Minggu, 05 Februari 2012

INSIGHTS of OCTAGONAL

INSIGHTS of OCTAGONAL

Prestisius Segidelapan: Aktualisasi Cita Rasa, Identitas dan Investasi Estetis


Netok Sawiji_Rusnoto Susanto[1]


Semenjak pertengahan tahun 1980-an peran seni lukis di Indonesia mulai merangsek ke ranah praktik desain interior dan bagian yang lumat (integral) dengan pencitraan arsitektur. Berbagai media cetak desain interior dan arsitektur menguatkan pencitraan estetiknya dengan dominasi elemen estetis seni visual sehingga berdampak pada seni lukis sebagai aspek penting penguat karakter hunian maupun citra ruang dalam sebuah pusat bisnis yang hadir/berada di ruang publik. Seni menjemput penikmatnya hingga ke Hotel, Mall dan Apartemen bahkan rumah-rumah pribadi. Seni berburu pasar sekunder semacam ini di Jakarta pada 1992-2005 sering dijumpai pameran seni rupa masuk pada ruang-ruang komunal yang sangat terbatas, misalnya ada komunitas Prancis, Jepang atau Jerman yang sedang mengadakan pertemuan rutin, peresmian sebuah organisasi, Cocktail dan minum wine bersama di rumah salah seorang expatriate. Expatriate cenderung responsif ketika karya seni aktif masuk di ruang-ruang terbatas semacam ini, mungkin cara penikmatannya lebih private dan khusus. Bisa sembari mereka melangsungkan kegiatan yang lain serta membangun jejaring kerja dengan koleganya disini. Munculnya gengsi antar mereka ketika beberapa temannya mengoleksi karya pada acara tersebut dan beberapa alasan mulai sekedar materi pelengkap elemen estetis interior hingga motif investasi. Pencermatan semacam ini mungkin senada dengan konsep Identifying and Capitalizing on Brand Identity. Atau bahkan berorientasi investment.

Situasi ini mengingatkan saya pada proses blanding karya-karya mutakhir seorang pelukis abstrak yang membentuk mainstream, Piet Mondrian dengan karya-karyanya mulai masuk ke ranah teater hingga masuk begitu intim dengan ranah arsitektural (interior) sampai pada perkembangan citra arsitektural kontemporer. Karya-karya seni lukisnya begitu kuat mempengaruhi persepsi dan proses pencitraan arsitektural masa kini. Peran citra seninya menelusup pada ruang dalam kepekaan estetik para perancang interior dan perancang bangunan yang mampu merepresentasikan karakter, cita rasa dan status sosial pemiliknya. Ada semacam hunbungan kemelekatan seni, cita rasa, citra arsitektural dan nilai estetis yang dibangun secara integral.

Insights of Octagonal: Aktualisasi Cita Rasa, Identitas dan Investasi Estetis

Para seniman dan penulis seni rupa sesungguhnya mengungkapkan perasaan dan menciptakan sesuatu dari kondisi lokal mereka sendiri sembari menunjukkan nilai-nilai artistik dan kemanusiaan universal. Karena sesungguhnya humanisme universal yang berpasangan dengan konteks lokal ini mengandaikan bahwa para seniman dan penulis memiliki ruang untuk eksperimen serta hasil-hasil eksperimen mereka yang didasarkan pada ungkapan personal maupun kondisi lokal yang memberikan kontribusi bagi konstruksi cita rasa, pencitraan-identitas dan investasi estetik.

Dengan demikian seniman dalam berkarya dan menyampaikan gagasan dan pernyataan estetiknya yang dipengaruhi (mendapat rangsangan seiring dengan pandangan, aspirasi, kebutuhan dan aktivitas kesehariannya) dalam melandasi sekaligus membangun serangkaian proses penciptaan seninya. Proses pemuasan kebutuhan estetik ditentukan oleh intensi-intensi habitus dan kekuatan nilai lokal suatu budaya yang terintegrasi dengan aspek-aspek kebudayaan lainnya dalam mengkonstruksi idealisai proses kreatif. Pada intinya pembentukan estetika ini tak lepas dari persentuhan cita rasa, pemahaman, dan sensibilitas estetik secara inheren.

Perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia meskipun telah memiliki pengaruh yang mampu menegaskan posisinya dalam wilayah Regional Asia Pasifik. Namun, tak jarang dengan fakta yang membanggakan sedemikian rupa tetap saja institusi pemerntah tak mampu menyokong potensi-potensi tersebut. Seakan antara institusi berjalan sendiri-sendiri. Situasi-situasi serupa begitu menggejala pada negara-negara berkembang seperti Indonesia sebagai indikasi ketidaksiapannya memposisikan nilai tawarnya dalam menjalin hubungan kebudayaan di kancah internasional. Modusnya kemudian menjadi aktivitas yang sistemik.

Infrastruktur yang dikonstruksi tak mampu mendukung perkembangan seni rupa berupa lembaga seni pemberi sponsor, lembaga pendidikan seni, dan galleri/art center. Institusi yang makin banyak tumbuh semacam ini tidak memberi pengaruh ataupun melakukan usaha lebih membongkar pemikiran implementatif. Institusi-institusi yang ada lebih berfungsi supervisor bahkan terkesan melakukan justifikasi dalam perkembangan seni rupa melalui peran kuat kurator dan kritikus dengan produksi wacana yang dialirkan secara laten. Tentu ini semakin membuat aktivitas dan produk seni berjarak dengan (pemahaman) masyarakat umum mengenai seni semakin terlepas jauh dari nilai ideologinya.

Octagonal dalam perspektif arsitektural merupakan sistem ruang yang memiliki makna segidelapan. Segidelapan dalam konteks pameran ini merepresentasikan konsep pameran yang dibagi dalam delapan session dengan pembagian kekuatan-kekuatan yang berbeda dan variatif. Pada setiap session dipresentasikan dua orang seniman dengan karakteristik yang berbeda hingga session ketujuh dan ditutup dengan paket pameran tunggal Netok Sawiji_Rusnoto Susanto. Inspirasi Octagonal merupakan metafora dari sistem konstruksi segidelapan yang direpresentasikan delapan sisi kekuatan konstruksi yakni pada tiap titik (session) dijaga dua orang seniman dengan kapasiatas dan karakter yang spesifik. Kemudian dapat diinterpretasikan bahwa pada tiap sudut pertemuan titiknya mampu memberikan insights yang berbeda dan saling melengkapi serta menyokong konstruksi octagonal itu sendiri.

Pada session pertama akan dipresentasikan karya-karya perupa Hengky Koesworo (Surabaya) dan Nur Kholis (Sidoarjo). Presentasi kedua seniman ini menarik untuk dicermati baik aspek teknis artistiknya dan kedalaman maknanya yang dikemukakan. Hengky mengajak kita semua untuk ‘back to basic’. Nur Kholis menggali aspek-aspek local genius dengan repesentasi masa kini yang lebih segar dan kontekstual.

Session kedua perupa muda Yogyakarta Aan Gunawan & Ronald Apriyan. Perupa Palembang Aan Gunawan kali ini menonjolkan karya konseptualnya dengan mewacanakan term HOT, 140x180cm, acrylic on canvas, 2009 representasi kegelisahan masyarakat dunia atas Global Warming. Ia mencermati lingkungan yang kini tengah menuai kritik dari berbagai belahan bumi mengenai pemanasan global. Penggunaan ikon ‘cabe merah’ dalam kajian semiotika menjuk pada peta makna ‘pedas dan panas’ (menggambarkan lanskap hunian di dalam gugus kaca yang menyerupai bentuk visual cabe dengan aksen tebaran ikon beras yang maghfum sebagai sumber energi pangan dunia.

Permainan relasi ikon ini sangat tegas untuk memaparkan kehendak dari gagasannya mengenai rumah kaca yang semakin mengkhawatirkan keberlangsungan dan keseimbangan ekosistem dunia secara keseluruhan. Lubang besar rumah kaca sebagai fenomena yang menyumbang ekses kimiawi dan fisika langsung dapat dirasakan semua penghuni bumi. Aan seolah menuturkan bentuk keterancaman bumi dari tingkah polah penduduk bumi itu sendiri yang kian abai terhadap perilaku dan pola keseimbangan alam.

Ronald Apriyan yang malang melintang mengikuti Residency Artist di beberapa Negara tetap ia menggali aspek lokalitas dan perpaduannya dengan issue global menggarap subject matter Spiritual-Sakral diantaranya karya yang paling menonjol ‘The Special One’, 140x180cm, acrylic on canvas, 2010 merepresentasikan idiom formal yang melekat pada dogma religius dalam konteks perspektif spiritualitas Islam ke dalam karakteristik khusus.

Representasi Bouraq (kendaran Rasul ketika perjalanan ke Sidrahtul Munthaha) dan berbagai elemen yang mencitrakan berbagai symbol waktu, bumi, hunian, senjata (khas Timur Tengah), dan landscape virtual lainnya yang dapat memberikan asosiasi kita mengenai situasi tertentu yang misteri. Muatan ekspresinya yang personal membentuk khasanah baru citra seni lukis kontemporer hari ini. Aspek lokalitas, religiusitas dan aspek kekinian begitu padu dalam ruang kontemplasinya.

Sesion ketiga sepasang suami istri, perupa alumni UNESA Woro Indah & Winarno alumni Program Magister ISI Yogyakarta yang mengabdi di UNESA. Kedua perupa ini tampaknya tetap mempersoalkan bagaimana sebuah keharmonisan menjadi item penting dalam hidup, cermati karya Woro ‘Balance’. Woro mengkritisi diri dan manusia pada umumnya yang secara sadar melakukan perusakan (dzalim) terhadap diri dan manusia lain karena tidak tercapainya aspek keseimbangan sebagai manusia yang madani. Jadi, ‘Balance’ menjadi otokritik yang perlu dicermati kita semua. Kemudian ketika mencermati karya Winarno ‘Back to Nature Culliner’ yang secara sadar menandai perilaku masyarakat urban yang secara stereotype kelompok yang beramai-ramai masuk pada arus besar urban culture dengan gaya/pola makan fast food menjadi tren kemudian beramai-ramai pula masyarakat urban menemukan kesadaran untuk pencapaian hidup sehat maka memunculkan slogan baru ‘Back to Nature Culliner’. Kesadaran pola makan menjadi tren atau malah sebagai anti tesis atas perilaku sebelumnya.

Session keempat Ferisal (Nganjuk) begitu menggali fokus pada persoalan lingkungan dan penyelamatan global warming dan Andi Sulistiono (perupa asal Nganjuk) justru membidik dengan sitir ‘smoker’. Keduanya sesungguhnya memiliki kedekatan sumber gagasan dengan pencermatan yang berbeda. Jika ditelusuri Ferisal dan Andi mempersoalkan problem khusus yang bertautan yakni bagaimana memberi kesadaran pada publik perihal gerakan kepedulian lingkungan melalui pertentangan atau justru saling menguatkan dalam hukum sebab akibat.

Session kelima mempresentasikan Rudi Asri (Sidoarjo) menghadirkan parodi yang menggelitik penikmat karena seolah sedang menggiring pada subjek Masriadi dengan menjumput ikon khas sebagai upaya dominasi pencitraan visualnya dan berseru: ‘Mr. Masriadi, my boddy is not big enaough..!!’ dan Supar Pakis (Surabaya) dalam beberapa karyanya juga mempersoalkan ideologi berbangsa dengan peta makna yang khusus dengan mengolah subjek yang berada pada situasi confusing dan segera menunjukkan sikap tegasnya.

Session keenam M.Fauzi (Surabaya) menggarap subject matter seputar problem wisdom ‘sumpah palapa’ yang spesifik mempresentasi ikon lokal dengan sentuhan karikaturalistik. Potret problem lokal dan kesadaran masyarakat yang paling mendasar di tengah-tengah kita. Taufik Rahman (Sumenep) juga menghadirkan potret masyarakat hari ini dalam melakukan sebuah transaksi bisnis yang seringkali alot.

Session ketujuh Mahfud Syaiful (Sidoarjo) mimpi borjuis dan Jumartono (Lamongan) ‘Broken Dream’. Keduanya memiliki pencermatan yang senada menyikapi persoalan masyarakat kota besar hari ini secara kontekstual dan ia sesungguhnya tengah mengisyaratkan problem ruang dan persoalan hegemoni dalam konteks masyarakat urban. Satu hal sebagai catatan khusus untuk Jumartono yang sulit ditepis adalah bahwa penggarapan teknis artistik dan pertimbangan aspek estetis pada karya ‘Broken Dream’ sungguh unik dan sangat personal. Kemampuan memecahkan ruang visual dari aspek placement dan kepiawaian merekam karakteristiknya yang sangat memukau.

Dan, pada session kedelapan The Aryaduta Art Space untuk pertama kalinya menggelar pameran tunggal bertema ‘Virtual Replacement’ karya Netok Sawiji_Rusnoto Susanto. Virtual Replacement, sesungguhnya ia menggali subject matter yang digali seputar fenomena budaya cybernetic (televisi, telepon, internet, chattroom, e-mail, face book, twiter dan friendster) yang memiliki kontribusi terhadap perubahan mental masyarakat dunia yang akan dikedepankan pada pameran tunggal ini. Bagaimana seorang seniman mencermati perkembangan jamannya yang 5-10 tahun terakhir ini masyarakat dunia tengah di bentuk baik secara material, mental, dan spiritual (gaya belajar, gaya komunikasi, gaya sosialisasi, gaya hidup, gaya bertransaksi, gaya seksual bahkan dalam bergeser dalam melakukan penggalian serta laku spiritual). Pengikisan orientasi spiritual humanistik kemudian muncul sebagai persoalan mendasar dan Indonesia menjadi bagian penting proses produksi wacana cybercultures.

Kita yakin kedelapan paket pameran di The Aryaduta Art Space masing-masing paket pamerannya pencitraannya memberikan insights khusus pada publik terhadap berbagai gagasan karya seni yang diketengahkan. Ketika masing-masing session memberikan berbagai insights dari pencitraan berbagai hal yang menjadi dasar pemikiran seniman kemudian menyiratkan vibrasi tertentu pada penikmat. Di sinilah terjadi dialog produktif antara karya seni dengan publiknya dan kita berharap akan terjalin hubungan emosional antara karya seni dengan stakeholdernya secara signifikan. Dengan begitu semua stakeholder dapat memenuhi pencapaian targetnya baik secara fungsi personal, fungsi sosial maupun fungsi fisik karya seni tersebut. Karya seni tersebut apakah akan dipergunakan sebagai elemen estetis, pencitraan, maupun asset investasi yang menjajikan. Mengaju pada asumsi bahwa investasi karya seni cenderung meningkat berbanding lurus dengan proyeksi dan prospeksi yang dibangun antara seniman dan stakeholdernya. Semoga pada serangkaian pameran ini menginspirasi kita semua dan memercikan pencerahan secara psikologis. Semoga demikian dan selamat mengapresiasi.



[1] Kurator independen, mahasiswa program doctoral di program pascasarjana ISI Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar