1906)
Kenapa kita berada pada suatu media jejaring sosial yang sama ketika kita berada pada ruang eksplorasi dunia maya, pada chanel televisi yang sama ketika dunia entertainment menyajikan isu remeh-temeh seputar kehidupan artis, dan pada frekuensi yang sama ketika menyimak berita politik dengan tuning 99.5 FM di sebuah stasiun radio?  Hal ini menjelaskan bahwa semua orang yang berkumpul pada ruang-ruang virtual tersebut memiliki kesamaan visi, orientasi, kebutuhan informasi, dan hobby yang sejenis.  Mereka saling tarik-menarik dalam medan magnet yang merangsangnya mendekati satu sama lain, ada vibrasi gelombang elektromagnetik yang tak bisa ditawar-tawar untuk menunda berada pada koneksi-koneksinya.
Sama halnya ketika di suatu pesta malam tahun baru, sebuah kembang api melukai beberapa orang di sebuah pemikiman padat penduduk di daerah Galur Tanah Tinggi karena gaya tarik-menarik dan berbagai aspek yang melatar belakangi.  Budaya pesta tahun baru dan pesta kembang api menarik sejumlah anak remaja mengekspresikan kegairahannya menyambut awal tahun dengan menciptakan suasana yang mengesankan, sejumlah penduduk penyedia kembang api berperan dalam bisnis tersebut, masyarakat sekitar dengan antusias menikmati suasana dan kembang api yang terlempar ke atas sesekali menyambar atap-atap rumah, tiang listrik, kabel listrik, kabel telepon, papan reklame, ranting pohon, dan beberapa buah kembang api yang tidak sempurna meluncur kemudian jatuh lebih cepat sebelum api padam ke kerumunan warga yang dari sore hilir-mudik di sekitar hunian menunggu sirine tepat puncak tahun dan awal tahun.  Beberapa warga tunggang langgang karena percikan besar kembang api di sekujur punggung dan tangannya terbakar. 
Semua terjadi sejak awal insiden ini terjadi adalah hukum tarik-menarik dan peran gravitasi bumi yang menundukan levitasi terbatas dari kembang api sehingga meluncur ke bawah ketika kehilangan daya levitasi membelah langit malam dengan cahayanya.  Ilustrasi di atas menuntun kita untuk memahami bagaimana serangkaian koneksi terjadi karena ada gaya tarik-menarik antara manusia dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat, padagang kembang api memperoleh rangsangan vibrasi elektromagnetik dari antusiasme masyarakat jelang tahun baru, dan semua benda yang meluncur ke atas (meskipun  memiliki gaya levitasi berkekuatan penuh sekalipun) ia akan jatuh meluncur ke bawah karena hukum alam yang kita sebut hukum gravitasi.  Seperti kita melepaskan  cawan red wine, niscaya cawan  akan  pecah karena gravitasi bumi menariknya ke  bawah dan  terhempas ke lantai marmer.
1.    Vibrasi Elektromagnetik dan Gravitasi Semesta
Berbagai hal yang terjadi tak terlepas dari hukum-hukum causa prima yang dihamparkan di permukaan bumi, termasuk vibrasi elektromagnetik dan gravitasi alam semesta.  Teks elektromagnetika selalu dapat dikaitkan dengan kinerja mekanika elektrik baik alam maupun buatan, elektromagnetika merupakan penggabungan listrik dan magnet.  Energi gelombang elektromagnetika banyak dimanfaatkan dalam perancangan teknologi mesin motor, kaset tape recorder, kaset video, aplikasi sistem perangkat lunak video, speaker, dan aplikasi gelombang elektromagnetik pada kerja gelombang radio dan gelombang televisi sebagai alat komunikasi.  Bahkan dieksplorasi utuk temuan energi alternatif pesawat seperti yang sedang dikembangkan teknologinya oleh NASA.
Memperbincangkan Vibrasi Elektromagnetik tak lepas dari tinjauan fenomen melalui quantum gravitasi, dan sebaliknya untuk mendekati fenomena quantum gravitasi dengan pembahasan sistem kerja beserta cakupannya gelombang elektromagnetik.  Dalam pemahaman teoretik gelombang elektromagnetik merupakan gelombang yang dapat merambat meskipun tanpa medium. Energi-energi elektromagnetik merambat melalui gelombang dengan berbagai kapasitas, karakteristik dan ukuran, yakni: panjang gelombang atau wavelength, frekuensi, amplitude-amplitude, dan kecepatan.  Frekuensi dalam gelombang elektromagnetik ialah sejumlah gelombang yang melalui suatu titik dalam satu satuan waktu tergantung kecepatan merambatnya gelombang, hal tersebut disebabkan kecepatan energi elektromagnetik konstan.  Semakin panjang suatu gelombang, semakin rendah frekuensinya, dan sebaliknya.  Semakin tinggi level energi energi elektromagnetik dilepaskan semua masa di alam semesta dalam suatu sumber energi maka semakin rendah panjang gelombang dari energi yang dihasilkan dan semakin tinggi frekuensinya.  Gelombang elektromagnetik mengalami peristiwa pemantulan, pembiasan, interferensi, dan difraksi serta mengalami peristiwa polarisasi (gelombang transversal).  Cepat rambat gelombang elektromagnetik sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat listrik dan magnetik medium yang ditempuhnya.
Pancaran cahaya pesta kembang api yang memesonakan mata bukan semata jenis yang memungkinkan radiasi elektromagnetik.  James Clerk Maxwell menunjukkan bahwa gelombang elektromagnetik lain, berbeda dengan cahaya yang tampak oleh mata berdasarkan panjang gelombang dan frekuensi.  Kemudian Heinrich Hertz dalam eksperimentasi-eksperimentasi gelombang elektromagnetiknya sanggup menghasilkan dan menemui kedua gelombang yang tampak oleh mata yang diramalkan oleh Maxwell.  Beberapa tahun kemudian Guglielmo Marconi memperagakan bahwa gelombang yang tak terlihat mata itu dapat digunakan buat komunikasi tanpa kawat sehingga teknologi radio dengan sistem kerja gelombang elektromagnetik.  Kini, diaplikasi dalam teknologi simulasi cybernetic, televisi, sinar X, sinar gamma, sinar infra, sinar ultraviolet adalah contoh-contoh dari radiasi elektromagnetik. Semuanya bisa dipelajari lewat hasil pemikiran Maxwell. (http://www.pustakasekolah.com/pengertian-gelombang-elektromagnetik.html).
2.    Energi Elektromagnetik dan Fenomena Quantum Gravity
Pembahasaan teori gravitasi quantum (quantum gravity) sesungguhya belum mewujud menjadi sebuah teori karena baru sebatas mewacanakan suatu upaya mengawinkan teori kuantum dengan teori relativitas (yaitu teori tentang ruang-waktu dan gravitasi) dalam satu framework: one unified theory, atau theory of everything.  Karena kedua teori ini merupakan pilar penting utama fisika modern yang berhasil dan teruji dengan berbagi eksperimen: fisika quantum berhasil dalam menjelaskan atom, partikel elementer, gelombang, dan fenomena mikrokopik.  Sedangkan relativitas berhasil menjelaskan fenomena gravitasi, kosmologi, dan berbagai fenomena makro besta perluasannya. Keduanya mengontruksi perspektif revolusioner mengenai realita bahwa teori relativitas merubah pandangan mengenai ruang dan waktu, sedangkan teori quantum mengubah berbagai pandangan mengenai pengamat dan sesuatu yang diamati.  
 Dalam fisika klasik, kita menganggap posisi ruang dan waktu sebagai latar yang tetap (fixed background), yaitu seperti panggung atau arena, di mana partikel-partikel mengambil peran dlsm berbagai adegan dengan menari-nari di atasnya.  Layaknya landscape semesta dengan presentasi seluruh mahluk hidup  di permukaannya.  Sudut pandang tersebut mengonstruksi model geometri yang tetap untuk ruang dan waktu selanjutnya kita bisa merumuskan persamaan untuk membuat pengambaran dinamika partikel-partikel, dan ruang-waktu bersifat absolut, tidak terpengaruh oleh gerakan partikel-partikel tersebut.  Jika semua materi dihilangkan dari alam semesta maka tetap akan tertingal sebuah ruang-waktu yang absolut.  Illustrasi semacam ini sekilas bisa diterima berdasarkan kepekaan intuisi dan pengalaman sehari-hari.  Dan, sebaliknya bahwa teori relativitas membuktikan bahwa perspektif ini salah, dan teori relativitas telah diuji melalui eksperimen.
Teori relativitas dengan eksperientasi yang cukup panjang dan meyakinkan bahwa ruang-waktu adalah dinamis.  Presentasi geometri ruang-waktu tidak statis namun sangat bergantung pada distribusi materi dan energi.  Jadi perspektif teori relativitas adalah bahwa ruang-waktu adalah relasional, bukan absolut.  Jika semua materi dimusnahkan maka tidak ada ruang-waktu tertinggal karena kedudukan ruang-waktu tidak eksis dengan sendirinya namun ruang-waktu merupakan sistem kerja antara hubungan dan perubahan.  Jadi teori relativitas adalah bahwa teori fisika haruslah bebas latar (background independent), yaitu bahwa teori fisika tidak didefinisikan dalam latar ruang-waktu yang statis seperti dalam fisika klasik. http://www.forumsains.com/fisika/quantum-gravity/
Perspektif fisika klasik, deskripsi sebuah partikel atau sebuah sistem dapat diberikan dengan pasti dan pengukuran besaran yang diamati (observable) dilakukan secara pasti, dan pada prinsipnya keadaan sistem tidak terpengaruh oleh proses pengukuran.  Namun dalam fisika kuantum, deskripsi partikel, prinsip keadaan sistem dan pengamatan tidak terpastikan disebabkan adannya dua prinsip utama dalam fisika kuantum yang terasa asing bila ditinjau dari kacamata fisika klasik.  Dalam pandangan mengenai sistem kerja fisika klasik yang selalu mampu mengambarkan keadaan sistem dalam keadaan pasti, dan melakukan pengukuran juga besaran yang pasti.  Namun pada fisika kuantum, tidak diperoleh penggambaran yang pasti dengan sistem kerja yang pasti jadi apa-apa yang diamati berbeda dengan apa yang sebenarnya.  Realita kuantum seperti inilah yang agak sulit untuk dicerna, sehingga sampai sekarang pun belum ada satu interpretasi kuantum yang bisa diterima oleh semua orang.  Mungkin sebuah contoh yang paling populer adalah sebuah eksperimen pikiran: paradoks kucing Schrodinger. (http://en.wikipedia.org/wiki/Schrodingers_cat). Dengan demikian sumbangan terbesar teori relativitas dalam memberikan sudut pandang baru mengenai eksistensi ruang-waktu demikian halnya teori quantum memberikan sudut pandang baru mengenai pengamat dan yang diamati. 
Ada dua jalan utama dalam riset mewujudkan teori kuantum gravitasi yakni, pertama, berakar dari teori relativitas, yaitu loop quantum gravity atau canonical quantum gravity.  Yang kedua, berakar dari teori quantum (atau teori medan quantum), yaitu string theory (atau M-theory).  Kedua-duanya memiliki pendekatannya memang berbeda, walaupun keduanya setuju bahwa dalam skala terkecil yaitu sekitar 10-33cm ruang-waktu tidak lagi mulus seperti yang kita amati pada skala besar.   Dalam perkembanagan ilmu pengetahuan dan keluasan teori-teori ilmu pasti hingga humaniora sampai saat ini belum ada eksperimen yang bisa membenarkan atau menyalahkan teori-teori gravitasi kuantum.  Walaupun ada beberapa tesis yang kelihatannya cukup mungkin untuk dilaksanakan. Namun sesungguhnya wacana ini tetap diperbincangkan dan dikembangkan sebagai sebuah pengayaan sains dan teknologi. 
3.    Elektromagnetik: Realitas Kekuatan Pikiran Imajinatif dan Misteri Semesta
Kerja elektromagnetik sangat luar biasa yang dapat kita cermati dalam praktik mekanika yang dipresentasikan semesta untuk kita sehingga para ilmuwan NASA (National Aeronautics and Space Admistration) mulai berpikir memanfaatkannya sebagai tenaga untuk ‘melemparkan’ pesawat luar angkasa ke luar atmosfer bumi.  Bukan lagi mengandalkan mesin roket yang biasanya digunakan untuk mengirim pesawat-pesawat ke luar bumi, tetapi NASA ingin melakukan terobosan dengan pemanfaatan energi yang dihasilkan kerja elektromagnetik. 
Seluruh mesin roket NASA baik yang sudah pernah digunakan maupun roket berteknologi canggih yang sedang terus dikembangkan hingga saat ini tetap membutuhkan temuan-temuan bahan khusus sebagai pendorong pokok.  Temuan bahan khusus yang dipergunakan roket biasanya diperoleh dari bahan-bahan propellant, bisa juga berupa hasil reaksi fusi nuklir dengan pengembangan berbagai teknologi inovatif seperti light propulsion dan antimater propulsion sejak awal abad 21.  Penggunaan propellant sangat membatasi kecepatan dan tempuhan jarak maksimum yang dapat dicapai pesawat roket dengan begitu munculah ide untuk mengirimkan pesawat luar angkasa dengan menggunakan teknologi baru dengan sistem yang mampu ‘melemparkan’ pesawat dengan dimensi dan berat yang luar biasa ke luar angkasa tanpa menggunakan bahan-bahan propellant.  Elektromagnetika diharapkan menjadi temuan energi alternatif yang mampu memberikan solusi terbaik ke depan. 
NASA mengeksplorasi dan melakukan eksperimentasi-eksperimentasi kedahsyatan energi elektromagnetik untuk pengembangan teknologi roket pada proyek luar angkasa.  David Goodwin dari Office of High Energy and Nuclear Physics di Amerika adalah orang yang pertama kali mengusulkan ide electromagnetic propulsion ini.  Hipotesanya bahwa saat sebuah elektromagnetik didinginkan sampai suhu sangat rendah terjadi sesuatu yang ‘tidak biasa’.  Jika kita mengalirkan listrik pada magnet yang super dingin tersebut kita bisa mengamati terjadinya getaran (vibration) sebagai fenomena elektromagnetik yang spesifik selama beberapa nanodetik (1 nanodetik = 10-9 detik) sebelum magnet itu menjadi superkonduktor. (http://www.yohanessurya.com)
Menurut Goodwin, meskipun getarannya terjadi hanya selama beberapa nanodetik saja, namun kita tetap dapat memanfaatkan keadaan unsteady state (belum tercapainya keadaan tunak) ini untuk sesuatu yang penting dalam sejarah teknologi pesawat luar angkasa.  Jika getaran-getaran yang tercipta kemudian diarahkan ke satu titik orientasi yang sama maka kekuatannya cukup mampu untuk ‘melempar’ sebuah pesawat ruang angkasa dengan dimensi dan bobot mati yang tergolong tinggi.  Kekuatan ini tidak hanya sekedar mampu ‘melempar’ pesawat ruang angkasa, tetapi justru pesawat ruang angkasa bisa mencapai jarak maksimum yang lebih jauh dengan kecepatan yang lebih tinggi dari segala macam pesawat yang menggunakan propellant.
Untuk menerangkan idenya, Goodwin menggunakan kumparan kawat (solenoid) yang disusun dari kawat magnet superkonduktor yang dililitkan pada batang logam berbentuk silinder. Kawat magnetik yang digunakan adalah logam paduan niobium dan timah.  Elektromagnet ini sebagai bahan superkonduktor setelah didinginkan menggunakan helium cair sampai temperatur 4 K (-269oC).  Pelat logam di bawah solenoida berfungsi untuk memperkuat getaran. Supaya terjadi getaran dengan frekuensi 400.000 Hz, perlu diciptakan kondisi asimetri pada medan magnet.  Pelat logam (bisa terbuat dari bahan logam aluminium atau tembaga) yang sudah diberi tegangan ini diletakkan secara terpisah (isolated) dari sistem solenoida supaya tercipta kondisi asimetri.  Selama beberapa mikrodetik sebelum magnet mulai berosilasi ke arah yang berlawanan, listrik yang ada di pelat logam harus dihilangkan.  Tantangan utama yang harus diatasi adalah bagaimana optimalisasi teknik untuk mengarahkan getaran-getaran yang terbentuk pada kondisi unsteady ini supaya semua vibrasi dan energinya bergerak pada satu arah yang sama.  Untuk mengeksekusinya membutuhkan alat semacam saklar (solid-state switch) atau tombol on-off yang bisa menyalakan dan mematikan listrik 400.000 kali per detik sesuai dengan frekuensi getaran yang terbentuk.  Solid-state switch  berfungsi untuk mengambil energi dari keadaan lunak dan mengubahnya menjadi pulsa listrik berkecepatan tinggi dan mengandung energi tinggi sampai 400.000 kali per detiknya.  Energi yang digunakan untuk sistem elektromagnetik ini berasal dari reaktor nuklir (300 kW) milik NASA.  Reaktor ini menghasilkan sebuah energi panas yang dihasilkan melalui reaksi fisi nuklir.  Reaksi fisi nuklir yang melibatkan proses pembelahan atom dengan disertai radiasi sinar gamma dan sebuaah pelepasan kalor (energi panas) dalam jumlah sangat besar.  Reaktor nuklir yang menggunakan ¾ kg uranium (U-235) menghasilkan kalor yang setara jumlahnya dengan kalor yang dihasilkan oleh pembakaran 1 juta galon bensin (3,8 juta liter). 
Bisa dibayangkan bagaimana teknologi ini menekan biaya dan efisensi bahan sumber energi yang seungguhnya telah disediakan alam.  Energi panas yang dihasilkan reaktor nuklir ini kemudian dikonversikan menjadi energi listrik yang dipergunakan untuk sistem electromagnetic propulsion ini. Ketika teknologi ini digunakan dalam pesawat luar angkasa, ¾ kg uranium sama sekali tidak memakan tempat karena hanya membutuhkan ruangan sebesar bola baseball.  Dengan massa dan kebutuhan ruang yang jauh lebih kecil dibandingkan mesin roket sebelumnyauntuk mengirim pesawat ke luar angkasa.  Dengan tingginya efisiensi pada pesawat yang menggunakan sistem elektromagnetik ini sehingga mampu mencapai kecepatan maksimal yang jauh lebih tinggi sehingga bisa mencapai lokasi yang lebih jauh pula.  Dengan kekuatan pikiran melahirkan gagasan besar manusia dalam meringkas waktu dan melipat jarak tempuh.
Menurut Goodwin, kita bisa bayangkan jika pesawat luar angkasa dengan teknologi elektromagnetik ini dapat mencapai titik heliopause, tempat pertemuan angin yang berasal dari matahari (solar wind) dengan angin yang berasal dari bintang di luar sistem tata surya kita (interstellar solar wind).  Heliopause terletak pada jarak sekitar 200 AU (Astronomical Unit) dari matahari, 1 AU merupakan jarak rata-rata bumi dari matahari yaitu sekitar 1,5.108 km.  Bahkan planet terjauh dalam sistem tata surya kita saja hanya berjarak 39,53 AU dari matahari.  Semua pesawat luar angkasa yang menggunakan propellant tidak mampu mencapai jarak tempuh sejauh itu.  Temuan ini sangat mutahir dan fakta pencanggihan teknologi energi elektromagnetika terbukti dahsyat dan ideal meskipun demikian pencapaian kecepatan tersebut masih sangat kecil dibandingkan kecepatan cahaya (300.000 km per detik).  Kecepatan maksimum yang bisa dicapai sistem ini masih di bawah 1% kecepatan cahaya. Padahal bintang yang terdekat dengan sistem tata surya kita berada pada jarak lebih dari 4 tahun cahaya (1 tahun cahaya = 300.000 km/detik x 60 detik/menit x 60 menit/jam x 24 jam/hari x 365 hari/tahun = 9,4608.1012 km).  Bentangan ruang dan waktu yang dihampar alam semesta masih sangat luas kemungkinannya untuk dieksplorasi lagi dengan berbagai temuan eksperimental yang mengandalkan kekuatan imajinasi dan daya pikir luar biasa dalam pandangan lompatan quantum yang masih tergopoh-gopoh menggapai tiap orbit yang akan ditargetkan.
Bayangkan, satelit yang meluncur paling jauh dari bumi yakni Voyager 1, saat ini telah menempuh perjalanan yang begitu panjang dan setelah 33 tahun melayang di luar angkasa, dilaporkan Voyager 1 telah mendekati tepian dari sistem tata surya kita.  Badan penerbangan dan antariksa USA, NASA mengumumkan setelah menempuh sekitar lebih dari 11 miliar mil (sekitar 17,4 miliar km) dari matahari, kini Voyager 1 hampir melampaui jarak antar bintang.  Kini satelit yang diluncurkan sejak 5 September 1977 telah mencapai suatu tempat dalam sistem tata surya kita, di mana tidak ada angin surya (partikel bermuatan yang mengalir dari matahari).  Sebuah eksplorasi imajinatif sejak itu dibuktikan secara sains.
 Seorang peneliti projek Voyager, Edward Stone menyatakan bahwa voyager dengan sistem teknologi saat diluncurkan ketika era antariksa baru berumur 20 tahun, jadi ketika itu masih belum diketahui secara pasti bahwa pesawat luar angkasa tersebut bisa bertahan begitu lama.   Saat itu manusia sama sekali tidak mengetahui atau memperkirakan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk keluar dari sistem tata surya kita.  Namun, laju perkembangan teknologi antariksa sekarang para ilmuwan mampu memperkirakan dengan perhitungan pasti bahwa Voyager 1 akan melampaui tata surya sekitar lima tahun lagi.  Misi utama dari Voyager adalah untuk meneliti keadaan, karakteristik maupun sistem rotasi planet-planet luar seperti Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus untuk kepentingan ilmu pengetahuan sekaligus mengeksplorasi perkembangan sains dn teknologi untuk temuan-temuan ilmiah yang paling prestisius.  Misi tersebut telah dituntaskan oleh Voyager pada 1989 kemudian NASA mengutus Voyager 1 untuk terus mengarungi angkasa luar menuju pusat galaksi Bima Sakti semacam melakukan sistem monitoring yang diakses para peneliti NASA di Amerika.  Dengan perbekalan paket tenaga radioaktif yang memadai dan pasokan instrumen aktif milik Voyager akan terus berfungsi dengan baik untuk mengirimkan data-data temuan di luar angkasa ke bumi.  Akses teknologi komunikasi berjarak miliaran km diperoleh melalui pesan radio dari instrumen Voyager hanya membutuhkan waktu sekitar 16 jam dalam mengirim informasi hingga ke bumi.
Stone meyakinkan argumentasinya bahwa instrumen Voyager yang memonitor angin surya di lokasi tersebut menangkap fenomena yang berbeda dari fenomena-fenomena yang ditemuinya yakni terdapat wilayah heliosfer di mana angin surya memancar dengan kecepatan supersonik.  Namun, setelah angin surya melampaui daerah bernama termination shock, kecepatannya akan melambat secara dramatis.  Seketika itu Voyager telah mencapai kondisi di mana kecepatan angin surya melambat hingga hampir nol kemudian Voyager masih terus mengarah ke daerah yang bernama heliopause, dimana secara 'resmi' merupakan daerah perbatasan antara tata surya kita dengan sistem tata surya yang lain.   Saat Voyager melewatinya maka ia akan berada di dalam ruang antar bintang, di ruang ini adrenalin dan kekuatan imajinasi serta keandalan intuisi melakukan peran penting karena semua situasi yang ada adalah sebuah situasi misteri semesta yang sama sekali belum diketahui secara ilmu pengetahuan. 
Kemudian Voyager memutuskan terus bergerak ke arah heliopause dengan kecepatan 17 km per detik.  ‘Sebuah gambaran singkat pesawat luar angkasa yang telah bekerja selama 33 tahun, ia tetap masih menunjukkan kepada kita mengenai hal lain yang benar-benar baru’ paparan singkat salah dari seorang ahli Rob Decker, bekerja pada Voyager Low-Energy Charged Particle Instrument co-investigator yang dikutip pada situs (http://frozen-nation.blogspot.com/2010/12/satelit-voyager-mendekati-heliopause.html). Ketika titik sistem tata surya berakhir kemudian ruang antar bintang mulai tak terdefisikan dengan pasti. Batasan-batasan luar terbentuk daari dua gaya tekan yang terpisah yakni angin matahari dan gravitasi matahari.  Pengaruh dari batasan terjauh angin matahari berjarak sekitar empat kali jarak Pluto dan matahari.  Heliopause sebagai titik awal medium antar bintang, namun Bola Roche Matahari memiliki jarak efektif pengaruh gravitasi matahari yang diperkirakan seribu kali lebih jauh.
Heliopause diklasifikasi menjadi dua bagian yakni, awan angin yang bergerak pada kecepatan 400  km/detik sampai menabrak plasa dari mediu ruang antar bintang.  Tabrakan semacam ini terjadi pada benturan terminasi yang kira-kira terletak di 80-100 SA dari matahari pada daerah lawan angin dan sekitar 200 SA dari matahari pada daerah searah jurusan angin.  Kemudian melambat dramatis, memampat, dan berubah menjadi kencang memebentuk struktur oval yang kemudian dikenal sebagai heliosheath yang memiliki karakteristik mirip ekor komet.  Ekor komet tersebut keluar sejauh 40 SA di bagian arah lawan angin dan berkali-kali lipat lebih jauh pada bagian lainnya.  Voyager 1 dan Voyager 2 dilaporkan telah menembus benturan terminasi tersebut dan memasuki heliosheath pada jarak 94 dan 84 SA dari matahari.  Memasuki sebuah ruang batasan luar heliosfer dan heliopause yang merupakan titik tempat angin matahari berenti dan ruang antar bintang.  Sejauh ini belum ada pesawat luar angkasa yang melewati heliopause sehingga tidak dapat mengetahui situasi ruang antar bintang lokal dengan pasti. NASA berharap Voyager akan menebus heliopause pada akhir dekade yang akan datang kemudian mengirin data tingginya tingkat radiasi dan angin matahari.  Kemudian NASA membiayai tim untuk engembangkan konsep ‘vision mission’ dengan mengirim satelit khusus sebagai upaya eksplorasi ruang heliosfer.
Hipotesa para ahli, di luar angkasa terdapat Awan Oort.  Awan Oort ialah sebuah massa berukuran raksasa yang terdiri dari bertrilyun-trilyun objek es, awan ini dipercaya merupakan sumber komet yang memiliki periodesasi panjang.  Ditalia dalam situs: blog.unsri.ac..id menegaskan bahwa awan tersebut menyelubungi matahari pada jarak sekitar 50.000 SA (sekitar satu tahun cahaya) sampai sejauh 100.000 SA (1,87 tahun cahaya).  Wilayah ini diyakini mengandung komet yang terlempardari bagian dalam tata surya karena adanya interaksi dengan berbagai planet bagian luar.  Awan tersebut bergerak sangat lambat dan dapat diguncangkan oleh berbagai situasi tertentu yang langka misalnya tabrakan antar planet, effek gravitasi haluan bintang, dan gaya pasang galaksi maupun gaya dorong  Bima Sakti.
Kemudian Sedna, sebuah benda langit yang berwarnaa kemeraahan menyerupai planet Pluto yang memiliki orbit raksasa dan berbentuk sangat elips.  Sedna memiliki posisi sekitar 76 SA pada perihelion dan 928 SA pada aperihelion dan berjangka orbit 12.050 tahun.  Mike Brown seorang penemu objek tersebut pada tahun 2003 menegaskan bahwa Sedna bukan merupakan bagian dari piringan terbesar ataupun Sabuk Kuiper sebab perihelionnya terlalu jauh kemunculannya dari pengaruh migrasi Neptunus.  Brown dan para ahli astronomi berpendapat bahwa Sedna meruakan objek pertama dari sebuah kelompok yang terbilang baru.  Sebuah benda yang bertitik perihelion pada 45 SA, aperihelion pada 415 SA, dan berjangka orbit 3.420 tahun yang kemudian Brown menamakan ‘awan Oort bagian dalam’.(blog.unsri.ac..id).  Hal tersebut dikarenakan terbentuk melalui proses yang mirip Pluto meskipun juh lebih dekat jaraknya dengan matahari, kemungkinan ia juga disebut planet kerdil.
Begitu luar biasa temuan-temuan data antariksa dan begitu banyak hal yang belum secara keseluruhan diketahui manusia, namun setidaknya temuan ini memberi gambaran yang akurat mengenai fenomena dalam lingkup sistem tata surya yang dieksplorasi oleh Voyager 1 dan Voyager 2 yang dibekali teknologi elektromagnetik.  Medan gravitasi matahari dapat diperkirakan secara pasti mendominasi gaya gravitasi bintang-bintang sekelilingnyaa sejauh dua tahun cahaya (125.000 SA).  Perkiraan limit terendah radius Awan Oort tidak lebih besar dari 50.000 SA, meskipun ditemukan  daerah antara Sabuk  Kuiper dan Awan Oort merupakan sebuah daerah yang memiliki radius puluhan ribu SA yang belum bisa dipetakan.  Kendati studi mengenai ini sedang dilangsungkan untuk mempelajari daerah antara Merkurius dan Matahari karena besar kemungkinan akan diketemukan objek-objek serupa di daerah yang belum dipetakan tersebut.  Sebuah upaya luar biasa untuk mengeksplorasi gagasan imajinatif mengenai berbagai hal yang bergerak di luar angkasa dengan melakukan petualangan-petualangan spektakuler dan dramatis, kenadati tidak semua eksplorasinya dilakukan oleh manusia karena berbagai pertimbangan kapasitas manusia terhadap berbagai kemungkinan mendekati daerah yang tidak aman.  Eksplorasinya dipresentasikan oleh kerja teknologi satelit yang mengeksplorasi data dan fenomena yang ditemui selama puluhan tahun sebagai representasi perjalanan ektrem yang terjauh dilakukan manusia.
Faktanya, perjalanan terjauh manusia yang pernah ditempuh hingga saat ini adalah 400.000 km yaitu ketika manusia berhasil menempuh perjalanan ke bulan.  Jika kita ingin mengirim pesawat menggunakan teknologi elektromagnetik tanpa awak pun kita masih membutuhkan ratusan tahun sebelum pesawat tersebut bisa mencapai bintang terdekat.  Dengan pesawat yang menggunakan propellant bahan kimia kita baru bisa mencapai bintang terdekat dalam waktu puluhan ribu tahun namun jika ingin mencapai bintang terdekat dalam waktu lebih cepat layaknya adegan-adegan film Star Trek maka kita membutuhkan pencanggihan teknologi yang bisa melampaui kecepatan cahaya.  Dalam film tersebut seolah sedang memprovokasi para ilmuwan antariksa untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan imajinatifnya yang bisa mengantarkan manusia melintas setara dengan kecepatan cahaya bahkan melampauinya untuk mampu mengelaborasi ikhwal misteri alam semesta dengan kedigdayaannya yang tak terduga. 
Paling tidak eksplorasi ruang angkasa hingga saat ini membuktikan bahwa perjalanan manusia dalam mengeksplorasi imajinasi mengenai semua aktivitas kehidupan yang nyaris tak terjangkau dan awalnya tak terpikirkan mulai memenui titik terang sebagai referensi ilmu pengetahuan.  Ilmu pengetahuan yang berperan memompa adrenalin manusia bereksplorasi dan melakukan petualangan terjauhnya, meskipun melalui kepanjangan tangan dari pencanggihan teknologi telekomunikasi satelit hasil ciptaannya.  Hal tersebut bisa merepresentasikan perjalanan terjauh manusia secara non eksistensial.  Fenomena-fenomena yang dituturkan semesta pada kita sesungguhnya sebuah brainshocking yang luar biasa untuk melahirkan gagasan luar biasa yang memukau sekaligus mengguncang otak.
4.    Vibrasi Elektromagnetik dan Kekuatan Pikiran Kreatif
 Segala sesuatu yang hari ini menjadi realitas berawal dari sesuatu yang bersifat imajinasi, dimana ruang virtual dieksplorasi dan dikelola dengan berbagai pendekatan untuk menemukan sebuah pola baru ilmu pengetahuan yang dapat dilacak pada realita kehidupan.  Ilmu pengetahuan dan agama-agama kuno telah membuktikan dengan fakta-fakta otentik bahwa segala sesuatu selalu lahir atau bermula dari pikiran bahkan alam semesta tempat kita saat ini berada saat ini ada karena proses identifikasi-identifikasi pikiran atas berbagai hal yang dibentangkan dalam hirarki pengetahuan.  Realitas hari ini sesungguhnya manifestasi pikiran kita dan orang-orang sebelum kita mengenai eksistensi dan proses berkehidupan kita. Kita bisa seperti sekarang ini sebagai visualisasi dari serangkaian impian dan imajinasi pikiran kita selain dari blue print kita dengan alam dan sang Khaliq. 
Tidak sulit untuk memaparkan analogi-analogi sederhana bagaiamana kita peroleh harta benda, kesehatan, kebahagiaan, kesuksesan, kepercayaan, networking, status sosial, dan martabat kita dengan sebuah nyali untuk memikirkannya.  Hal yang sederhana ini tak membuat kita menyadari bahwa sesuatu bisa kita peroleh dengan kekuatan pikiran.  Ini semacam fenomena sederhana sebuah vibrasi elektromagnetik yang mampu memberi pengaruh semua aspek yang terkait dan mengubahnya menjadi energi spiritual untuk mengonstruksi apa-apa yang tertlintas dan diyakininya.  Seperti apa yang dijabarkan pada ilmu fisika quantum yang menuju pada satu muara yakni energi, energi quanta pikiran kita atas apa-apa yang kita bayangkan dan apa-apa yang ingin digapai.  Sebuah ruang eksplorasi energi yang mentransformasi bahasa imajinasi ke dalam bahasa visual yang bergerak, organik, dan hibrid.  Energi bergerak pada tiap simpul saraf dimana kita bisa memikirkannya dan bergerak pada fokus melakukan inkubasi untuk melahirkan gagasan imajiner ke dalam wujud realistik sebagai manifestasi yang secara terus-menerus menginspirasi produktivitas pemikiran selajutnya.
Manifestasi adalah pikiran yang bisa terwujud.  Dan, Dr Wayne Dyer menyatakan bahwa kelimpahan adalah sesuatu yang membawa kita lebih fokus (pada apa yang kita pikirkan) ke dalamnya.  Alam semesta sebagai medan kemungkinan yang selalu merespon pikiran kita, baik itu baik atau buruk. (http://forum.kompas.com/sains/28067-kekuatan-pikiran-realitas-anda.html). Sebuah rahasia kecil untuk mendapatkan apa yang kita inginkan adalah membiarkannya (pikiran imajinatif) datang ke dalam hidup kita, maka biarkan ia mengalir dengan bebas menemukan koneksi-koneksinya.  Bayangkan sebuah sistem pemrograman besar-besaran dilakukan sedemikian rupa sehingga kita merasa takut sebagian besar waktu kita, dan ketakutanlah mengarahkan kita ke dalam keadaan pemblokiran dan penolakan sebelum gagasan besar tersebut terkoneksi dengan sejumlah probabilitasnya.   Esensi quatum yang tak terpastikan namun membuka ruang kebaruan-kebaruan.
Kekuatan pikiran adalah energi virtual yang sarat energi emosional dan spiritual yang terkonsentrasi menjadi sangat luar biasa kemampuannya.  Pikiran mampu mengubah keseimbangan energi di sekitar kita dengan membawa perubahan terhadap lingkungan dan masa depan.  Masa depan dapat kita wujudkan melalui kekuatan pikiran.  Sesungguhnya yang kita butuhkan adalah vibrasi elektromagnetiknya untuk memicu adrenalin kekuatan pikiran kita bukan membayangkan risiko-risikonya yang belum tentu mengkhawatirkan.  Yang kita tunggu adalah keberanian kita menjumpai realitas quantum yang melekat pada diri kita sehari-hari, semua realitas quantum membuka ruang probabilitas yang luas dan memadai untuk dijadikan media eksploratif.  Di sanalah kita sesungguhnya dapat menjumput nilai-nilai estetika futuristik yang lebih menarik, antusias, segar, penuh kejutan, sensasional dari kecemasan yang mengguncang otak, shock terapi otak, dan terbarukan terus-menerus.  Ruang estetika futuristik yang sangat personal dan temuan-temuan yang partikular.
Filsafat India ‘Advaita Vedanta’, yang disebut ‘non-dualitas’ dalam perspektif Barat.  Dunia tidak nyata, tapi hanya sebuah ilusi yang diciptakan oleh pikiran kita.  Karena kebanyakan orang berpikir mengenainya dan mengulangi pemikiran yang sama atau mirip sering, memusatkan pikiran mereka pada lingkungan mereka saat ini, mereka mengolah, dan menciptakan jenis peristiwa atau keadaan yang sama secara kontinu. (http://michaelriorohan.blogspot.com/2011/06/bagaimana-cara-kerjanya-dan-mengapa.html).  Proses ini sebagai upaya mempertahankan ‘dunia’ yang sama melalui status quo.  Hal ini seperti membaca novel yang sama berulang kali kemudian kita dapat mengubah novel dengan mengubah perspektif pikiran kita dan memvisualisasikan ke dalam alur cerita yang berbeda, artikualsi, aksentuasi, proyeksi atas kehidupan yang juga berbeda, dan dengan cara demikian kita sedang menciptakan sebuah realitas baru yang benar-benar berbeda.  Itu sebuah cara mengelola kenyataan meskipun sebenarnya hal tersebut hanya mimpi yang kita kembangkan dan kita sebut sebagai realitas.
Melalui pola mengubah pikiran dan mengubah gambaran mental berarti kita mendeskripsikan dengan terperinci bagaimana mengubah realita, mengubah dunia imajinasi menjadi dunia-dunia realitas baru.  Semua impian yang berkelebat dalam kesadaran kita begitu sangat realistis dengan mengubah kesadaran ke dalam kesadaran yang sebenarnya yakni kekuatan visualisasi yang hanya kita jumpai pada dunia realitas.  Kekuatan visualisasi merupakan sebuah kekuatan besar.  Kita sering membatasi diri kita dengan seolah-olah melampaui batas kemampuan pikiran kita dan melemahnya keyakinan untuk mempresentasikannya secara sempurna.  Untuk menjadi pribadi dengan kekuatan pikiran imajinatif yang sempurna harus menjadi pribadi yang terbuka dan peka terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terbuka. Pribadi yang terbuka adalah pribadi  yang berani untuk berpikir revolusioner, berbeda, khas, dan penuh upaya pencerahan.
Begitu banyak fenomena sekitar kita yang mengajarkan mengenai berbagai hal dan perspektif elektromagnetis, karena sesungguhnya manusia dengan kwalitas pikiran dan citra yang melekat adalah daya tarik untuk orang di sekitarnya, sensasi estetis alam dengan fenomena-fenomenanya adalah hamparan yang memiliki kekuatan elektromagnetis bagi makhluk hidup yang berad di dalamnya bahkan untuk dirinya sendiri.  Dan, karya seni yang dibangun atas gagasan imajinatif dan memiliki daya ganggu sekaligus daya pukau yang luar biasa sudah barang tentu ia memiliki kekuatan magnetis.  Gagasan yang melekat bersama dengan nilai-nilai estetis merupakan gelombang yang akan menarik berbagai partikel yang terkoneksi pada muatan di dalamnya seperti yang dipaparkan lebih jauh pada konsep teori quantum. 
Visualisasinya menarik berbagai sudut pandang pengamatan penikmat seni untuk mengeksplorasi tanda visual yang melekat sebagai kesatuan kekuatan magnetis, sehingga karya seni ini dapat dibicarakan dan digali lebih dalam nilai-nilai estetikanya. Konsep visual yang bersifat magnetis yakni sebuah konsep yang memiliki nilai kontekstual, nilai filosofis, nilai humanistik, nilai yang menggugah, nilai penyadaran, nilai yang mengguncang otak, nilai eksplorasi, dan nilai estetis dengan kebaruan-kebaruannya. Hal ini penting diperhatikan agar karya seni yang presentasikan ke publik tidak out of tune dan menjadi materi yang baik untuk dipresentasikan secara menyeluruh dengan content yang dikandungnya.  Sebuah nilai-nilai estetika futuristik yang menjadi jiwa jaman.
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar