RITUS EKSOTIKA VISUAL BUNGA SETAMAN
Upaya Kritis Hardiana Dalam Transformasi Fakta Simbolik
Desa mawa cara, negara mawa tata. Beda daerah, beda masyarakatnya, beda leluhurnya, beda pula tradisi dan tata cara penghormatannya. Pangeran iku siji, ana ing ngendi papan langgeng, sing nganakake jagad iki saisine, dadi sesembahane wong sak alam kabeh, nganggo carane dhewe-dhewe.
Teks ini merupakan fakta keberagaman cara masyarakat Jawa memilih pola-pola dan tradisinya untuk mempresentasikan sejumlah bakti melalui laku bathin, mempersembahkan berbagai niatan, rasa, pengabdian, persembahan dalam semua hal yang berkaitan dengan harapan yang dianggap paling rasional untuk melakukan interkoneksi dengan Gusti, alam ciptaannya maupun leluhur. Relasi sosial dan interkoneksinya dengan Sang Gusti dicapai dengan berbagai cara, pola maupun prosedur yang khusus dan berbeda-beda. Itu sebagai bentuk khusus pengayaan ‘khasanah’ budaya masyarakat Jawa untuk mengekspresikan hal-hal yang khusus tersebut ke dalam bentuk fakta simbolik yang berkaitan dengan eksotika visual dan ritual magis. Budaya inilah yang sesungguhnya mengubah relasi sosial, fakta sosial, ideologi lainnya, filosofis ke dalam fakta simbolik melalui karya seni. Aktivitas budaya semacam ini memaparkan sejumlah argumentasi nilai-nilai yang diskursif dan demikian akan terus berlangsung, berkembang dan berubah sesuai kodrat kebudayaan itu sendiri yang dinamis memproduksi wacana dengan kekuatan nilai-nilainya.
Tegangan Realitas Postmodernisme dan Aspek Lokalitas
Masih segar dalam ingatan masyarakat kita mengenai terobosan dunia industri otomotif dengan kelahiran konsep Mobil ‘Nasional’ Esemka sebagai produk mutakhir teknologi lokal yang berorientasi pada teknologi canggih hasil kreasi siswa-siswa SMK di Jebres Solo. Sehari menjelang keberangkatan Mobil Esemka untuk menjalani sejumlah ujia kelayakan dan uji emisi ke Balai Thermodinamika Motor dan Propulsi (BTMP) di kawasan LIPI Serpong Tangerang, Pemerintah Kota Solo menggelar Wilujengan dan Jamasan Mobil Esemka tepat pada Kamis malam Jumat (23/02/2012). Penentuan waktu pergelaran Wilujengan dan Jamasan tentu bukan pilihan yang main-main dengan memilih kekuatan secara spiritual malam Jumat, bentangan ruang dan waktu tersebut bisa saja diasosiasikan dan diinterpretasikan secara luas. Layaknya upacara selamatan dalam adat Jawa, Wali Kota Solo Joko Widodo menyiapkan ritual khas Kerajawian dengan media satu set tumpeng lengkap yang berisi nasi gurih, ingkung, sambel goreng ati dan kedelai hitam. Sebagai pelengkap upacara sebuah bejana perak berukuran cukup besar yang berisi air dan kembang setaman tujuh warna pun disiapkan untuk menjamasi mobil yang fenomenal tersebut dengan sejumlah harapan mengenai kebaikan dan kesuksesan projek Esemka yang berdampak pada keharuman masyarakat Solo.
Aura sakral begitu terasa di seluruh bagian ruang Teaching Factory SMK, Jl Ki Hajar Dewantara Jebres Solo lokasi digelarnya ritual magis namun eksotis. Sebuah unit mobil Esemka bernomor polisi AD 1 A yang dihiasi untaian kembang setaman di seluruh bagian mulai dari kap depan, atap mobil, hingga bagian belakang mobil dengan iringan tembang Dandang Gula berikut tari putri sesaji, Wahyu Santoso Prabowo sebagai penari utama atau “pancer” dikelilingi empat penari putri, memulai ‘jamasan’ di Solo Techno Park (STP). Dengan khidmat air bunga tujuh rupa dalam bejana perunggu disiram ke bagian depan mobil dan ke seluruh bagian lainnya. Alunan tembang gending Jawa terus mengalun sayup mewarnai prosesi jamasan. Walikota Solo Joko Widodo dan Wakil Walikota FX Hadi Rudyatmo terlibat pada prosesi tersebut. Beberapa tokoh pemuka agama Islam, Protestan, Katolik, Buddha, Hindu dan Konghucu menyaksikan seksama dan melakukan prosesi do’a berbaur dengan para budayawan, seniman, kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD), Sekda Solo Budi Suharto, Ketua DPRD YF Sukasno, anggota DPR Roy Suryo dan pejabat terkait. Joko Widodo menyatakan bahwa ritual jamasan biasanya dilakukan terhadap benda yang dianggap penting dan memberi pengaruh pada jiwa seseorang dalam tradisi masyarakat Jawa yang sering diselenggarakan di Keraton Kasunanan Surakarta pada upacara-upacara khusus. Pepatah Jawa menuturkan: Desa mawa cara, negara mawa tata. Beda daerah, beda masyarakat, beda pula tradisi dan tata caranya. Keberadaan bunga sesaji mengandung nilai filosofis tinggi, tanpa pemahaman dan informasi atas makna terkandung dalam sesaji bunga maka bisa saja dengan mudah timbul prasangka dan anggapan sempit, terkadang tidak sesuai dengan gagasan dan nilai filosofis yang ingin disampaikan.
Kisah lain, sekelompok nelayan di Desa Rowo, Kecamatan Mirit, Kebumen pada Selasa (13/12) menggelar tradisi ritual sedekah laut dengan melarung sesaji ke Laut Selatan. Tradisi sedekah laut digelar setiap hari Jumat atau Selasa Kliwon di bulan Suro. Tradisi tahunan setiap bulan Suro penanggalan Jawa menggelar ritual ini sebagai ungkapan syukur dan memohon berkah atas rejeki yang diperoleh dari melaut selama setahun. Dan, mereka berharap dilimpahi rahmat, berkah dan keselamatan dimasa mendatang. Prosesi sedekah laut ini diawali dengan mengusung jolen berisi aneka sesaji dari kediaman Kepala Desa Rowo Sarno menuju keTempat Pelelangan Ikan (TPI). Sesaji yang dilarung ke laut selatan itu antara lain berupa kepala kambing yang dibungkus kain mori, jenang empat warna, jajanan pasar, kembang setaman, tumpeng tolak bala, tujuh macam pisang, tujuh macam buah, ageman sakpengadek, dan oman batang padi ketan hitam. Sesaji kemudian diarak oleh 30 perahu yang ditumpangi oleh nelayan dan keluarganya menyusuri Sungai Wawar menuju Pantai Selatan yang berjarak sekitar tiga kilometer dari Pelelangan. Kemudian sampai dibibir pantai, sesaji langsung dilarung ke tengah lautan. Sesaji yang dilarung diyakini merupakan kesukaan Ratu Laut Kidul, khususnya ageman yang terdiri atas batik, konde, dan seperangkat alat rias kecantikan
Dua ilustrasi di atas ingin menunjukkan bahwa terbentuknya relasi kultural bermulai dari terkoneksinya kesadaran mental, relasi sosial dan kadar spiritualitas komunitas masyarakat dimana kebudayaan tersebut dikonstruksi sebagai sistem gagasan dan sistem nilai sekaligus. Sebuah sistem gagasan yang memancing tegangan, ironi, dan friksi realitas posmodern dengan pencitraan budaya-budaya masa kini dalam relasi sosial-kultural saat ini. Tegangan budaya masyarakat kontemporer dengan perilaku masyarakat sinkretistik (itual sekatenan, maulid, syawalan, satu suro dan sebagainya) yang tetap kental mengolah unsur tradisi bahela ke dalam ritual budaya sebagai citra serba religiusitas. Tegangan ini detai-detail dari berhadapannya aspek lokalitas dan aspek posmodern dimana budaya kontemporer dan produk-produk budayanya saling berhadap-hadapan; antara mobil Asemka berteknologi canggih dengan ritual wilujengan dan jamasan, perahu bermotor dengan sisitem budaya serba modern yang berkembang di masyarakat berhadapan langsung dengan peristiwa larung sesaji ke Laut Selatan di Kebumen yang didukug oleh pemerintah setempat yang juga bukan presentasi masyarakat tradisional. Mereka melarung sesaji bisa jadi menggunakan fasilitas komunikasi serba canggih dengan GPS, blackberry, BBM, email, FB, twetter, badoo dan sejumlah jejaring sosial dalam merekrut masyarakat dan mobilisasi massa dalam perayaan tersebut. Fasilitas internet memungkinkan semua media meliput dan aktivitas sosial dan budaya ini menjadi terkemukakan secara luas.
Menggali Makna Berbagai Simbol Penghormatan Bunga Setaman
Falsafah hidup Jawa mengajarkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua dan para leluhur merupakan suatu ajaran yang diagungkan dan dilestarikan. Masyarakat Jawa tentunya secara umum membangun pribadi-pribadi manusia yang luhur, berpekerti, berkarakter, dan menghormati orang tua maupun leluhur. Mereka dibiasakan ungah-ungguh, sopan santun, tepo sliro dan menjunjung tinggi martabat diri dan keluarganya seperti ajaran-ajaran bijak yang diwariskan nenek moyang. Ajaran yang kemudian dijadikan falsafat hidup dengan memelihara kearifan lokal yang diyakini dapat menjaga kelestarian budaya dan melindungi harkat-martabat manusia seutuhnya. Bisa melalui persembahan sebagai ungkapan rasa dan sikap menghormati leluhur dengan sesaji bunga setaman, uborampe yang memiliki karakteristik khusus dan makna yang spesifik. Semua yang mereka lakukan merupakan manifestasi budi pekerti adiluhung yang terpelihara dengan segenap ketulusan, kepasrahan, impian dan harapan. Kasih sayang dan ketulusan yang berlimpah merupakan sumber energi alam semesta untuk limpahi berkah kepada kehidupan. Melalui ritual sesaji bunga setaman inilah serigkali masyarakat menempuhnya sebagai prosedur yang khas, dengan bunga yang diyakini memiliki makna filosofis agar kita dan keluarga senantiasa mendapatkan ‘keharuman’ dari para leluhur. Keharuman merupakan kiasan dari berkah safa’at yang berlimpah dari para leluhur dan dapat mengalir (sumrambah) kepada anak turunnya. Umumnya melalui mediasi bunga hal tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa masing-masing aroma bunga dapat menjadi ciri khas masing-masing leluhur. Desa mawa cara, negara mawa tata. Beda daerah, beda masyarakatnya, beda leluhurnya, beda pula tradisi dan tata cara-kelola penghormatannya.
Uborampe memiliki cakupan luas dan dimanfaatkan dalam berbagai acara ritus dan berbagai kegiatan spiritual. Kembang setaman versi Jawa terdiri dari beberapa jenis bunga yakni, mawar, melati, kanthil, dan kenanga yang mengandung makna spiritual dan kedalaman makna filosofis:
1. Kembang kanthil, kanthi laku, tansah kumanthil. Atau simbol pepeling bahwa untuk meraih ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase kalawan kas, tegese kas iku nyantosani (Lihat dalam thread; Serat Wedhatama). Maksudnya, untuk meraih ilmu spiritual serta meraih kesuksesan lahir dan batin, setiap orang tidak cukup hanya dengan memohon doa hingga berbusa tanpa lelaku. Kesadaran spiritual tak akan bisa dialami secara lahir dan batin tanpa adanya penghayatan akan nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari (lakutama atau perilaku yang utama). Bunga kanthil berarti pula, adanya tali rasa, atau tansah kumanthil-kanthil, yang bermakna pula kasih sayang yang mendalam tiada terputus. Yakni curahan kasih sayang kepada seluruh makhluk, kepada kedua orang tuanya dan para leluhurnya.
2. Kembang mlati, rasa melad saka njero ati. Melati mengandung pesan filosofis bahwa dalam berucap dan berbicara hendaknya kita selalu mengandung ketulusan dari hati nurani yang paling dalam. Lahir dan batin haruslah selalu sama, kompak, dan tidak munafik. Menjalani segala sesuatu tidak asal bunyi dan tidak asal-asalan. Kembang melati, atau mlathi, bermakna filosofis bahwa setiap orang melakukan segala kebaikan hendaklah melibatkan hati (sembah kalbu), jangan hanya dilakukan secara gerak ragawi saja.
3. Kembang kenanga, Keneng-a! berarti gapailah..! segala keluhuran yang telah dicapai oleh para pendahulu. Berarti generasi penerus seyogyanya mencontoh perilaku yang baik dan prestasi tinggi yang berhasil dicapai para leluhur semasa hidupnya. Kenanga, kenang-en ing angga. Bermakna filosofis agar supaya anak turun selalu mengenang, semua ‘pusaka’ warisan leluhur berupa benda-benda seni, tradisi, kesenian, kebudayaan, filsafat, dan ilmu spiritual yang banyak mengandung nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom).
4. Kembang Mawar, Mawi-Arsa. Dengan kehendak atau niat untuk menghayati nilai-nilai luhur hendaknya dengan niat. Mawar, atau awar-awar ben tawar. Buatlah hati menjadi ‘tawar’ alias tulus. Jadi niat tersebut harus berdasarkan ketulusan, menjalani segala sesuatu tanpa pamrih (tapa ngrame) sekalipun pamrih mengharap-harap pahala. Pamrih pahala ini tetap saja pamrih, berarti belum mencapai ketulusan yang tiada batas atau keadaan rasa tulus pada titik nihil, yakni duwe rasa ning ora duwe rasa duwe (punya rasa tapi tidak punya rasa punya) sebagaimana ketulusan Tuhan dan kekuatan alam semesta melimpahkan anugrah kepada seluruh makhluk.
a. Mawar Merah, melambangkan proses terjadinya atau lahirnya diri kita ke dunia fana. Yakni lambang dumadine jalma menungsa melalui langkah Triwikrama. Mawar merah melambangkan ibu. Ibu adalah tempat per-empu-an di dalam mana jiwa-raga kita diukir. Dalam bancakan weton dilambangkan juga berupa bubur merah (bubur manis gula jawa).
b. Mawar Putih adalah perlambang dari bapa yang meretas roh kita menjadi ada. Dalam lingkup makrokosmos, Bapanya adalah Bapa langit, Ibunya adalah Ibu Bumi. Perpaduan ini diharapkan menghasilkan bibit regenerasi yang berkwalitas unggul. Dalam jagad makro, keselarasan dan keharmonisan antara bumi dan langit menjadikan keseimbangan alam yang selalu melahirkan berkah agung, berupa ketentraman, kedamaian, kebahagiaan kepada seluruh penghuninya. Melahirkan suatu negeri yang tiada musibah dan bencana, subur makmur, gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja.
5. Kembang Telon, terdiri tiga macam bunga bisa menggunakan bunga mawar putih, mawar merah, dan kanthil atau mawar, melati, kenanga serta bisa memilih mawar, melati, kanthil. Telon berasal dari kata telu (tiga). Dengan harapan agar meraih tiga kesempurnaan dan kemuliaan hidup (tri tunggal jaya sampurna). Sugih banda, sugih ngelmu, lan sugih kuasa.
6. Kembang Boreh, Putihan, terdiri dari tiga macam bunga yang berwarna putih. Yakni kanthil, melati, dan mawar putih. Ditambah dengan ‘boreh’ atau parutan terdiri dua macam rempah; dlingo dan bengle. Agar segala sesuatu selalu dalam tindak tanduk dan perilaku yang suci murni. Karena putih di sini melambangkan kesucian dan ketulusan hati. Kembang telon bermakna pula sebagai pengingat agar supaya kita selalu eling dan waspada.
7. Kembang Tujuh Rupa, berupa kembang setaman ditambah jenis bunga-bunga lainnya sampai berjumlah 7 macam. Lebih sempurna bila di antara kembang tersebut terdapat kembang wora-wari bang. Atau sejenis bunga sepatu yang wujudnya tidak mekar tetapi bergulung/gilig memanjang (seperti gulungan bulat memanjang berwarna merah). Ciri lainya jika pangkal bunga dihisap akan terasa segar manis. Kembang tujuh rupa, dimaksudkan supaya apa yang sedang menjadi tujuan hidupnya dapat terkabul dan terlaksana. Tujuh (Jawa; pitu) bermakna sebuah harapan untuk mendapatkan pitulungan atau pertolongan dari Gusti kang Mahakuasa.
8. Rujak Degan atau rujak kelapa muda. Degan supaya hatinya legan lan legowo. Seger sumringah, segar bugar dengan hati yang selalu sumeleh, lega lila lan legawa. Hatinya selalu berserah diri pada tuhan, selalu sabar, dan tulus.
9. Dlingo dan Bengle, keduanya termasuk rempah-rempah, atau empon-empon. Bengle bentuk luarnya mirip jahe. Tetapi baunya sangat menyengat dan bisa membuat puisng. Sedangkan dalamnya berwarna kuning muda. Karena baunya yang mblenger sehingga di Indonesia jenis rempah ini tidak digunakan sebagai bumbu masak. Dlingo dan bengle bermanfaat pula sebagai sarana memasang pagar gaib di lingkungan rumah tinggal. Dengan cara dlingo dan bengle ditusuk bersama seperti sate, lalu di tanam di setiap sudut pekarangan atau rumah.
Semua itu sungguh memuat nilai adiluhung sebagai ‘pusaka’ warisan leluhur, nenek moyang kita sebagai wujud sikap bijaksana dalam memahami jagad raya dan segala isinya. Doa bersama sesaji kembang setaman diwujudkan dalam bergai simbol dan lambang supaya hakekat pepeling ajaran untuk selalu dihayati dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Ajaran adiluhung yang di dalamnya penuh arti filosofis. Kaya akan makna alegoris tentang moralitas dan spiritualitasuntuk menemukan jati diri, alam semesta, dan jagad nusantara.
Eksotika Visual Sebagai Reinterpretasi Ritual Bunga Setaman
Wacana ini menuntun kita untuk menengok peristiwa budaya dengan relasi yang memang tak sejenis namun berdekatan yakni seorang Hardiana yang ditempa dalam laboratorium intelektual di institusi seni yang menghasilkan karya seni berkecenderungan kontemporer kemudian harus menggali perihal ritual kembang setaman yang memiliki konotasi mistis dan lokal. Tapi lagi-lagi kita harus tetap merujuk teks pembuka tulisan ini bahwa Pangeran iku siji, ana ing ngendi papan langgeng, sing nganakake jagad iki saisine, dadi sesembahane wong sak alam kabeh, nganggo carane dhewe-dhewe. Dan, Hardiana memiliki argumentasi konseptual untuk mentransformasinya ke dalam fakta simbolik yakni karya seni lukis. Ia menggali berbagai hal yang berkaitan langsung dengan ritual bunga setaman dengan latar belakang historis, proses interelasi sosial, makna filosofis, dan sejumlah argumentasi ilmiah yang mendasarinya sebagai subjek mater penciptaan seninya yang menggali kearifan lokal.
Wujud sesaji bunga setaman bisa diartikan juga sebagai simbol untuk sesuatu yang bersifat abstrak, yang susah dijelaskan karena hanya bisa dipahami melalui rasa sebagai simbol kerohanian yang bersifat personal. Begitu berharga sesaji bunga hingga kehadirannya seakan setara dengan simbol-simbol Tuhan sendiri, keberadaan sesaji bunga seakan-akan mutlak di setiap upacara, sehingga para spiritualis tidak henti-henti memuja Pencipta menggunakan bahasa bunga yang disusun menjadi sesaji bunga setaman sebagai representasi syukur dan pengganti bahasa doa, sedangkan para wanita menghias diri dengan aneka ragam bunga setaman untuk menambah kecantikan mereka. Begitu mudah keindahan bunga diadaptasikan dengan keindahan artifisial manusia, sehingga para seniman berlomba-lomba untuk menggambarkan keindahan bunga dalam karya seni, sekelompok manusia bahkan sepakat menggunakan bunga sebagai identitas diri.
Eksotika bunga setaman dihadapan seorang praktisi seni dan pelaku kebudayaan memberi inspirasi yang luar biasa. Seorang perancang batik, bordir, maupun pengukir kayu Jepara dapat mempresentasikan konsep bunga setaman ke dalam proses kreatifnya. Bunga setaman mengilhami berbagai reka hias dan motif inspiratif serta memperkaya kedalaman spiritual penggunanya. Begitu juga di tangan seorang pelukis perempuan seperti Hardiana yang saya tahu ketertarikannya pada dunia mistis dan cita rasa yang berkaitan dengan nuansa spiritual yang diwariskan leluhurnya, tentu ia memahami semua gejala noumena yang berkelebat dalam ruang imajiner yang tak terpahamkan dan absurd bagi orang lain yang tak memiliki kecukupan referensi spiritual yang setara. Layaknya gelombang radio harus tuning frekwensinya baru auditif nyaring, merdu bahkan ngebas di telinga sampai dada kita. Sama halnya interkoneksi jejaring kerja dalam wacana dan praktik cybernetics.
Kadang ia disibukan dengan dunia ‘keduanya’ yang acapkali menyita fokus pada realitas yang sehari-hari ia hadapi. Gesture secara umum yang ia hadirkan adalah kasunyatan kediriannya yang tanpa pamrih dan mendedikasikan keseluruhan aset spiritualnya pada detail-detail khusus kehidupannya yang khas dan personal. Hardiana sebagai pribadi perupa yang cukup progresif juga terlibat pada kelompok perupa militan yang mengusung nama agak ngelangut kelompok seni ‘seringgit’, sepintas namanya mengingatkan kita pada nilai mata uang kuno terendah ‘seperak’ dan menjumput term bernuansa spiritual. Citranya yang melekat dengan aspek lokalitas namun memiliki potensi universalitas terbukti sepak terjangnya lumayan diperhitungkan dengan roadshow di beberapa negara Asia Tenggara akhir-akhir ini.
Pada pameran tunggal tugas akhir untuk meraih Magister Seni di ISI Yogyakarta kali ini Hardiana tak lagi seutuhnya menghadirkan bunga sebagai sign utama pada setiap proses penciptaan seninya. Namun ia mengemas konsep bunga setaman sebagai metafora persembahan kehidupannya, pengabdian terhadap alam, pemujaan terhadap keindahan, dan pencerahan. Cukup kerap saya mencermati karya-karyanya di studio dan tak jarang mencermati gejala visualnya yang kelewatan vibrasinya sehingga bikin anak-anak histeris tak berani masuk ke studio apalagi untuk mendekat karya-karyanya. Ketika anak saya menangis histeris dengan menolak masuk studio karena di dekat pintu masuk ada beberapa lukisan yang kelewat seram menurut takaran anak saya yang memiliki kepekaan bawaan sebagai indigo. Kemudian dibantu seorang dokter, ialah Dokter Bagus yang menuntaskan studi doktoral dengan riset homeopathy, (kebetulan beliau adalah pasangan hidup dan pasangan spiritual Hardiana) sesaat kemudian mengajak anak saya masuk dengan nyaman dan bisa asyik bolak-balik berlarian masuk bahkan keasyikan nonton televisi dan tertidur pulas. Terbagun dengan nyaman tanpa menunjukkan ekspresi ganjil yang mencolok.
Pencitraan gagasan-gagasan kreatifnya didorong upaya merefleksikan pengalaman spiritual Jawa dalam transformasi estetika yang menebarkan aspek auratik dan di sana-sini yang dimunculkan dengan tanpa disadari atau malah disadari yang disebabkan melekatnya kekuatan unsur mistik pada bagian olah pencitraan tertentu. Citra horor dan stuasi misteri seringkali diketengahkan melalui karya-karya mutakhirnya. Misalnya, tatapan seorang gadis yang ngelangut, kosong dan ekspresinya yang dingin seolah tengah mengajak dialog bathin secara spiritual menyatakan duka cita dengan pandanganya yang menelan kita bulat-bulat. Karya-karya Hardiana memang tanpa disadarinya merefleksikan seluruh hasrat spiritual yang menjadi referensi bathinnya selama ini. Secara psikologis Ia nyaris tak mampu menghindar maupun melepaskan diri dari sistem organis yang menjadi bagian kohesif dari diri dan kehidupannya. Representasi-representasi visual lainnya lebih diperuntukkan untuk menyatakan hasrat estetik, kegelisahan, impian, dan dedikasi kreatifnya pada upaya mereposisi praktik budaya yang personal sekaligus mencuatkan nilai universalitas.
Netok Sawiji_Rusnoto Susanto
(Kurator independen, Praktisi Seni, Kandidat Doktor PPs ISI Yogyakarta, dan Dosen Seni Rupa UST Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar