Minggu, 22 Juli 2012

REVOLUSI BUDAYA VISUAL DAN SHOCK CULTURE : LOKALITAS DALAM ARUS GLOBALISASI MELALUI PRAKTIK KRITIS SENI RUPA KONTEMPORER

REVOLUSI BUDAYA VISUAL DAN SHOCK CULTURE :
LOKALITAS DALAM ARUS GLOBALISASI MELALUI PRAKTIK KRITIS SENI RUPA KONTEMPORER 

(makalah seminar seni dan bahasa di FKIP UST Yogyakarta)

M. Rusnoto Susanto, S.Pd, M.Sn

(Praktisi Seni Kontemporer, Kurator Independen, Kandidat Doktor PPs ISI Yogyakarta dan Pengampu Kuliah Eksperimental Desain Komunikasi Visual Prodi Seni Rupa UST Yogyakarta)

Prolog
        Saya teringat pidato pengukuhan Abdul Hadi W.M. sebagai guru besar pada Fakultas Falsafah dan Peradaban, khususnya Program Studi Falsafah dan Agama di Universitas Paramadina Jakarta mengenai Paradoks Globalisasi: Memikirkan Kembali Arah Kebudayaan Kita.   Beliau mengilustrasikan mengenai kehadiran globalisasi dengan analogi yang menarik, yaitu dalam parable Kafka Metamorphosis: seorang pemuda pada suatu pagi bangun tidur dan melihat dirinya telah berubah bentuk menjadi seekor kecoa raksasa.  Keluarganya mula-mula terkejut dan heran, namun perlahan-lahan dapat memahami, meskipun tetap was-was dan sering melontarkan makian.  Namun pada akhirnya dengan terpaksa mereka menerimanya dan tidak mempersoalkan lagi keberadaannya terakhir. Inilah sesungguhnya yang kita rasakan, ketika sebuah kebudayaan baru merangsek bertubi-tubi seiring dengan semangat perubahan yang diwariskan arus globalisasi.  Sebuah arus dimana semua hal bisa masuk, adaptif, adoptif, dan selalu berubah menyesuaikan tuntutan dan konsekuensinya. Terbukanya seluruh akses yang berhadapan langsung dengan munculnya ekses yang sepadan atau malah lebih tinggi dalam menuai risiko.

A.    Globalisasi, Revolusi Budaya dan Kritik Terhadap Cybercultures
Globalisasi sesungguhnya sebuah gagasan yang menarik dan memprovokasi masyarakat dunia untuk melakukan progresifitas kebudayaan secara keseluruhan, namun dalam perkembangannya memperlihatkan banyak paradoks yang kerap diartikan sebagai perluasan kapitalisme.  Kendati de-ide brilian bahkan lompatan ideologi-ideologi besar di bidang falsafah, sains, humaniora, budaya, dan ekonomi kemunculannya banyak dipicu dari perubahan besar arus ini yang mampu menopang gerak maju perkembangan dunia dalam rangkaian panjang proses globalisasi.  Kemudian disusul proses bangkitnya kapitalisme dan munculnya kolonialisme Barat dan melahirkan komunitas Negara dunia ketiga yang lagi-lagi masih pada posisi manjadi bagian dari korban kolonialisme dalam bentuk baru.
Ledakan revolusi Industri turut melahirkan kelas baru dalam masyarakat kapitalis yaitu kaum borjuis dan melahirkan ideologi-idelogi kemasyarakatan dan kemanusiaan seperti liberalisme, individualisme, sosialisme, dan seterusnya.  Sejak itu globalisasi selanjutnya dalam perkembangannya disokong oleh lahirnya aliran-aliran falsafah dan keilmuan yang dominan seperti rasionalisme, idealisme, positivisme, historisisme, evolusionisme, dan seterusnya. Hasrat-hasrat duniawi yang lahir dari pribadi-pribadi Faustian  yang ambisius untuk menaklukan dan menguasai dunia secara ekonomi, politik, dan budaya yang berlangsung secara terus-menerus dan sangat radikal merupakan faktor utama arus globalisasi menjadi tak terelakkan masuk ke wilayah-wilayah terpelosok penduduk bumi.  Fakta ini menjadi bagian dari revolusi budaya visual yang bersifat ‘shock culture’ dalam menurunkan berbagai perangai ‘pembentukan karakteristik’ masyarakat kontemporer dunia oleh arus besar yang kita sebut arus globalisasi.  Arus besar dengan berbagai representasinya direspon secara radikal dan laten oleh masyarakat sebagai sebuah pencapaian kecanggihan dunia.  Respon masyarakat kontemporer yang menganggap bahwa arus besar globalisasi beserta paket budaya yang melekat seolah-olah itu bagian yang tak terpisahkan dari kebutuhan dirinya tanpa mempertimbangkan bahwa kita sedang berada pada area inkubasi budaya besar-besaran yang mereduksi soliditas budaya lokal.  Kita tengah bangga dengan melakukan perayaan atas perubahan budaya melalui ledakan budaya visual yang merangsek secara luar biasa hampir di seluruh aktivitas waktu dan ruang yang senantiasa berada dalam wilayah eksplorasinya.
Mengenai konteks-konteks budaya pencitraan (budaya visual) dan perubahannya dalam berbagai gambaran realitas yang tumbuh dalam masyarakat ‘Jawa’ Nusantara yang dapat dipahami melalui antropologi visual dengan memanfaatkan ketidak terhinggaan rekaman kamera visual (utamanya foto/video) yang mempresentasikan apa-apa yang tampak (invisible) bagi mata biologis kita.  Melihat invisibilitas adalah langkah yang strategis untuk menemukan konteks dari suatu ekspresi budaya. Seperti yang dipaparkan Roland Barthes (1981: 88) bahwa foto sebagai citra tanpa kode, mengundang signifikansi (pemaknaan) tambahan ke permukaan karena ketidak-terbatasan detailnya.  Dalam konteks ini sesuai yang saya amati aktivitas komunikasi berupa simulasi visual cyberspace berbagai produk cybercultures lainnya yang semuanya bisa dicermati secara visual baik dalam bentuk foto, rekaman video, video interaktif, maupun animasi digital.
 Ketegasan posisi kajian yang dilakukan dengan mempelajari taksonomi kebudayaan menurut hakikat dan sasaran konsepnya, kajian semacam ini menjadi investasi kepekaan emosional, investasi gagasan, investasi intelektual, dan investasi spiritual dalam penciptaan seni yang saya lakukan.  Proses ini dimulai dengan menentukan pandangan bahwa kebudayaan sebagai wacana kreatif (diskursif), sistem pemaknaan dan dalam sistem gagasan bukan pada sistem nilai.  Sistem yang lebih reflektif bukan verifikatif mengenai perubahan budaya yang dipicu globalisasi yang ditandai dengan pencanggihan teknologi komunikasi, simulasi dan digitalisasi melalui arus budaya mutakhirnya yakni cybercultures.
Sengaja saya memberikan tinjauan yang berkaitan dengan materi penelitian disertasi yang sedang disusun mengenai Virtual Replacement (Kritik Terhadap Cybercultures), maka saya makin yakin untuk menetapkan cara berpikir kontekstual dan reflektif bukan verfikatif.  Kajian yang dilakukan secara reflektif dan terlibat dalam transformasi sosial pada subjek-sujek kajiannya.  Pendekatan reflektif yang berdasarkan pengalaman empiris ketika mencermati fenomena dominasi cybercultures yang berdampak pada perubahan-perubahan sosial, ekonomi, gaya hidup, gaya belajar, gaya belanja, gaya berinteraksi sosial, gaya sex, mobilisasi politik dengan pemanfaatan sistem networking melalui sosial media, dan perubahan mental secara radikal dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Banyak peristiwa penting dunia termasuk propaganda pencalonan presiden Amerika dan kegemilangan Obama memenangkan pemilihan presiden ketika itu, bahkan kudeta politik dan peruntuhan kekuasaan status Quo di beberapa negara diktator dimobilisasi melalui sistem jejaring sosial.
Perkembangannya kurun 5-10 tahun terakhir sangat pesat dalam membangun dan mengembangkan jejaring internet yang dengan cepat menjadi tren masyarakat masa kini kendati memiliki efek simulasi tinggi dan bersifat manipulatif.  Eksodus besar-besaran masyarakat dunia ke dalam cyberspace, jika dulu urbanisasi dipahami sebagai aktivitas perpindahan dari desa ke kota maupun sebaliknya, kini urbanisasi merupakan perpindahan radikal masyarakat kontemporer dari dunia nyata (reality space) ke dalam dunia maya (virtual space) melalui sistem cybernetics.  Produk cybercultures kini menyatu dengan hidup kita tanpa sanggup untuk menolaknya untuk pemenuhan hasrat representasi yang up to date. 
Semua masyarakat dunia memiiki kesamaan hak menikmatinya dari kalangan borjuis hingga jelata, dari boss sindikat hingga pembantu rumah tangga, dari New York hingga Gunung Kidul New Yogkarto. Tak ada batasan yang mampu membendung arus ini, privasi menjadi rahasia-rahasia umum dari urusan politik, ekonomi, perdagangan, budaya hingga perselinguhan dengan benderang dipresentasikan melalui signal tanpa kabel.  Serupa dengan kegiatan reportase tanpa kabel yang mampu menggerakan semua ruang dan mampu menenggelamkan semua waktu untuk berseluncur di wilayah bebas ini.  Semua medan diekplorasi dari medan sosial, kapital hingga pada medan spiritual.  Setiap saat ruang imajiner begitu ugal-ugalan dieksplorasi sebagai area surfing menjelajah hasrat dalam ruang tanpa batas, mulai informasi politik, hiburan, pendidikan, bisnis, perniagaan, networking, jejaring sosial sampai eksplorasi identitas-identitas baru yang serba palsu.  Terjadilah dehumanisasi.
Serta merta munculnya evolusi budaya diam, menjadi budaya lisan melalui sistem komunikasi verbal, kemudian evolusi komunikasi verbal ke dalam budaya tulisan melalui komunikasi dalam bentuk lainnya yang populer saat ini; berbagai format artikel, esei, buku, sastra fiksi, sastra cyber, simulasi digital interaktif dalam format cyber magazine, paket cyber punk castra, dan seterusnya.  Semua ruang begitu mudah berevolusi menjadi sebuah budaya serba internet dengan jargon ‘dengan internet, dunia dalam genggaman’.   Budaya diam yang dipresentasikan dalam bentuk komunikasi kemudian diekspresikan melalui iptek maupun seni.  Kemudian dalam perkembangannya diketemukannya teknologi komunikasi melalui telepon dan radio mendorong evolusi budaya lisan yang diolah menjadi sebuah komunikasi bahasa yang akhir-akhir ini kita temukan dengan beragamnya artikulasi verbal, tulisan maupun komunikasi yang dipresentasikan melalui avatar-avatar dalam interaksi komunikasi cybernetics.   
Teknologi simulasi digital internet merevolusi seacara besar-besaran dengan berbagai terobosan yang menfasilitasi temuan baru sistem komunikasi dengan kecepatan tinggi dengan meringkus waktu dan melipat dunia.  Budaya diam lantas menjadi kecenderungan masa kini menjangkau seluruh belahan dunia, dengan duduk diam di sudut ruangan saja kita dapat menemukan begitu banyak hal dan melakukan perjumaan virtual dengan semua orang yang terkoneksi dalam hyperlinks yang menyerupai bola salju.  Presentasi foto, gambar, video, animasi, maupun animasi interaktif bisa kembali menjadi pilihan komunikasi yang bersifat kreatif menjadikan avatar dirinya, emoticon, bertukar gambar, saling unggah dan saling unduh gambar berikut contentnya, dan gambar jempol tanda suka sebagai representasi aktual.  Dalam ruang kemahaluasan pada video Youtube memberikan kesadaran mengembalikan budaya lisan, setiap kata-kata lengkap dengan ekspresi wajah seseorang bisa dikomunikasikan dimanapun oleh siapapun yang akhir-akhir ini mamu mendongkrak popularitas dan mengubah berbagai status sosial, ekonomi, politik maupun hal lain yang melekat pada aktivitas video yang dilancarkan oleh pengguna fasilitas youtube.
Twitter, facebook, friendster, hi5, badoo, twoo dan sejumlah sistem jejaring sosial dengan pengguna fanatik kaum sosilita kembali membawa budaya lisan dalam bentuk baru melalui eksplorasi media yang mengakomodasi sebuah ocehan kalimat singkat yang menyeretnya pada matinya empaty atas ekspresi yang tak tertuntaskan. Terkikisnya spirit humanistik. Eksplorasi referensi gaya belajar dengan e-book dan penggunaan ladang ilmu pengetahuan yang dibagi secara gratis dalam blogspace memudahkan sekaligus menggeser kharismatik ruang studi dan profesor dalam transfer knowledge karena bisa dilakukan dengan mudah melalui perpustakaan digital.  Fasilitas email juga memudahkan banyak hal bisa dilakukan termasuk mempengaruhi efektivitas dan efisiensi proses studi dan aktivitas bisnis lainnya.  Semua paparan ini menunjukan bahwa begitu banyak perubahan dan kemudahan menyerap ledakan budaya di tengah perubahan perilaku masyarakat kontemporer.
Pertanyaannya adalah bagaimana memandang perubahan budaya kontemporer dalam berbagai representasinya dengan tinjauan kritis dan cerdas melalui proses kerja kesenian?  Fenomena kebudayaan yang secara tiba-tiba hadir di hadapan kita tentu bukan tanpa sebab tetapi arus budaya tersebut memiliki ruang yang cukup bebas masuk dan berada di dalam semua sistem kerja masyarakat kita yang mau tidak mau menjadikannya sebagai budaya baru yang diserap dengan semangat konvergensi.  Tinggal bagaimana kita semua menyikapinya dengan fundamen basis budaya lokal yang terpelihara dengan baik yang menjadikan kita manusia lokal dengan kompetensi dan kwalifikasi global.

B.    Revolusi: Shock Visual dan Penggelontoran Gagasan Imajinatif

Berkaitan langsung dengan ledakan budaya visual memicu shock visual memerlukan ketajaman pencermatan dan kebijakan membangun cara pandang yang konstruktif dalam memberdayakan sistem gagasan yang bersumber dari kekuatan imajinasi.  Kekuatan imajinasi bersemayam di kepala kita khususnya pada wilayah otak kanan.  Kita hampir tak menyadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari, peranan otak kanan lebih tinggi (80%) ketimbang peranan otak kiri yang hanya sekitar (20%) saja.  Jika kita memiliki habitus penggunaan kategori kinerja otak kiri dan tak melakukan upaya tertentu untuk merangsang aktivitas otak kanan maka terjadi ketidakseimbangan yang berakibat stres dan gangguan kesehatan mental sekaligus fisik yang memburuk.  Kehidupan seniman sungguh akan berbeda, karena pemberdayaan kinerja otak kanan selalu dipicu secara kontinu oleh serangkaian aktivitas yang bersifat refreshing meskipun dalam wilayah kerja yang serba serius.  Semua itu memproduksi efek positif yang akan mendorong kekuatan otak untuk meraih kesuksesan dan kehormatan yang tinggi karena siklus aktif dan positif beredar di dalam atmosfer yang terus tumbuh, hidup, dinamis, reflektif, dan bergerak.
Pada proses kreatif, seorang seniman seleluasa mungkin mengeksplorasi kekuatan otak dengan memberikan treatment kejut dengan memikirkan, membayangkan, dan melakukan berbagai hal baru yang sama sekali tak pernah ia lakukan kendati sudah diekplorasi banyak orang.  Efek kejut maupun guncangan pada saraf otak memiliki dampak fisik maupun psikologis yang positif dalam meremajakan, menguatkan, dan menajamkan kepekaan otak dalam mengolah kecerdasan sehingga menghasilkan output yang mencengangkan.  Karena potensi otak kita dalam merespon sesuatu yang berkelebat (nyata maupun imajiner) pastilah berbeda cara pandang dan penggunaan metodenya yang sangat bergantung pada referensi berkaitan dengan pengalaman empiris, literatural, kemampuan menyerap informasi, interpretasi visual atas pengalaman orang lain, dan fenomena kontemporer kehidupan sehari-hari dengan latar sosio kultural atau ground individual. Seni berada pada ruang bebas dan cair kemudian membuka berbagai kemungkinan dengan berbagai tindakan eksperimentatif baik mencampur, memisah, menipiskan, menebalkan, mengeraskan, melunakkan, mengiris, memotong, menyambung, mengurang, menambah, menekan, mengangkat bahkan membuangnya sama sekali dan merevitalisasi menjadi sesuatu yang baru.  Kesadaran atas kebaruan-kebaruan ini menjadi picu kinerja otak dengan segenap jalinan pusat-pusat kecerdasan yang mengarah pada titik orientasi kreatif untuk memunculkan gagasan-gagasan baru yang lebih kontekstual dan fresh.
Imajinasi dipetakan William C. Chittick (2001: 124) menjadi tiga tingkatan dasar: kosmos itu sendiri, alam makrokosmis antara dan mikrokosmis antara.  Ciri yang paling menonjol adalah ambiguitas sifat dasarnya.  Bayangan mimpi, penting untuk dijelaskan baik menurut pengalaman subjektif maupun muatan objektifnya bahwa bayangan mimpi tersebut bisa benar juga bisa tidak, karena bisa jadi menurut seseorang kejadian tertentu itu tampak sementara menurut orang lain tidak seperti yang pernah di nyatakan Ibnu ‘Arabi yang menyebut alam semesta dengan ‘imajinasi’.  Ambiguitas intrinsik dari alam imajinasi tampak membawa entitas-entitas ruhaniah ke dalam hubungan dengan entitas jasmaniah yakni dengan meberikan realitas psikis dengan atribut-atribut yang bersifat fisikal. (Chittick, 2001: 124).
Rumusan-rumusan imajinasi di atas sudah barang tentu cukup berbeda dari konteks imajinasi yang kita bayangkan berkaitan dengan aktivitas seni apalagi pada konteks pendekatan proses penciptaan seni.  Namun, di sini picu utama Ibnu ‘Arabi mengenai alam semesta sebagai imajinasi memberi kesadaran mental kita bahwa bagaimana sebuah persepsi dibangun begitu filosofis sementara aspek yang ditafsir dan diidentifikasi adalah sesuatu yang sebenar-benarnya realistis.  Akarnya justru di sini, sebuah hentakan yang perlu perumusan-perumusan ulang mengenai imajinasi atas realitas yang terhampar begitu luas di semesta yang semula sesungguhnya representasi dari imajinasi Tuhan tentang semesta.  Kita diberikan keluasan untuk melakukan eksplorasi dan interpretasi-interpretasi bebagai gejala yang mengemuka di alam semesta.  Ketika semesta di dekati dengan kata imajinasi maka sesungguhnya teks ini menggiring interpretasi kita bahwa alam sebagai sumber inspirasi, sumber imajinasi, sumber nilai dan sumber aktivitas kreatif serta kebaruan-kebaruannya.  Bukankah semua ilmu pengetahuan yang juga dipicu oleh kekuatan imajinasi manusia bersumber dari berbagai ‘gejala’ fenomena yang alam semesta sajikan ke hadapan manusia?
Kekuatan imajinasi mengilhami Newton membangun teori gravitasi karena apel yang jatuh di kebunnya, yang menggugah pikirannya bahwa buah apel tersebut telah ditarik ke bumi oleh gravitasi karena konsep ini sudah lama ada sebelum dia menyempurnakannya.  Ini sesunnguhnya sebuah kesadaran penting bagi pelaku budaya dan sains yang memiliki peran penting laju peradaban dunia.  Nah, saat Newton dipicu kesadaran atas jatuhnya buah apel yang menggugah imajinasi bahwa daya gravitasi yang telah mencapai puncak pohon apel ini sebenarnya terus mencuat ke luar bumi hingga mencapai bulan dan gravitasi ini pula yang telah menahan bulan itu dalam orbitnya. 
Sama ketika Keppler, berusaha menguak misteri alam semesta 100 tahun sebelum Newton, merumuskan hukum-hukum gerakan planet melalui pandangan-pandangan imajinatif-kreatif bahwa ia tak memikirkan hal tersebut sebagai suatu keseimbangan dari neraca bank kosmis namun sebagai sebuah ungkapan dari adanya kesatuan dalam semua kenaturalan ‘unity in all nature’.  Fakta ini hendak menyampaikan bagaimana proses penggelontoran gagasan imajinatif dilakukan secara spektakuler sebagai tonggak sejarah dan ilmu pengetahuan.  Tanpa keberanian mengajukan hipotesis dan melakukan serangkaian kajian atau penelitian maka ilmu pengetahuan tak pernah lahir dan berkembang.
Dalam konteks sejarah kebudayaan, landscape semesta juga menjadi picu utama kreativitas dan pengembaraan imajinasi.  Karya-karya legendaris lahir melalui proses kreatif yang panjang dan perjuangan ideologi estetika yang melelahkan.  Begitu banyak hal yang dikorbankan mulai dari aspek waktu, orientasi studi, kekuatan pikiran, materi, dan mengorbankan kebahagiaan-kebahagiaan yang ditunda untuk memprioritaskan proses kreatifnya.  Proses kreatif kemudian dapat dianggap melekat dengan proses hidup itu sendiri.  Kepahaman dan pemahfuman ini diyakini sejak jamam klasik hingga era kontemporer.  Dan, tetap menjadi bagian yang menarik untuk dibanggakan sebagai suatu identitas dan prestige.
Legendaris dunia Leonardo da Vinci, Rembrant van Rijn, Theodore Gericoul, Gustave Courbet dan J. Louis David adalah sedikit dari banyak seniman dunia yang memiliki ketangkasan dan muli talenta sebagai manusia yang dianugerahi menguasai banyak hal mulai dari pengetahuan filsafat hingga kepiawaian teknik.  Saat itu mereka ditempa dengan realitas yang memungkinkan untuk menggali dan menguasai berbagai pengetahuan teknik (bahan, material dan proses) termasuk teknik sederhana pembuatan warna yang diolahnya sendiri.  Mereka sesungguhnya berada dan langsung berhadapan dengan tuntutan untuk menguasai ilmu kimia dan pengetahuan dasar teknologi.  Kemudian bergeser ke periodesasi seni modern dan posmodern dimana semua bahan dan teknologi dapat disediakan pasca-industri hingga saat ini seniman dibebaskan memilih dan menentukan penggunaan media apa saja untuk mewujudkan gagasan kreatifnya.  Dari hal-hal yang bersifat materi yang melekat pada kata seni hingga pencanggihan aplikasi teknologi dalam mengeksekusi konsep seni yang diusung.
Fakta sebagai akibat logis dari zaman Renaisance munculnya revolusi intelektual, demokrasi, dan teknologi. (Djatiprambudi, 2009: 86).  Revolusi intelektual berdampak pada mencuatnya perkembangan ilmu pengetahuan, revolusi demokrasi mengakibatkan atmosfer kebebasan berpikir dan bertindak masyarakat dunia melonjak, dan kemunculan revolusi teknologi membuka ruang baru pada masyarakat dunia di era globalisasi hingga saat ini.  Hal tersebut secara signifikan mempegaruhi pergulatan kreatif seniman sehingga banyak memunculkan faham seni lukis yang pada saat itu berkembang pesat, mulai dari kelahiran Neoklasikisme sampai Abstrak kemudian mencuatnya era postmodernisme atau seni kontemporer: Pop Art, Op Art, Super Realism, Happening Art dan Conceptual Art.  Sebuah revolusi besar-besaran memberi pengaruh luar biasa pada kebebasan mempresentasikan konsepsi, pengayaan gagasan imajinatif, dukungan pencapaian ide secara teknologi, keliaran kreativitas ‘visual shock’, dan tanda penting perkembangan peta seni rupa dunia.
Pada era post-modernisme, peranan teknologi merambah kemana-mana termasuk melecutkan  berbagai pergeseran konsep visual, pencapaian teknis, persilangan media yang sangat eksploratif dan melahirkan berbagai pandangan filsafat sehingga berdampak pada pergeseran perspektif estetika.  Masing-masing seniman mengusung paradigma sendiri-sendiri sebagai langkah besarnya untuk strategi identifikasi yang mampu mencuri perhatian para filsof untuk mendekati cara berpikir dan kreativitasnya, misalnya kaum modernis yang mempersoalkan struktur dan konstruksi seperti Piet Mondrian, Adolf Loos, dan Brancusi.  Ada pula yang menggali esensi bentuk sebut saja Picasso, Delaunay dan Branque, kemudian beberapa yang menawarkan persoalan bentuk biomorfik seperti W. Kandinsky, Joan Miro dan Paul Klee.  Bisa kita amati juga pada konsep estetika Monet yang menawarkan pemikiran relasi cahaya dengan warna dan konsep Le Courbusier yang memanifestasikan elemen-elemen organik pada perencanaan konsep arsitektur.
Pada era kontemporer, konsep estetika secara ekstrim dilontarkan para perupa kontemporer dengan jargon anti estetika keselarasan yang mengedepankan untuk memperoleh seni dengan kehidupan.  Picu ini berakibat positif dengan gairah luar biasa pada praktik-praktik seni eksperimental pasca–industri yang dituntaskan secara gila-gilaan oleh Christo, Joseph Beuys, Robert Morris, dan sederet avant garde dunia.  Konsep-konsep avant garde setengah abad kemudian membius kelompok Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia yakni sebuah gerakan kesenian yang tak lagi berusaha menyuguhkan ‘isme’ tertentu namun menonjolkan dimensi seni esperimental dan kebaruan gagasan dengan the ultimate purity.  Konsep estetika bergeser dan runtuh satu persatu atas bantahan-bantahan dengan kemunculan berbagai teori seni baru yang menjungkirbalikkan konsep dan fakta estetik dengan the end of art theory.
Imam Buchori dalam Djuli Djatiprambudi (2009: 88) mencatat beberapa paradigma penting yang menggejala; (1) penolakan faham unity dan harmoni karena dianggap mengisolasikan objek seni dengan kehidupan, (2) penolakan konsep ideal (seperti keindahan) sebagai unsur akhir seni, (3) penolakan sikap kontemplatif berseni, (4) penolakan pada disinterestedness.  Tak ada batas antara objek seni dan kehidupan dengan menolak ‘mengagung-agungkan’ keunikan seni.  Seni bukan ekspresi belaka namun aspirasi yang memiliki dua dimensi sekaligus yakni dimensi spiritual dan fungsional.  Pandangan ini kemudian memicu kelahiran karya-karya happenning art dan conceptual art.

C.    Peran Semantic Interpretation Dalam Proses Kreatif
Semantik semula dirujuk dari bahasa Yunani yakni semantikos memberikan tanda, penting dari kata sema sebagai tanda yang mengandung makna to signify atau memaknai.   Sebagai istilah teknis, semantik mengandung pengertian ‘studi tentang makna’ yang merupakan cabang linguistik dalam mempelajari kandungan makna pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain.   Semantik seringkali dikaitkan dengan dua aspek lain: sintaksis, pembentukan simbol kompleks dari simbol yang lebih sederhana, dan aspek pragmatika, penggunaan praktis simbol oleh komunitas pada konteks tertentu.  Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari linguistic yang memiliki relasi kompenen yang sesuai dengan kenyataan bahwa, a) bahasa pada awalnya merupakan bunyi-bunyi abstrak yang mengacu pada adanya lambang-lambang tertentu, b) lambang-lambang merupakan seperangkat sistem yang memiliki tataan dan hubungan tertentu, dan c) seperangkat lambang yang memiliki bentuk dan hubungan itu mengasosiasikan adanya makna tertentu (Palmer, 1981 : 5).
Aristoteles seorang pemikir Yunani (384-322 SM) adalah pemikir pertama yang menggunakan intilah ‘makna’ melalui batasan pengertian kata sebagai satuan terkecil yang mengandung makna dan makna kata itu dapat dibedakan antara makna yang hadir dari kata itu sendiri secara otonom, serta makna yang hadir akibat terjadinya hubungan gramatikal (Ullman, 1977: 3).  Konsep Plato (429-347 SM) dalam Cratylus mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung makna-makna tertentu.  Tahun 1825, C. Chr. Reisig seorang berkebangsaan Jerman mengemukakan konsep baru tentang grammer meliputi tiga unsur utama, yakni 1) semasiologi: ilmu tentang tanda, 2) sintaksis: studi tentang kalimat, serta 3) etimologi: studi tentang asul-usul kata sehubungan perubahan bentuk maupun makna. (Aminuddin, 1988: 16).
Interpretasi semantik merupakan penentuan makna dari kata, frase dan kalimat, dan cara bagaimana sebuah maksud atau makna disampaikan dalam bahasa alami.  Semantic interpretation secara tegas menyampaikan preposisi (berkaitan dengan nilai atau makna) dari sebuah teks.  Teks ini bisa dimaknai secara luas, bahwa dalam dunia kreatif teks bisa berupa teks sesungguhnya juga dapat berupa teks visual, bunyi, irama dan harmonisasi semua aspek yang dapat dicerap dan diinterpretasikan.  Konsep semantic interpretation biasanya digunakan dalam wacana industri kreatif (entertaintment, film, iklan dan media multimedia lainnya) untuk mengetengahkan berbagai macam persoalan wacana (diskursif) dan untuk mengelola aspek gagasan sebagai hal terpenting untuk membangun sebuah sistem nilai di dalamnya.  Kesemua itu dimaksudkan mampu mengalihbahasakan gagasan dan visi verbal dalam transformasi visual sebagai gugusan tanda yang mampu membangun interpretasi lebih dalam dari aspek yang mengemuka secara fisik.  Unsur visual (non verbal) lebih dikedepankan yang berperan memprovokasi indera penglihatan yang kemudian berinteraksi merangsang kinerja syaraf otak manusia dalam sebuah sistem kerja neurologis untuk memproduksi interpretasi-interpretasi dan mengontruksi nilai-nilai.
 Menyadari realitas di atas, bahwa bahasa sebagai media komunikasi bagi manusia memiliki fungsi yang sangat kompleks dan beragam.  Semantik interpretation memiliki relasi pokok dengan berbagai ilmu lain: filsafat, psikologi, dan antropologi.  Seperti di ungkapkan Halliday (1976: 21) bahwa bahasa memiliki fungsi:
1)  instrumental, alat untuk memenuhi kebutuhan material,
2) regulatory, mengatur dan mengontrol perilaku individu yang satu dengan yang lain   dalam suatu hubungan sosial,
3) interaksional, menciptakan jalinan hubungan antara individu yang satu dengan yang lain maupun kelompok yang satu dengan lain,
4)  personal, media indentifikasi dan ekspresi diri,
5)  heuristic, untuk menjelajahi, mempelajari, memahami dunia sekitar,
6)  imajinatif, mengekpresikan dunia dalam kesadaran dunia bathin seseorang,
7) informatif, media dalam kegiatan komunikasi, menafsirkan, memahami keseluruhan pengalaman bathin seseorang dalam menghadapi berbagai fenomena sekitar, menyertai proses kesadaran batin, mengatur sejumlah fenomena dalam berbagai kelas-katagori sesuai dengan jenis objek, ciri proses maupun bentuk masyarakat maupun institusi, dan sebagainya.
 Pada pendekatan psikologi behaviorisme dalam kajian makna lebih dipandang sebagai bentuk responsi terhadap stimuli yang diperoleh dari pemeranan dalam komunikasi sesuai dengan asosiasi maupun hasil belajar yang dimiliki (Paivio dan Begg, 1981: 94).  Asosiasi makna ditentukan oleh bentuk prilaku realitas yang diacu lambang kebahasaan.  Pendekatan psikologi kognitif dalam pengkajian makna dapat dibedakan dua kelompok, antara lain;  kelompok yang lebih banyak berorentasi pada teori psikologi kognitif dan berorentasi pada liguistik.  
Ketika menyusun interpretasi semantik dalam konteks proses kreatif warna mempunyai penting, fungsi, dan peranannya tiada terbatas.  Elemen warna dapat berintegrasi kedalam bentuk seluruh unsur yang membangunnya.  Unsur ini mempunyai tanda-tanda yang sangat lengkap dalam dimensinya yaitu: hue, intensity, tone value, length, width, direction and general character.  Warna mempunyai asosiasi, memiliki sesuatu rangsangan sifat dan emosi terhadap pribadi seseorang, sebagai berikut:
1)    Merah mempresentasikan perasaan atau membangun citra tertentu; cinta, nafsu, kekuatan, berani, premitif, menarik, bahaya, dosa, pengorbanan, dan vitalitas.
2)    Merah jingga mempresentasikan perasaan atau membangun citra tertentu;  semangat, tenaga, kekuatan, pesat, hebat. Jingga : hangat, semangat muda, ekstrimen, menarik
3)    Kuning jingga mempresentasikan perasaan atau membangun citra tertentu; kebahagiaan, kehormatan, kegembiraan, optimisme, dan terbuka.
4)    Kuning mempresentasikan perasaan atau membangun citra tertentu; cerah, bijaksana, terang, bahagia, pengecut, dan penghianatan.
5)    Kuning hijau mempresentasikan perasaan atau membangun citra tertentu; rasa persahabatan, persahabatan baru, rindu, gelisah, dan berseri.
6)    Hijau muda mempresentasikan perasaan atau membangun citra tertentu; tumbuh, cemburu, irihati, kaya, segar, istirahat, dan senang.
7)    Hijau biru mempresentasikan perasaan atau membangun citra tertentu; tenang, santai, diam, lembut, setia, dan kepercayaan.
8)    Biru mempresentasikan perasaan atau membangun citra tertentu; damai, setia, konservatif, pasif, iklas, terhormat, defresi, lembut, dan menahan diri.
9)    Biru ungu mempresentasikan perasaan atau membangun citra tertentu; spiritual, kesuraman, hebat, kematangan, sederhana, rendah hati, dan keterasingan.
10)    Ungu mempresentasikan perasaan atau membangun citra tertentu; misteri, kuat, supremasi, melankolis, pendiam, agung, dan mulia.
11)    Merah ungu mempresentasikan perasaan atau membangun citra tertentu; tekanan, intrik, drama, terpencil, penggerak, dan teka-teki.
12)    Coklat mempresentasikan perasaan atau membangun citra tertentu; hangat, tengang, alami, bersahabat, sentosa, dan rendah hati.
13)    Hitam mempresentasikan perasaan atau membangun citra tertentu; kuat, duka cita, kematian, resmi, keahlian, dan tidak menentu.
14)    Abu-abu mempresentasikan perasaan atau membangun citra tertentu; tenang.
15)    Putih mempresentasikan perasaan atau membangun citra tertentu;  harapan, senang, murni, lugu, bersih, spiritual, pemaaf, cinta, dan terang.
Pada aktivitas seni masa lampau penggunanan warna lebih bersifat simbolis dan setiap warna memiliki arti pelambang sekaligus memiliki makna bersifat mistik.  Biasanya masing-masing warna memiliki makna khusus berlaku degan konvensinya yang luas dan seringkali   melambangkan muatan filosofis karya mempunyai hubungan tertentu dengan interpretasinya mengenai bencana atau kejahatan.  Sebuah gambaran beberapa warna yang memiliki nilai perlambang secara umum:
1)    Merah: dari semua warna, merah adalah warna terkuat yang paling menarik perhatian, memiliki sifat agresif dan lambang primitif. Warna ini diasosiasikan sebagai darah, merah, berani, seks, bahaya, kekuatan, kejahat-an, cinta, dan kebahagiaan.
2)    Merah keunguan: memiliki karaktristik mulia, agung, kaya, bangga (sombong), keangkuhan, dan mengesankan.
3)    Ungu: karakteristik warna ini adalah sejuk, negatif, mundur, tenggelam, khidmat, kontemplatif, dan suci.
4)    Biru: warna ini memiliki karakteristik sejuk, pasif, dan damai. Biru merupakan warna perspektif, dingin, membuat jarak, melambangkan kesucian harapan dan kedamaian.
5)    Hijau: warna ini memiliki karakter yang hampir sama dengan biru.  Warna Hijau relatif netral, pengaruh emosi mendekati pasif, dan lebih bersifat istirahat.  Hijau melambangkan perenungan, kepercayaan (agama), dan keabadian.
6)    Kuning: warna Kuning adalah kumpulan dua fenomena penting dalam kehidupan manusia yaitu, (a) kehidupan yang diberikan oleh matahari dan emas sebagai kekayaan bumi.  Kuning adalah warna cerah yang sering dilambangkan sebagai kesenangan atau kelincahan. Bila merah dan biru melambangkan jantung dan roh, maka kuning melambangkan intelektual. (b) kuning adalah warna yang paling terang setelah putih tetapi tidak semurni putih.  Kuning mengandung makna kemuliaan cinta serta pengertian mendalam dalam hubungan antar manusia.
7)    Putih: warna putih memiliki karakter positif, merangsang, cemerlang, ringan dan sederhana.  Putih melambangkan kesucian, polos, jujur, dan murni.
8)    Abu-abu: bermacam-macam warna abu-abu dan berbagai tingkatan melambangkan rasa sopan dan sederhana.  Oleh karena itu, warna ini melambangkan orang telah berumur matang dengan kapasitasnya sabar dan rendah hati. Abu-abu juga melambangkan intelegensia, tetapi juga mempunyai lambang keragu-raguan, tidak dapat membedakan mana penting dan tidak penting.  Karena sifatnya yang netral maka abu-abu sering dilambangkan sebagai penengah.
9)    Hitam: warna hitam melambangkan kegelapan, ketidakhadiran cahaya dan menyerap cahaya sehingga tidak mampu menolak panas.  Hitam manandakan kekuatan yang gelap, lambang misteri, dan presentasi warna malam.  Umumnya hitam diasosiasikan dengan sifat negatif.  Ungkapan seperti kambing hitam, ilmu hitam (black magic), daftar hitam, pasar gelap (black market), daerah hitam (black list) adalah tempat yang menunjukkan sifat-sifat negatif itu.  Warna hitam dapat menunjukkan sifat-sifat yang positif yaitu tegas kukuh, formal, dan struktur yang kuat (Wong, 1985: 57). 
Paparan ini menegaskan bahwa warna memiliki arti perlambang yang tidak dapat dikesampingkan dalam hubungan dengan interpretasi semantik yang mampu memberikan dimensi pengalaman spiritual yang lebih komprehensif. Berkaitan dengan linguistik, semantic interpretation memiliki begitu dalam makna yang mengemuka jika digali dengan kesadaran lokal yang memiliki kaitan dengan makna dari kata, frase, kaliamat atau sistem.  Kesemuanya dapat diterapkan dalam aktivitas berkesenian dengan memasuki dimensi yang terelasi dengan berbagai aspek yang tersembunyi dari suatu fenomena.  Dengan interpretasi semantik dapat membaca kembali semua peristiwa, persoalan hidup, dan menelaah fenomena kebudayaan secara lebih analitis-kritis sehingga menemukan diri sendiri berhubungan dengan istilah-istilah seperti penanda, petanda, ikon, kode, indeks dan berbagai macam dari kebahasaan.
Interpretasi simantik dipergunakan sebagai instrumen untuk menginterpretasi suatu fenomena menjadi gagasan imajinatif atau dapat menggali nilai dari sebuah karya seni maupun aktivitas budaya.  Tinjauan operasional semantik berfungsi membantu melihat atau mencermati hubungan antara subtansi karya seni melalui bahasa ekspresi yang mengonstruksi dalam wilayah kajian estetika baik penerjemahan nilai estetik (ideoplastis dan fisikoplastis), dari sesuatu yang tangible maupun aspek intangiblenya. Seorang seniman yang mengolah kemampuan berpikir kreatif dalam melahirkan gagasan kreatif melalui tiga syarat penting yakni; (1) kreativitas melibatkan kekuatan responsibilitas terhadap lingkungannya dalam melahirkan gagasan baru; (2) kreativitas berperan memecahkan realitas secara realistis; (3) kreativitas merupakan usaha untuk menemukan insight yang orisinal dan distingsi.   Faktor pendorong lainnya untuk berpikir kreatif adalah kemampuan kognitif berkaitan pada kinerja dan pemberdayaan potensi otak (khususnya otak kanan), sikap terbuka, bersifat bebas, otonom, dan memiliki kepercayaan diri yang andal.
Dalam kontek dunia seni sering terjadi kesamar-samaran (pesan implisit) dan ketaksamaran (eksplisit) yang justru dimanfaatkan untuk memperkaya gagasan yang disampaikan dengan output memproduksi interpretatif yang kaya.  Makna implisit suatu bahasa sebenarnya membuka ruang diskursif bahasa itu sendiri multi interpretatif, yakni sebagai fungsi simbolik, fungsi emotif dan fungsi afektif.  Selain itu adanya sinonim, hiponimi, dan ketaksaan makna.  Analogi sederhana ketika di masyarakat Jawa untuk mengekspresikan duka cita melalui berbagai macan representasi warna bendera, ada sebagian masyarakat yang menggunakan bendera warna putih, kuning dan putih.  Warna tersebut dikonfensikan sebagai simbol duka cita, kematian, dan berkabung.  Kemudian ritual siraman kembang tujuh rupa, wilujengan dan jamasan merupakan potret aktivitas budaya lokal yang melekat di masyarakat Jawa dengan interpretasi khusus khas Kerajawian.  Penerjemahan jadi bisa berkembang lagi ketika dimensi spiritual dan agama memasukan faham dan dogmanya yang kemudian akan segera menjadi proses produksi tanda yang bisa dilacak melalui kajian maupun pendekatan semiotika, hermeneutika dan antropologis.  Hal ini sebuah bentuk reposisi lokalitas terhadap universalitas yang dibawa arus globalisasi.
Semantic interpretation memiliki peran penting dan strategis untuk mengasah kemampuan mengartikulasikan ide-ide (konsepsi) kreatifnya secara koheren, menyatu, dan melekat sebagai otonomi karya seni. Semantic interpretation dapat pula digunakan sebagai item indikator dari gaya pribadi atau semacam identitas ‘karakteristik’ individu kreator dalam proses identifikasi dan berdaya saing. Seorang kreator, pemikir, intelektual dan pelaku kebudayaan lainnya sudah barang tentu harus memiliki kemampuan menerobos keluar batas-batas dunianya yang sempit, keluar dari labirin, dan harus bersikap egaliter, militan, tekun, memiliki pemahaman yang baik, melakukan studi banding, sharing, reflektif, memiliki kesadaran melakukan otokritik.  Bekal otokritik menjadi bagian penting karena disini seniman kreatif mengandalkan sisi spiritualitasnya untuk menggali aspek local genius sebagai filter dan referensi pokok dalam melakukan tindakan kreatif.

D.    Reposisi Lokalitas dan Paradoks Globalisasi
Paradoks globalisasi pernah dikemukakan Daniel Bell dalam bukunya The Culture Contradictions of Capitalism (1976) memaparkan bahwa Sejarah kapitalisme dimulai dengan bangkitnya ethos Protestanisme.  Ethos ini melahirkan pemahaman masyarakat menggerakan prinsip menggunakan uang untuk menciptakan uang sebagai langkah memenuhi panggilan agama, yaitu memajukan kesejahteraan untuk mencapai keselamatan. Untuk mencapainya orang harus bekerja keras dan menganggap bekerja keras itu menyenangkan.  Jadi ada nilai moral yang mendasarinya. Ironisnya sorga yang diangankan melalui kerja keras ternyata jauh panggang dari api. Kemudian revolusi industri memangkas harapan itu yang melahirkan kelas borjuis yang tidak memberi kesempatan pada orang yang bekerja keras, kelas baru antara lain buruh dan kelas untuk menikmati kesenangan yang dimiliki dan dinikmati hanya oleh para pemilik modal yang lebih banyak bersenang-senang dibanding orang yang bekerja keras. Budaya semacam ini terjadi dimana-mana termasuk di Indonesia saat ini.
Ekses globalisasi merambah ke semua lini, bagi perkembangan ekonomi sekaligus perkembangan dan perubahan kebudayaan begitu luar biasa.  Akselarasi globalisasi yang terus-menerus ditingkatkan, diperluas, dan dipercepat mengikuti hitungan deret ukur maka dunia dan aktivitas kehidupannya dipaksa mengubah atau menyesuaikan diri dengan kecepatan yang sama.  Terjadi penyeragaman kepentingan, tujuan, visi, dan keseragaman selera.  Dari cita rasa pandangan mata hingga cita rasa makanan yang coba diseragamkan Amerika dan Eropa.  Si lumpuh harus menyamakan kecepatannya dengan seorang penggila Lamborgini.  Masyarakat tak mampu harus sama kemampuannya dengan  kaum borju dalam memasukkan anaknya ke kampus unggulan atau universitas favorit dunia, dengan biaya yang tak masuk akal.
Kapitalisme membangun kondisi kemanusiaan yang mengenaskan yakni berperan mendorong ketercerabutan individu dari masyarakat dan tradisi budayanya.  Kondisi seperti  sebagai manifestasi keterasingan dan kesebatangkaraan individu modern dalam masyarakat pasar global yang hiruk pikuk, serba instan, emosional, nestapa disebabkan kesepian dan hidupnya hampa makna.  Secara kultural dampak buruk globalisasi dengan perubahan selera masyarakat kota-kota besar yang memiliki kecenderungan ingin serba cepat dan praktis.  Hal ini bias dilacak kapan saja bagaimana antrean menggairah KFC, Mc Donald, Pizza Hutt, Hoca-Hoca Bento , dan lain-lain bukan karena ingin memenuhi kebutuhan memperoleh makanan yang lezat dan bergizi. Namun lebih disebabkan dorongan gengsi, tren, dan merasa sudah paling berbudaya ketika dirinya dihasratkan ialah menjadi Americanize secara instan. 
Menurutnya Sutan takdi Alisyahbana modernisasi sebagai dampak dari penjajahan, kedudukan bangsa Indonesia menjadi sangat terpuruk, miskin dan terkebelakang. Untuk mendorongnya bangkit, kondisi kebudayaannya harus diperbaiki mulai dari etika, nilai kesadaran moral, nilai kesadaran spiritual, membangun etos, keberadaban (civility) dan nilai kebajikan.  Karena dengan mengubah pemikiran, pandangan hidup dan semangat menghargai ‘memelihra’ kebudayaannya, bangsa Indonesia bisa mampu bangkit sebagai bangsa yang maju, mandiri dan berkarakter.  Konsep yang diperlukan ialah yang dinamis, Sutan Takdir Alisyahbana berkesimpulan bahwa yang terpenting dalam membangun kebudayaan nasional yang modern ialah etika dalam kaitannya dengan nilai-nilai luhur yang sering dinyatakan oleh Ki Hadjar Dewantara.  
Kebudayaan sebagai keseluruhan aspek gagasan dan aspek nilai, proses nilai-nilai termanifestasi melalui perilaku, perbuatan, perkembangan benda-benda rohani dan jasmani manusia yang berintegrasi dalam suatu pola atau konfigurasi. Karena kebudayaan adalah penjelmaan nilai-nilai, maka persoalan terpenting bagi kita yang ingin membangun teori kebudayaan ialah membuat pengelompokan secara teliti tentang nilai-nilai.  Edward Spranger dalam bukunya Lebensformen (1921) membagi enam nilai yang membuat suatu kebudayaan terjelma:
(1) Nilai teori yang menentukan identitas sesuatu;
(2) Nilai ekonomi yang berupa kegunaan atau utility;
(3) Nilai agama yang berbentuk kekudusan atau das Helige;
(4) Nilai seni yang menjelmakan ungkapan rasa atau expresiveness;
(5) Nilai kuasa atau politik;
(6) Nilai solidaritas yang menjelma dalam cinta, persahabatan, gotong royong, kesadaran  kelompok, dan lain-lain.
Nilai-nilai tersebut melekat pada semua kebudayaan, masyarakat, pribadi manusia yang masing-masing memiliki pula logika, tujuan, norma dan realitas yang berbeda-beda.  Kemudian secara laten terbentuk dalam suatu integrasi; pribadi, golongan masyarakat atau komunitas yang penopang suatu kebudayaan.  Sebuah kebudayaan akan tangguh dan lestari jika nilai teori dan ekonomi bekerjasama kekuatan lokal genius yang tumbuh dalam suatu masyarakat serta kekuatan religiusitasnya. Jika nilai religuisitas bersanding dengan seni kan mampu membentuk karakteristik masyarakat dalam mengolah aspek ekspresif yang ideal dalam kebudayaan yang sarat dengan nilai-niai luhur.  Sebab religiusitas dan seni memiliki kesamaan yang dikonstruksi kekuatan hasrat, kedalaman perasaan, ketakterbatasan imajinasi, keyakinan yang bertumpu pada trust, dan kepekaan intuisi.  Nilai-nilai seni yang tidak topang oleh nilai religius dan sejumah aspek keilmuan yang maslahat akan cenderung dekaden.  Sehingga dalam sebuah aktivitas kebudayaan seharusnya kesemua aspek penting tersebut berkongsi.
Subjek transendental penting untuk mewujudkan isi perkembangan dunia melalui sesuatu yang dapat dipahami secara rasional termasuk secara khusus adalah pada aspek kebudayaan. Seperti yang selalu diingatkan oleh Immanuel Kant dalam membagi kebudayaan pada dua aspek realitas atau kenyataan yakni apa yang disebut sebagai fenomena dan apa yang disebut sebagai noumena.  Fenomena merupakan presentasi dunia empiris yang menggejala, dan noumena ialah presentasi dunia yang bersifat das Ding Ansich (ada dalam dirinya sendiri), tidak diketahui secara rasional. Kemudian Immanuel Kant memberi ruang pada agama dan ruang pada kegiatan estetika untuk mencapai kenyataan noumena dengan melahirkan nilai-nilai yang bersifat diskursif.  Setiap kebudayaan memiliki kecenderungan corak tertentu yang terus menerus mengalami transformasi melalui aktivitas seni. 
 Dalam konteks reposisi lokalitas atas universalitas selalu dikaitkan dengan bagaimana sebuah kebudayaan dikembalikan pada prinsip-prinsip sebuah kebudayaan mulanya dibangun.  Reposisi Timur, sebut saja Jawa tentu haruslah ditarik benang merah persolan disorientasinya kemudian dilakukan reorientasi terhadap prinsip dasar kebudayaan yang kita sebut sebagai elant vital atau akar sebuah kebudayaan diacu ‘local genius’.  Gagasan-gagasan semacam ini  secara implisit dapat ditelusuri pada pemikiran banyak filosof sejak lama, baik filosof Timur maupun Barat seperti Kon Fu Tze, Meng Tze, Imam al-Ghazali, Jalaluddin Rumi, Rosseau, dan Immanuel Kant.  Keseluruhan aspek atau muatan local genius seharusnya diacu sebagai bagian penting falsafah hidup masyarakat setempat untuk infiltrasi terhadap arus budaya yang tak besesuaian dengan kebutuhan, pemikiran, sikap mental, harkat-martabat dan cita-cita luhur sebuah bangsa maupun pribadi-pribadi yang tetap menjunjung nilai luhur budaya adiluhungnya. Jika kebudayaan sebagai dasar sistem pendidikan kita, pengembangan metode pengajaran, dan revitalisasi mutu kurikulum yang berkelanjutan terus disesuaikan dengan spirit jiwa jaman.  Yang utamanya berorientasi pada bagaimana mendidik generasi masa depan yang memiliki jati diri (karakteristik), mental yang tangguh dan mengenal dengan baik secara mendalam kebudayaan bangsanya sendiri.  Hal ini pula yang mengikat kokohnya masyarakat berbangsa dan mengembangkan dirinya yang menjadikan budaya sebagai falsafah hidup yang diimplementasikan secara holistik. 

E. Meraba Eksotika Visual Seni Rupa Kontemporer dan Upaya Penggalian Local Genius
1.  Penggalian Local Genius dan Eksotika Visual Seni Kontemporer
Masih segar dalam ingatan masyarakat kita mengenai terobosan dunia industri otomotif dengan kelahiran konsep Mobil ‘Nasional’ Esemka sebagai produk mutakhir teknologi lokal di Solo. Sehari menjelang keberangkatan Mobil Esemka untuk menjalani sejumlah ujia kelayakan dan uji emisi ke Balai Thermodinamika Motor dan Propulsi (BTMP) di kawasan LIPI Serpong Tangerang, Pemerintah Kota Solo menggelar Wilujengan dan Jamasan Mobil Esemka tepat pada Kamis malam Jumat (23/02/2012).  Penentuan waktu pergelaran Wilujengan dan Jamasan tentu bukan pilihan yang main-main dengan memilih kekuatan secara spiritual malam Jumat, bentangan ruang dan waktu tersebut bisa saja diasosiasikan secara luas.  Layaknya upacara selamatan dalam adat Jawa, Wali Kota Solo Joko Widodo menyiapkan ritual khas Kerajawian dengan media satu set tumpeng lengkap yang berisi nasi gurih, ingkung, sambel goreng ati dan kedelai hitam.  Sebagai pelengkap upacara sebuah bejana perak berukuran cukup besar yang berisi air dan kembang setaman tujuh warna pun disiapkan untuk menjamasi mobil yang fenomenal tersebut dengan sejumlah harapan mengenai kebaikan dan kesuksesan projek Esemka yang berdampak pada keharuman masyarakat Solo.
Aura sakral begitu terasa di seluruh bagian ruang Teaching Factory SMK, Jl Ki Hajar Dewantara Jebres Solo lokasi digelarnya ritual magis namun eksotis.  Sebuah unit mobil Esemka bernomor polisi AD 1 A yang dihiasi untaian kembang setaman di seluruh bagian mulai dari kap depan, atap mobil, hingga bagian belakang mobil dengan iringan tembang Dandang Gula berikut tari putri sesaji, Wahyu Santoso Prabowo sebagai penari utama atau “pancer” dikelilingi empat penari putri, memulai ‘jamasan’ di Solo Techno Park (STP).  Joko Widodo menyatakan bahwa ritual jamasan biasanya dilakukan terhadap benda yang dianggap penting dan memberi pengaruh pada jiwa seseorang dalam tradisi masyarakat Jawa yang sering diselenggarakan di Keraton Kasunanan Surakarta pada upacara-upacara khusus.  Pepatah Jawa menuturkan: Desa mawa cara, negara mawa tata. Beda daerah, beda masyarakat, beda pula tradisi dan tata caranya. Keberadaan bunga sesaji mengandung nilai filosofis tinggi, tanpa pemahaman dan informasi atas makna terkandung dalam sesaji bunga maka mudah timbul prasangka dan anggapan sempit, terkadang tidak sesuai dengan gagasan dan nilai filosofis yang ingin disampaikan.
Begitu banyak contoh yang bisa menjabarkan secara gamblang mengenai shock culture dengan eksotika visual, sebut saja Borobudur dan sederet arsitektur candi Hindu-Budha yang melekat menjadi bagian dari kebudayaan kita sebagai kekayaan budaya dunia.  Tak sekadar eksotika visual yang mengedepan pada aspek arsitekturalnya namun kandungan nilai filosofis dan nilai spiritual yang menjadi ruhnya.  Ruh inilah yang menghubungkan masa kini dengan sejarah masa lampau, bagaiana sebuah kebudayaan bergerak dari masa pra-sejarah ke masa sejarah dan bergerak dengan derajat perubahan sistem kebudayaan masyarakat modern hingga posmodern.  Rangkaian kisah masa lalu dijalin dalam tubuh sejarah yang disana-sini bertebaran simpul penanda penting kebudayaan sebagai shock culture bagi munculnya perubahan dan perkembangannya.
Ada banyak kecenderungan dalam memahami dan memberi arti terhadap kebudayaan dan ada banyak pula kecenderungan dalam menghubungkan kebudayaan dengan modernitas dan perkembangan masyarakat. Di antara kecenderungan yang dominan ialah pemahaman yang berangkat dari model pembangunan positivistik yang dapat dirunut pada falsafah Comte. Dalam memahami sejarah masyarakat Comte menggunakan model pemahaman linear hirarkis atau gerak mendaki maju. Dalam falsafahnya Comte menggambarkan perkembangan masyarakat dari tahapan primitif menuju tahapan maju (progressif) secara evolusioner. Yaitu dari tahapan mitologi/teologi, melalui tahapan metafisika, akhirnya menuju tahapan puncak yang disebut tahapan falsafah positif.  Kemajuan yang dicapai ini ditandai dengan penguasaan sains-teknologi, dibanding penguasaan teologi dan falsafah spekulatif atau metafisika. 
Berbagai contoh karya seni rupa kontemporer dan iklan cerdas yang mencuatkan nilai kritis.  Ada yang memiliki kecenderungan menggali nilai local genius budaya setempat ada pula yang menggunakan berbagai tanda visual yang kontemporer untuk melakukan artikulasi kritis terhadap fenomena-fenomena sosial dan budaya masa kini yang kian menyergap.  Kesemuanya merupakan bentuk kesadaran emosional dan intelektualnya sebagai kontribusi berharga bagi jamannya dalam memprovokasi kesadaran publik secara luas dan holistik.

   

Keterangan gambar 1.
(1) Fair Play Bung,  140x90 cm, Pencil on canvas, 2009 [Rommi] (2) Perahu Negeriku,  130x90 cm, Pencil on canvas, 2009 [Rommi]

   
  


 Keterangan gambar 2.

(1)semar memfosil, suwung awang uwung [Heru purwanto] (2) 26 Macan Ompong, 200x180cm, acrylicon canvas, 2009  [Wadino], (3) Persaingan Pasar Tradisi dan Pasar Kapitalis, 105x145cm, oil on canvas, 2010 [Rio], (4) Import tapi tidak sehat ,  105x145cm, oil on canvas, 2010 [Rio], (5) KADEK AGUS ARDIKA, TUHAN ABAD 21 [penggambaran konsumerisme dn hedonisme]  
     



Keterangan gambar 3.

(1)    Electry City, 200x180 cm, acrylic on canvas, 2009[Rusnoto Susanto]  (2) virtual explotion, 200x180 cm, acrylic on canvas, 2009, [Rusnoto Susanto]  (3) Virtu Giant, 200x180 cm, acrylic on canvas, 2009 [Rusnoto Susanto] karya ini sudah teregistrasi dan memperoleh Sertifikat hak Cipta di HKI Kementrian Hukum dan HAM RI, (4) bersusah-susah menuju kegembiraan, 180x200 cm,acrilic on canvas,2008 [nanang warsito]

  


Keterangan gambar 4.
(1)    bangkit dari postmodern yang fasis, 20x200 cm, oil on canvas, 2010, [edy sulistyo] (2)  Apa yang kau cari, Pardi ‘Jemek Suardi’, 150x300 cm, oil on canvas, 2009 [Totok Buchori]

     
  

Keterangan Gambar 5.
Iklan layanan masyarakat Kreatif mengenai kampanye bahaya rokok
    Namun saat ini, saya ingin memetik bagian kecil fenomena penting berkaitan dengan aktivitas kesenian yang terjadi pada kurun posmodern.  Seorang tokoh yang cukup penting dibicarakan berkaitan dengan eksotika visual dan shock visual, fenomena tersebut dapat dijadikan inspirasi yang layak untuk kita cermati karena berhubungan langsung dengan wacana brainshocking yang sedang saya telusuri.  Ini semacam insight yang membukakan pandangan kita mengenai aspek-aspek kreatif.  Sebut saja Made Wianta dan Nyoman Nuarta, kedua tokoh seniman Bali ini menjadi penting dibahas mengacu pada konteks pembahasan ini.

2.    Made Wianta dan Laboratorium Neurologi Prof. Dr. Tsutomu Oohashi, Brain Scientist.
Belum lama ini seniman Indonesia, Made Wianta didatangkan oleh Prof. Dr. Tsutomu Oohashi seorang brain scientist di Tokyo Jepang untuk dilakukan penelitian pada sistem kerja otaknya yang dinilai spiritual, auratik, dan genius.  Seniman multi talenta Made Wianta, pada Rabu, 5 November 2010 bertolak ke Guam USA, dalam rangka pameran amal di Outrigger Guam Resort. Bermula dari berbagai pengamatan para peneliti seni yang mencermati kecenderungan karyanya diperlakukan secara istimewa oleh para kolektor di Jepang dan Eropa. Mereka memiliki kecenderungan mendisplay karya Made Wianta pada ruang-ruang spiritual, ruang meditasi, klinik, ruang perawatan medis, ruang ibadat privat, ruang perpustakaan perguruaan tinggi, ruang perpustakaan lembaga kebudayaan, ruang perpustakaan pribadi guru besar, ruang kerja khusus seperti laboratorium, dan ruang-ruang perstisius museum yang auratik. 
Karya-karya Wianta dapat dicermati memiliki pencitraan visual yang auratik disamping ia dengan luar biasa mempresentasikan eksotika visual yang unik.  Kecenderungan yang paling berbeda adalah ruang perawatan medis  dan laboratorium, dimana ruang praktik medik tersebut dirasakan adanya energi positif yang mencerahkan ruang tersebut yang kemudian dirasakan para pasien ketika menikmati lukisan-lukisan tersebut memiliki daya hidup luar biasa.  Ketika menikmati karya-karyanya, otak terasa dipengaruhi untuk mencermati detail-detail visualnya yang memiliki vibrasi spiritual yang mampu menyugesti seseorang kemudian merngsang proses peremajaan sistem saraf dan mempercepat proses pemulihan ataupun proses penyembuhan yang signifikan.
Pada Juli 2010 saya bersama 6 seniman Soulscape dari Yogyakarta yang saat itu sedamg menggelar pameran Soulsape di Tony Raka Gallery Ubud, Made Wianta sebagai pembuka pameran tersebut.  Kami berkesempatan dijamu dan menginap selama seminggu di salah satu rumah yang dulunya studio Wianta di Tabanan, kemudian secara intens berdiskusi di studio dan rumanya di jalan pandu Denpasar mengenai perihal seni rupa hingga perihal pemenuhan undangan Foundation for Advancement of International Science Oohashi Laboratory dan National Institute of Neuroscience, National Center of Neurology and Psychiatry, Tokyo.  
Di studio Wianta saat itu sempat diputarkan slide projector karya video art (performance art) mutahir yang dibuat bersama Afrizal Malna sebagai penulis dan sutradaranya, di sana juga diputarkan video proses riset otaknya di dua tempat yakni Foundation for Advancement of International Science Oohashi Laboratory dan National Institute of Neuroscience, National Center of Neurology and Psychiatry, Tokyo.  Melalui video tersebut tampak Wianta menjalani serangkaian pemeriksaan dengan peralatan canggih pemindai otak dengan 300 scan yang merekam aktivitas otak pada saat diam maupun beraktivitas melukis serta menabuh kendang.
Prof. Dr. Tsutomu Oohashi, brain scientist yang juga seorang seniman bersama tim meneliti aktivitas otak Wianta melalui irisan-irisan dengan teknologi pencitraan tingkat tinggi. Oohashi dikenal dengan nama Shoji Yamashiro memperoleh hasil pencitraan otak Wianta saat melukis yang sangat berbeda dengan orang-orang lain pada umumnya. Aktivitas otak Wianta menunjukkan pola-pola yang amat jarang ditemui, sangat spesifik, dan mirip aktivitas otak seorang pendeta tingkat tinggi yang sedang khusyuk melakukan meditasi.  Hasil riset itu menyimpulkan bahwa Wianta memiliki aktivitas otak yang spesial dan sangat distinctive memunculkan gelombang alpha.  Penemuan ini sangat menarik karena data-data ini diharapkan memberikan kontribusi untuk penelitian lebih jauh tentang mekanisme aktivitas otak berkaitan seni kreativitas dan proses penciptaan seni.
 Pantas saja jika sejumlah karya Wianta digunakan sebagai salah satu media penyembuhan dan relaksasi di salah satu rumah sakit jiwa di Jepang.  Pada 1977 setelah bermukim empat tahun di Belgia.  Wianta pun disarankan ke paviliun Dr Denny Thong dekat RSJ Bangli.  Di sana dia bertemu dengan pendeta dari Australia yang menyarankan agar Wianta terus berkarya dengan gayanya sendiri.   Kemudian Wianta mencoba berkonsultasi lagi dengan Prof. Dr. Moerdowo yang juga pelukis.  Suatu kebetulan pada 1990-an psikiater Prof. Dr. Luh Ketut Suryani mendatangi studio Wianta untuk melakukan sebuah penelitian melalui wawancara panjang.  Guru besar Universitas Udayana itu berpendapat bahwa beberapa karya Wianta mengandung unsur-unsur transenden. (sumber: www.indoforum.org)
Pada 1996, Wianta bertemu dengan Oohashi dari Jepang. Oohashi jatuh hati dengan karya dan perjalanan kreativitas Wianta yang kemudian membuat film dokumenter tentang Wianta dan film itu diputar di sejumlah tempat.  Oohashi terakhir membuat film ‘Echoscape Wianta Galaxy’ yang diputar dalam ajang Tokyo International Movie Festival, Oktober 2008.  Oohashi juga memprakarsai penelitian otak Wianta dengan melibatkan sejumlah pakar di berbagai bidang.   Oohashi sudah mencoba riset terhadap karya ratusan seniman secara visual, tetapi hanya karya Wianta yang memenuhi kriteria untuk bahan penelitiannya.  Riset ini pertama kali dilakukan Oohashi untuk mengetahui korelasi antara karya seni visual dan otak senimannya. Hasil penelitian ini dipublikasi dalam jurnal ilmiah internasional serta dikembangkan menjadi kajian ilmu pengetahuan dan seni yang mengaitkan aktivitas seniman, karya seni, juga berbagai implikasinya terhadap penikmat hasil karya tersebut.  Setidaknya otak anak pemangku dari Apuan ini bisa dijadikan studi kasus berkaitan kreativitas manusia Bali dan seni.  'Semoga penelitian ini bermanfaat bagi art and science.  Para ahli bukan hanya membedah hasil karya, tetapi juga otak kreatornya yang berperan dalam penciptaan karya seni,' ujar Wianta.  (sumber: www.indoforum.org)

3.    Nyoman Nuarta: Eksotika Garuda Wisnu Kancana, Shock Visual dan Shock Culture
Coba kita cermati sebuah monumen Garuda Wisnu Kancana berlokasi di Bukit Unggasan-Jimbaran Bali yakni, karya seni patung spektakuler I Nyoman Nuarta.  Garuda Wisnu Kencana Cultural Park atau dikenal GWK, adalah sebuah taman wisata di bagian selatan pulau Bali. Taman wisata ini terletak di tanjung Nusa Dua, Kabupaten Badung, kira-kira 40 kilometer di sebelah selatan Denpasar, ibu kota provinsi Bali.  Satu catatan penting dalam sejarah monumen di Indonesia yang mengeksplorasi konsep monumen yang berkaitan dengan aspek mitologi, antropologis, sosiologis, arsitektural, sistem tata kota, taman wisata nasional, identitas kultural lokal, ikonik lokal Bali yang mengglobal, gerbang utama bagi dunia untuk mengenali Bali, dan eksplorasi konsep patung monumental.  Eksplorasi-eksplorasi yang saling terkait tersebut menjadikan Monumen Garuda Wisnu Kancana memiliki eksotika visual dan shock visual yang khusus dihadapan kebudayaan dunia.
Monumen ini dikembangkan sebagai Taman Budaya Garuda Wisnu Kancana dan menjadi ikon bagi pariwisata Bali dan Indonesia.   Patung tersebut berwujud Dewa Wisnu yang dalam mitologi Hindu adalah Dewa Pemelihara (Sthiti), mengendarai burung Garuda yang dikisahkan dalam teks ceritera Garuda dan Kerajaannya yang berkisah mengenai rasa bakti dan pengorbanan burung Garuda dalam menyelamatkan ibunya dari perbudakan kemudian dilindungi Dewa Wisnu.   Area Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana berada di ketinggian 146 meter di atas permukaan tanah atau 263 meter di atas permukaan laut.  Patung yang diproyeksikan untuk mengikat harmonisasi tata ruang dengan jarak pandang hingga 20 km dan dapat terlihat dari Kuta, Sanur, Nusa Dua hingga Tanah Lot.  Patung Garuda Wisnu Kencana ini merupakan simbol dari misi penyelamatan lingkungan hidup dan simbol penyelamatan dunia.  Patung yang terbuat dari campuran tembaga dan baja seberat 4.000 ton, tinggi 75 meter dan lebar 60 meter.  Jika projek pembangunannya bisa berlangsung tuntas maka patung tersebut akan menjadi patung terbesar di dunia dan mengalahkan Patung Liberty.
Di kawasan ini terdapat juga Patung Garuda yang tepat di bagian belakang Plaza Wisnu adalah Garuda Plaza di mana patung setinggi 18 meter yang ditempatkan sementara.  Pada saat ini, Garuda Plaza menjadi titik fokus dari sebuah lorong besar berupa pilar-pilar batu kapur berukir yang keseluruhan luasnya lebih dari 4000 meter persegi berupa ruang terbuka yaitu Lotus Pond.  Pilar-pilar batu kapur kolosal dan monumental patung Lotus Pond Garuda membuat ruang yang sangat eksotis.  Dengan kapasitas ruangan yang mampu menampung hingga 7000 orang, Lotus Pond telah mendapatkan reputasi yang baik sebagai tempat sempurna untuk mengadakan acara besar dan internasional. GWK mempunyai beberapa tempat rekreasi di antaranya:
a)    Wisnu Plaza, Wisnu Plaza adalah tanah tertinggi di daerah GWK yang merupakan bagian paling penting dari landmark patung Garuda Wisnu Kencana.  Pada waktu tertentu, ada beberapa kegiatan ritual upacara tradisional Bali yang megah dan patung Wisnu sebagai latar belakang ritual tersebut.     
b)    Street Theater, Street Theater adalah titik awal dan akhir kunjungan ke Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana.     
c)    Lotus Pond, Lotus Pond adalah area outdoor terbesar di Garuda Wisnu Kencana (GWK) dan Taman Budaya di Bali. Lotus Pond representasi teratai.  Teratai adalah simbol utama keindahan, kemakmuran, dan kesuburan.   Wisnu juga selalu membawa bunga teratai di tangannya dan hampir semua dewa dari dewa Hindu yang duduk di teratai atau membawa bunga teratai.  Beberapa fakta menarik lainnya adalah bahwa teratai tumbuh di air, memiliki akar dalam ilus atau lumpur, dan menyebarkan bunga di udara di atas yang melambangkan kehidupan manusia dalam relasinya dengan kosmologi jagad raya.  Akar teratai tenggelam dalam lumpur sebagai representasi kehidupan material.  Tangkainya melalui air melambangkan eksistensi di dunia astral.  Bunga mengambang ke permukaan air dan membuka ke langit adalah emblematical spiritual sedang.
d)    Indraloka Garden, Taman ini diberi nama Indraloka representasi surga Dewa Indra karena panorama yang indah.  
e)    Amphitheatre, Amphitheatre adalah tempat di luar ruangan untuk pertunjukan khusus dengan akustik  ideal.  
f)    Tirta Agung, Tirta Agung adalah ruang luar yang sempurna untuk acara menengah yang dapat dengan leluasa mengunjungi patung Tangan Wisnu.
Poin paparan di atas hanya bermaksud menjelaskan fakta bahwa sebuah shock visual sebagai bagian penting aspek psikologis dari sebuah gagasan imajinatif.  Sebuah gagasan yang mendorong spirit revolusi kreatif dan menerobos batas ketakniscayaan menjadi sebuah teks keniscayaan-keniscayaan baru.  Jika dunia sebagai landscape terindah dari semua planet dalam sistem tata surya kita, maka ruang imajinasi, intuisi dan eksplorasi-eksplorasi estetik masih memiliki keluasan ruang untuk digali lebih jauh.  Pengetahuan menjadi perincian-perincian metodik untuk mengelola medan kreatif melalui pengembaraan imajinasi dengan gagasan-gagasan baru dalam melakukan konstruksi kebaruan-kebaruan estetika.  Visi  baru bagi seorang seniman adalah tetap menjaga spirit kreatif dengan intensitas kreatif pada titik didih tertinggi.  Shock visual menjadi sebuah tanda penting kebolehjadian ‘keniscayaan’ yang tak dapat ditolak.  Semua lahir dan tumbuh bersama spirit pembaharu sebagai jiwa jaman.  Semacam nilai-nilai yang diperjuangkan untuk terus menemukan rumusan-rumusan terbaru.  Bukankah sebuah ‘revolusi’ estetika lahir berkontribusi pada sistem budaya kemudian dari spirit kreatif seorang seniman melahirkan nilai-nilai untuk menemukan idelogi estetika yang diidealkan?

Referensi:
Aminuddin. (1988). Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: PT. Sinar Baru.
Barthes, Roland (1981), Camera Lucida: Reflection on Photography, New York: Hill and Wang
Chittick, William C. (2001), Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi, Kreativitas Imajinasi dan Diversitas agama, Surabaya: Risalah Gusti
Djatiprambudi, Djuli (2009), Musnahnya Otonomi Seni, Malang: Banyumedia Publishing
Halliday, M.A.K. (1978). Language of Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning. London: Edward Arnolnd.
Laksono, PM. (2009), Tradisi Dalam Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan dan Pedesaan, Alih Ubah Model Berpikir Jawa, Yogyakarta: Kepel Press
Paivio Allan dan Begg Ian. (1981). Philosophy of Language. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Palmer, Richadd E. (1981). Semantics. London: Cambride University Press.
________________  (2003). Hermeneutika: Teori Baru Mengenal Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ullman, Stephen. (1977). Semantics: An Introduction to the Science of Meaning. Oxford: Basil Black-well.
Wong, Wucius. (1986). Beberapa Asas Merancang Dwi Mantra. Terjemahan Adjat Sakri. Bandung: Penerbit ITB Press.
Thompson, J.B., Hermeneutics & The Human Sciences, New York: Cambridge University Press.
www.indoforum.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar