KONTEKSTUALITAS PILAR-PILAR PEMIKIRAN PENDIDIKAN, KONSEP KEBUDAYAAN, DAN IDEOLOGI POLITIK KI HADJAR DEWANTARA
(makalah seminar seminggu 'Kaderisasi Tamansiswa' LP3M-UST Yogyakarta)
Moh. Rusnoto Susanto, S.Pd, M.Sn
[Dosen Program Pendidikan Seni Rupa UST Yoyakarta]
Saya mempunyai keyakinan, Saudara Ketua, bahwa seandainya bangsa kita tidak keputusan naluri atau tradisi, tidak kehilangan “garis kontinu” dengan zaman yang lampau, maka sistem pendidikan dan pengajaran di negeri kita… pasti akan mempunyai bentuk serta isi dan irama, yang lain daripada yang kita lihat sekarang…(Ki Hadjar Dewantara).
Pendahuluan
Di era pencanggihan teknologi komunikasi simulasi, gaya hidup digitalisasi dan perubahan budaya kontemporer hari ini sebagian besar masyarakat dipengaruhi perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi (teknologi informasi dan komunikasi simulasi) tersebut. Sehingga melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain, perlunya melakukan aktivitas sosial di dalam masyarakat, pentingnya menghargai sesama lebih daripada apa yang berhasil dibuatnya, dan lain sebagainya. Seringkali teknologi yang dibuat manusia untuk membantu manusia tidak lagi dikuasai oleh manusia tetapi sebaliknya manusia yang terkuasai oleh kemajuan teknologi. Manusia tidak lagi bebas menumbuhkembangkan dirinya menjadi manusia seutuhnya dengan segala aspeknya.
Kita sekarang berada dalam arus deras globalisasi, arus komunikasi, dan teknologi serba digital yang membentuk karakteristik masyarakat dunia makin bersikap individualis, serba cepat, serba instan, dan memicu watak serba emosional. Masyarakat terpesona dengan penemuan-penemuan dan launching produk-produk baru (produk cybercultures) berteknologi canggih, sehingga cenderung melupakan eksistensi dirinya dan aspek humanistik yang melekat sebagai manusia madani. Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran bertumpu pada nilai-nilai local genius sebagai dasar ilmu pedagogik. Sistem pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau spirit kebersamaan. Pendidikan dan pembelajaran harusnya dijadikan fasilitator untuk melayani proses kebudayaan dikembalikan kepada kebutuhan aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik dan muatan lokal sebagai basis proses pendidikan. Pendidikan yang humanis yang menekankan pada pentingnya membangun eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang sejalan dengan spirit filosofis yang diwarisi Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (psikomotorik). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand !”
Ki Hajar Dewantara, melihat manusia lebih pada aspek psikologis dengan manifestasi bahwa manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Sebuah proses pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara erimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia, begitu sebaliknya dengan ketegasannya menyatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakat karena hilangnya hubungan emosional dan menipisnya dasar nilai humanistik. Kita cermati bersama, bahwa pendidikan hingga sekarang hanya menekankan pada pentingnya proses pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia yang dishumanis atau tidak manusiawi.
Pada perspektif sosio-anthropologis, distingsi kekhasan manusia dengan makhluk hidup lainnya adalah bahwa manusia memiliki kemampuan berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak memiliki kemampuan berbudaya. Dengan demikian jika ingin menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan aspek kebudayaannya. Karena dengan kebudayaannya manusia menunjukkan derajat kemanusiaannya dan manusia akan benar-benar menjadi manusia madani jika mampu hidup dalam konteks-konteks nilai budaya yang melekat pada diri dan lingkungannya.
Dalam tatapan inilah sesungguhnya masyarakat kita seharusnya menjadi masyarakat yang kuat, tangguh, dan siap menjawab tantangan jaman karena kita sudah dibekali sebuah investasi yang luar biasa dari seorang Ki Hadjar Dewantara. Sejumlah investasi intektual melalui pilar-pilar pemikiran pendidikan nasional, konsep-konsep kebudayaan, dan konsep ideologi politik yang sudah teruji baik secara ilmu pengetahuan maupun teruji waktu menjawab kebutuhan hidup sesuai jiwa jaman. Semua berorientasi pada kontekstualitas pilar-pilar pemikiran pendidikan nasional, konsepsi kebudayaan dan pengembangan cara pandang ideologi politik Ki Hadjar Dewantara sebagai landasan formal sistem pendidikan dan landasan strategik berkebudayaan serta berpolitik negeri ini.
1. Menghayati Tokoh Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara
Memperbincangkan mengenai pendidikan masa kini berarti mencermati problematiknya sebagai bagian proses menghayati sejarah pendidikan generasi terdahulu. Begitu pentingnya pendidikan bagi bangsa ini yang direpresentasikan dengan sejumlah tokoh penting yang memiliki titik orientasi terhadap pemikiran dan sistem pendidikan nasional. Bagaimana para tokoh bangsa Soekarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara, Buya Hamka, KH. Ahmad Dahlan, St. Syahrir, Agus Salim, Cipto Mangun Kusumo, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh bangsa ini yang besar dan dikenal tak hanya di negeri sendiri tapi juga di luar sana, tak lain karena pendidikan. Pendidikan yang mencetak mereka menjadi manusia-manusia yang kritis dan cerdas ini pada akhirnya Belandapun kerepotan karenanya. Pendidikan yang pada awalnya hanya bertujuan untuk mempermudah Belanda dalam hal penyedian tenaga kerja murah dengan membuat pendidikan berjenjang yaitu tidak berlaku untuk semua kalangan dan berdasarkan tingkat.
Begitu banyaknya batasan-batasan sistem pendidikan yang tidaak menguntungkan pribumi pada masa itu, tak membuat anak-anak pribumi ini lemah dan patah semangat dengan kecakpan memanfaatkan kesempatan-kesempatan sederhana sebagai kesempatan emas kendati diperlakukan berbeda dengan anak-anak Belanda. Sehingga tak sedikit dari mereka bisa melanjutkan kuliah hingga ke negeri Belanda. Peluang ini dipergunakan oleh mereka sebagi sebuah strategi perang intelektual yang kelak melandasi semangat perjuangan kemerdekaan dengan mobilisasi rakyat pribumi untuk memperoleh hak merdekanya. Kondisi yang tak pernah dibayangkan oleh belanda, ”senjata makan tuan” bahwa pendidikan yang mereka berikan dengan mencetak manusia-manusia cerdas sebagai pemenuhan tenaga ahli, pendidik, dan cedikia yang murah ini malah membuat goyah kedudukan Belanda. Beberapa tokoh inipun mendedidikasikan segenap ilmu dan hasil pendidikan luar negerinya dengan mendirikan sekolah-sekolah pribumi agar anak-anak bangsanya berpengetahuan, kritis dan berpikiran maju.
Satu diantara mereka adalah Ki Hadjar Dewantara, tokoh yang paling berjasa atas pemikiran-pemikiran luar biasa sebagai modal dasar (investasi intelektual) untuk memajukan pendidikan di Indonesia ini bergelar R.M. Suwardi Suryaningrat. Aktivitasnya dimulai sebagai jurnalis pada beberapa surat kabar kemudian bersama EFE Douwes Dekker, mengelola De Expres. Ki Hadjar pun aktif menjadi pengurus Boedi Oetomo dan Sarikat Islam. Selanjutnya bersama Cipto Mangun Kusumo dan EFE Douwes Dekker yang dijuluki ”Tiga Serangkai”. Tak lama kemudian ki Hadjar dewantara mendirikan Indische Partij, sebuah organisasi politik pertama di Indonesia yang dengan tegas menuntut Indonesia merdeka. Di sinilah Ki Hadjar dikenal sebagai tokoh penting dalam sejarah politik tanah air sebagai kendaraan perjuangan bangsa saat itu. Pada zaman Jepang, peran Ki Hadjar tetap menonjol. Bersama Soekarno, Hatta, dan Mas Mansur, mereka dijuluki “Empat Serangkai”, dan memimpin organisasi Putera. Ketika merdeka, Ki Hadjar Dewantara ditetapkan Menteri Pengajaran Pertama.
Ki Hadjar dikenal dengan ajaran-ajarannya, diantarnya ajaran kepemimpinan. Ajaran kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara yang sangat poluler di kalangan masyarakat adalah Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, dan Tut Wuri Handayani. Maknanya Di depan anak didik seorang Pamong (guru, pemimpin, dan orang tua) memberi contoh teladan, ditengah-tengah atau bersama anak didik seorang Pamong (guru, pemimpin, dan orang tua) membangun semangat dan harapan, dan menjadi pendorong dan pendamping anak didik seorang Pamong (guru, pemimpin, dan orang tua) untuk selalu terus maju meraih cita-cita. Untuk mengenang jasa beliau, maka 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional yang bertepatan dengan hari lahirnya Ki Hadjar Dewantara.
2. Ki Hadjar Dewantara: Menyejarah Bersama Tamansiswa
Gb. 1
Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswa sebagai panji-panji perjuangan untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajah dan terbebas dari kebodohan.
Tokoh peletak dasar pendidikan nasional ini dilahirkan di Yogyakarta pada hari Kamis, tanggal 2 Mei 1889 dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat putra dari Pangeran Suryaningrat, cucu dari KGPAA Paku Alam III. Sejak kecil tumbuh di lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Pendidikan dasarnya diperoleh di Sekolah Dasar ELS (sekolah dasar Belanda) Yogyakarta dan meneruskan ke STOVIA (sekolah kedokteran Bumi putera) di Jakarta, tetapi tidak sempat menuntaskan studinya. Kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedya Tama, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia tergolong penulis tangguh pada masanya, semua tulisan-tulisannya sangat tegas dan patriotik serta mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Sebagai tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara memiliki visi revolusioner mengenai konsepsi, sistem pembelajaran, dan arah masa depan dunia pendidikan, berbanding terbalik dengan Ivan Illich atau Rabrindranath Tagore yang sempat menganggap sekolah sebagai siksaan yang harus segera dihindari. Ki Hadjar berpandangan mendalam perihal ini dan menyatakan bahwa melalui pendidikan akan terbentuk kader bangsa yang berpikir, berperasaan, dan berjasad merdeka serta percaya akan kemampuan diri sendiri. Beliau menegaskan kembali bahwa arah pendidikannya bertumpu pada nilai kemanusiaan, bernafaskan kebangsaan, dan berlanggam kebudayaan.
Ivan Illich pernah berseru agar masyarakat bebas dari sekolah. Niat deschooling tersebut berangkat dari anggapan Ivan Illich bahwa sekolah tak ubahnya pabrik yang mencetak anak didik dalam paket-paket yang sudah pasti, dengan melanjutkan pernyataannya “…bagi banyak orang, hak belajar sudah digerus menjadi kewajiban menghadiri sekolah”. Senada dengan Rabindranath Tagore yang sempat menganggap bahwa sekolah seakan-akan sebuah penjara, kemudian ia menyebutnya sebagai “siksaan yang tertahankan”. Kedua pandangan ini jelas memiliki latar belakang khusus yang menguatkan argumentasi-argumentasi radikalnya. Ki Hadjar justru bertolak pada pengalaman hidup bangsanya yang tertindas karena kebodohan dan semangat memerdekakan aspek kemanusiaan diri dan bangsanya yang kemudian terefleksi dalam sejumlah pilar-pilar penting pemikirannya, baik pada aspek pendidikan, kebudayaan, politik, dan membakar daya juang masyarakat pribumi untuk hidup layak dengan merumuskan dasar negara yang sesungguhnya dirintis ke dalam butir-butir pemikiran Pancasila.
Tak sedikit kalangan acapkali menyejajarkan Ki Hajar Dewantara dengan Rabindranath Tagore (seorang pemikir, pendidik, dan pujangga besar kelas dunia) yang telah berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional India hanya karena mereka bersahabat dan memiliki kesamaan visi-misi perjuangan untuk memerdekakan bangsanya dari keterbelakangan yang diciptakan kaum imperalisme. Di banyak sisi keduanya memiliki perbedaan khusus dan refleksi karakteristik problem sosiokultural yang sangat khas.
Memiliki kesamaan karakeristik yang menonjol antara Tagore dan Ki Hajar memiliki kedekatan dengan rakyat, cinta kemerdekaan, dan bangga atas budaya bangsanya sendiri. Tagore pernah mengembalikan gelar kebangsawanan (Sir) pada raja Inggris sebagai protes atas keganasan tentara Inggris dalam kasus Amritsar Affair. Tindakan Tagore itu dilatarbelakangi kecintaannya kepada rakyat, senada dengan Ki Hadjar yang menanggalkan gelar kebangsawanan (Raden Mas) yakni Raden Mas Suwardi Suryaningrat, putra dari Pangeran Suryaningrat, cucu dari KGPAA Paku Alam III, adalah satu di antara putera terbaik bangsa yang berupaya menjalin dan menyambung kembali peradaban bangsa Indonesia melalui gerakan pendidikan dengan Perguruan Nasional Taman Siswa atau Nationaal Onderwijs Instituut. Tindakannya juga dilatarbelakangi keinginan untuk lebih dekat dengan rakyat dari segala lapisan tanpa sekat-sekat strata sosial dan kebangsawanannya. Antara Ki Hajar dengan Tagore juga merupakan sosok yang sama-sama cinta kemerdekaan dan bangga dengan budaya bangsanya sendiri. Bidang pendidikan dan kebudayaan dipilih sebagai medan perjuangan tentu tak lepas dari “strategi” untuk melepaskan diri dari belenggu imperalisme. Logika sederhananya bahwa; apabila rakyat memperoleh pendidikan yang memadai maka berpengetahuan, wawasannya semakin luas, dan kritis serta memiliki visi kehidupan baru untuk mengolah impian masa depannya sendiri. Dengan demikian semua rakyat bersama-sama memiliki keinginan untuk merdeka jiwa dan raganya semakin tinggi.
Gb.2
Taman Siswa Bersemayam Spirit Ki Hajar Dewantara
Keandalan Ki Hadjar Dewantara melalui pemikiran-pemikirannya mampu meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional yang bercirikan kebangsaan dan kebudayaan nasional sebagai bagian dari politik pendidikan dan mobilisasi intelektual yang kritis untuk meruntuhkan rezim penjajah ketika itu. Melalui upaya kerasnya membangun kembali kesadaran bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, bermartabat, dan berperadaban tinggi setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tentu kita ingat di Barat, Paulo Freire menonjol dengan konsep pendidikan pembebasan dan di sini, Ki Hajar Dewantara menjadi pahlawan pendidikan nasional karena pendidikan sistem among yang ia kembangkan di taman siswa. Ungkapannya sangat populer dan legendaris yakni “tut wuri handayani”, “ing madya mangun karsa”, dan “ing ngarsa sung tulada”. Istilah tersebut tak hanya populer di kalangan dunia pendidikan, tetapi juga pada berbagai aspek kehidupan lain juga dalam kepemimpinan pada dunia interdisipliner.
Sosok Ki Hadjar Dewantara adalah pigur pejuang gigih, politisi handal, guru besar bangsa, pendiri Taman Siswa, dan pelaku sejarah. Sebagai pribadi yang keras tapi lembut, ayah yang demokratis, sosoknya yang sederhana, dan penggemar barang bekas adalah sisi lain kehidupannya yang tak banyak diketahui banyak orang. Bahkan sejarah tidak cukup benderang menuturkan ke publik secara luas bagaimana muasalnya beliau dipanggil dengan nama Ki Hajar Dewantara juga belum banyak yang tahu. Namun sejarah terjelaskan dalam tulisan Theo Riyanto, bahwa perubahan nama tersebut dapat dimakna bahwa beliau ingin menunjukkan perubahan sikap ningratnya menjadi pendidik, yaitu dari ‘satria pinandita’ ke ‘pinandita satria’ yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didiknya untuk melindungi bangsa dan Negara ini. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan memiliki spiritualitas yang mengabdikan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Yang utama sebagai pendidik adalah fungsinya sebagai model keteladanan dan sebagai fasilitator kelas yang berperan sebagai pelayan proses pendidikan itu sendiri.
Ki Hajar Dewantara memiliki keinginan kuat mengenai pentingnya figur-figur seorang guru (among) yang memiliki kelimpahan mentalitas, moralitas, dan spiritualitas. Nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan serta menguasai masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia dan mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik baginya merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan. Bagaimanapun beliau adalah seorang tokoh pendidikan kebangsaan yang meletakaan dasar pendidikan dan kebudayaan pada konsep tri pusat yang diabadikan di kedua bagian bukunya yakni bagian pertama Pendidikan dan bagian kedua Kebudayaan.
Gb.3
Konsep Tri Pusat Pendidikan dan Kebudayaan
1) Keluarga: merupakan tempat pertama bersemainya pendidikan dan kebudayaan
2) Sekolah: merupakan tempat pendidikan dan pelestarian serta pengembangan kebudayaan
3) Masyarakat: merupakan tempat pendidikan dan pelestarian serta pengembangan kebudayaan yang beragam fungsinya dan pada umumnya kurang terkontrol
Catatan: diperlukan konsistensi tri-pusat pendidikan dan pelestarian serta pengembangan kebudayaan (penjelasan dikutip dari Prof. Slamet PH, MA, MEd, MA, MLHR, Ph.D dalam presentasi makalah Kaderisasi Ketamansiswaan 2012)
Pendidikan dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tumbuh berkembang dan tak dapat dipisahkan karena pendidikan mengembangkan ketajaman cipta (daya pikir), memperhalus rasa dan memperkuat suci karsa (daya hati), dan membina raga (daya fisik) agar yang di didik menjadi manusia berbudi pekerti luhur. Sementara itu, kebudayaan merupakan buah dari keadaban manusia. Karena adab sebagai cerminan sifat keluhuran budi, maka buah-buah dari budi yang beradab itu kemudian disebut budaya. Jadi kebudayaan memiliki sifat-sifat sistemik yang tertib, indah, tumbuh, organik, hibrid, berfaedah, luhur, memberi rasa damai, menyenangkan, membahagiakan, dan sebagainya. Kesemua aspek yang melingkupinya dibangun melalui ketajaman berpikir, kehalusan perasaan, suci, kuatnya kemauan, dan kesehatan raganya yang hanya dapat dimanifestasikan melalui tri-pusat pendidikan dan kebudayaan dalam arti seluas-luasnya, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
3. Pilar-Pilar Pemikiran Pendidikan dan Konsep Kebudayaan Ki Hajar Dewantara
Sebuah pemikiran cerdas Ki Hadjar untuk mendirikan sekolah atau perguruan taman siswanya dan revolusioner karena ide besar ini mencuat jauh sebelum Indonesia mengenal arti kemerdekaan. Konsepsi Taman Siswa pun manifestasi urgensi bagi Ki Hajar Dewantara dalam menemukan solusi menyikapi kegelisahan-kegelisahan rakyat terhadap kondisi pendidikan dengan tingginya diskriminasi dan perlakuan tidak adil kolonialis kepada pribumi ketika itu, sebagaimana digambarkan dalam asas dan dasar yang diterapkan Taman Siswa. Bahwa Orientasi Asas dan Dasar Pendidikan Dari Ki Hajar Dewantara diupayakan sebagai asas perjuangan yang dibutuhkan rakyat pribumi waktu itu melalui usaha menjelaskan sifat pendidikan yang memiliki asas kebangsaan. Azas ini mempengaruh pemikiran mayarakat yang sesungguhnya dalam proses pendidikan adalah menumbuhkan dasar nilai-nilai kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri.
Pelaksanaan pengajaran merupakan upaya nyata di dalam mendidik murid-murid sebagai subjek didik supaya dapat melatih kepekaan perasaan, mempertajam pemikiran, dan senantiasa bekerja merdeka demi pencapaian tujuannya dan perlunya kemajuan sejati untuk mewujudkan perkembangan subjeek didik secara kodrati. Hak mengatur diri sendiri berdiri (Zelfbeschikkingsrecht) bersama dengan tertib dan damai (orde en vrede) dan bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke groei). Ketiga aspek tersebut merupakan dasar instrumen pendidikan bagi anak-anak yang disebut “metode among” (sistem-among) yang diantaranya ialah mewajibkan guru-guru sebagai pemimpin yang berdiri di belakang tetapi mempengaruhi dengan memberi kesempatan subjek didik untuk belajar sendiri (memiliki karakteristik mandiri). Inilah yang disebut dengan semboyan “Tut Wuri Handayani”. Menyinggung masalah kepentingan sosial, ekonomi dan politik kecenderungan dari bangsa kita untuk menyesuaikan diri dengan hidup dengan spirit kebarat-baratan.
Menurut Ki Hadjar Dewantara bahwa sistem pengajaran kita telah terlampau memikirkan kecerdasan pikiran yang sesungguhnya melanggar dasar-dasar kodrati yang terdapat dalam kebudayaan itu sendiri. Sementara hal yang menyangkut mengenai dasar kerakyatan untuk mempertinggi pengajaran atau memperluas pengajaran dan memiliki pokok dasar untuk percaya pada kekuatan sendiri tereduksi orientasinya pada keterpacuannya pada kecerdasan pikiran semata. Padahal dalam dunia pendidikan seharusnya dibukanya ruang keikhlasan lahir batin bagi guru-guru untuk mendekati subjek didiknya. Karena sesungguhnya hal tersebut merupakan sebuah proses pembelajaran dan pengetahuan Ki Hadjar mengenai pendidikan Barat yang mengusahakan kebahagiaan diri sendiri, bangsa, dan kemanusiaan.
Karya-karya Ki Hadjar, taman siswa sebagai representasi institusi pendidikan pribumi pada masa kolonial dan tetap eksis sapai hari ini. Tulisan Ki Hadjar dalam bidang pendidikan dan kebudayaan yang diterbitkan Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, pada bagian I Pendidikan (1962) dan bagian II kebudayaan (1967) merupakan fakta sejarah otentik mengenai kepiawaian dan intelektualitasnya sebagai penulis dan wartawan. Pada bagian I Pendidikan yang terbagi dalam 8 bab (Pendidikan Nasional, Politik Pendidikan, Pendidikan Kanak-Kanak, Pendidikan Kesenian, Pendidikan Keluarga, Ilmu Jiwa, Ilmu Adab, dan bahasa). Tulisan tertua dalam buku ini ialah mengenai Pendidikan dan Pengajaran Nasional yang pernah disampaikan sebagai prasarana kongres PPPKI pada 31 Agustus 1928. Ki Hadjar dalam tulisannya menyatakan bahwa kemerdekaan dalam dunia pendidikan memiliki 3 sifat; berdirisendiri, tidak tergantung pada orang lain, dan dapat mengatur diri sendiri. Pada buku bagian II Kebudayaan, terbagi dalam 5 bab; Kebudayaan Umum, Kebudayaan dan Pendidikan/Kesenian, Kebudayaan Kewanitaan, Kebudayaan Masyarakat, dan bab mengenai Hubungan dan Penghargan kita. Dua buku tersebut sebagai representasi dari buah pemikiran dn pembuktian dalam praktik Pendidikan dan pengejawantahan konsep-konsep pengajaran Ki Hadjar. Pendidikan dan kebudayaan adalah basis kehidupan yang sesungguhnya sangat menentukan kwalitas manusia dan citra sebuah bangsa. Pendidikan dan kebudayaan juga sebuah senyawa spiritualitas yang menempatkan harkat bangsa pada derajat yang lebih tinggi karena senyawa inilah yang menjadikan Indonesia terlahir di muka bumi.
a. Pendidikan Karakter dan Kontekstualitas Pemikiran Ki Hajar Dewantara
Pendidikan dalam perspektif Ki Hadjar Dewantara, pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi semua pemangku kepetingan (stakeholdernya) pendidikan mengenai mendidik itu sendiri. Menurut Ki Hadjar Dewantara mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), yakni proses pengangkatan manusia ke taraf insani. Mendidik dalam hirarki pembelajaran merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki secara kontinuitas, dilanjutkan secara konsisten, dan disempurnakan secara konvergen. Jadi pendidikan sesungguhnya usaha sebuah bangsa yang secara bersama-sama membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka dan mengurai tabir-tabir aktual-transendental dari sifat alami manusia (humanis). Berkaitan dengan ini Ki Hajar Dewantara menyatakan tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri” sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia (proses humanisasi sebagai hasil akhir). Penguasaan diri sebagai langkah yang harus ditempuh untuk tercapainya pendidikan manusia yang madani. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, maka sesungguhnya mereka akan mampu berpikir jernih, berdaya kritis dengan mempertimbangkan keputusan-keputusannya dalam menentukan sikap dan tindakannya. Maka proses inilah menjadi laboratorium yang mampu menumbuhkan sikap kritis, humanis, dan membangun generasi dewasa yang mandiri. Hal serupa sejalan dengan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang membedakan 2 hal penting yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus bersinergi. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan) sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dalam mengambil keputusan, martabat, dan membangun mentalitas demokratik).
Menerjemahkan konsep dan pemikiran Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan nasional, para ahli pendidikan menyimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia haruslah memiliki 3 Landasan filosofis, yaitu nasionalistik, universalistik dan spiritualistik.
1) Nasionalistik, maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual.
2) Universalistik, artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia.
3) Spiritualistik, lebih berorientasi pada pengembangan mental dan daya spiritual peserta didik. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati kemudian pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental, dan spiritual. Pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan, pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu dengan perbedaan potensi-potensinya tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan, pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri, setiap orang harus hidup sederhana, dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya.
Hasil akhir pendidikan adalah membentuk peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya, dan kesejahteraan orang lain. Dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara, metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran educate the head, the heart, and the hand.
Dalam sebuah proses belajar, sadar atau tidak semua ‘perilaku’ seorang guru akan menjadi media komunikasi (penyampaian pesan) paling efektif dan memiliki pengaruh sangat besar (90%) pada peserta didik. Perilaku inilah yang kemudian menjadi ‘teladan’ bagi kehidupan sosial peserta didiknya secara psikologis pengaruh ‘perilaku’ tersebut merupakan bentuk pengaruh bawah sadar peserta didik yang terefleksi saat peserta didik melakukan aktifitas sehari-hari dalam bersikap dan bertindak pada diri dan lingkungan sosialnya. Sehingga dalam prosesnya ‘mengajar’ seorang guru seharusnya menjadi ajaran Ki Hadjar sebagai cara hidup untuk mencapai keimpahan fungsi among melalui ‘pengabdiannya’ dan proses menebarkan ‘kehormatan’ tersebut pada hati, kepala dan pancaindera peserta didiknya dengan sikap asih, asah dan asuh, hal ini dibutuhkan guru sebagai motivtor yang tidak hanya mampu ‘mengajar’ tetapi juga mampu ‘mendidik’.
b. Kontekstualitas Konsep Pendidikan Karakter Ki Hajar Dewantara dan Revitalisasi ‘Sistem Among’
Ki Hadjar Dewantara mendefinisikan pendidikan sebagai daya upaya memajukan budi pekerti, pikiran dan jasmani anak untuk memajukan kesempurnaan hidup yakni hidup dengan menghidupkan anak selaras dengan alam dan masyarakatnya. Ki Hadjar Dewantara dengan mewarisi falsafah tringa (ngerti, ngrasa, dan nglakoni) yang mampu mempengaruhi dinamika perkembangan dunia pendidikan sekaligus perkembangan ilmu kebudayaan dengan mengingatkan, bahwa terhadap segala ajaran hidup, cita-cita hidup yang kita anut diperlukan pengertian, kesadaran, dan kesungguhan pelaksanaannya. Mengetahui dan mengerti saja tidak cukup kalau tidak merasakan, menyadari, dan tidak ada artinya kalau tidak melaksanakan dan tidak memperjuangkannya. Merasa saja dengan tidak mengerti, memahami, tidak melaksanakan menjalankan tanpa kesadaran dan tanpa pengertian tidak akan membawa hasil. Sebab semua aspek itu merupakan prasyarat bagi peserta didik dalam setiap perjuangan cita-citanya maka ia harus tahu, mengerti apa maksudnya, dan apa tujuannya. Ia pun harus mampu merasakan dengan sadar akan arti dan cita-cita itu dan merasa pula perlunya bagi diri dan masyarakat. Dan, harus mengamalkan perjuangan itu dengan mengemukakan suatu filosofi bahwa “Ilmu tanpa amal seperti pohon kayu yang tidak berbuah”, “Ngelmu tanpo laku kothong”, laku tanpa ngelmu cupet”. Dalam pengertian ‘Ilmu tanpa perbuatan adalah kosong, perbuatan tanpa ilmu pincang’, maka seharusnya diseimbangkan keduanya untuk mewujudkan sesuatu yang dicita-citakan.
Berkaitan dengan konsep pendidikan karakter ini lebih lanjut Suyanto (2010) menjelaskan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona kemudian menegaskan kembali bahwa tanpa keterlibatan ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Melalui pendidikan karakter yang diterapakan secara sistematis, kontinu atau berkelanjutan, dan konvergen maka seorang anak akan menjadi cerdas intelektual, emosinal, dan memiliki kecerdasan yang kuat pada sisi spiritualnya. Keberhasilan prestasi akademi membutuhkan kenampuan mengolah aspek emosional dan mengelola aspek spiritualitasnya agar ilmu yang diperoleh di dunia akademik bisa bermanfaat secara tepat untuk menjawab kebutuhan dan tantangan masa depan untuk kemasylahatan masyarakat luas.
Visi Pendidikan karakter adalah upaya lebaga pendidikan, orang tua, lingkungan sosial, dan pemerintah yang berorientasi pada bagaimana membangun mutu pendidikan nasional yang berbasis character building setiap subjek didik. Membangun karakter setiap individu subjek didik dengan penggalian potensi dasar yang dimilikinya dan potensi kebudayaan serta nilai-nilai lokal yang melingkupinya dalam interaksi kehidupan sehari-hari. Dengan mutu pendidikan karakter yang baik maka generasi muda dengan kemampuannya masing-masing bisa diandalkan untuk membangun bangsa ini dengan sistemdan fundamental yang mengacu pada karakteristik manusia adiluhung yang menjunjung niai-nilai luhur secara universal. Ada 9 pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yakni:
(1) memiliki karakter cinta, ketaqwaan kepada Tuhan dan segenap ciptaan-Nya;
(2) memiliki sikap mental kemandirian dan tanggung jawab;
(3) memiliki karakter jujur, amanah, dan diplomatis;
(4) memiliki sikap hormat dan santun;
(5) memiliki sifat dermawan, suka tolong menolong dan gotong royong/kerjasama;
(6) memiliki rasa percaya diri dan mental sebagai pekerja keras;
(7) memiliki jiwa kepemimpinan dan keadilan;
(8) memiliki sikap baik dan rendah hati;
(9) memiliki karakter bertoleransi, cinta perdamaian, dan kesatuan.
Kemudian arakter inilah sebagai proses ejawantah dari nilai-nilai luhur yang perlu ditanamkan dalam pendidikan karakter secara komperehensif dan holistik dengan menggunakan metode-metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Dengan kata lain kita selalu mendasari kesadaran mengenai good knowing, good feeling, dan good action untuk memperoleh hasil akhir yang baik, karena output yang baik dipengaruhi oleh input dan proses yang bersih, baik, luhur, dan andal.
Dewasa ini lembaga-lembaga pendidikan dan guru ‘among’ dihadapkan pada tuntutan yang semakin berat, terutama untuk mempersiapkan siswa agar mampu menghadapi berbagai dinamika perubahan yang berkembang pesat. Semua perubahan dari sitem sosial, teknologi komunikasi, perubahan tata nilai, dampak politik, dampak krisis ekonomi global, dan arus kebudayaan asing yang menyergap sebagai konsekuensi logis dari semangat globalisasi. Lebih dari itu perubahan yang laten menyentuh pada berbagai perubahan dan pergeseran aspek nilai moral yang terjadi dalam merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, terjadinya penyimpangan-penyimpangan perilaku sosial yang amoral saat ini diantaranya maraknya tawuran antar pelajar, penganiayaan, kekerasan dalam rumah tangga, perampokan, pembunuhan diserta mutilasi, korupsi, dan berbagai penyimpangan di kalangan remaja seperti peenyim pangan seksual, penggunaan narkotika, perkosaan, dan pornografi yang meresahkan masyarakat. Ini semacam potret buruk masyarakat sekarang dan ini sebuah tantangan bagi dunia pendidikan, ancaman bagi stabilitas keamanan, dan signal pemerosotan nilai-nilai luhur masyarakat dalam menjaga kebudayaan bangsa.
Poin ini sebagai titik penting dilaksanakannya kembali pendidikan karakter untuk membentengi dari krisis multidimensi masyarakat kontemporer pada era globalisasi. Krisis-krisis tersebut berpulang pada jati diri, ketahanan mental dengan karakteristik andal, dan bagaimana menemukan kembali dengan merevitalisasi mengembangkan pendidikan karakter bangsa. Pengembangan pendidikan karakter bangsa yang menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif dan pemberdayaan aspek afektif, dan kekuatan aspek psikomotorik sehingga mampu mewujudkan sebuah generasi cerdas yang memiliki karakter dengan nilai-nilai luhur yang dapat menjawab tuntutan bangsa.
Fakta lapangan, bahwa sistem pendidikan yang menempatkan guru layaknya mesin ATM untuk mentransfer bahan ajar ke subjek didik, dan subjek didik hanya mengambil secara instan-cepat, menampung apa yang disampaikan guru tanpa mencoba berpikir lebih jauh tanpa melakukan proses seleksi atau analisis secara kritis merupakan sebuah siste pembelajaran cara lama yang tidak kontekstual dan jauh dari semangat pendidikan yang berorientasi pada pengembangan potensi subjek didik. Russell dan Ratna (2010) mengemukakan bahwa pada taraf jenjang sekolah dasar, mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter pun semisal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan pada praktiknya masih sebatas teori dan belum menyentuh pada tataran aplikatif. Praktik pendidikan yang cenderung kognitif-intelektualistik, perlu direvitalisasi sebagai wahana pengembangangan pendidikan karakter bangsa, pembangunan kecerdasan, akhlak dan kepribadian peserta didik secara utuh sesuai dengan tujuan pendidikan nasional (Sardiman, 2010. Kedaulatan Rakyat). Jauh dari kompetensi guru sebagai among untuk mengelaborasi analogi dan temuan-temuan sampel yang dapat direalisasikan secara aplikatif dalam sistem pembelajaran yang ideal. Revitalisasi untuk mewujudkan peradaban bangsa melalui pendidikan karakter, budaya, dan moral dengan merujuk pilar-pilar pemikiran dan konsep Ki Hadjar Dewantara dengan merintis konsep tri pusat pendidikan yang menyebutkan bahwa wilayah pendidikan untuk membangun konstruksi fisik, mental, dan spiritual yang andal dan tangguh dimulai dari; (i) lingkungan keluarga; (ii) lingkungan sekolah; dan (iii) lingkungan masyarakat seperti yang sudah dipaparkan di muka.
Ketika proses pendidikan di lingkungan keluarga (informal) mulai terabaikan dan sepenuhya dipercayakan pada lingkungan sekolah, serta lingkungan sosial yang kita tahu sudah semakin tidak kondusif dengan hilangnya kesadaran atas nilai-nilai luhur dan moral. Hendaknya proses pendidikan di lingkungan sekolah yang dikelola guru sebagai frontliner dalam pelaksanaan peningkatan mutu pendidikan karakter, budaya dan moral harus lebih melihat potensi dan kebutuhan subjek didik secara komperehensif. Peran guru sebagai among dalam filosofi Jawa disebut digugu dan ditiru, dipertaruhkan dedikasi dan kompetensinya untuk pemaksimalan efektivitas proses pembeljaran. Guru tidak sekedar sebagai pengajar semata karena dalam sistem among yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara bahwa guru berkewajiban mengetahui, memantau, dan membimbing subjek didik baik mulai di lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, hubungan sosialnya hingga di lingkungan masyarakat. Ia juga berperan mendidik dan membangun karakter subjek didik, khususnya melalui pengajaran yang dapat mengembangkan rasa hormat, toleransi, menghargai orang lain, dan sikap tanggung jawab. Bukan sekedar pendidik akademis tetapi juga merupakan pendidik karakter, moral dan budaya tetapi harus menjadi teladan, model, mentor dalam mengembangkan mental dengan membangun perilaku yang berkarakter.
Pembelajaran nilai-nilai luhur secara sistemik membangun karakter tak terbatas pada eksplorasi aspek kognitif, tetapi seharusnya mengeksplorasi lebih dalam kepekaan sosial dan merangsang daya kritis yang dapat diimplementasikan melalui pengamalan nyata dalam kehidupan anak didik sehari-hari di dalam interaksinya dengan masyarakat. Sehingga proses pendidikan dalat menerjemahkan secara baik ajaran hidup Ki Hadjar Dewantara, “Tringa” yang meliputi ngerti, ngrasa, dan nglakoni.
Ironisnya, tak sedikit guru tak sepenuhnya menghayati profesinya sebagai ‘among’ dan menyandang predikat Pahlawan Tanpa Jasa. Tak sedikit dari mereka diluar jam belajar tak mau lagi memiliki kepeduian dengan subjek didiknya, dan tak mau lagi diganggu waktunya diluar jam sekolah untuk sekedar membantu belajar siswa-siswanya. Sehingga ada istilah less privat yang sekarang populer hanya sebatas bahan pelajaran selesai mereka sampaikan di kelas walaupun anak-anak belum paham. Seyogyanya kita sebagai among senantiasa mengaktualisasikan ajaran falsafah Ki Hadjar Dewantara “Ing ngarso sung tuladha, ing madyo mangun karso, dan tutwuri handayani” sebagai kontrol moral ketika melangsunkan proses pendidikan maupun dalam interaksi internal keluarga dan hubungan sosial kemasyarakatan.
4. Kontekstualitas Perjuangan Intelektual dan Berbagai Pandangan Ideologi Politik
a. Pendidikan Sebagai Jalan Perjuangan dan Politik
R.M. Soewardi S di tengah kesibukannya sebagai seorang wartawan muda juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908 beliau aktif di organisasi Boedi Oetama dan mendapat tugas di seksi propaganda. Memiliki aktivitas dalam mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia mengenai pentingnya kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian setelah bergabung dengan Boedi Oetomo pada tanggal 25 Desember 1912 Ki Hadjar mendirikan Indische Partij yakni sebuah organisasi yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka, bersama dengan dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo dalam mempelopori organisasi tersebut. Organisasi ini sempat diupayakan berdan hukum dengan mendaftarkan status resminya pada pemerintahan kolonial Belanda namun ditolak pada 11 Maret 1913, yang surat resmi penolakannya dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil pemerintah Belanda di negara jajahan dengan alasan karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda !
Gb. 4
Tiga Serangkai (dr. Cipto Mangoenkoesoemo, dr. Douwes Dekker dan Ki Hadjar Dewantara)
Kemudian dalam tahun yang sama terbit tulisan Ki Hajar Dewantara yang terkenal dengan tajuk “Seandainya Aku Seorang Belanda” (judul asli: Als ik eens Nederlander was), terbit dalam surat kabar de Expres milik Dr. Douwes Dekker, tahun 1913. Artikel tersebut ditulis dalam konteks rencana pemerintah Belanda untuk mengumpulkan sumbangan dari Hindia Belanda (Indonesia), yang saat itu masih belum merdeka untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis. Kutipan tulisan tersebut antara lain:
“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengkongsi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingan sedikitpun”.
(sumber:http://nurdayat.wordpress.com/2008/03/13/ki-hajar-dewantara-1889-1959-sosok-yang-keras tapi-tidak-kasar-2/)
Kepribadian Ki Hadjar yang sudah diakui rekan-rekan sejawatnya adalah wataknya yang Keras tapi Tidak Kasar atau dengan kata lain Kras maar nooit grof, keras namun tidak pernah kasar. Karakteristik semacam ini menjadi khas melekat pada setiap aktivitas Ki Hadjar dalam memperjuangkan pendirian, ideologi politik, dan prinsip kepartaiannya. Hal ini ditegaskan kembali ketika Partai Hindia atau Indische Partij (IP) dibredel pemerintah Belanda pada tahun 1912, beliau tidak putus asa kemudian melakukan kritik pedas kepada penjajah juga dilontarkan melalui artikel kritisnya di de Express November 1913, berjudul Als ik eens Nederlander was (Seandainya saya orang Belanda) yakni dengan melontarkan sikap dalam bentuk teks sindiran tajam. Ki Hadjar menyatakan rasa malunya ketika harus merayakan hari kemerdekaan negerinya dengan memungut uang dari rakyat Hindia yang terjajah. Saat itu beliau masih dikenal sebagai Soewardi bahkan mengirim telegram kepada Ratu Belanda berisi usulan untuk mencabut pasal 11 RR (Regerings Reglement – UU Pemerintahan Negeri Jajahan) yang melarang organisasi politik di Hindia-Belanda. Dampak dari tulisan tersebut maka Ki Hadjar kemudian direncanakan akan dibuang ke pengasingan namun beliau memilih lokasi pengasingannya di negeri Belanda. Kemudian permohonannya dikabulkan pemerintah Belanda dan dibuang ke Belanda pada Oktober 1914 beserta gadis yang baru saja dipersuntingnya yakni R.A. Sutartinah sebagai teman dalam pengasingan sekaligus honey moon.
Di pengasingan Ki Hadjar tetap mendalami masalah pendidikan dan pengajaran sehingga berhasil memperoleh Europesche Akte sebagai prestasi prestisius. Sekembalinya ke negeri ini pada 1918, Ki Hadjar mencurahkan perhatian dan mendedikasikan seluruh waktu dan kemampuannya di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Bersama rekan-rekan seperjuangan kemudian beliau mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau lebih dikenal dengan Perguruan Nasional Tamansiswa yang resmi didirikan pada 3 Juli 1922, yakni sebuah perguruan yang bercorak nasionalatau kebangsaan. Perguruan nasional Taman Siswa menerpkan konsep perpadukan model pendidikan barat dengan budaya-budaya negeri sendiri yang bersifat mandiri.
Karakteristiknya yang keras tapi tidak kasar ditegaskannya kembali ketika peristiwa rapat umum di Lapangan Ikada (sekarang Monas), 19 September 1945 yang saat itu pemerintah R.I. menghadapi tantangan, apakah presiden dan jajaran kabinetnya berani menembus kepungan senjata tentara Jepang di sekeliling lapangan. Sebagian menuntut Presiden, Wapres, dan segenap anggota kabinet hadir di Lapangan Ikada agar tidak mengecewakan rakyat. Yang lain menolaknya dengan pertimbangan keselamatan. Akhirnya, semua sepakat untuk hadir di lapangan ikada. Namun, siapa menteri yang harus membuka jalan memasuki Lapangan Ikada, sebelum rombongan presiden karena ada kemungkinan Jepang membantai rombongan menteri yang pertama masuk Ikada untuk mencegah keberhasilan Pemerintah RI menyatakan eksistensinya kepada rakyat dan dunia internasional. Pada saat kritis inilah sebagai Menteri Pengajaran Ki Hadjar Dewantara unjuk keberanian, bersama Menlu Mr. Achmad Subarjo, Mensos Mr. Iwa Kusuma Sumantri menyediakan tubuhnya menjadi tameng padahal Ki Hadjar yang saat itu bisa dibilang tak lagi muda. Saat diingatkan oleh Sesneg Abdul Gafur Pringgodigdo, “Ingat, Ki Hadjar ‘kan sudah tua.” “Justru karena itulah, mati pun tidak mengapa,” jawab Ki Hadjar enteng. Sikap inilah yang memberi ketegasan nyali mendasari prinsip bersikap dan bertindak tidak main-main sebagai patriotik. Ini manifestasi dari filosofis dari falsafah tut wuri handayani adalah bagian dari kesatuan yang lengkapnya berbunyi, ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani mengandung pengertian bahwa di depan memberi teladan, di tengah menghidupkan gairah, di belakang memberi pengarahan.
Mungkin, peristiwa di atas sekaligus bisa memberi jawaban, apakah yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin kalau masyarakat yang dipimpinnya terancam bahaya. Tindakannya tersebut sebagai manifestasi falsafah-falsafahnya baik dalam pndidikan maupun konsep kepemimpinan yang menjadikannya sebagai sikap keteladanan. Bagaimanapun juga Ki Hadjar adalah seorang among dalam konteks kependidikan dan kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara sehingga beliau selalu menyampaikan amanat bahwa para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu, memiliki kompetensi, berkepribadian luhur, dan kerohanian yang kuat. Setelah itu kemudian dapat menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Beliau sendiri ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yang bermakna pahlawan yang berwatak guru spiritual ke tarap guru spiritual yang berjiwa ksatria dengan mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Artinya, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model seorang among atau figur seorang among yang memiliki derajat keteladanan, sebagai fasilitator atau pendidik. Sebab itulah nama Hajar Dewantara menjadi putusan nama barunya yang memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, dan keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus mempuni menguasai masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Ki Hadjar Dewantara telah diakui dunia internasional bahwa kecerdasan, keteladanan, dan kepemimpinannya yang telah berhasil meletakkan dasar Pendidikan Nasional Indonesia yang berazaskan kebangsaan. Selain sebagai seorang tokoh masyarakat, konseptor dasar-dasar negara, dan tokoh politik, beliau juga dianugerahi sebagai pahlawan pendidikan yang dengan diabadikan kelahirannya 2 Mei sebagai hari Pendidikan Nasional. Sebuah penanda penting bangsa Indonesia dalam mewarisi ajaran-ajaran dan spirit Ki Hadjar Dewantara dalam bidang pendidikan. Tak hanya itu, pada tahun 1957 Ki Hadjar Dewantara dianugerahi gelar kehormatan Doctor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tak lama berselang melalui Surat Keputusan Presiden RI no. 395 Tahun 1959 pada 28 November 1959 Ki Hadjar Dewantara ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional.
b. Berbagai Pandangan Politik Ki Hajar Dewantara dan Pengaruh Terhadap Tokoh Lainnya
Hanya dengan sedikit pengecualian, secara umum bangsa kita gagal dalam pembentukan kesadaran berpolitik dan melahirkan pemimpin yang wibawa yang memiliki bobot dan kualitas terbaik, bahkan juga gagal dalam mentransformasikan idealisme kepada lapisan baru dalam menuntun kelahiran pemimpin-pemimpin baru yang berkualitas. Pada gilirannya, pemimpin-pemimpin baru yang tak berkualitas, yang naik karena pilihan terbatas the bad among the worst, juga tak mampu menciptakan sistem rekrutmen yang baik untuk sistem kepemimpinan guna melahirkan pemimpin baru yang lebih baik berlangsung turun temurun dalam kehidupan sosial maupun kehidupan politik secara menyeluruh mengalami krisis kepemimpinan. Kewajiban dan tugas melakukan pendidikan politik bagi rakyat secara luas tentu saja dengan sendirinya tak sempat tersentuh.
Sejumlah nama tokoh yang idealis dan berkualitas –yang beberapa di antaranya terjun mendirikan atau setidaknya menggagas lahirnya sebuah partai politik atau menggagas berbagai gerakan lainnya untuk kepentingan bangsa– dapat disebutkan dalam konteks ini, walau kerap memiliki nuansa berbeda, yakni Tjipto Mangoenkoesoemo, Wahidin Soedirohoesodo, hingga Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, HOS Tjokroaminoto serta Mohammad Natsir dan Haji Agoes Salim. Meski memiliki landasan idealisme yang berbeda, dua nama tokoh komunis bisa pula disebutkan di sini, yakni Semaun dan Darsono yang pernah berada dalam Sarekat Islam, di luar nama-nama seperti Alimin dan Muso yang kontroversial.
Selain tokoh-tokoh tersebut, Ki Hajar Dewantara yang dengan tegas sangat banyak melontarkan pemikiran-pemikiran baru yang berakar dari kebudayaan Indonesia sendiri (terutama kebudayaan Jawa) dan menempatkannya sebagai alternatif terbaik untuk dipergunakan sebagai landasan pendorong pembangunan manusia dan masyarakat yang insani. “Pemikiran-pemikiran baru itu berusaha mencari relevansi dari kebudayaan sendiri dalam proses perubahan dan pembaharuan masyarakat, dan oleh karena itu ia bertindak sebagai pelopor dari gerakan kebangkitan atau renaissance kebudayaan”, demikian Alfian. Jika Ki Hajar Dewantara menyebut kebudayaan Indonesia sebagai mata air bagi arus utama pemikirannya, maka Tan Malaka mengaku bahwa cara berpikir maju yang diperkenalkannya banyak berasal dari dunia barat yang rasional dan logis, termasuk pikiran Marx-Lenin. Akan tetapi menurut Rudolf Mrazek, cara berpikir yang dikemukakan Tan Malaka, terutama justru merupakan visi yang lahir dari struktur pengalamannya yang sejak lama terbentuk oleh adat dan falsafah Minangkabau, Sumatera Barat (Rudolf Mrazek, Tan Malaka: A Political Personality’s Structureof Experience, Indonesia, October 14, 1972).
Pada titik inilah dapat dibandingkan dengan Ki Hajar Dewantara yang berlatar belakang kebudayaan Jawa dan Mrazek mempelajari Tan Malaka melalui pendekatan struktur pengalaman seorang personalitas politik. Tan Malaka menyampaikan gagasan-gagasannya melalui pemikiran sosialistis yang sebenarnya berasal dari barat namun merupakan reaksi terhadap pemikiran barat sebelumnya, yakni kapitalisme yang liberalistis. Tan Malaka mengajukan suatu pertanyaan uji yang amat relevan: Dalam revolusi nasional, apakah bangsa yang terjajah yang berjuang untuk membela kemerdekaannya ini sesungguhnya menjadi bangsa yang merdeka dalam segala lapangan kehidupannya terhadap bangsa lain, atau kembali dijajah dengan cara lama atau cara baru? Suatu pemikiran yang menggambarkan mengenai kelahiran suatu masyarakat baru, yang akan mempunyai pengetahuan, pengalaman, dan perbendaharaan yang diperoleh seluruhnya dari berbagai bentuk dan warna sepanjang keseluruhan sejarah manusia dalam kurun ratusan tahun sebagai jenjang waktu dan peluang Indonesia membangun masyarakat baru dalam konteks politik dan membangun karakter kepemimpinan bangsa Indonesia.
Figur tokoh pemikir lainnya dengan latar belakang yang juga sosialistis adalah Sutan Sjahrir banyak mengadopsi nilai-nilai barat yang dianggapnya baik menjadi nilai-nilai baru untuk membangun manusia Indonesia sebagai suatu masyarakat baru yang modern dan karenanya menjadi bangsa yang tangguh. Namun pada sisi yang lain, Sutan Sjahrir juga bersikap selektif dan tak segan-segan melancarkan kritik terhadap berbagai unsur negatif dalam kebudayaan barat itu. Setelah proklamasi, tatkala sisa-sisa perilaku fasisme masa pendudukan Jepang belum terkikis dari kalangan pemuda Indonesia, dengan semangat kemanusiaan dalam pemikiran barat yang diperbaharui, Sutan Sjahrir mengingatkan jangan sampai semangat revolusi meluap menjadi kekerasan dan teror yang tak bertanggungjawab.
Jika pemikiran-pemikiran baru yang ditawarkan Ki Hajar Dewantara berakar pada penggalian nilai-nilai kebudayaan Indonesia sendiri, maka Mohammad Natsir yang pada dasarnya memiliki disiplin ilmu pengetahuan barat menambahkan dan menemukan pemikiran-pemikiran baru tentang Islam yang kemudian dikenal sebagai pemikiran modernisme Islam. Menurut Dr. Alfian, sebagaimana pemikiran baru tentang kebudayaan, pemikiran modernisme Islam berusaha pula mencari relevansi baru dari nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama dengan tuntutan perubahan dan pembaharuan masyarakat. Meski harus diakui bahwa pemikiran-pemikiran yang bersandar pada referensi Barat, maupun yang dikembangkan dengan nilai-nilai dari akar budaya Indonesia yang dikembangkan berdasar nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama telah menghasilkan pemikiran-pemikiran baru yang orisinal. Kendati tetap saja ada perbenturan antar pemikiran baru itu yang kadangkala amat sulit dipertemukan. Salah satu penyebab utama adalah ideologi maupun ajaran-ajaran agama yang menjadi landasan dasarnya masing-masing memiliki sejumlah nilai dasar atau bahkan dogma yang tak dapat ditawar-tawar sehingga sewaktu-waktu menyebabkan pencemaran dalam kehidupan bersama sebagai bangsa. Dalam pada itu, secara kultural atau pun dalam kebudayaan yang menjadi dasar tempat berpijak sebagai bangsa, terdapat benturan-benturan yang tak pernah berhasil dituntaskan. Sejumlah perbedaan sistim nilai yang terjadi secara horizontal di masyarakat tak berhasil dipertemukan melalui suatu dialog budaya yang bersungguh-sungguh dan dilakukan secara tekun. Padahal, para pemimpin masyarakat kala itu adalah tokoh-tokoh terbaik yang pernah dimiliki bangsa Indonesia, memiliki kualitas integritas dan idealisme yang tak perlu disangsikan lagi.
Kemudian Soekarno terinspirasi oleh dasr-dasar pemikiran dan konsep politik Ki Hajar Dewantara mulai membangun kerangka pemikirannya ke dalam suatu konsep baru pandangan hidup bersama yang menghimpun nilai-nilai dasar yang terkandung dalam berbagai aliran pemikiran yang hidup dalam masyarakat menjadi satu rangkaian yang tak terpisah-pisah. Kristalisasi dari pemikirannya merupakan proses menghimpun berbagai pemikiran yang hidup di masyarakat dan dalam pikiran sejumlah tokoh yang menjadi pendiri bangsa, dipaparkannya dalam pidato 1 Juli 1945 mengenai Pancasila. Namun Soekarno tidak pernah melakukan analisa dan penjelajahan pemikiran yang memadai tentang kebudayaan. Sehingga, sama dengan sejumlah tokoh lain yang menjadi pendiri bangsa ini, ia tidak begitu ‘mau’ mendalami fakta benturan kebudayaan, dan tak banyak berbuat untuk membangun dialog sebagai solusi menyelesaikan aneka konflik kebudayaan dan sistim nilai. Disinilah kita bisa belajar dari ajran-ajaran Ki Hajar Dewantara yang menjadi pokok dasar pemikiran politik di Indonesia.
c. Prinsip Dasar Kepemimpinan dan Dasar Ideologi Kepemimpinan Ki Hajar Dewantara
Pendidikan berada pada titik orientasi dalam membantu peserta didik untuk menjadi pribadi yang merdeka dan independen secara fisik, mental, dan spiritual. Pendidikan tak sekedar mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan, karena pendidikan mampu memperkaya setiap individu dengan berbagai potensi dasar yang khas. Proses pendidikan dapat memperkuat rasa percaya diri dan mengembangkan diri seoptimal mungkin. Sebab itu seorang guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya untuk membangun seorang yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas intelektual, cerdas kepribadiannya, cerdas spiritualitasnya, dan memiliki relasi sosial menjadi bagian dari masyarakat yang berdaya guna dan pribadi bertanggungjawab.
Pendidikan nasional yang berkebangsaan dengan menggunakan sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Asas Guru dapat dipandang sebagai suatu relasi pola atau tingkah laku antara Guru dengan subjek didik yang terdiri atas 3 pernyataan yang dirumuskan dari Ki Hadjar Dewantara, yaitu:
1) Ing Ngarso Sung Tulodo, di depan seorang guru harus dapat memberikan contoh atau Teladan yang baik kepada siswa-siswinya. Ing ngarsa sung tulada juga dapat diimplementasikan dalam konteks kepemimpinan. Seorang pemimpin hendaknya mampu membentuk, memperhatikan, memelihara, menjaga kehendak dan keperluan atasan kepada bawahan dengan baik, dan mampu bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama (keberhasilan tim). Menurut Ki Hadjar bahwa dalam kepemimpinan ketika proses pengambilan keputusan sebuah organisasi merupakan proses mengubah sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga terjadi peningkatan produktivitas kerjanya lebih baik dengan tetap memperjuangkan visi-misi organisasi.
2) Ing Madya Mangun Karso, di tengah atau bersama-sama dengan subjek didik, seorang guru diharapkan dapat aktif bekerjasama dengan subjek didik dalam usaha mencapai tujuan pendidikan. Ing Madya Mangun Karso juga dapat diimplementasikan dalam konteks kepemimpinan.
3) Tut Wuri Handayani, di belakang, seorang guru harus mampu mengarahkan dan memotivasi subjek didik agar dapat mencapai hasil belajar yang optimal. Tut Wuri Handayani juga dapat diimplementasikan dalam konteks kepemimpinan.
Jika kita dapat mengimplementasikan 3 Asas tersebut dengan baik dan bijak maka tujuan pendidikan “Mencerdasakan kehidupan Bangsa” dapat tercapai dengan kesempurnaan yang ideal dalam menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kwalitas kehidupan yang memadai baik jasmani maupun ruhani. Falsafah ini pun dapat diaplikasikan dalam kepemimpinan dengan arti seluas-luasnya.
Pemimpin sebagai mobilisator yang senantiasa mempengaruhi, mendorong, memotivasi, dan mengarahkan orang-orang yang dipimpinnya dengan penuh semangat, percaya diri, dan kerja keras untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Seorang pemimpin seharusnya dapat memandu, menuntun, membimbing, memberi atau membangun motivasi kerja, mengemudikan organisasi, monitoring, dan membangun networking dengan semua stakeholder sehingga mampu membawa arah organisasi dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan bersama.
d. Revitalisasi dan Kontektualitas Pilar-Pilar Pemikiran Ki Hadjar Dewantara
Saya mempunyai keyakinan, Saudara Ketua, bahwa seandainya bangsa kita tidak keputusan naluri atau tradisi, tidak kehilangan “garis kontinu” dengan zaman yang lampau, maka sistem pendidikan dan pengajaran di negeri kita… pasti akan mempunyai bentuk serta isi dan irama, yang lain daripada yang kita lihat sekarang…(Ki Hadjar Dewantara).
Pernyataan di atas adalah sikap Ki Hadjar Dewantara yang disampaikan dalam Pidato Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada pada 7 November 1956. Teks ini secara tegas memperlihatkan refleksi Ki Hadjar Dewantara mengenai keadaan bangsa Indonesia yang mengalami distorsi atau penyimpangan jalannya sejarah peradaban masa silam selama 350-an tahun sebagai akibat penjajahan Belanda. Dampak dari situasi penjajahan ini kemudian berakibat terputusnya tradisi dan budaya, termasuk di dalamnya sistem pendidikan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia sangat lama mengalami kevakuman dan dengan sangat ‘terpaksa’ harus berkiblat ke Barat dalam bentuk, isi, dan irama sistem pendidikan dan pengajaran yang diadaptasi selama ini.
Ki Hadjar Dewantara mencermati bahwa pendidikan ala Belanda yang muncul sebagai Ethische Politiek pada permulaan abad ke-20 pun dianggap tidak sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia karena sekedar mementingkan aspek intelektual, individual, material, dan kepentingan kolonial serta tidak mengandung cita-cita kebudayaan nasional. Kemudian sistem pendidikan yang berkembang pasca era itu tetap masih memperlihatkan pengaruh sangat kuat sistem pendidikan ala Belanda. Menurut Ki Hadjar, padahal tradisi bangsa Indonesia yang mengenal istilah pendidik seperti pujangga, dalang, dwidjawara, hadjar, pendita, wiku, begawan, wali, kyai, dan istilah anak didik seperti mentrik, sontrang, dahyang, cantrik, dan santri menunjukkan bahwa bangsa kita telah memiliki akar sejarah pendidikan yang panjang berasal dari budaya bangsa sendiri, namun akar sejarah dan akar budaya kita sempat terputus karena penjajahan Belanda yang berlangsung selama 350 tahun disusul kolonialisme lainnya Portugis dan Jepang.
Gb. 5
Ki Hadjar Dewantara bersama anak didiknya di Taman Siswa
Masa inilah bisa dikatakan masa terdistorsinya tradisi, budaya, pendidikan, dan sejarah bangsa Indonesia yang pernah mengalami masa keemasan dalam berbagai ilmu, misalnya ketatanegaraan, sastra, budaya, teknologi, pelayaran, pertanian, dan filsafat ketika masa Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur (abad IV), Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat (abad V), Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah (abad VI), Kerajaan Sriwijaya di Sumatra (abad VII), dan Kerajaan Majapahit (abad XIV). Kemudian ketika kolonialis singgah dan menguasai nusantara, bangsa kita mengalami masa-masa pembodohan, pemiskinan, dan pengkerdilan sebagai bangsa terjajah. Awal terjadinya ‘eksodus’ besar-besaran dimana berbagai ilmu khas Nusantara banyak diambil dan dipelajari oleh kaum penjajah dijadikan bahan kajian yakni studi tentang budaya, bahasa, teknologi pertanian, ilmu maritim, dan kesusasteraan nusantara. Aset-aset budaya nusantara seolah dimampatkan dan dirampas sampai pada terampasnya kesempatan mengenyam pendidikan.
Masa generasi yang hilang pernah dialami bangsa Indonesia. Masa sulit itu terjadi pada waktu Kerajaan Mataram di era pasca Sultan Agung hingga era Kebangkitan Nasional. Dalam kurun waktu selama itu, bangsa Indonesia mengalami penetrasi dalam segala hal, seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya oleh Veerenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dan pemerintah Hindia Belanda. Masa-masa itu terjadi pembodohan, pemiskinan, dan pengkerdilan yang luar biasa yang mengakibatkan hilangnya harkat dan martabat sebagai bangsa besar. Banyak upaya fisik dan non-fisik yang telah dilakukan oleh putera-puteri terbaik bangsa mulai dari perlawanan Sultan Agung, Amangkurat, Raden Mas Said atau Pangeran Samber Nyawa, Pangeran Mangkubumi, Pattimura, Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, RA Kartini, dan sebagainya. Hingga perlawanan dengan jalur politik seperti Indische Partij, Budi Utomo, Sarekat Dagang Islam (SDI), serta perlawanan melalui jalur pendidikan dengan munculnya sekolah keagamaan dan kebangsaan seperti Perguruan Nasional Taman Siswa atau Nationaal Onderwijs Instituut. (sumber: KGPAA Sri Paku Alam IX yang dimuat dalam rubrik Opini harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Kamis Wage 5 Juni 2008)
Penutup
Perguruan berbasis nasional kebangsaan yang prakarsai Raden Mas Suwardi Suryaningrat atau Ki Hadjar Dewantara, putera dari Pakualaman Yogyakarta yang secara intens berupaya menyambung kembali garis tradisi bangsa Indonesia yang terputus dengan kejayaan masa lampau melalui jalur pendidikan. Ki Hadjar dengan perguruan Taman Siswa berupaya meletakkan kembali dasar-dasar kebudayaan bangsa dan semangat kebangsaan di dalam gerakan pendidikan yang dilakukan di Jawa, Sumatra, Borneo, Sulawesi, Sunda Kecil, dan Maluku. Dediksinya untuk memulihkan harkat dan martabat bangsa dengan impian besarnya untuk menghilangkan kebodohan, kekerdilan, dan feodalisme sebagai akibat nyata dari penjajahan dari muka bumi Indonesia.
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan memberikan harapan baru untuk kemajuan bangsa Indonesia, bukan hanya pada masa awal kemerdekaan, masa kemerdekaan, dan masa pasca kemerdekaan. Namun sebagai perenungan bagi bangsa untuk merevitalisasi ajaran dan falsafah Ki Hadjar Dewantara secara kontekstual ketika bangsa ini mengalami carut-marut pendidikan pada masa kemerdekaan, revolusi, reformasi, dan globalisasi. Seperti yang dipaparkan KGPAA Sri Paku Alam IX yang dimuat dalam rubrik Opini harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Kamis Wage 5 Juni 2008, yaitu:
1) Pertama, Ki Hadjar Dewantara melihat pendidikan melalui perspektif antropologis, yaitu bagaimana masyarakat dapat meneruskan warisan budaya kepada generasi berikutnya dengan mempertahankan tatanan sosial. Ki Hadjar menyatakan bahwa “pendidikan adalah tempat persemaian segala benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan”. Bahwa, segala unsur peradaban dan kebudayaan dapat tumbuh dengan sebaik-baiknya dan diteruskan kepada generasi muda berikutnya dalam menyongsong masa depan. Ki Hadjar memandang pentingnya pewarisan budaya sebagai cara merekatkan kembali sejarah dengan menyambung kembali peradaban bangsa yang pernah terdistorsi itu. Menurut Ki Hadjar, budaya terus tumbuh sejalan dengan pendidikan merupakan proses akulturasi, dalam pengertian masyarakat tidak hanya menyerap warisan budaya tetapi juga memadukan berbagai unsur budaya tanpa menghancurkan unsur inti atau tema utama kebudayaan nasional (Cultureel Nationalisme).
Ki Hadjar Dewantara (1964:19) memunculkan Asas Tri-Kon, bahwa pertukaran kebudayaan dengan dunia luar harus dilakukan secara Kontinuitet dengan alam kebudayaannya sendiri, lalu Konvergensi dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang ada dan akhirnya jika sudah bersatu dalam alam universal bersama-sama mewujudkan persatuan dunia dan manusia yang Konsentris. Konsentris berarti bertitik pusat satu dengan alam-alam kebudayaan sedunia tetapi masih tetap memiliki garis lingkaran sendiri-sendiri. Inilah suatu bentuk dari sifat Bhinneka Tunggal Ika. Ki Hadjar Dewantara menganjurkan untuk bersikap arif dan selektif terhadap unsur budaya Barat karena beliau pernah mengenyam pendidikan Barat, baik ketika di ELS (Sekolah Dasar untuk orang Eropa) maupun ketika mengalami masa pembuangan di Belanda bersama dua sahabat karibnya, Dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo. Bahkan menurut kesaksian Bambang Sukawati Dewantara, dalam bukunya yang berjudul “Mereka yang Selalu Hidup: Ki Hadjar Dewantara dan Nyi Hadjar Dewantara”, dituliskan bahwa Ki Hadjar Dewantara, yang pada waktu itu bernama Raden Mas Suwardi Suryaningrat, sangat senang ketika mendengar kabar dari ayahnya yakni Suryaningrat bahwa dia diperbolehkan masuk ELS atas ijin dari Meester Abendanon.
2) Kedua, Ki Hadjar Dewantara memiliki pemikiran bahwa pendidikan nasional harus berdasarkan pada garis hidup bangsanya dan ditujukan untuk keperluan peri kehidupan yang dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya. Sehingga sederajat kedudukan dan pantas bekerjasama dengan bangsa lain untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia. Pemikiran ini menunjukkan bahwa Ki Hadjar Dewantara adalah seorang yang sangat menghargai pluralisme atau kemajemukan yang berpikiran visioner dan futuristik karena sistem pendidikannya memiliki sikap tanggap dan mampu menjawab tatanan dunia yang mengglobal menembus batas ruang waktu. Pembebasan waktu dan ruang yang oleh Giddens (1990) dan Sastrapratedja (2001) disebut sebagai disembedding merupakan faktor dari proses modernisasi dan membawa implikasi pada universalisasi yang memungkinkan jaringan global berbagai hubungan antarbangsa melintasi ruang dan waktu.
Hal ini sudah sejak awal diprediksi Ki Hadjar Dewantara dalam konsep pendidikan nasional mengenai digagasnya asas Tri-Kon, yakni kontinuitet, konvergensi, dan konsentris sebagai cara dalam mengubah paradigma dan pola berpikir dalam menyikapi kemajemukan budaya nasional maupun multikulturalisme melalui pendidikan. Kemajemukan pada akhirnya membuka peluang berkembangnya sikap toleran, inklusivisme, dan non-sektarianisme yang merupakan wujud konkret dari Bhinneka Tunggal Ika.
3) Ketiga, Ki Hadjar Dewantara memandang sangat pentingnya pendidikan budi pekerti. Baginya, sistem pendidikan ala Barat hanya berorientasi pada aspek intelektualisme, individualisme, dan materialisme yang tidak sepenuhnya sesuai dengan corak budaya dan kebutuhan bangsa Indonesia yang mengedepankan budi pekerti luhur. Budi pekerti, nilai-nilai luhur budaya, dan religiusitas bangsa Indonesia hendaknya terpelihara, dilestarikan, diwariskan, dan dijadikan dasar pedoman atau sebagai perekat kekuata sendi-sendi perilaku sehari-hari dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Nilai-nilai luhur inilah sebagai bentuk kearifan budi pekerti yang memperlihatkan ketinggian derajat, harkat, dan martabat bangsa.
Pendidikan dalam konteks pemikiran Ki Hadjar Dewantara tak cukup hanya menjadikan subjek didik cerdas kognitifnya, namun haruslah mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki anak seperti daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif atau psikomotorik). Pendidikan juga harus mampu mengembangkan anak menjadi mandiri dan sekaligus memiliki rasa kepedulian terhadap orang lain, bangsa, dan kemanusiaan. Dengan demikian, pendidikan akan mampu membawa anak menjadi seorang yang humanis dan lebih berbudaya. Dan, kata kunci dari semua itu adalah membentuk karakteristik bangsa Indonesia yang unggul secara intelektual, emosional, dan tangguh spiritualitasnya. Sehingga efek dari proses pendidikan nasional mampu membangun kekhasan sistem pendidikan dengan menghasilkan pribadi-pribadi bangsa yang cerdas berbudi pekerti luhur, kreatif, mandiri, berkepribadian, andal dan berkarakter kebangsaan yang humanis untuk menjawab tuntutan kebutuhan selaras dengan jiwa jaman.
Referensi:
Bulletin Folder Buku vol.4/Th.I/Mei 2003
http://nurdayat.wordpress.com/2008/03/13/ki-hajar-dewantara-1889-1959-sosok-yang-keras-tapi-tidak-kasar-2/
http://blog.elearning.unesa.ac.id/alim-sumarno/pengaruh-pemikiran-ki-hajar-dewantara-dalam-pendidikan
Johny Rusly http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2012/05/23/3-prinsip-dasar-kepemimpinan-ki-hajar-dewantara/
Ki Hadjar Dewantara (1962), Bagian I Pendidikan, Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa
__________________ (1967), Bagian II Kebudayaan, Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa
KGPAA Sri Paku Alam IX yang dimuat dalam rubrik Opini harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Kamis Wage 5 Juni 2008 (1 Jumadilakir 1941 S). http://nurdayat.wordpress.com/2009/05/02/ki-hadjar-dewantara-menerobos-distorsi-dan-menyambung-benang-merah-peradaban/
Slamet PH, (2012), Pendidikan dan Kebudayaan, dalam presentasi makalah Kaderisasi Ketamansiswaan, Yogyakarta: LP3M UST
Theo Riyanto, FIC http://bruderfic.or.id/h-59/pemikiran-ki-hajar-dewantara-tentang-pendidikan.html
https://sociopolitica.wordpress.com/2010/04/13/indonesia-dalam-malapetaka-politik-ideologi-dan-keruntuhan-ekonomi-2/#comments
BIOGRAFI PENULIS
Rusnoto Susanto, was born in Tegal, Indonesia on September 30th, 1972.
2012 Doctoral Candidate at Indonesian of Arts Institute, ISI Yogyakarta (Studied Doctoral since 2010)
2007 Studied Fine Art of Post Graduate Program at Indonesian of Arts Institute Yogyakarta, 2009 (Cumlaude)
1992 Studied Visual Art Education in from FBS State University of Jakarta(UNJ), graduate in 1997
Employer : Visual Artist, Lecture and Independent Curator
Address : Jl. Suryodiningratan MJ II/712 Yogyakarta Indonesia 55141
Mobile : 081586185965 Email : m_rusnoto@yahoo.com blog: http: //netoksawijirusnoto.blogspot.com
SEMINARY
2012 Panelist ‘REVOLUSI BUDAYA VISUAL DAN SHOCK CULTURE’ at FKIP UST Yogyakarta
2011 Panelist ‘REKONSTRUKSI NILAI-NILAI MULTIKULTURALISME: Eksistensi dan Revitalisasi Citra Pendidik Seni Budaya’ Seminar Bahasa dan Seni dalam Merangkul Kebudayaan Nasional, at FKIP Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta
2010 Panelist INTERNATIONAL SEMINARY ‘Exploring Noble Values of Local Wisdom and Prime Javanese Culture to Strengthen the Nation Identity’ at The Institute Javanology Sebelas Maret University, Surakarta
2010 Panelist Indonesia Art Award for Teacher 2010, ‘KONSTRUKSI MULTIKULTURALISME: Eksistensi dan Revitalisasi Citra Pendidik Seni Budaya’ at PPPPTK art gallery Yogyakarta
2010 Panelist of National Seminary ‘Mempertimbangkan Kembali Multikulturalisme dalam Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan’ at UNY, Yogyakarta
2010 Panelist ‘Perspektif Multikultural dan Pemberdayaan Muatan Lokal dalam Pendidikan Seni Budaya’at Museum Pendidikan UNY, Yogyakarta
PUBLISHING
2011 Procceding ‘Life Style & Architectur’ with fullpaper: CYBER-ARCHITECTURE PARADIGM AND THE CONSTRUCTION OF CYBERCULTURE LIFESTYLE IN CONTEMPORARY SOCIETY at National Seminary, Atmajaya University, Yogyakarta.
2011 Procceding ‘Exploring Noble Values of Local Wisdom and Prime Javanese Culture to Strengthen the Nation Identity’ at The Institute Javanology Sebelas Maret University, Surakarta.
2010 SOULSCAPE: The Treasure of Spiritual Art, (AA. Nurjaman, Anton Larenz, Netok Sawiji_Rusnoto Susanto, Sulebar M Soekarman), Yogyakarta: Yayasan Seni Visual Indonesia: Jakarta
2010 Virtual Displacement di SURYA SENI Jurnal Penciptaan dan Pengkajian Seni, PPs ISI Yogyakarta, Vol.6 No.1 February 2010
2009 Mempertimbangkan Kembali Paradigma Multikultural Dalam Pendidikan Seni Rupa & Kriya, (Penulis: Dr. M Dwi Marianto, Kasiyan, MHum, Dr. Djuli Djatiprambudi, Hajar Pamadhi, M Rusnoto Susanto, dkk), Penerbit FBS UNY: Yogyakarta
2008 SENI ABSTRAK INDONESIA: Renungan, Perjalanan dan Manifestasi Spiritual, (Penulis: AA. Nurjaman, Netok Sawiji_Rusnoto Susanto, Sulebar M Soekarman), Yayasan Seni Visual Indonesia: Jakarta.