Minggu, 05 Februari 2012

THE SOUL OF TRAJECTORY Menangkap Lokus-Lokus Kreatif di Lintasan Jiwa

THE SOUL OF TRAJECTORY

Menangkap Lokus-Lokus Kreatif di Lintasan Jiwa

kurator

Netok Sawiji_Rusnoto Susanto

Seorang perupa harus memperhatikan lintasan (trajectory) fenomena paradoks bahwa seni mengkonstruksi proses identifikasi dan investasi emosional yang kuat. Gagasan bahwa seni mentransformasi dan memodifikasi memberi bentuk dan makna pada energi ‘jiwa’ dunia, menemukan hubungannya satu sama lain dalam proses yang alkemis dalam sejarah budaya.

(Achille Bonito Oliva, 2010:15-51)

Kesadaran kreatif tak sekonyong-konyong singgah dalam perjalanan atau di perlintasan bahkan petualangan hidup seseorang kecuali seseorang secara kontinu dengan intensi-intensi tertentu membangun kesadaran kreatif di dalamnya. Kepekaan estetikpun demikian. Seorang perupa merintis jalan hidup dengan mengasah ketajaman (kepekaan) estetika dengan mencerap berbagai persoalan sehari-hari sampai pada persoalan psikisnya. Untuk menemukan pencapaian puncak kreatif bergantung seberapa kuat proses penjelajahan estetik untuk menemukan nilai-nilai di dalamnya. Dan, nilai-nilai inilah yang merepresentasikan kekuatan jiwa.

Bentuk pertanggungjawaban tesis penciptaan seni, enam perupa mahasiswa pascasarjana menggelar pameran sebagai rangkaian proses penilaian ujian tugas akhir dalam memenuhi persyaratan meraih gelar magister seni. Tentu dengan modal intelektualitas yang diperoleh dalam perkuliahan memberikan pengkayaan teknis dan konsepsi penciptaan seninya. Karena seorang magister seni bukan sekedar mampu menciptakan karya seni terbaiknya namun mampu memberikan pandangan keseniannya dan merumuskan idealisasi-idealisasi nilai pemikiran didalamnya. Karena kedua kekuatan inilah seorang magister di pandang masyarakat sebagai pemikir proses kreatif, mampu membuka perspektif berpikir dan melakukan temuan atau terobosan tertentu untuk sebuah perubahan paradigma. Sejatinya poin khusus ada pada semangat melakukan perubahan untuk menerabas kebuntuan sistemik dan keliatan prosedur akademik pada umumnya. Sehingga mereka menjadi akademisi-akademisi dengan kompetensi terbaik untuk membangun wacana kesenian dan membuka akses ke publik secara luas.

Pada pameran kali ini tampak meyakinkan kita semua mengenai berbagai tesis-tesis seputar keterikatan proses kesenian dengan pertautan jiwa. Tentu dengan subject matter yang berbeda namun ketautan visi dan perspektif kreatifnya menemukan muara sejenis. Tema penting The Soul of Trajectory dalam pameran ini lebih fokus pada tesis bahwa sejatinya seseorang memiliki tempuhan untuk mencapai target-target tertentu dan pencapaian puncaknya ialah memperoleh esensi pada tiap lintasan yang dialaminya. Lintasan jiwa dalam konteks sederhana ialah kata kunci untuk menerjemahkan sebuah kegelisahan, kegalauan, optimisme, radikalisasi cara pandang maupun semangat menelisik fenomena secara kritis. Dalam rangkaian itulah seseorang kerap merefleksikan kecenderungan psikisnya untuk melakukan telaah sebagai respon atas subject matter yang dipilih dan dianggap sangat penting ke dalam karya-karyanya. Tentu secara spontan proses dialogis interpersonal menjadi kajian khusus ketika melibatkan mekanisme psikologis dan berbagai tinjauan sebagai kontribusi mematangkannya.

Relasi Teks Visual dalam Konteks Perubahan

Dalam trilogi ideologi Joseph Beuys, bahwa kesatuan kehendak, pikiran dan perasaan, semua berkontribusi melalui praktik seni. Baik proses komunikasi, proses penciptaan dan membangun ruang anti-realitas yang berjuang melawan realitas negatif dan kehidupan rutin. Gagasan bahwa seni mentransformasi dan memodifikasi memberi bentuk dan makna pada energi dunia, menemukan hubungannya satu sama lain dalam proses yang alkemis dalam sejarah budaya. (Achille Bonito Oliva, 2010:15). Cara pandang Socrates bahwa seniman menggunakan statemen untuk mendorong tumbuhnya kesadaran kolektif untuk membawa kembali persoalan kebebasan global karena kebebasan ini tak lagi disebarkan dan diwacanakan melalui aktivitas yang selektif dan spesifik hanya dengan kecenderungan untuk merusak kesatuan antropologis manusia.

Sampel yang sederhana, sebuah produksi yang didukung oleh permainan iklan yang begitu ketat melahirkan sejenis ‘kelaparan baru’, hasrat yang terus meningkat untuk mengkonsumsi materi-materi dalam rangka memuaskan ritmenya sendiri. Situasinya telah terbentuk: si objek sekarang memburu si subjek. Produksi dibuka secara sadis untuk memburu manusia karena manusia sekarang merupakan media hirarki posisi yang baru dan berada pada arus perubahan peran-peran. Polarisasi yang grotes dari eksistensial direpresentasikan secara penuh hormat melalui karya Red Grooms dan Edward Kienholtz. Melalui pola semacam ini masyarakat tak lagi menjadi lokasi terjadinya relasi-relasi interpersonal, melainkan menjadi sebuah tempat dimana pertukaran terjadi. Dimana materi sebagai produk konsumeris dan representasinya saling melintas karena sekarang menjadi mungkin bagi kita untuk mengamatinya dari karya pendahulu ikonografi: Stuart Davis.

Karya Andi Warhol (1928-1987) statistical or statistical fantasy secara sistematis telah mengatalogkan data realitas Amerika, yang telah tersimpan di teknologi dan mentalitas masyarakatnya. Klunya terdiri dari modul, unit pengukur, standard, misalnya menunjukkan representasi yang tak terbatas dari keterbatasan geometris. Keterbatasan tersebut dibentuk oleh megapolis yang merupakan perluasan ruang urban yang menemukan nilai berharga pada kwantitas. Jadi, gedung-gedung pencakar langit menjadi modulnya, yang tidak lagi bersifat ramah manusia melainkan ramah kota. Hal tersebut disebabkan karena gedung pencakar langit dapat dilihat sebagai sebuah tempat untuk memamerkan baik produksi dan publik, ketimbang menunjukkan yang domestik dan privat: ditunjukkan kaca-kaca yang tembus pandang sesungguhnya melandasi struktur mereka kemudian menjadi penegasan deklarasi yang kuat atas publik dan produksi itu sendiri.

Dengan perilakunya yang dingin dan tercerabut, Warhol menggunakan modul dan standar tersebut dalam perspektif antropologis: dengan menghabiskan setiap psikologi individual dan selebrasi yang snob atas ketiadaan ekspresi. Seniman cenderung melakukan hasratnya untuk senantiasa mentransformasi unit komponen tunggal menjadi jumlah berlipat ganda, mengubah individual menjadi manusia massa, manusia yang dijamakkan, melalui system produksi.

Cara berpikir Amerika kini diadaptasi Indonesia, dimana pencapaian individual dilahirkan dari kepastian atas kesamaan dan adaptasi dalam kehidupan yang telah terstandarisasi karenanya menjadi bertolak belakang dengan keunikan dan individualisme dalam perspektif budaya Eropa. Melalui teknik reproduksi mekanis, Warhol menunjukkan dengan cara pandang yang berbeda terhadap dunia dengan mengantisipasi proses cloning atas citra yang menjadi hasil dari subjek kolektif, the factory, melalui penggunaan seni, film, video, fotografi, musik, fashion dan perilaku sosial. Untuk menciptakan situasi diam itu menjadi lebih baik dan menjadikannya sebagai proses pembentukkan karena setiap ekspresi individual atau kemungkinan privasi dihilangkan melalui lensa kamera karena publik telah terarah pada konsumerisme dan yang dimunculkan adalah tindakan yang terstereotipisasi.

Tampak tegas ketika merelasikan antara teks visual ke dalam konteks perubahan. Dan, perubahan menjadi prasyarat berharga untuk melahirkan kebaruan. Dalam term ini tentu tak lagi mementingkan batas-batas teritori untuk mengidentifikasi tetapi lebih pada semangat membuka peluang kebaruan dalam berbagai perspektif, terutama dalam optimalisasi proses penciptaan seni.

The Soul of Trajectory : Menangkap Lokus-Lokus Kreatif di Lintasan Jiwa

Pencermatan atas momen estetik senantiasa didasari seberapa besar kapasitas empati untuk melibatkan emosi dan intelektualitasnya. Hal ini menuntut kecerdasan intuitif untuk menjumput sejumlah nilai penting sebagai inovasi yang godog pada lokus-lokus kreatif. Lokus-lokus kreatif semacam ini yang diharapkan mampu menerjemahkan konsepsi-konsepsi besar para perupa yang selalu mendasari proses penciptaannya dari sebuah kesadaran multikultural baik yang secara langsung ditemukan dalam kehidupan sehari-hari atau menemukannya dalam ruang-ruang imajiner. Bahkan ada pula yang menerjemahkan momen estetik dari perspektif dan referensi individual atau ground experience spesifik.

Yang menarik dari materi pameran kali ini sesungguhnya ditemukannya kasus-kasus proses kreatif yang telah dua tahun ini saya amati yakni proses kreatif mereka sejak awal masuk program pascasarjana ISI Yogyakarta. Mereka membawa muatan-muatan lokal dan ada pula yang konsern pada teks urban cultures atau sejenisnya. Melembaganya aspek-aspek local genius yang cenderung dipahami sebagai ketaatannya dalam proses kreatif tentu saja dugaan spekulatif, karena pada kenyataannya nilai-nilai lokal telah dijadikan sebagai spirit keseniannya. Proses artikulasi visualnya bisa lebih memberi pengayaan tertentu dari batas kearifan lokal tersebut.

Seseorang bisa terpesona dengan lekahan-lekahan batu berlumut diantara rumpun ilalang atau terkesima dengan barik-barik dinding tua berjamur dan mungkin saja tersihir dengan reruntuhan rumah tua yang memendam sejuta kenangan masa lalu di dalamnya. Ada pula yang menggilai hamparan pasir yang bisu, gemericik air gunung, hembusan angin di pematang, gemuruh ombak dan awan yang bergejolak sebagai representasi ruang psikologis yang melatarbelakangi persepsi mengenai harmoni dari kesemestaan.

Seperti Yasrul Sami terbius ketika mengamati efek lumut pada dinding tua dan memicu adrenalin ruang psikologisnya untuk menginterpretasi nilai tertentu pada setiap momen estetik yang ditemuinya. Hamzah terusik emosi terdalamnya ketika menelisik interelasi budaya adiluhung Minangkabau yang kian berjarak dengan dirinya dalam kurun waktu terakhir dengan mempersoalkan idiom ‘rumah patah, rusak, rapuh, lapuk, dan roboh’ sebagai personifikasi perubahan budaya postmodern yang menggerus nilai-nilai lokal. Mujiyono yang menyuntuki gejolak psikisnya sebagai inspirasi membangun karya-karya yang merepresentasikan optimisme dan impian-impian jiwanya. Ia tengah memaparkan impresi dari gumpalan gejala psikologis dan gejolak-gejolak alami menyatu dalam harmoni obsesinya. Winarno berangkat dari kegelisahan dirinya yang berujung pada kepanikan massa, Winarno mengolah fenomena sosial sebagai momen estetik menjadi sebuah gugusan pemikiran untuk mengartikulasikan berbagai persoalan urgen yang hari ini menjadi persoalan dunia. Ledakan problem urban culture menjadi bumerang sebagai ekses perkembangan kemajuan dunia teknologi dan industri. Djoko Maruto proses penciptaan seni menjumput sejumlah inspirasi dari ketimpangan kehidupan masyarakat dewasa sebagai korban (ekses) dari perkembangan teknologi, perubahan budaya, kapitalisme dan konsumerisme yang berpotensi membangun kerisauan, kerusuhan, emosional bahkan perilaku anarkis. Dan, M. Amir diilhami pesona tari yospan dalam kehidupan budaya dan epos serta adat sentani sebagai landasan proses kreatifnya. Bagaimana seseorang terlibat secara emosional dengan tari yospan untuk menggerakkan spirit survival dan pesona feminitas.

Hamzah

Perupa yang dilahirkan di Mengganti, Sumatera Barat pada 2 November 1970, alumni SMSR Padang (1986-1990) sebelum menempuh program pascasarjana ISI Yogyakarta (2008-2010) ia menyelesaikan studi seni murni di FSRD ISI Yogyakarta (tahun 1996-2005). Staf Pengajar AKSERI Yogyakarta (Tahun 1999-2004) dan Staf Pengajar STSI Padang Panjang di Jurusan Seni Murni (2005) pun tak memupuskan impiannya menjadi seniman di tengah aktivitas sebagai akademisi. Hamzah menggerakkan daya kreasinya bermula keterusikan emosi terdalamnya ketika menelisik interelasi budaya adiluhung Minangkabau yang kian berjarak dengan dirinya dalam kurun waktu terakhir dengan mempersoalkan idiom ‘rumah patah, rusak, rapuh, lapuk, dan roboh’ sebagai personifikasi perubahan budaya postmodern yang menggerus nilai-nilai lokal.

Keterguncangan ranah Minang kian terasa ketika masyarakatnya mengadaptasi produk-produk budaya masa kini yang secara signifikan mengkikis dan menjauhkannya dari aspek-aspek lokalitas budaya yang sangat begitu di junjung tinggi eksistensi dan filosofisnya. Ia tengah merepresentasikan sebuah kepanikan dan kecemasan massa terhadap nilai-nilai lokalnya. Disisi lain ia seolah tengah mempersandingkan idealisasi semangat ketaatan kultur lokal dan persentuhannya dengan multikultural yang melampaui kapasitas kesiapan mental masarakatnya. Sehingga konsep-konsep budaya terasa tengah tercerabut dengan semangat masyarakat kontemporer yang bergiat mengakses semangat perubahan. Fakta sosial menunjukkan bahwa perubahan fisik dari jiwa jaman tengah mempresentasikan perubahan mendasar pada sistem tata kota dan gaya arsitektural yang tidak sekedar bergeser namun berubah secara sporadik. Lebih dari itu yang tengah bergeser bahkan tergantikan adalah sebuah falsafah dari sistem budaya baru.

Wajar jika Hamzah pada karya (‘Patah’ , 200 X 145 cm, akrilik pada kanvas, 2010) dan (‘Tumbang’, 200 X 150 cm, akrilik pada kanvas, 2010) hendak mengemukakan aspek psikologisnya ketika menunjuk bahwa banyak dari rumah-rumah lokal sebagai identitas budaya sudah mengalami kerusakan, rusak patah, lapuk, roboh, dan runtuh. Keberadaannya sudah tergantikan oleh rumah-rumah masa kini, yakni rumah berbahan beton dan gaya arsitektur ‘modern’. Hampir tak dikenali lagi mana masyarakat urban dengan masyarakat lokal Minangkabau baik dalam konteks psikologis maupun filosofis. Kita takkan temukan eksistensi rumah jantan dan rumah gadang. Situasi serupa diartikulasikan secara visual ketika ia mengumbar barik-barik magis, semburat, torehan sembilu, aksen lekang waktu, retak-retakan, pecah-pecah luka, tersayat dan terkoyak tercancang habis layaknya cancangan pada batu, kayu, dan tembok oleh hasrat manusia.

Perihal estetika, Hamzah sudah khatam dan secara umum seorang perupa yang menggilai eksplorasi-eksplorasi artistik telah terlewatkan. Dalam dua tahun terakhir saya cukup intensif mengamati perkembangannya. Sangat menarik untuk dicermati dan ditelusuri spesifikasi estetikanya. Temuan-temuan teknisnya membuka begitu luas peluang, memungkinkan ia tak kehabisan akal untuk mengembangkan gagasan kreatifnya namun ia setidaknya mengisi celah dalam proses pematangan konsepsi karena konsep penciptaannya berpotensi ditinjau dari berbagai perspektif sehingga ke depan dapat menemukan tesis-tesis baru. Ia seharusnya sudah mulai menguatkan fokus kreativitasnya dengan sejumlah intensi-intensi kreatif sebagai picu. Hal semacam inilah yang sejumlah perupa semakin kecanduan mengeksplorasi kekuatannya.

Yasrul Sami B.

Dosen tetap pada program Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Padang, Ucok begitulah Yasrul Sami akrab disapa. Seorang perupa kelahiran Rao, Sumatera Barat 8 Agustus 1969 alumni SMSR Padang (1992) sebelum menyelesaikan pendidikan pada program seni murni ISI Yogyakarta (1994-2001) dan tengah menyelesaikan program magister ISI Yogyakarta (2008-2010). Sepertinya Yasrul Sami terbius ketika mengamati efek lumut pada dinding tembok tua, jamur di kelembaban, dan lekahan-lekahan tembok-batu yang merelasikannya dengan sejumlah pengalaman batin seputar romansa masa lampau. Momen estetik semacamnya mampu menggoda sekaligus memicu adrenalin ruang psikologisnya untuk menginterpretasi nilai tertentu pada setiap momen estetik yang ditemuinya. Ia seolah menyuntuki persoalan dalam dirinya yang secara tiba-tiba menyajikan pesona imajiner yang diproduksi dalam intensi psikologisnya.

Sejauh mana suatu kesadaran memperoleh kesenyapan dan tidak berubah, pada karya ’Kontemplasi #2’, 150 x 200 cm, Mixed Media, 2010 dan Detak #3, 140 x 185 cm, Mixed Media, 2010 bahwa objek tersebut dapat digambarkan seperti apa adanya berupa imaji tertentu. Warna dan impresi barik-bariknya membawa persepsi sekaligus perasaan kita masuk ke dalam imajinasinya menyentuh ruang kontemplasi sebenarnya. Ia segera berhasrat untuk memasuki ruang imajiner personalnya dimana ruang kontemplasi masih begitu penting ada. Untuk menentukan sifat-sifat imaji sebagai imaji maka harus mengubah arah pada suatu tindakan kesadaran yang baru: seorang perupa harus bersikap reflektif. Dengan demikian, imaji sebagai imaji dapat dijelaskan dengan tindakan menyingkirkan perhatian dari objek lalu diarahkan pada suatu cara dimana objek diberikan, tindakan reflektif memungkinkan adanya keputusan. Jika kesadaran tersebut dapat dibedakan secara langsung dari kesadaran lainnya, itu hanya karena kesadaran itu muncul dengan sendirinya dalam refleksi dengan karakteristik tertentu. Dengan demikian tindakan refleksi mengandung isi kepastian langsung yang kita sebut esensi imaji untuk membangun gagasan yang memberikan vibrasi dalam ruang kontemplasi.

Meminjam Psikologi Imajinasi Sartre bahwa gagasan tentang sebuah buku misalnya, sama sekali tidak ada hubungannya dengan buku yang sesungguhnya. Bukan buku yang ada di dunia luar, tetapi buku yang hanya dapat kita rasakan; bukan buku kertas atau lontar yang memungkinkan kita dapat membedakan gagasan tentang buku dengan gagasan tentang objek yang lain (virtual). Akan tetapi bagaimanapun juga gagasan kita yang sesungguhnya tetap merupakan sebuah gagasan tentang buku. Memiliki gagasan tentang buku adalah memiliki sebuah buku dalam kesadaran. Hal ini diperlihatkan dengan fakta bahwa apa yang benar tentang objek, juga benar halnya tentang gagasan. Apabila objeknya harus memiliki kualitas dan kuantitas tertentu, begitu pula gagasan dan di wilayah inilah peran strategis imajinasi dalam mereinterpretasi sebuah citra tertentu (secara virtual) dalam perwujudan yang berbeda secara visual.

Mujiyono

Perupa muda kelahiran Demak, 11 April 1978 alumni Pendidikan Seni Rupa UNNES dan Dosen Pendidikan Seni Rupa UNNES kini tengah menempuh program magister di ISI Yogyakarta (2008-2010). Muji dalam proses kreatifnya mengelola aspek letupan-letupan psikologis yang mendekatkannya pada gejala alam sekitar. Gemuruh ombak dan gemugus awan-gemawan menjadi momen penting untuk mencerap spirit alam di dalamnya dan pola unity dalam harmoni. Jika dikonfirmasi pada karya-karya Mujiyono ‘Gejolak yang Membara’, 150 cm X 200 cm, Cat Akrilik di Atas Kanvas, 2010 mengingatkan saya pada karya-karya Childies series. Ikon garis, lelehan dan brushstroke merepresentasikan ekspresi childies yang emotif. Ia hendak membentangkan spontanitas dari gejolak jiwa alam secara mendalam dan menunjukkan unitynya dalam kemelekatan harmoni alam itu sendiri. Ia lugas dalam bertutur kendati acapkali kita temukan muatan ekspresi yang tersembunyi pada dimensi visual dengan serta merta melepaskan diri dari ranah linguistiknya yang langsung berdampingan ketika aspek konsepsi diberangkatkan secara bersamaan. Dalam nuansa spiritual alam yang cenderung disharmoni karena eksploitasi yang berlebihan namun tampaknya ia optimis bahwa berbagai gagasan dapat memadukan sesuatu yang berbeda ke dalam serangkaian konfigurasi harmoni.

Membentuk sebuah gagasan tentang suatu objek dan membentuk suatu gagasan sederhana merupakan suatu hal yang sama dengan mengutip pernyataan Hume dalam Sartre (2001: 6-7), bahwa referensi gagasan tersebut pada suatu objek yang sedang menjadi satuan tidak ada relasinya, yang di dalamnya sama sekali tidak lagi memiliki karakteristik. Sekarang mustahil untuk membentuk gagasan tentang sebuah objek yang mencakup kualitas dan kuantitas tidak memiliki ukuran yang tepat, maka ada suatu kemustahilan yang sama dalam membentuk sebuah gagasan yang tidak terbatas dan tidak dibatasi dalam kedua fakta tersebut.

Winarno

Perupa yang lahir di Yogyakarta, 23 Mei 1974 menempuh pendidikan Jurusan Seni Murni, Program Studi Seni Lukis Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Kini tengah menyelesaikan program magisternya di ISI Yogyakarta (2008-2010) dan Staf Pengajar Jurusan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya. Berangkat dari kegelisahan yang berujung pada kepanikan massa, (‘Terhimpit’, 2010, mixed media, 200 cm x 150 cm, 2010) dan (‘Eksploitasi dalam Kemasan’, 2010, mixed media, 150 cm x 200 cm, 2010) Winarno mengolah fenomena sosial sebagai momen estetik menjadi sebuah gugus pemikiran untuk mengartikulasikan berbagai persoalan urgen yang hari ini menjadi persoalan dunia. Ledakan problem urban culture menjadi bumerang sebagai ekses perkembangan kemajuan dunia teknologi dan industri.

Tampaknya gejala serupa dialami di semua kota metropolis bahkan terjadi di setiap belahan dunia dan umumnya direspon oleh seniman setempat sebagai betuk kepedulian atas persoalan yang tak kunjung usai. Dede Eri Supria mencermati sebuah perubahan pada masyarakat urban dengan muatan kritik sosial yang menohok meski dalam kemasan visual yang menawarkan pesona artistik yang luar biasa, bahkan sebagian kritikus seni berspekulasi menempatkannya pada kecenderungan ranah seni realisme baru. Begitu pula seniman Amerika Vettor Pisani memotret sesuatu yang alamiah dalam bentuk anti-alam: melalui kutipan penuh kekerasan, kekejaman, kematian, dan tanda kesaksian. Ia membangun seri oposisi yang tepat dan perasaan ganda melawan konsep alam yang vital dan paling diterima umum. Ia merespon alam dengan kultur dan memunculkan kompleksitas imaji yang surreal.

Djoko Maruto

Lahir di Blora, Jawa Tengah, 7 Juni 1952 alumni sekolah Tinggi Seni Rupa ‘ASRI’ Yogyakarta dan pada Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Yogyakarta. Ditengah aktivitas menempuh studi Magister pada program Pascasarjana ISI Yogyakarta (2008-2010) ia aktif menjadi dosen pada Pendidikan Seni Rupa UNY. Pada karya-karya mutakhirnya menyiratkan impresi kesahajaan yang sarat kritik terhadap temuan fenomena yang berkembang hari ini. Kadang mempresentasikan gejala stereotype masyarakat yang terindikasi pada karya ‘Terjebak dalam Kenikmatan’, 100x150cm, oil on canvas, 2010 mengemukakan fakta yang terus-menerus terjadi di sekitar kita. Entah sebagai bentuk refleksi jiwa jaman, perubahan nilai atau retorika terhadap politik kekuasaan semata.

Penyusunan posisi semacam ini mengarahkan pada konsekuensi adanya posisi retorik yang merupakan tanda refleksi yang frontal atas kepercayaan politis tertentu. Seni menjadi ruang tersembunyi, lokasi sebuah gagasan non-determinasi yang ideal memungkinkan seniman untuk merasakan keamanan dari kondisi dunia yang utilitarian. Seniman merespon realitas yang dirancang dalam berbagai fungsi yang berbeda dengan karya-karya untittle yang harus melindungi seni dari bilah-bilah maupun potongan-potongan yang didasarkan pada pertentangannya.

Mengingatkan seni pada tahun 1970an ketika mulai menyusun proses de-idealisasi yang sehat dan mengambil alih eforia pengalaman kreatif sebagai proses eksperimentasi eksternal dan aksi tandingan terhadap kebaruan melalui penggunaan nada yang lebih meditatif meskipun kemudian terasa kurang spontan. Mereka mengadopsi modul linguistik yang bertahan di sisi figuratif, pola dramatika untuk menemukan dimensi barunya dengan pengenalan terhadap aksen ironis yang membawa karya seni keluar dari relasi koalisi yang naif dan ambisius. Djoko Maruto dengan muatan ekspresi pada karya-karyanya seolah tengah bertutur mengenai kearifan lokal, kearifan alam dan dirinya dengan karakteristik artistiknya yang tetap memukau. Ketangkasannya dalam mengkoordinasi aspek-aspek visual menjadikan bahasa ekspresinya begitu terasa bertenaga.

Muhammad Amir

Lahir di Lawawoi Sidrap Sulawesi Selatan, 1-10-1965 dan Dosen Seni Rupa STSP Jayapura yang tengah menempuh studi pada program Pascasarjana ISI Yogyakarta (2008-2010). Menjadikan Tari yospan dalam kehidupan budaya dan adat Sentani sebagai landasan proses penciptaan seninya. Dengan diilhami pesona tari yospan dalam kehidupan budaya dan adat sentani sebagai landasan proses kreatifnya. Bagaimana seseorang terlibat secara emosional dengan tari yospan untuk menggerakkan spirit survival dan pesona feminitas.

Pencitraan budaya Sentani yang paling spesifik ini sebagai upaya penggalian nilai-nilai tradisi yang berhadapan langsung dengan perubahan sistem budaya kontemporer dengan mengambil peran dan fungsi nilai budaya luhur tanah air. Citra motif Papua menjadi simbol nilai dan pesan spiritual mengenai ikhwal persahabatan, persaudaraan, kemakmuran, kesahajaan dan kegembiraan. Amir bukan pada posisi mendokumentasikan ritme gesture para penari yospan namun secara khusus memindai spirit tari yospan ke dalam kehidupan sehari-hari dengan mentransformasi kekuatan muatan lokal, historis, dan kultur ke dalam tiap dimensi artificial. Ia berupaya keras menangkap imaji tersembunyi dengan kekuatan tertentu di setiap dinamika gerak dan ekspresi yospan.

Penutup

Paparan singkat diatas menunjukkan betapa pentingnya lokus-lokus kreatif pada lintasan jiwa tersebut penting untuk kita cermati. Dan, dengan kecerdasan spiritual ia menjumputnya sebagai bagian integral proses kreatif. Spirit pencarian dan eksplorasi adalah satu dari sekian peluang seorang perupa membangun karya-karya terbaiknya. Gagasan dapat kapan saja ditemukan atau bahkan pada situasi tertentu gagasan akan datang bertubi-tubi berada tepat di dalam pikiran dan perasaan kita untuk segera didokumentasikan. Namun tidak sedikit seseorang tak sanggup mendokumentasikannya hingga gagasan-gagasan yang luar biasa luput dari ketangkasannya untuk menangkap secara utuh. Lokus-lokus kreatif tampaknya selalu harus dipersiapkan setiap perupa untuk tetap menjaga intensitas kreatifnya.

Sepintas gagasan-gagasan serupa takkan kering untuk tetap digali namun ketika seseorang tak segera menyiapkan strategi kreatif untuk memoles gagasan itu sendiri dengan semangat inovasi yang revolusioner maka eksistensi atas gagasan tersebut sekedar repetisi dan berakhir pada kebuntuan representasi. Kebaruan cara pandang memungkinkan munculnya gagasan segar dan inovatif. Kesadaran intelektual dan semangat mencari metode kreatif dengan inovasi-inovasi terbaik menjadi konstruksi pemikiran keatif yang tak hanya memberi stabilitas dan nilai formal dari karya seni. Metode kreatif dapat menjadi konversi modular untuk mendorong kekhususan karya-karya yang dimunculkan ke ruang publik. Metode kreatif juga bekerja pada ranah ritual sosial yang secara tradisional dipraktikkan melalui kontemplasi yang penuh hormat dan ekstatis, yang tidak melibatkan hilangnya konsekuensi bagi publik. Karya seni menahan tatapan metafisik yang mampu melintas bahwa karya seni sebagai metode produktif yang berkait signifikan dengan sejumlah proses penciptaannya. Namun tetap berada pada sirkuit objektif, jelas, problematik, kompetitif, selektif dan plural.

Proses kreatif saat ini direalisasikan dengan sejumlah material-material kontemporer yang mengikat pada sistem duplikasi –adopsi- yang tak dapat dihindari. Seorang perupa bahkan harus senantiasa memperhatikan fenomena paradoks bahwa seni mengkonstruksi proses identifikasi dan investasi emosional yang kuat. Tanpa keraguan ia membangun, memproduksi dan mengembangkan identitas modular serta kondisi eksistensial untuk menemukan standarisasi perilaku yang esensial dalam hidup. Karya seni melalui proses penciptaannya meraih pemahaman atas dunia karena konsep tindakan dan identitas seni itu sendiri. Konsep seni demikian berperan memberikan latar belakang pada penelitian mengenai konsep seni itu sendiri dan memberi pengkayaan makna khusus pada tujuan yang hendak dicapaianya. Pada akhirnya seni bergeser dari umbaran intuisi dan metode sintesis pada aktivitas ilmu pengetahuan dan filsafat yang berbasis pada analisis yang sangat ilmiah. Saya berharap pada pameran ini kita semua berkesempatan untuk menjumput berbagai inspirasi dari lokus-lokus kreatif yang dihamparkan realitas hari ini pada lintasan jiwa secara personal. Dengan begitu proses pengkayaan atas lokus kreatif turut mengkonstruksi perspektif berpikir kita semua untuk meraih kebaruan baik dalam melakukan proses penciptaan seni maupun dalam mengamati karya-karya seni yang dikonstruksi dalam ruang perlintasan jiwa-jiwa kreatif.

Referensi:

Millet, Catherine. (1972), Art Conceptual.

Oliva, Achille Bonito. (2010), Art Beyond The Two Thousand, Biasa Art Space Little Library, Denpasar.

Sartre, Jean-Paul. (2001), Psikologi Imajinasi, Bentang, Yogyakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar