Minggu, 05 Februari 2012

Let’s Fly an Arrow Spirit Mengubah Persepsi dan Provokasi Kreatif

Let’s Fly an Arrow

Spirit Mengubah Persepsi dan Provokasi Kreatif

Kurator

Netok Sawiji_Rusnoto Susanto

Anak layaknya sebuah anak panah dan orang tua sebagai busurnya. Biarkan anak panah itu melesat dari busurnya bersama impian-impiannya karena sesungguhnya ia tahu persis alamat yang dikehendakinya. (Kahlil Gibran)

Bagai anak panah yang lepas dari busurnya, demikian Apollo dikisahkan sebagai dewa pertama ahli panah yang mengajar manusia seni pengobatan dan penyembuhan termasuk lewat musik. Ia dianggap membantu manusia mencapai potensi sepenuhnya dengan anugerah pencerahannya. (dalam Mitologi Yunani & Romawi)

Transformasi Spirit Kreatif atas Perceptual Images

Panah telah berabad-abad dijadikan ikon maupun simbol tertentu bagi sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, kemudian panah menjadi metafora untuk mengartikulasikan pesan dan pencitraan tertentu. Meminjam mitologi Yunani kita segera menemukan perihal ‘panah’ sebagai subjek kajian. Apollo ‘Dewa cahaya’ merupakan dewa yang memiliki banyak keahlian; ahli musik, pemanah, pengobatan, dan penyair (seniman). Ia merupakan anak Zeus dan Leto sekaligus saudara kembar Artemis. Ramalan Orakel Delphi menunjukkan bahwa Apollo adalah salah satu dewa terpenting di Olimpus. Apollo, Dewa perbuatan, musik dan penyembuhan yang memberikan kebijaksanaan sebagai perantara antara dewa dan manusia. Dengan kepandaian yang tinggi, bagai anak panah yang lepas dari busurnya, dikisahkan dia adalah dewa pertama yang mengajarkan manusia seni pengobatan dan penyembuhan termasuk lewat musik. Ia dianggap membantu manusia mencapai potensi sepenuhnya dengan anugerah pencerahannya. Selama perang Troya, dipercaya bahwa Apollo berpihak dan menolong prajurit Hector di medan perang.

Sedangkan Artemis, saudara kembar Apollo dikenal sebagai dewi hutan dan perbukitan, digambarkan ia selalu membawa busur dan anak panah. Rusa dan pohon siprus dikeramatkan baginya. Artemis (Dewi berburu) merupakan dewi suci bagi pemburu dan pelindung kaum muda yang tengah mengatur masa depannya. Saudara kembar Apollo ini piawai dalam memanah melebihi semua dewa di Gunung Olympia. Panah yang dilepaskannya memberikan impresi sebuah pelepasan keputusan-keputusan pentingnya, pesan ini dapat dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kecerdasannya dalam mengambil keputusan-keputusan yangdapat dijadikan inspirasi kreatif bagi seorang perupa untuk memanifestasikan berbagai kegelisahan kreatifnya dengan menggelandang gagasan-gagasan gilanya.

Satu dari sekian banyak kisah dari mitologi Yunani tersebut membangun persepsi ‘panah’ sebagai metafora yang sesungguhnya memiliki kelekatan dengan spirit daya hidup dan optimisme. Kita semua diajak menata kembali pentingnya visi ke depan dengan tetap menjaga intensitas kreatif, karena kekuatan inilah yang dapat melesatkan impian-impian kita ke depan. Kita berharap para perupa tetap mengartikulasikan ikon-ikon visioner untuk menerabas kebuntuan-kebuntuan dan segera menemukan kekuatan-kekuatan potensial sebagai individu kreatif. Let’s Fly an Arrow mengisyaratkan kita pada teks Let’s Fly The Future Arrow atau Releasing The Arrow of The Future, itulah sepenggal kalimat motivasi yang nyaris tak pernah kita jumpai sebagai teks, namun biasa melesat-lesat dalam alam bawah sadar ketika kita berada di tepi keragu-raguan. Sejatinya kalimat semacam ini dapat diartikulasikan dengan presentasi yang berbeda-beda di setiap konteks budaya. Juga terjadi pada epos bharatayudha sering munculnya adegan-adegan yang berkaitan dengan panah yang memanifestasikan sejumlah nilai filosofis kehidupan.

Pencermatan terhadap fenomena apapun senantiasa bergantung pada seberapa mampu seseorang melakukan transformasi spirit dari nilai mitologi ke dalam semangat kreativitas kontemporer. Penggalian spiritual sesungguhnya memiliki aspek nilai tawar khusus bagi seseorang untuk pencapaian sebuah proses identifikasi yang menandai kerja kreatifnya. Sebagian besar peserta pameran saat ini memiliki kapasitas kreativitas dan intelektualitas yang memadai untuk melakukan transformasi gagasan intelektualnya atas respon fenomena estetik.

Tema-tema segar dan optimis cukup penting untuk mensugesti wacana pasar seni rupa yang tetap signifikan mempengaruhi semangat kreatif para perupa akhir-akhir ini. Tentu tak berlebihan jika tesis serupa dikemukakan dalam paparan ini karena faktanya kita perlu asupan energi kreatif. Semua yang berkaitan langsung dengan proses kreatif dapat memprovokasi idealisasi-idealisasi proses penciptaan seni. Paling tidak, kita senantiasa berpikir bahwa apapun yang terjadi kita terus membangun karya-karya terbaik dan monumental.

Let’s Fly an Arrow memberikan inspirasi bagi seseorang untuk melakukan tindakan revolusioner dan memacu untuk melakukan hal baru dalam hidupnya. Kesadaran semacam ini dapat diaktualisasikan ketika seseorang berada persis diujung keraguan bahkan keputus asaan atau ketika seseorang berada pada puncak optimistis membangun segenap obsesinya. Nilai penting dari kesadaran itu semua mengarah pada situasi bagaimana sebuah mimpi diubah ke dalam pengelolaan (skill) untuk memanifestasikan segenap mimpi menjadi kenyataan (manifest dream).

Freud sering menyoal mengenai sugesti halusinasi melengkapi mimpi (hallucinatory dream) dengan isi yang ada dalam manifestasi. Pelbagai karakter topologis ketidaksadaran juga menyebabkan ketakmampuan mimpi mengungkapkan hubungan gramatis (berbahasa) dan hubungan logis. Keduanya merupakan bagian dari fungsi-fungsi kesadaran. Freud menyatakan bahwa dalam kasus regresi (kembalinya tingkah laku ke pola awal), kehendak akan menghilangkan banyak makna (expression), kecuali khayalan-khayalan perseptual (perceptual images) akan terus abadi. Perubahan mimpi ke dalam material-material kasarnya (skill) untuk memanifestasikan semua peristiwa dalam mimpi yang segera menjadi kenyataan (manifest dream) sangat bertolak pada upaya kita mengubah persepsi dan kekuatan provokasi kreatif dalam berbagai situasi.

Pada konteks perkembangan seni rupa umumnya melakukan berbagai terobosan teknik untuk membangun altar pencitraan karya terbaiknya namun hanya sebagian kecil seorang perupa melakukan lompatan-lompatan yang melampaui paradigma seni hari ini. Semangat ini serupa dengan etos seseorang yang dalam hidupnya fokus pada spirit mengubah persepsi untuk memprovokasi proses kreatif. Karena ketika seseorang memiliki sikap merubah persepsi maka cara pandangnya senantiasa berada pada kondisi kebaruan. Melalui kesadaran bahwa sebuah perubahan tak terjadi tanpa berbagai kajian teoretis dan penelusuran kajian di wilayah praksis yang sudah barang tentu membukakan cara pandang kita saat ini. Area kreatif mewajibkan sebuah cara pandang dikelola, dikembangkan bahkan diubah demi sebuah temuan-temuan pembaruan (inovatif) dalam proses penciptaan seninya.

Muatan ekspresi ketika menangkap momen estetik senantiasa didasari pada upaya melakukan kajian yang ditentukan seberapa besar kapasitas empaty untuk melibatkan emosi dan intelektualitasnya. Hal ini menuntut kecerdasan intuitif untuk menjumput sejumlah nilai penting sebagai inovasi yang godog pada lokus-lokus kreatif. Lokus-lokus kreatif semacam ini yang diharapkan mampu menerjemahkan konsepsi-konsepsi besar para perupa yang selalu mendasari proses penciptaannya dari sebuah kesadaran baik yang secara langsung ditemukan dalam kehidupan sehari-hari atau menemukannya dalam ruang-ruang imajiner. Bahkan ada pula yang secara konservatif hanya sebatas menerjemahkan momen estetik dari perspektif dan referensi individual atau ground experience spesifik.

Let’s Fly an Arrow: Spirit Mengubah Persepsi dan Provokasi Kreatif

Frame kuratorial pameran nominator Tujuh Bintang Art Award 2009 sesi kedua kali ini terasa menguatkan kembali optimisme perkembangan seni rupa kita hari ini. Afdhal, Agus Triono, Andi Riyanto (Laghost), Angga Aditya Atmadilaga, Bambang Supriyadi, Baskoro latu, Budi Agung Kuswara a.k.a Kabul, Dani ‘King’ Heriyanto, Deden FG, Dedy Maryadi, Dedy Sufriadi, Desrat Fianda, Dhomas Yudhistira (Kampret), Dwi Rustanto, Handry L.S, I Gede Arya Sucitra, I Made Adinata Mahendra, I Made Ngr. Sadnyana, I Wayan Legianta, Imam Abdillah, Ivan Yulianto, Kadek Agus Mediana (Cupruk), Mulyo Gunarso, Nugroho Heri Cahyono, Pande Nyoman Alit Wijaya Suta, Purwanto, Suparyanto, Untung Yuli Prastiawan, Widhi Kertiya Semadi, dan RB. Setiawanta kini membuktikan kekuatan-kekuatan karyanya dalam merepresentasikan gagasan kebaruannya masing-masing. Sebuah progres yang menarik ditelaah aspek permainan persepsi dan kemampuan artistiknya yang memprovokasi kegelisan kreatif perupa muda umumnya dalam penggalian identifikasi dirinya sebagai upaya revitalisasi.

Revitalisasi gagasan atas tiap subject matter adalah upaya konkret pelaku kebudayaan menjadi kekuatan integral dan komplemen dalam berbagai format kompetitif yang digerakan oleh lokus-lokus kebudayaan sebagai agen pencerahan aktivitas kreatif (enlightenment). Semua dapat menjadi modal kekuatan untuk pemberdayaan aspek-aspek kehidupan di dalamnya maka seseorang harus memiliki kesadaran untuk memaknai nilai-nilai sehingga terjadi proses reinterpretasi, reaktualisasi dan revitalisasi. Sebagian besar peserta kerap mengadaptasi persoalan-persoalan yang mencuat hari ini dalam perspektif multidisiplin sebagai sudut pemindaian. Pendekatan interdisiplin memungkinkan proses kreatif menemukan kejutan-kejutan yang mencengangkan.

Pendekatan-pendekatan interdisipliner pada kajian budaya melampaui batas-batas dari berbagai disiplin akademik karena faktanya, mereka mempunyai argumentasi bahwa sesuatu tidak akan berhenti pada batasan teks. Tetapi dapat melihat bagaimana sistem tersebut terjadi ketidakberaturan dalam sistem produksi tekstual dan bagaimana berbagai teks menjadi bagian dari sistem genre atau tipe produksi yang mempunyai konstruksi intertekstual. Pendekatan interdisiplin sebagai sebuah kajian lintas disiplin dari teks ke konteks, teks ke budaya dan masyarakatnya yang mendorong terjadinya pelintasan batas strata, gende, rasial, seksual, etnik dan bernagai karakteristik yang berbeda melintasi konstruksi indentitas.

Konteks tersebut menjadikannya sebuah mahadaya pada kehidupan aktivitas kreatif ke dalam bentuk apapun dalam melahirkan narasi-narasi kebudayaan secara implisit untuk mengkontruksi intertektual. Sebuah perluasan dari perubahan narasi besar-besaran dewasa ini diusung masyarakat kontemporer dengan pola pembentukan sistem budaya baru yang secara kontinuitas disadari sebagai suatu perubahan dari narasi kebudayaan sebelumnya. Namun, hal tersebut muncul dan dicuatkankan sekaligus oleh sebuah realitas-realitas sosial tertentu yang begitu menggejala sebagai sebuah kecenderungan baru atas keseragaman pelbagai persoalan masa kini. Sebagai indikasi perkembangannya realitas-realitas baru yang dipresentasikan melalui kecenderungan munculnya produk-produk budaya baru dan konstruksi sosial.

Untuk melacak bahwa sebuah transformasi semacam ini dapat diangap sebagai suatu metode dalam kerja Grotowski, menjumput pendapat Erika-Fischer Litchte dalam buku The Semiotic of Theater[1] yang menjelaskan bahwa transformasi merupakan proses terjemahan dari satu materi ke materi lain dimana transformasi tersebut mampu mengubah keseluruhan sistem tanda yang benar-benar berbeda. Bagaimana struktur sistem tanda teks, gagasan dan obsesi (konsep imaji) diterjemahkan ke dalam sistem tanda lainnya (teks visual) yang mereinterpretasikan gagasan dalam serangkaian proses kreatif melukis misalnya. Sistem tanda tersebut sekaligus mengubah makna yang dikandung oleh sistem tersebut. Selain itu perubahan dapat menentukan fungsi tekstur, garis, warna dan aspek visual lainnya yang pada akhirnya melahirkan berbagai variasi interpretasi terhadap perubahan makna yang sedang terjadi.

Transformasi ini disebabkan kemunculan inspirasi dari teks visual yang dikelola dan selebihnya dipertegas dengan harapan-harapan ideologis yang diinginkan penikmat seni. Maka proses penciptaan dunia imajinasi dalam sebuah sistem budaya tersebut merupakan tanda yang mengacu pada suatu pertemuan gagasan antar manusia lain. Transformasi merupakan proses perubahan yang menghasilkan sebuah keseimbangan antara sistem terkait dengan sistem simultan dan teks-teks itu berfungsi sebagai ‘waktu yang mensejarah’. Kemudian Richard Schechner dalam bukunya Performance Theory,[2] bahwa kontak budaya tak hanya merupakan proses referring tetapi proses pembentukan potensi setiap unsur yang terlihat di dalamnya. Potensi budaya melibatkan unsur-unsur budaya dalam masyarakat atau komunitas yang mampu menjadi pendukung terjadinya transformasi komunikasi antar manusia dan lingkungannya.

Lepaskan Panah..! seruan ini paling tidak membukakan peluang seseorang untuk berani melakukan tidakan seradikal mungkin atau paling tidak melakukan sesuatu yang baru, terutama dalam melakukan serangkaian proses kreatif. Lepas dari latar belakang dan tujuan penciptaan seni, karya seni sebagai sebuah fenomena budaya dalam kajian estetika yang sangat menonjol pada kajian-kajian humaniora (humanities) atau yang lebih spesifik yakni humaniora seni (Humanities Through the Arts). Kajian semacam ini menggunakan pendekatan eksplorasi yang khusus terhadap subjek tertentu dengan cara melakukan peninjauan peran dan nilai kemanusiaan pada tiap teks visual yang dimunculkan. Eksplorasi pada kajian Humanities Through the Arts memberi penekanan pada pentingnya suatu keterkaitan muatan ekspresi pada karya seni secara historis, teoretis dan kajian-kajian kritik seni.[3] Kajian lintas disiplin (sosiologis, psikologis, antropologis, semiotika, komunikasi, historis dan filsafat) sangat berpeluang memperluas perspektif proses pengkajian yang berdampak pada perkembangan dan perubahan proses kreatif yang dapat dilesatkan layaknya panah-panah kreatif.

Epilog

Perkembangan seni di Indonesia, hingga di tingkat infrastruktur seni memang memiliki cukup daya tahan dan fleksibilitas tinggi dalam menghadapi perubahan dan perkembangan karya-karya seni rupa masa kini (seni rupa kontemporer) dalam membangun semangat internasionalisasi. Optimisme tersebut mampu membentuk otonomi kultural dengan kapasitas daya hidup infrastruktur seni rupa yang lebih mapan dengan kesadaran membangun jejaring dengan stockholder.

Kreativitasnya dalam merespon kondisi sosial dan budaya dari kehidupan keseharian dengan dua mata pisau bedah dalam menggali subject matter yakni; sikap eksploitatif dan sikap eksploratif. Sikap eksploitatif mencitrakan pengertian mengerjakan sesuatu tanpa pretensi tertentu dan pamrih sepihak. Dimana subjek dan objek berada pada posisi masing-masing tanpa melakukan komunikasi harmoni. Jika subjeknya adalah pelukis, maka ia akan memeras habis-habisan objeknya untuk keuntungan sepenuhnya (popularitas, posisi, materi dan sebagainya). Sikap eksploratif mencitrakan pengertian yang lebih demokratis dengan membangun komunikasi. Seorang perupa hanya berupaya secara optimal melakukan penjelajahan (baik penjelajahan mencari bentuk atau penjelajahan estetik) untuk memperoleh pengetahuan dengan berbagai persoalan dan upaya pemecahannya. Seorang perupa akan senantiasa berupaya melakukan penggalian dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan, mengasah kepekaan dan sikap kritis terhadap situasi serta selalu memotivasi (memprovokasi) dirinya untuk selalu berpikir dan bertindak dengan upaya-upaya kreatif.

Bagaimanapun juga ketika proses ini diharapkan mampu mengubah cara berpikir dengan cara pandang yang tidak tunggal dan monoton. Karena sikap tersebut menjadi semacam tirani kreativitas seorang perupa untuk keluar dari tempurung kreativitasnya yang sangat diyakini keistimewaannya kemudian tidak berminat melakukan berbagai eksplorasi. Pada posisi seperti inilah seseorang mengalami ketumpulan kreatif dan pada karyanya merepresentasikan citra visual yang terkesan repetisi dari karya-karya sebelumnya dalam kurun waktu yang cukup panjang. Jika pola tersebut tidak cepat disadari maka terjadi kemandegan dan proses kreatifnya dianggap telah usai.

Paparan singkat ini paling tidak perupa mampu menguasai ideologi yang mendasari filosofi bentuk dan isi dari karya yang dipresentasikan. Dengan demikian perupa senantiasa membangun kreativitas dengan nilai kebaruan. Indikatornya ketika seseorang menggilai lompatan-lompatan spektakuler dan radikal ketika melakukan serangkaian proses penciptaan seninya. Namun, sejatinya sebuah penyidikan, kajian terhadap subject matter dan penyematan jiwa yang dilesakan ke dalam proses penciptaanya sehingga menaikan sekian derajat nilai dari sesuatu menjadi-sumber inspirasi- acuannya. Seorang perupa dalam proses penciptaan seni haruslah melakukan beberapa pendekatan yang melandasi proses penciptaan agar mampu membangun wacana, kesadaran, gagasan dan sikap serta tindakan penulis untuk mengkomunikasikan renungan-renungan kritis atas berbagai fenomena kontemporer sebagai perluasan dari perubahan narasi besar-besaran dewasa ini diusung masyarakat kontemporer dengan perspektif multidisiplin.

Saya berharap dalam ruang pameran ini menjadi laboratorian sementara untuk menunjukkan bagaimana gejala perubahan kreatif tetap signifikan mencerap berbagai perubahan, pembaruan, dan perkembangan sebagai suatu sikap revolusioner. Dalam pameran ini pula setiap peserta pameran dapat menjumput spirit yang mamp mengubah persepsi dan melakukan provokasi kreatif sehingga semakin melesatkan gagasan-gagasan kreatif luar biasa layaknya anak panah yang melesat dari busurnya membawanya ke puncak pencapaian tertinggi hingga kelak mampu nyolek langit.

Referensi:

Martin, David F. and Lee A. Jacobus, (1983), The Humanities Through the Arts, McGraw Hill Book Company, New York

Lichte, Enrika-Fischer, (1992), The Semiotics of Theater, terj. Jeremy Gaines and Doris L. Jones, Indiana University Press, Bloomington Indianapolis.

Schechner, Richard, (1988), Performance Theory, Routledge, New York and London.



[1] Enrika-Fischer Lichte, (1992), The Semiotics of Theater, terj. Jeremy Gaines and Doris L. Jones, Indiana University Press, Bloomington Indianapolis, p. 200

[2]Richard Schechner, (1988), Performance Theory, Routledge, New York and London, p. 229

[3] Martin, David F. and Lee A. Jacobus, (1983), The Humanities Through the Arts, McGraw Hill Book Company, New York, p. 21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar