MENAPAK ERA GLOBALISASI, MENYIBAK MAKNA DI BALIKNYA
Dicky Tjandra*
Keberadaan dunia virtual sebagai produk teknologi informasi telah menimbulkan berbagai pertanyaan mendasar yang serius mengenai makna informasi bagi kesadaran eksistensi. Ketika manusia sampai pada titik pencapaian tertentu maka manusia sejatinya berada pada tataran krisis eksistensial. Nah, persoalanya adalah bagaimana manusia tergugah kembali dan tetap memiliki kesadaran eksistensi humanistiknya meskipun berada dalam arus informasi global namun dapat tetap melambungkan impian-impiannya.
[Netok Sawiji_Rusnoto Susanto]
Menapak Era Globalisasi
Selama dekade terakhir abad keduapuluh, tumbuh suatu kesadaran di antara para wiraswastawan, politikus, ilmuwan sosial, pemimpin masyarakat, aktivis akar rumput, seniman, ahli sejarah budaya, dan orang-orang biasa dari berbagai bidang bahwa sedang muncul suatu dunia baru-dunia yang dibentuk oleh teknologi baru, struktur sosial baru, ekonomi baru.
Perkembangan teknologi komunikasi akibat tuntutan dan menjawab kebutuhan manusia akan komunikasi terjawab oleh perkembangan ilmuan teknologi yang mampu memperpendek jarak. Dengan hitungan ’klik’ mampu menghubungkan daerah yang ada di selatan planit ini dengan yang ada di utaranya. Kejadian ini kita kenal dengan istilah ’Globalisasi’, oleh Fritjof Capra dikatakan merupakan istilah yang digunakan untuk meringkaskan segala perubahan luar biasa dan momentum yang tampak tertahan, yang dirasakan jutaan orang…..Ciri umum yang dimiliki berbagai aspek globalisasi adalah jaringan informasi dan komunikasi global yang didasarkan pada teknologi baru yang revolusioner.
Namun demikian sebagai mahluk yang senantiasa mencoba mengatasi permasalahan dirinya selalu diperhadapkan oleh akibat yang dihasilkannya. Dikatakan oleh I Made Bandem bahwa ”Globalisasi telah menjadi kenyataan yang tak terelakkan. Peristiwa dan segala bentuk perubahan hadir kapan saja, di mana saja, melibatkan siapa saja, dan dapat dinikmati siapapun, kapan pun, dan di mana pun. Ruang dan waktu tidak lagi menjadi pembatas dan kendala. Teknologi komunikasi dengan segala pirantinya yang semakin canggih memuluskan persilangan informasi dan komunikasi hingga ke ruang-ruang privasi setiap orang”.
Selanjutnya dikatakan Anthoni Giddens: ” Komunikasi elektronis yang cepat dan langsung bukanlah cara untuk menyampaikan berita atau informasi dengan lebih cepat. Keberadaannya mengubah setiap relung kehidupan kita, kaya atau miskin.
Manusia merayakan era ini dengan suka cita atas temuan manusia yang luar biasa ini, tanpa memikirkan dampak yang mungkin terjadi. Masalah yang diakibatkan oleh teknologi komunikasi karena ketidak siapan manusia penerimanya semata. Persoalan homogenisasi budaya adalah satu dampak yang dikhawatirkan sebagai akibatnya, sehingga perlu dipikirkan langkah-langkah strategis guna menghadapi globalisasi budaya secara matang dan cerdas.
Di dalam kesenian, era ini dijawab dengan lahirnya mashab Post Modern, dengan menggulirkan wacana pemberdayaan nilai-nilai budaya di dalam penciptaan seni sekarang. Mashab ini sadar betul bahwa dampak teknologi komunikasi dapat melibas semua nilai budaya yang ada oleh derasnya arus informasi. Sikap ini tentu sangat beralasan bagi masyarakat dunia ke tiga, karena keberadaan teknologi komunikasi modern sangat berdampak. Nilai-nilai budaya yang sudah terbangun berabad-abad lamanya akan musnah oleh politik kebudayaan yang dirancang atas nama globalisasi. Bagi mereka kejadian yang ada adalah suatu hal wajar dan dapat dipertanggung jawabkan karena merekalah yang mengusung teknologi ini, tetapi sebaliknya dengan kita, hal ini banyak menimbulkan kerisauan dari berbagai kalangan yang sudah memikirkan segala dampak yang akan terjadi.
Teknologi modern yang menghilangkan jarak pada komunikasi manusia seakan sulit terhindari, dan kita dipaksa lebur di dalamnya dengan diberi predikat manusia modern yang begitu dianggap bergengsi. Kita yang berada dan hidup di dalamnya, dan pasti terlibat dengan sistem yang terbangun. Kita harus pandai-pandai menempatkan diri kita didalamnya dengan menyadari potensi yang dimiliki serta dapat memahami keberadaan globalisasi secara matang dan cerdas.
Ketika penjajahan di muka bumi ini dihapuskan atas nama kemanusiaan, upaya bangsa barat lebih cerdas mencari jalannya untuk tetap eksis menanamkan pengaruhnya di muka bumi ini dengan berbagai macam cara. Perkembangan teknologi informasi yang mereka temukan hadir atas nama kebutuhan komunikasi umat manusia, entah apa mereka sadar akan dampak yang bakal terjadi pada masyarakat dunia ketiga atau memang melihat peluang melanjutkan cita-cita kolonialisme baru dalam bentuk intervensi budaya melalui teknologi komunikasi. Tesis ini tentu saja masih membutuhkan observasi secara mendalam dan menyeluruh terhadap fenomena yang berlangsung, tetapi situasi tersebut patut dicurigai.
Virtual Displacement ala Rusnoto
” Manifestasi Eksistensi Humanistik dan Spiritualitas Baru”
Kita dapat memahami era globalisasi dari sisi ’sebab’ dan ’akibat’, maksudnya bahwa kita dapat melihat teknologi komunikasi sebagai sebab dari temuan teknologi yang mempermudah jaringan informasi antar manusia dan sebagai akibat yang dapat berdampak negatif bagi sebahagian bangsa di dunia yang belum siap menerimanya, berupa homogenisasi budaya.
Rusnoto tidak memandang keberadaan teknologi sebagai ’sebab’ keberadaan teknologi komunikasi sebagai alat yang dapat ia berdayakan untuk melakukan komunikasi. Ia lebih cenderung memandang dari sisi ’akibat’ yang mungkin akan terjadi.
Imajinasinya menjadikan dunia seakan hadir dihadapannya secara utuh untuk dimaknai dengan talenta yang dimilikinya, sehingga yang lahir adalah karya-karyanya seperti yang ada dihadapan kita semua. Sebuah kritik terhadap kehadiran teknologi komunikasi yang begitu mencengangkan ia hadirkan dalam karya-karyanya secara artistik. Ia mencoba membagi pengalaman imajinasinya kepada kita, seraya mengajak kita untuk mendialogkan fenomena yang ada sambil membayangkan apa yang bakal terjadi.
Rusnoto mengajak kita masuk kedalam bilik imajinasinya untuk menikmati kehidupan teknologi komunikasi yang dibayangkannya. Manusia mengisolasi dirinya di dalam koloni-koloni yang dibentuknya sendiri karena ditunjang oleh vasilitas teknologi komunikasi yang dimiliki. Manusia sudah kehilangan kontak phisik dengan sesamanya secara langsung, komunikasi yang dilakukan hanya melalui dunia maya yang diciptakan manusia.
Kejadian tersebut sudah kita rasakan sekarang dengan dimanjakan oleh teknologi. Menikmati pesanan-pesanan melalui media teknologi komunikasi didapatkan secara mudah dan cepat. Kontak langsung antara penjual dan pembeli secara langsung dianggap tidak perlu lagi karena semua dapat diatasi oleh teknologi komunikasi. Kita cukup tinggal di koloni kita masing-masing, segala permasalahan dengan mudah dapat dijawabnya.
Segala pelayanan kebutuhan manusia pun turut dikembangkan dengan temuan ini atas nama kepraktisan, dari kebutuhan pelayanan keagamaan, sampai pelayanan sex, semuanya dapat dinikmati dari koloni kita masing-masing. Seiring dengan itu kejahatan-kejahatan melalui dunia virtual pun semakin dikembangkan oleh jaringan mafia internasional. Kontak langsung antar manusia semakin kurang dibutuhkan, munculnya Tuhan-Tuhan baru seiring pertumbuhan dan kebutuhan dirinya. Kebudayaan manusia lambat laun mulai beralih ke budaya-budaya koloni yang dibangun dan disepakati bersama oleh penghuni koloni. Kebudayaan teknologi perlahan-lahan berubah dari yang luas sebagai bangsa dan negara, menjadi koloni-koloni kecil yang sudah tidak perduli dengan arti bangsa dalam pemahaman kita sekarang. Pemahaman berbangsa dan bernegara lambat-laun bergeser kearah pemahaman koloni-koloni kecil. Phisik manusianya pun turut beradaptasi seturut dengan kebutuhan budaya teknologi yang berkembang, ketergantungan kita padanya lambat laun menyerupai ketergantungan seorang pecandu narkoba. Hal inilah yang cepat atau lambat, menjadi bentuk penjajahan baru oleh kelompok-kelompok manusia yang menguasainya.
Perkembangan budaya teknologi mengajak kita membayangkan bertemu dengan manusia-manusia teknologi tanpa jiwa. Pertumbuhan dan berkembangan manusia secara jasmani dan rohani sudah mengikuti pola berpikir teknologi, praktis, kaku tanpa ekspresi. Semua berorientasi pada tujuan tanpa membutuhkan proses. Yang kita butuhkan bukan lagi makan, tapi kenyang, bukan lagi permainan cinta, tetapi orgasme.
Sebagai landasan proses penciptaannya, Rusnoto mengacu pada teori yang dicetuskan oleh Wassilly Kandinsky yakni; (1) Impression. Suatu kesan –impresi- yang langsung terhadap alam dari luar (outward nature), diungkapkan dalam bentuk artistik murni. (2) Improvisation. Suatu ekspresi spontan yang sebagian besar tak disadari dari karakter bagian dalam (inner character), alam yang non-material. (3) Composition. Suatu ekspresi dari perasaan bagian dalam (inner felling) yang perlahan-lahan terbentuk oleh pertemuan dengan dunia luar (outer world) sebagai tempat ia hidup, yang muncul terungkap hanya setelah proses kematangan yang panjang. Pilihan ini tentu saja merupakan hak seniman menentukan pandangannya.
Namun perlu juga dicatat bahwa Kandinsky mengingatkan kita bahwa karya seni tidak sekedar bertanggungjawab terhadap pesan yang akan disampaikan, tetapi juga bagaimana menyampaikannya dengan bahasa yang dapat menciptakan komunikasi antar manusia. Seperti disampaikan oleh Kandinsky (1866-1944): ”The task of artist is to provide a new ’language’ for the spirit, a means with which it might come to know, express, and assert it self”. Dari pendapat ini memberi kita kesadaran pentingnya arti komunikasi pada hal-hal yang kita buat, seraya mengharapkan lahirnya pikiran-pikiran cerdas yang mungkin hadir dalam dialog yang kita bangun. Kehadiran karya ikut mengaktifkan mekanisme diri manusia untuk menyadari keberadaan dirinya secara pribadi, masyarakatnya, dan budayanya untuk membangun peradaban manusia yang lebih baik kedepan.
Karya seni yang sudah dilahirkan, posisinya sudah berpindah dari sisi subjektif (seniman) ke ruang kehidupan (objek) yang bebas untuk dimaknai oleh siapa saja. Proses pemaknaan tersebut sangat subjektif dan terbuka untuk dimaknai siapa saja berdasarkan latar belakang yang dimiliki.
Yang menjadi penting untuk dilakukan seniman adalah bagaimana karyanya dapat menjalankan perannya sebagai media komunikasi kepada penikmatnya, walaupun kenyataannya terkadang seniman hanya faham tentang berekspresi, tetapi tidak menyadari fungsinya. Menyadari tentang fungsinya berarti kita diberi kesadaran untuk meningkatkan peran yang dibawakannya sebagai media komunikasi.
Rusnoto mengajak kita untuk lebur kedalam dunianya untuk mengajak berkomunikasi tentang pengembaraan imajinasi yang ia ciptakan, serta mengajak kita berdialog tentang bumi kehidupan untuk mencari solusi dari permasalahan yang ada. Pemetaan pengembaraan imajinasinya membawa kita masuk kedalam Subject Matter yang dipilihnya.
Dalam memilih Subject Matter, setidaknya seniman harus mengetahui betul apa yang menarik darinya, serta dapat memetakannya. Objek kajian dapat dipandang sebagai Subjek karena keterlibatan seniman di dalamnya. Dalam cara pandang fungsional Van Peursen, manusia sebagai Subjek dapat mengambil jarak dengan Objek (kehidupan), mempertanyakannya untuk selanjutnya memperoleh jawaban. Kelebihan seniman adalah selain ia dapat mengambil jarak dengan Objek, ia pun dapat mengambil jarak dengan dirinya sendiri untuk mempertanyakan apa yang ingin ia lakukan sesuai dengan keriduan, harapan dan cita-cita dalam hidupnya.
Apa yang menjadi keputusan senimannya merupakan hal yang dianggap cocok baginya. Seniman dituntut mampu memetakan konteks permasalahan yang menjadi sorotannya dan menepatkan dirinya di dalamnya, untuk selanjutnya mempertanyakan pada dirinya tentang apa sebenarnya yang diinginkan. Selanjutnya tinggal pertanggung jawabannya terhadap masalah-masalah tersebut untuk diimplementasikan kedalam karyanya.
Tanggung jawab seniman terhadap pesan yang akan disampaikan adalah bagaimana membungkus pesan yang akan disampaikan melalui wujud karya yang diciptakan agar dapat berkomunikasi dengan penikmatnya. Mengenai makna yang diperoleh penikmatnya sudah bukan menjadi urusan seniman karena apresian (penikmat seni) diberi ruang yang bebas untuk memprodusi maknanya sendiri dari peristiwa yang dialami. Karya seni yang dilahirkan seniman mampu mengaktifkan mekanisme diri manusia, selanjutnya bersama-sama memikirkan jalan keluarnya (silent dialog). Rusnoto mengajak kita terbang bersama imajinasinya, bukan menuntut pembenaran terhadap apa yang dilakukannya, tetapi lebih pada upaya mengajak kita berpikir bersama terhadap fenomena yang ada.
Sedahsyat apapun pemikiran yang ingin disampaikan seniman selalu berpulang pada seberapa mampu ia dapat mengemas pemikirannya pada teks yang diciptakan. Seniman membawa sesuatu yang abstrak keruang nyata untuk menguak misteri kehidupan dan dirinya. Karya berupaya membangun dialog dengan apresian tentang permasalahan itu, untuk bersama-sama dapat menemukan jalan keluarnya. Ruang pameran dijadikan ruang dialog terhadap permasalahan-permasalahan yang disampaikan.
Membangun sebuah gagasan bagi seniman adalah apabila objek yang ditujunya sudah dapat merepresentasikan diri di dalamnya. Ia dalam posisi bukan mengambil jarak dengan objek, tetapi lebur bersamanya. Seniman membangun konsep pemikirannya tentang konteks dari permasalahan yang bukan saja dipikirkan, tetapi yang juga dirasakan. Gagasan apapun yang diangkat seniman sebagai sesuatu hal yang ingin didialogkan pada karyanya adalah hak seniman sepenuhnya, tetapi harus memberikan ruang bagi penikmatnya untuk terlibat didalamnya. Pertemuan antara karya seni dan penikmatnya dipandang sebagai sesuatu yang membawa mereka kepada pengalaman imajiner yang pada dasarnya hanya bisa didapatkan disitu. Hal-hal yang berbau eksak tentu bukan tempatnya disini, walau pun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam penjelajahan imajinernya penikmat seni dapat menemukan apa saja yang merupakan obsesinya sebagai manusia sosial. Posisi seniman dan karyanya tidak membawa penikmat seni (apresian) pada posisi pemaknaan tunggal, tetapi justru mengajak mereka untuk melahirkan makna baru sebagai upaya membangun angan-angan, kerinduan dan cita-citanya dalam membangun hidup.
Dilematis(nya) Makna Di Balik(nya)
Mengkritisi dampak negatif yang terjadi akibat teknologi komunikasi penting dilakukan seniman untuk tidak terlibat sebagai perpanjangtanganan barat di negeri sendiri (sebagai bentuk penjajahan budaya), karena iming-iming yang dijanjikan cukup menggiurkan bagi kebutuhan hidup kita. Sikap ini penting dibangun untuk mengawal perjalanan budaya kita kedepan dalam menunjukkan eksistensi kita ditengah bangsa-bangsa di dunia.
Menurut saya proses penciptaan karya selalu menjadi hal serius yang penting diperhatikan, karena konsep pikiran sebagai pandangan seniman dalam menciptakan karyanya merupakan hal penting dalam proses penciptaan. Yang menjadi pertanyaan adalah dari mana pandangan penciptaan atau konsep penciptaan itu ditemukan, karena hal tersebut penting dipertanyakan bagi pengembangan karya-karyanya selanjutnya. Jangan sampai seseorang yang skill nya hebat tiba-tiba menjadi seniman yang sangat terkenal tetapi tidak mengerti apa-apa tentang sesuatu yang dibuatnya. Saya mempunyai keyakinan bahwa gagasan teks bagi seniman adalah hal yang tidak mungkin sertamerta ada, tetapi melalui proses perjalanan panjang yang justru disitulah letak permasalahan penting untuk dikomunikasikan.
Ruang bagi seorang plagiator terbuka atau sengaja dibuka kalau kita coba hubungkan dengan maraknya pasar kesenian akhir-akhir ini. Pasar hanya perduli dengan hasil akhir, proses merupakan hal yang diabaikan, tidak perlu dipermasalahkan dan tidak penting.
Dari sisi bisnis kondisi seperti ini tentu baik saja karena produksi banyak dan mudah didapatkan, serta banyak permintaan pasar. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah karya-karya tersebut yang menjadi representasi seni rupa Indonesia yang kita inginkan?
Bagi saya fenomena yang terjadi sekarang harus secepatnya disadari, karena saya membaca bahwa masyarakat kita sekarang sedang di desain (entah oleh siapa), entah disadari atau tidak, untuk menjadi masyarakat pekerja, bukan pemikir. Hal ini memang sangat rawan terjadi pada masyarakat baru berkembang seperti Indonesia, dimana kebutuhan materi adalah sesuatu yang mendesak diperlukan semua orang.
Saya tidak ingin mempersoalkan siapa yang bertanggung jawab terhadap masalah ini, karena bagi saya hal ini merupakan masalah kita bersama yang perlu dicermati. Dalam kondisi seperti sekarang ini dimana perhatian pada sektor ekonomi menjadi primadona, seakan sektor-sektor lainnya dalam kebudayaan manusia menjadi kurang populer untuk menjadi bahan pembicaraan. Semua sektor di dalam kehidupan kita disoroti dengan kaca mata ’ekonomi’ untuk menjawab kebutuhan yang dianggap mendesak bagi kebutuhan rakyat demi stabilitas keamanan.
Saya mencoba menjelaskan masalah diatas untuk membangun pemahaman kita bersama terhadap fenomena yang terjadi dengan illustrasi seperti ini: ’Lima orang dengan disiplin ilmu yang berbeda mengunjungi Malioboro (sebuah tempat yang sangat terkenal di Yogyakarta). Latarbelakang mereka masing-masing sebagai seorang dokter, ekonom, ahli hukum, polisi dan seniman. Selanjutnya kita meminta pendapat kelima orang tersebut mengenai Malioboro yang ada dihadapan mereka, jawaban yang kita temukan dari sang dokter adalah: ’Lingkungan Malioboro tidak sehat, banyak penyakit di sini’. Selanjutnya dari ekonom jawabannya: ’ Malioboro memiliki potensi bisnis yang sangat besar’. Ahli hukum menjawab: ’Banyak peristiwa hukum yang terjadi di Malioboro’. Oleh si polisi jawabannya: ’Banyak kejahatan berpeluang terjadi di Malioboro. Yang terakhir dari serang seniman: ’Di Malioboro saya menikmati peristiwa budaya’. Dari kelima orang yang berlatar belakang berbeda ini kita menemukan lima jawaban yang berbeda terhadap sebuah fenomena yang ada. Berarti dalam menanggapi fenomena Malioboro ada lima kasus yang berbeda didalamnya.
Selanjutnya coba bayangkan kalau lima kasus yang ada di Malioboro dilihat dengan satu kaca mata saja, kaca mata ekonomi misalnya, maka jawaban yang kita temukan adalah sebagai berikut: ’Sang dokter akan menjawab bahwa Malioboro memiliki potensi bisnis sebagai seorang dokter. Ahli hukum akan melihat bahwa peristiwa hukum yang terjadi di Malioboro membuka peluang bisnis baginya. Demikian juga halnya dengan Pak polisi akan menjawab bahwa peristiwa hukum yang terjadi di Malioboro memberi peluang dirinya melakukan transaksi bisnis. Yang terakhir adalah sang seniman, jawabannya adalah peristiwa budaya ada di Malioboro akan membuka peluang baginya untuk berdagang.
Illustrasi diatas mengakhiri tulisan saya sembari mengingat kembali pidato-pidato politik yang disampaikan oleh calon-calon presiden dan wakil presiden kita yang menggunakan kaca mata ekonomi saja dalam melihat masalah Indonesia yang kompleks ini. Pidato-pidato tersebut mengajak kita merenungkan kembali pemikiran-pemikiran yang disampaikan di awal tulisan mengenai kejadian-kejadian yang ada, maka apa jadinya nasib bangsa ini kedepan. Masyarakat yang makmur material, tetapi miskin akhlak. Keadaan yang terjadi menempatkan peran kita masing-masing kedalam konteks yang ada sambil membayangkan kesalahan yang harus kita pertanggungjawabkan didepan leluhur kita.
Dicky Tjandra, Kandidat Doktor PPs ISI Yogyakarta dan Seniman patung tinggal di Yogya
DAFTAR BACAAN
Bandem, I Made, 2000, “Melacak Identitas di Tengah Budaya Global”, Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Th. X.
Capra, Fritjof, 2003, The Hidden Connections, Strategi Sistematik Melawan Kapitalisme Baru, Jalasutra, Yogyakarta.
Cassirer, Ernst, 1987, Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia, PT Gramedia, Jakarta.
Djelantik, A.A.M, 2004, Estetika Sebuah Pengantar, Masyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia, Bandung.
Giddens, Anthony, 2001, Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hawkes, Terence, 1977, Structuralism and Semiotics, University of California Press, Amerika Serikat.
Heraty, Toety, 1984, Aku Dalam Budaya: Suatu Telaah Filsafat Mengenai Hubungan Subjek-Objek, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.
Kaelan, 2002, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, Paradigma, Yogyakarta.
Kaplan, David, 2000, Teori Budaya, PT Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Mulyana, Deddy, 2002, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Palmer, Richard E, 2005, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi, cetakan kedua, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Peursen, C.A Van, 1976, Strategi Kebudayaan, Penerbit Kanisius.
Piliang, Yasraf, Amir, 1999, Hiper Realitas Kebudayaan, LkiS, Yogyakarta.
_________________, 2003, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta.
Poedjawijatna, I.R., 1987, Manusia dan Alamnya: (Filsafat Manusia), PT Bina Aksara, Jakarta.
Soedarso SP, 1978, Tinjauan Seni: Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni, Saku Dayar Sana, Yogyakarta.
Soeprapto, Riyadi H.R., 2002, Interaksionisme Simbolik, Averroes Press, Malang.
Sugiharto, Bambang, 1996, Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, Kanisius, Yogyakarta.
Veuger, Jacques, 1983, Psikologi Perkembangan Epistemologi Genetik, dan Strukturalisme menurut Jean Piaget, Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi, Yogyakarta.