Minggu, 22 Juli 2012

Bagian IV Transformasi Lompatan Quantum, Eksplorasi Media, dan Estetika Futuristik

Bagian IV
Transformasi Lompatan Quantum, Eksplorasi Media, dan Estetika Futuristik 

Kita belum memaksimalkan dan melakukan transformasi kinerja otak kita. Kemampuan otak dapat mengguncang dunia dan mendorong proses perubahan. [Dr. Yhosse Alberto]


A.     Transformasi Lompatan Quantum dan Eksplorasi Media
Mencermati pertumbuhan, perkembangan teknologi komunikasi, dan pencanggihan teknologi simulasi cybernetic sangat pesat dalam kurun 5-10 tahun terakhir khususnya dalam membangun dan mengembangkan jejaring internet yang dengan cepat menjadi tren masyarakat masa kini kendati memiliki efek simulasi tinggi dan bersifat manipulatif.   Setiap saat ruang imajiner begitu ugal-ugalan dieksplorasi sebagai area surfing menjelajah hasrat dalam ruang tanpa batas, mulai informasi politik, hiburan, pendidikan, bisnis, perniagaan, networking, jejaring sosial sampai eksplorasi identitas-identitas baru yang serba palsu.  Banyak peristiwa penting dunia yang digerakkan oleh sistem jejaring sosial dalam ruang praktik cyberspace bahkan sebuah kudeta politik dan peruntuhan kekuasaan status Quo di beberapa negara diktator bisa dimobilisasi melalui sistem jejaring sosial.
Hal tersebut berbanding lurus pada peran cybernetic dengan berbagai aspek yang muncul sebagai sebuah konsekuensi perubahan sistem sosio-kultural.  Ketika dunia virtual mendominasi dunia realitas sehingga dapat dikatakan menjadi semacam ‘alam atau dunia kedua’ masyarakat kontemporer.  Jalur-jalur informasi bebas menyergap pada ruang aktivitas kapan saja dan di mana saja untuk menikmati fenomena global dengan pemanfaatan ruang elektronis pada serabut optik (fibre optic) berkecepatan cahaya begitu luar biasa yang interaksinya kian abai pada eksistensi fisik.  Visi urban kemudian melekat pada budaya sebagai bagian yang terintegrasi dengan perkembangan masyarakat kontemporer.  Kecenderungan hidup semacam ini berada dalam pengaruh cyberspace dan idealisasi virtual space yang mengkristal secara laten pada masyarakat dunia akhir-akhir ini.
Pada era globalisasi dan era digitalisasi dimana teknologi komunikasi simulasi menjadi candu masyarakat dunia merupakan sebuah konsekuensi logis.  Sebuah era yang menerobos semua aspek kehidupan yang menggerakkan kekuatan imajinasi penduduk dunia dengan sistem networking dan penyedia layanan jaringan yang luar biasa termasuk kemampuannya menggerakan arah kebudayaan dunia yang paling kontemporer sekalipun.  Fenomena ini sesungguhnya sebuah transformasi mekanis yang hidup, tumbuh, dan bergerak sebagai manifestasi masyarakat dunia yang hibrid untuk melakukan lompatan quantum.  Perubahan besar-besaran hanya ditransformasikan melalui signal yang memuat miliaran data base seluruh dunia berada dalam media jejaring yang sangat populer yakni internet.  Internet hanya salah satu kasus penting dunia sebagai produk cybercultures dalam mengubah perilaku, gaya hidup dan cara pandang.  Sehingga memunculkan jargon konsumerisme, internet menjadikan dunia dalam genggaman.
Era baru yang menuntut pemberdayaan potensi (diri) kreatif manusia yang lebih dari sekedar memadai.  Kita memerlukan sejumlah metode-metode penggalian diri yang lebih bersifat progresif revolusioner untuk mampu menghadapi tantangan dan bergerak berkesesuaian dengan spirit jiwa jaman.  Spirit keberanian mengakses berbagai potensi dan menyediakan ruang probabilitas untuk mengakomodir self development dan peluang lompatan quantum. Kemampuan menangkap gejala yang berkembang di dunia dalam mentransformasi lompatan quantum sebagai bagian penting referensi kita untuk melakukan lompatan batasan yang imajinatif.
Saya teringat diskusi seru saya dengan seorang penggila cybernetic dan Master of Arts pengkaji American Studies, Sakdiyah Maruf mengenai materi novel 1984 karya emas George Orwell, yang sesungguhnya sudah diduga Gramsci mengenai hegemoni dan represi sebagai dasar teori kritis sosio-kultural.  Pada novel tersebut memaparkan cerita yang mirip-mirip yang dialami dunia sekarang ini ‘the totalitarian nightmare’ yang bukan berasal dari pemerintahan yang otoriter tapi dari hal-hal yang sering dibicarakan banyak orang selama ini.  Di dalam buku (novel) tersebut ada kamus Bahasa Inggris baru terbitan pemerintah yang namanya Newspeak.  Isinya kata-kata istilah bahasa Ingris standar yang disingkat-singkat tidak keruan.  Nah di awal, pemerintah otoriter itu menghanguskan semua buku dan sumber ilmu yang membahayakan partai tapi setelah masyarakat terbiasa dengan newspeak.  
Novel itu bisa saja beredar kembali toh orang-orang sudah tidak bisa memahami karena mereka sudah menggunakan bahasa yang beda dan pada akhirnya tidak akan ada lagi pemberontakan.  Sama halnya dengan anak-anak juga masyarakat sekarang dengan kemunculan new media technology yang kemudian memunculkan ‘bahasa baru’ dengan segala model kata singkatan dan istilah-istilah gaul baru muncul.  Pada suatu hari, kalau arus ini tidak di counter, satu generasi akan kehilangan kemampuan bicara dan menulis kemudian memberontak maka tunduklah mereka pada kekuatan-kekuatan represif (apapun itu bentuknya).  Yang lebih mengerikan lagi bentuk represi yang paling dahsyat jika ada consent of the oppressed yang diduga Gramsci, jika sudah begini tidak ada yang merasa tertindas lagi.  Perubahan ini sebagai ekses perkembangan teknologi digital, televisi, koran, majalah, radio, internet, dan lainnya.  Kecenderungan masyarakat mengadaptasi ‘bahkan mengadopsi’, salah satunya budaya konsumerisme sebagai hegemoni budaya, dan sosial yang terus-menerus berkembang dan mengikis nilai-nilai budaya lokal bahkan terancam punah. 
Televisi merupakan produk budaya pop yang pengaruhnya sangat besar di masyarakat.  Melalui televisi, masyarakat mulai meniru berbagai hal: gaya berbahasa, gaya berbusana, gaya hidup, dan pola pikir.  Dampaknya, terjadi perubahan sosial dan esensi nilai-nilai budaya lokal lenyap.  Kapitalisme sebagai penguasaan alat produksi oleh kaum pemilik modal, dan diproduksi semaksimal mungkin untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, secara tidak sadar, budaya konsumerisme dan hegemoni kapitalistik tumbuh subur di Indonesia.  Dasawarsa 1920-an dan 1930-an merupakan titik balik penting yang diingatkan Dominic Strinati (2003: 4) bawa dalam kajian dan evaluasi budaya popular dimulai dari munculnya sinema dan radio produksi massal dan konsumsi kebudayaan, bangkitnya fasisme dan kematangan demokrasi liberal di sejumlah negara barat, semuanya memainkan peran dan memunculkan perdebatan atas budaya massa.
Grafik pengguna produk cybernetic (tv, hp, PDA, IPhone, monitor capsule IPad, Android, Blackberry, email, tweeter, friendster, face book, badoo dan lainnya) berada pada peringkat dominasi tertinggi di Indonesia.  Fakta bahwa negeri ini sebagai bagian dari masyarrakat dunia yang konsumtif.  Pengguna jejaring sosial yang mewabah akhir-akhir ini memiliki motif sebagai media komunikasi ‘silaturahmi’ semata dengan teman lama untuk romantisme atau menggilainya dengan motif-motif tertentu hingga berselancar membangun jaringan bisnis.  Pola ini bergerak dengan pasti menunjukkan disposisi budaya Jawa dalam konteks kesadaran eksistensi dan kesadaran humanistik antar-pengguna.  Hilangnya tradisi anggah-ungguh, tepo seliro, sowan, sungkeman dengan orang tua saat Idhul Fitri yang tergantikan serta merta secara mekanis dengan fasilitas cybernetic.  Situasi ini lazim dipraktikan pada berbagai perayaan keagamaan hingga momen ulang tahun.    
 Pada wacana neurofisiologis, model cybernetic telah dipergunakan untuk mengurai dan menjelaskan secara rinci berbagai aspek dari kerja otak.   Model cybernetic telah digunakan dalam embriologi sejak awal 1950-an.  Lima model cakupan kerja otak pada model cybernetic yang khusus yakni;
1)    model untuk jaringan saraf disederhanakan, terutama yang mewakili proses perseptual;
2)    model statistik untuk osilasi kompleks dan peraturan aktivitas saraf nyata;
3)    algoritma model yang berkaitan atau rencana untuk proses pengkondisian;
4)    model untuk mekanisme yang bertanggung jawab untuk menjaga dan mengarahkan perhatian;
5)    dan model untuk perubahan secara terperinci apa-apa yang terjadi di persimpangan sinapsis antara neuron.
Di luar kerja otak, prinsip cybernetic banyak digunakan untuk menjelaskan kontrol fungsi tubuh dalam proses otonom (hormon yang dimediasi sistem pengaturan, pengendalian otot, dan sebagainya) dalam jumlah yang sangat mengejutkan mengingat besar biologi molekuler dan bio-kimia bersandar pada model yang menggambarkan organisasi dari berbagai sistem enzim dan kontrol hirarki sintesis enzim.  Dibutuhkan tipe penjelasan yang menjanjikan untuk memiliki utilitas lebih lanjut yang berhubungan dengan instruksi kode genetik untuk mengidentifiaksi aspek ekonomi selular. 
Cybernetic dalam konteks psikologi menjelaskan beberapa klasifikasi perilaku dan aspek kognisi dalam hirarki sistem kontrol yang sebelumnya menyatakan sebuah perencanaan dan sistem belajar dalam bidang terkait.  Pada tingkat makroskopik, ide cybernetic diaplikasikan untuk sistem interaksi interpersonal seperti percakapan, perilaku komunikatif kelompok kecil, komunikasi pada jejaring sosial yang tak terbatas, dan proses homeostatis yang mempertahankan status quo dalam sistem sosial.  Cybernetics memiliki aksiomatik dan aspek filosofis. Paradigma aksiomatis dipahami sebagai upaya mengasumsikan postulat tertentu tentang sebuah sistem dan untuk menyimpulkan sifat sistem (seperti reproduksi, pembelajaran diferensiasi) yang merupakan konsekuensi dari asumsi ini. 
Kemudian aspek filosofis sering berkaitan dengan teori-teori, misalnya, teori penyederhanaan (bagaimana sifat kompleks dari sistem nyata dapat dikurangi menjadi proporsi yang dikelola tanpa kehilangan informasi penting) dan teori perintah.  Tapi itu juga khawatir dengan isu relevansi serta dengan identifikasi yang tepat antara berbagai jenis model cybernetic sistem informasi yang dikendalikan mekanika mesin dan sistem informasi realitas.  Pada pengembangan teknologi cybernetics dan pengembangan teori-teori tertentu secara berkelanjutan, diantaranya adalah melibatkan teori permainan atau simulasi, teori komunikasi, teori linguistik, grafis, teori informasi, baik dalam arti informasi statistik selektif, atau dalam arti lebih luas yang melibatkan informasi semantik dan pragmatis.  Pencanggihan teknologi komunikasi mencapai puncak pencapaian dengan kecenderungan masyarakat yang begitu luar biasa mencandui simulasi virtual di jejaaring maya.  Sebuah presentasi yang menggairahkan sekaligus mengkhawatirkan dirasakan karena teknologi simulasi ini kemudian menjadi bagian integral dari pembentukan sistem sosial dan perubahan perilaku masyarakat kontemporer.
Fakta sosial yang mencengangkan justru pengguna fasilitas ini merambah ke semua lapisan masyarakat dan menerabas ke semua usia serta strata sosial dari pusat hingga pelosok desa sampai jangkauan terjauh satelit dari providernya.  Internet kini berada dalam genggaman.  Aktivitas kehidupan dihabiskan untuk sebuah siklus kerja akselarasi tinggi menjadi perangkap dalam ritme percepatan sekaligus mempersempit ruang dan waktu bagi perjalanan kehidupan spiritual.  Pencapaian puncak percepatan di satu sisi meningkatnya tingkat efisiensi, efektivitas dan kenyamanan, di sisi lain adalah picu dalam mempersempit tingkat pencapaian spiritualitas humanistik untuk berbagi ruang dan waktu untuk berbasa-basi, tegur-sapa serta berinteraksi sosial.  Konsep kehadiran riil bergeser ke ruang maya, di mana konsep kehadiran imajiner menjadi dominan sebagai ekses penurunan kualitas interaksi sosial dan kehilangan lapis-lapis toleransi humanistiknya. 
Bergesernya berbagai paradigma ruang eksistensi dan pola-pola hubungan sosial, aktivitas ekonomi, religi, dan sebagainya menguatkan pandangan bahwa sebuah perubahan atau pergeseran terjadi begitu luar biasa selaras dengan konsep budaya yang diskursif dan dapat berubah menzaman.  Sehingga terjadinya pergeseran nilai dan substansinya yang dipicu oleh perkembangan teknologi cyberspace.  Perubahan budaya dan karakteristik dapat dipahami sebagai kelaziman dan keniscayaan.  Pertumbuhan dan perkembangannya yang kian melampaui populasi penduduk bumi yang hampir seluruh aspek telah diambil alih, meski tidak sepenuhnya daya pikat teknologi simulasi ke dalam semua aspek sistem informasi yang mengarah pada pembentukan budaya baru yakni akumulasi multikultur dalam paket cybercultures.

B.    Eksplorasi Digital dan Guncangan Estetika Futuristik
Dalam Film David Cronenberg Videodrome, seorang pria tertelan ke televisi. Artis Stelarc menempel pada setiap bagian dari sensor tubuh dan stimulator yang terhubung ke internet secara harfiah dari perpaduan teknologi dan tubuh.  Dengan cara yang sama, komputer dan media elektronik lainnya memiliki dimensi tertentu dimana kita bisa merasakan mereka datang ke dalam kontak dengan kulit tubuh kita.  Realitas kehidupan kita sehari-hari sudah terstruktur sebagai dunia maya, dengan tubuh kita mendapatkan sensasi sentuhan mereka dari dunia maya sesungguhnya bukan ruang arsitektur aktual maupun lansekap kota.  Pada titik tertentu kita seolah tengah dikelilingi oleh arsitektur virtual dan tertutup dalam interior imajiner dalam sebuah raksasa besar inkubator (cyberspace).  Dalam novel cyberpunk, ekspansi arsitektur virtual ini terkait dengan penurunan, kerusakan kota, dan distorsi-dekonstruksi arsitektur.  Sementara arsitek cyber resort formalisme sebagai fashion arsitektur virtual dalam bungkus realitas, realitas aktual di sekitar ditandai kian terkikisnya eksistensi tubuh kita melalui kontak dengan media elektronik yang diabaikan dalam arsitektur virtual dengan mengejar formalistik citra.
Di akhir abad ke-18, struktur megalomaniak yang diilustrasikan oleh Etienne-Louis Boulee sebagai raksasa untuk direalisasikan.  Kemudian pada tahun 1920-an, para arsitek avant-garde Rusia membayangkan bangunan mengambang di udara.  Pada saat ini masih hanya mimpi, tetapi ketika kita sampai kubah geodesik Buckminster Fuller yang membainshocking publik dimana kita dapat menemukan sesuatu yang khusus karena mereka memiliki daya tarik Boulee dengan para raksasa.  Tentu saja sebuah bangunan mengambang tersebut tidak lagi sebagai sebuah fantasi belaka yang hidup dalam ruang imajiner.  Fuller kemudian membranding dirinya dengan membuat sejumlah gambar rancangannya dari kubah geodesic raksasa mengambang di langit.  Awalnya sangat tidak rasional dan mustakhil namun kini menjadi realitas perancangan arsitektur yang mencengangkan dan menjadi tonggak avant garde. 
Rusnoto Susanto pada proceeding makalah seminar nasional Arsitektur di Universitas Atma Jaya Yogyakarta ‘Cyber-Architecture Paradigm and The Contruction of Cyberculture Lifestyle in Contemporary Society’ (2011: 629-630) memaparkan bahwa kegilaan perancangannya menabrak kebuntuan patron arsitektur dan justru karena gravitasi didefinisikan batas penting untuk arsitektur yang Heidegger paparkan dari kuil Yunani yang bangkit dalam hubungan ketegangan dengan bumi (ketika awal seni muncul). Pada sisi lain, arsitek telah mati-matian berusaha untuk dibebaskan dari keterbatasan ini. Telah berulang kali bermimpi bagaimana sebuah bangunan seolah terbang layaknya seorang astronot melayangkan tubuhnya pada ruang hampa udara. Saat ini, seorang arsitek yang mengaku sebagai desainer dari cyber-architecture menyatakan kebebasan mereka untuk merancang dalam ruang digital yang bebas dari batasan gravitasi.
Situasi ini menjadikannya dunia maya hadir atau dihadirkan untuk menggantikan ruang yang sebenarnya sebagai target untuk penanaman modal dan lain sebagainya.  Tampak bahwa pengertian terminologi arsitektur memperluas dirinya untuk memasukkan konfigurasi ruang virtual dalam tampilan komputer beserta simulasi-simulasi visualnya.   Ini fakta yang terus hidup di akhir abad ke-20 melalui pertemuan fisik, sensual, dan erotis dengan komputer sebagai sebuah eksplorasi arsitektural yang dapat menjadi ruang baru dan memiliki kekuatan untuk mengubah paradigma seni arsitektur kontemporer.
Rentang waktu tahun 1960 sampai 1970-an, perbincangan tentang posmodernisme mulai masuk ke dunia arsitektur.   Diruntuhkannya bangunan perumahan Pruitt Igoe, St. Louis, Missouri, yang memiliki karakter arsitektur modern (arus arsitektur International Style yang dipelopori Mies van der Rohe) menandai lahirnya pemikiran arsitektur posmodernisme.  Arsitektur posmodern membawa tiga prinsip dasar yakni: kontekstualisme, allusionisme, dan ornamental.  Robert Venturi, arsitek sekaligus teoretisi awal konsep arsitektur posmodern, dalam bukunya Complexity and Contradiction in Architecture (1966) menyatakan bahwa, arsitektur posmodern lebih mengutamakan elemen gaya hybrid (ketimbang yang murni), komposisi paduan (ketimbang yang bersih), bentuk distorsif (ketimbang yang utuh), ambigu (ketimbang yang tunggal), inkonsisten (ketimbang yang konsisten), serta kode ekuivokal (ketimbang yang monovokal).  Sementara itu Charles Jencks dalam The Language of Postmodern Architecture (1977), menyebut beberapa atribut konsep arsitektur posmodern yakni; metafora, historisitas, ekletisisme, regionalisme, adhocism, semantik, perbedaan gaya, dan pluralistik.  Arsitektur posmodern juga memiliki sifat-sifat hybrid, kompleks, terbuka, kolase, ornamental, simbolis, dan humoris.  Jencks juga menyatakan bahwa konsep arsitektur posmodern ditandai oleh suatu ciri double coding sebagai prinsip arsitektur posmodern yang memuat tanda, kode dan gaya yang berbeda dalam suatu konstruksi bangunan.  Arsitektur posmodern hingga kini menerapkan prinsip double coding selalu merupakan campuran ekletis dari konsep medium dan nilai estetikanya.
Keberadaan kota pada era posmodern tentu dipengaruhi berbagai aspek yang dibentuk oleh warna-warni pandangan, kecenderungan, keyakinan, gagasan, citra, tanda, dan makna.  Citra hunian masa kini cenderung mengaplikasi konsep electricity yang ekletis, minimalis, kadang menekankan pada bentuk-bentuk disain arsitektur yang kompleks, detail-rumit, dan kontradiktif.  Karakteristik inilah yang tumbuh dan hidup dalam siklus serta ritme masyarakat kontemporer.  Terkonstruksinya citra semacam ini sesungguhnya merupakan manifestasi life style masyarakat kontemporer.  Semakin tingginya kecenderungan pada konsumerisme dan kapitalistik maka dapat dipastikan berpengaruh pada meningkatnya cita rasa terhadap berbagai perspektif dalam upaya pemenuhan kebutuhan.  Baik dari kebutuhan sehari-hari hingga hal yang berhubungan dengan pencitraan dan kemewahan.  Cita rasa yang dipengaruhi oleh gaya hidup yang dibentuk cybercultures secara signifikan pula mempengaruhi berbagai gaya dan pencitraan arsitektur posmodern dengan citra cyber-architecture.
Pengembang hunian dan apartemen kini cenderung menekankan pencitraan pada konsumen sesuai gaya hidup, memiliki nilai investasi progressif, prestisius, dan strategis maka memunculkan konsep-konsep super block mewah pada perancangan arsitektural yang energik, ekletis, benderang, glamour, gemerlap warna-cahaya, prestisius, elegan, stylist, dan futuristic.  Kecenderungan menentukan desain citra arsitektur posmodern dengan sentuhan etnik khusus menciptakan ruang bersifat bebas, anekaragam, dan pluralisme.  Bangunan yang kreatif dan imajinatif menjadi khas masyarakat yang bebas berekspresi.  Relasi khusus dengan arsitektur cyber ini dipengaruhi hal-hali diatas dianggap dapat menawarkan jawaban atas obsesinya.
Pencitraan arsitektur ruang publik di Indonesia khususnya mengacu pada perkembangan arsitektur futuristik di Eropa dan Amerika.  Karya arsitekturnya cenderung mengacu pada konsep landmark kota.  Cermati saja pada citra arsitektur pusat belanja, perkantoran, niaga, pusat laboratorium pendidikan, pusat kebudayaan, pusat-pusat hiburan, dan tempat peribadatan di kota-kota besar (Jakarta, Surabaya, Malang, Makasar, Bogor, Bumi Serpong Damai, Cikarang, Medan, dan Bandung).  Tak hanya pada arsitektur fungsional, projek pencitraan futuristik mewabah di area jembatan jalan tol, peristirahatan sementara dan gerbang-gerbang beberapa kawasan hunian yang difungsikan sebagai pencitraan public space.  Kawasan Kelapa Gading Jakarta mampu membenamkan miliaran rupiah untuk sebuah projek pencitraan kawasan dengan membangun monumen karya pematung Rita Widagdo sebagai landmark Summarecon.  Kota wisata, BSD, Agung Podomoro Group, Ocean Park, The Jungle, Menara BNI 46, FedEx, Surabaya Town Square, Green Bay Pluit, City Cat Walk dan lainnya secara sadar membranding dirinya dengan citra kawasan futuristik.  Ada juga super block yang tampil mencolok seperti Seaview Condominium di Green Bay Pluit yang berada tepat di atas Mall sebagai paket kawasan hunian elit yang dilengkapi ruang publik berupa Botanical Garden seluas 12 hektar.  Kawasan dengan view eksotik khas bahari terintegrasi dengan sarana pendidikan dasar hingga Perguruan Tinggi, resto, sport, resort, pusat kebugaran, wisata Ancol, Pantai Indah Kapuk dan sarana pusat kesehatan.  Mengingatkan kita pasa Vivo City Singapore dan Yokohama Land.
Citra futuristik pada bangunan berarti citra yang mengesankan bahwa ekspresi arsitekturnya berorientasi masa depan (futuristik) atau mengikuti perkembangan jaman.  Fleksibilitas dan kapabilitasnya mampu melayani dan mengikuti perkembangan kebutuhan fungsi sekaligus pencitraan. Kriteria tersebut menampung tuntutan aktivitas yang senantiasa berkembang melayani perubahan ruang dan perwajahan.  Futuristik sebagai core values layaknya Ferary maupun Lamborgini bercitra dinamis, estetis, dan inovatif terutama dari segi teknologi yang dipakai (dinamis, canggih dan ramah lingkungan) dengan mengadopsi bentuk-bentuk bebas yang impresif, ekspresif, dan futuristik.  Futuristik merupakan lambang perubahan, dinamis dan menembus ruang imajinatif sebagai movement, ekstrim, berlebihan dan tidak natural. Nampak senada dengan paradigma perkembangan arsitektur yang bebas dan sarat dekonstruksi.
Pranata teknologi simulasi cybernetic, jauh dari asal-usul dunia maya dapat ditelusuri pada seni abstrak modernis Malevich.  Malevich mengakui kekuatan magnet, gravitasi, gelombang radio, kekuatan virtual lainnya, dan potensi melawan gravitasi yang dimemiliki tiap objek lukisan.  Sepanjang garis yang sama, dia membayangkan sebuah bangunan mengambang dengan pondasi bangunan keluar, citra floating dibangun di atas sebuah struktur imajiner-virtual melalui afterimages, dan mekanisme lain dari perspektif tertentu.  Gejala perancangan dengan pelibatan kecanggihan teknologi digital merepresentasikan segenap obsesi dan keliaran imajinatif seorang arsitek dalam menerjemahkan desain virtual ke dalam perwujudan tiga dimensi pada ruang fisik.  Untuk membuat modifikasi artbitrer terhadap fleksibilitas ruang untuk mengejar objek yang tidak pernah bisa diungkapkan dalam kenyataan.  Penampilan sesaat dari ruang maya dengan cara menggerakan objek, afterimages, dan efek stereoskopik. Ini menunjukkan betapa gigih ia mengejar ambiguitas ruang antara dua dan tiga dimensi sub- zona, interval, stasiun transfer yang disebut ‘materi imaterial’.  Imaterial, lahir dari cahaya dan gerak benda, memiliki unsur-unsur yang sama dengan ruang media elektronik. Arsitektur sangat cair pada ruang cyber dan ini jelas arsitektur imaterial. Tipikal arsitektur yang tidak lagi puas dengan bentuk, cahaya, dan aspek lain dari dunia nyata.
Perkembangan arsitekturnya masa kini mengutamakan komposisi mixed, bentuk distorsif, ambigu, inkonsisten, dan kebebasan ekspresi visual.  Citra arsitektur posmodern menjelaskan dan menguraikan dinamika kehidupan masyarakat kontemporer yang kian beragam dan rumit.  Era posmodern juga diwarnai prilaku masyarakat yang ekspresif, bebas, dan pluralistik.  Perubahan teknologi yang kian pesat menimbulkan sebuah ledakan budaya visual melalui berbagai fantasi dan visualisasi yang merupakan unsur dominan di dalam realitas mekanis sistem cybernetic.  Hal ini juga memberi pengaruh yang luar biasa baik pada penggunaan fasilitas cyberspace untuk mengeksplorasi gagasan dengan mengakses –mengupdate- perkembangan wacana desain arsitektur dunia maupun dalam praktik perancangan arsitektur masa kini yang memaksimalkan konsep eksplorasi desain-desain inovasinya melalui berbagai fasilitas cyber.  Kita dapat cermati maraknya program-program talk show dan life style seputar materi arsitektur di cyberspace baik di televisi maupun di situs-situs internet, sebut saja Metro TV dan AnTV hampir rutin setiap Sabtu-Minggu menayangkan paket program arsitektur dan life style dengan durasi satu jam untuk mengentertainment (Green Bay Pluit, Agung Podomoro, Rasuna Apartemet, dan Kawasan Ancol) produk-produk arsitektur inovatif berbagai pengembang properti kelas wahid dengan presentasi desain serba glamour, kontemporer, posmo, dan imajinatif.  Dari mulai hunian terbatas peruntukannya hingga hunian yang terintegrasi dengan lingkungan public space.  Televisi lain menyajikan paket program arsitektur dari provider dalam paket reality show (Bedah Rumah, Penghuni Terakhir, maupun Rumah Idaman).
Apartemen yang dilaunching ugal-ugalan mengindikasikan bahwa citra arsitektur kita tengah menjadi bagian dari simulasi cyberspace menjadi penanda sederhana sebuah kecenderungan masyarakat memiliki daya serap potensial yang ditunjukkan maraknya bisnis property.  Investasi properti menjadi bagian gaya hidup yang dibangun secara laten oleh cyberculture.  Semakin tingginya kecenderungan pada konsumerisme dan kapitalistik maka dapat dipastikan berpengaruh pada meningkatnya cita rasa terhadap berbagai perspektif dalam upaya pemenuhan kebutuhan.  Baik dari kebutuhan sehari-hari hingga hal yang berhubungan dengan pencitraan dan kemewahan.  Cita rasa yang dipengaruhi oleh gaya hidup yang dibentuk cybercultures secara signifikan pula mempengaruhi berbagai gaya dan pencitraan arsitektur posmodern dengan citra cyber-architecture.
Argumentasi di atas diurai untuk menemukan relasinya antara realitas dan keberadaan teknologi simulasi ruang maya pokok persoalan sebuah transformasi lompatan quantum yang terjadi setiap detik di layar fiber optic.  Inilah titik picu bagaimana sesungguhnya positioning kebudayaan bergeser dan terjadi penggantian maya (sebagai fenomena Virtual Replacement) pada berbagai perspektif dan perubahannya di tengah arus postmoderisme.  Kemudian konsep Virtual Replacement menjadi sebuah kritik terhadap praktik cybercultures dalam disertasi saya di Program Doktoral ISI Yogyakarta, bahwa virtual replacement memicu kesadaran saya bahwa ketika para pengguna produk cybercultures mendudukkannya sebagai budaya baru akan terjadi disposisi.  Kendati demikian hendaknya tetap memiliki kesadaran berusaha melakukan reposisi manusia ‘budaya’ Jawa berada pada konteks representasi eksistensi fenomena cybercultures.  Bagaimana pun sebuah perubahan dan perkembangan budaya mutlak berlangsung pada hampir seluruh kebudayaan di belahan bumi ini.  Persoalannya adalah bagaimana upaya memetakan kembali aspek lokal ‘local genius’ dalam perspektif global yang mampu memberi kontrol terhadap derasnya arus perubahan budaya global yang saat ini melekat menjadi bagian integral pada sebagian besar masyarakat Indonesia. 
Grafik pengguna produk cybernetic (tv, hp, PDA, IPhone, monitor capsule IPad, Android, Blackberry, email, tweeter, freindster, face book, badoo dan lainnya) berada pada peringkat tertinggi di Indonesia.  Fakta bahwa negeri ini sebagai bagian dari masyarakat dunia yang konsumtif.  Pengguna jejaring sosial yang mewabah akhir-akhir ini memiliki motif sebagai media komunikasi ‘silaturahmi’ semata dengan teman lama untuk romantisme atau menggilainya dengan motif-motif tertentu hingga berselancar membangun jaringan bisnis.  Pola ini bergerak dengan pasti menunjukkan disposisi budaya Jawa dalam konteks kesadaran eksistensi dan kesadaran humanistik antar-pengguna.  Hilangnya tradisi anggah-ungguh, tepo seliro, sowan, sungkeman dengan orang tua saat Idhul Fitri tergantikan serta merta secara mekanis dengan fasilitas cybernetic.  Situasi ini lazim dipraktikan dalam berbagai perayaan sakral keagamaan hingga momen ulang tahun.     
Fakta sosial yang mencengangkan justru pengguna fasilitas ini merambah ke semua lapisan masyarakat dan menerabas ke semua usia serta strata sosial dari pusat hingga pelosok desa sampai jangkauan terjauh satelit dari providernya.  Internet kini berada dalam genggaman.  Aktivitas kehidupan dihabiskan untuk sebuah siklus kerja akselarasi tinggi menjadi perangkap dalam ritme percepatan sekaligus mempersempit ruang dan waktu bagi perjalanan kehidupan spiritual.  Pencapaian puncak percepatan di satu sisi meningkatnya tingkat efisiensi, efektivitas dan kenyamanan, di sisi lain adalah picu dalam mempersempit tingkat pencapaian spiritualitas humanistik untuk berbagi ruang dan waktu untuk berbasa-basi, tegur-sapa serta berinteraksi sosial.  Konsep kehadiran riil bergeser ke ruang di mana konsep kehadiran imajiner menjadi dominan sebagai ekses penurunan kualitas interaksi sosial dan kehilangan lapis-lapis toleransi humanisnya.
Bergesernya berbagai paradigma ruang eksistensi dan pola-pola hubungan sosial, aktivitas ekonomi, religi, dan sebagainya menguatkan pandangan bahwa sebuah perubahan atau pergeseran terjadi begitu luar biasa sehingga terjadinya pergeseran nilai dan substansinya yang dipicu oleh perkembangan teknologi cyberspace.  Perubahan budaya dan karakteristik dapat dipahami sebagai kelaziman dan keniscayaan.  Pertumbuhan dan perkembangannya yang kian melampaui populasi penduduk bumi yang hampir seluruh aspek telah diambil alih meski tidak sepenuhnya oleh daya pikat teknologi simulasi ini secara langsung mampu mendiskualifikasikan semua aspek sistem informasi yang mengarah pada pembentukan budaya baru yakni akumulasi multikultur dalam paket cybercultures.  Pencermatan inilah kemudian dijadikan mediasi untuk melihat kembali pemicu aspek-aspek ledakan maya yang signifikan membangun karakteristik budaya masyarakat hari ini hingga masa yang akan datang. 
Serangkaian eksplorasi media yang begitu radikal mewarnai kehidupan masyarakat dunia akhir-akhir ini.  Ini semacam fenomena spektakuler akhir-akhir ini dimaa sebuah paket kebudayaan yang berbasis teknologi simulasi cybernetic dengan produk-produk cybercultures mampu memberi pengaruh sangat signifikan ke semua aspek yang terkait dan mengubahnya menjadi energi spiritual gaya baru masyarakat kontemporer.  Sebuah penerjemahan kekuatan pikiran melalui energi virtual, energi emosional, spiritual yang terkonsentrasi, dan memiliki kemampuan mengubah berbagai paradigma komunikasi ke dalam wilayah perluasannya yang lebih pragmatis.  Sebuah ruang eksplorasi energi yang mentransformasi semua gejala virtual yang sangat imajinatif ke dalam bahasa visual maupun simulasi audio visual yang bergerak, kontinu, konstan, organik, berkecepatan tinggi, dan hibrid.  Energi media sebagai spiritualitas baru bergerak pada tiap simpul saraf dalam melakukan inkubasi untuk melahirkan gagasan imajiner ke dalam wujud seolah-olah nyata sebagai manifestasi komunal masyarakat kontemporer.
Esensi dari eksplorasi media mengarah pada konsep quatum yang tak terpastikan namun membuka pandangan sebagai ruang bebas untuk menemukan kebaruan-kebaruan melalui transformasi quantum pada realitas quantum yang melekat pada diri kita sehari-hari.  Karena semua realitas quantum membuka ruang probabilitas yang luas dan memadai untuk dijadikan media eksploratif kebudayaan.  Sesungguhnya kita dapat menjumput sejumlah nilai-nilai estetika futuristik yang lebih menarik, antusias, segar, penuh kejutan, sensasional, shock terapi otak, dan terbarukan terus-menerus.   Ruang estetika futuristik yang kemudian dibangun begitusangat personal dan temuan-temuan yang partikular.  Nilai-nilai estetika futuristik yang menjadi jiwa jaman, menjadi bagian penting dari perubahan, spirit kemajuan teknologi, dan ruh bagi perkembangan kebudayaan dunia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar