Minggu, 05 Februari 2012

Re-CONTRIBUTION Memindai Spirit Kreatif Pesisir Utara

Re-CONTRIBUTION

Memindai Spirit Kreatif Pesisir Utara

Re-Contribution secara terminology, tentu kita semua maghfum karena mapan dengan kata re dan contribution yang secara harafiah dapat bermakna memberikan sumbangan kembali. Jika mengingat sejarah pesisir utara dari masa imperalisme, revolusi hingga kemerdekaan memiliki spirit dalam konteks sejarah yang khusus. Pesisir utara menjadi bagian penting perlintasan kreatif seniman-seniman besar Indonesia baik dalam proses pelibatannya dalam sejarah perjuangan, pedokumentasian peristiwa-peristiwa penting maupun menjadi perlintasan kebudayaan yang cukup penting. Sebut saja bagaimana Lekra mengawal perjuangan dimasa revolusi dengan menggunakan kesenian dan manifesto-manifesto kebudayaannya sebagai propaganda melalui seni visual. Sebentuk kontribusi paling nyata bagaimana proses kesenian terlibat begitu khusus dalam jejaring dengan masyarakat jelata hingga politisi nomor wahid jaman itu, karena Soekarno mensupport aktivitas mereka.

Tentunya banyak hal yang disumbangkan oleh komunitas ini baik dari aspek pemikiran, kegelisahan, obsesi, perenungan, pengalaman empiric mampu memberi wacana dengan pengayaan dalam ekplorasi-ekplorasi yang memuat nilai-nilai emosional dan intelektual dipresentasikan secara sahaja di Galeri Biasa Yogyakarta. Pelukis yang terhimpun pada Kalikutho Art diantaranya Mukaror dari Tambaksari Kendal, Lisinatra dari Gringsing Batang, Samsuri dari Kendal, Al Manaf dari Kalirejo Kendal dan Ragile dari Kendal. Dalam konteks ini pula, pameran Re-Contribution sesungguhnya tengah berupaya memindai spirit kreatif pelukis pesisir utara dalam memberikan re-contribution pada sebuah jalinan apresiasi yang mencerahkan. Insight yang didapat dalam ruang pameran ini tentu akan menemukan perluasannya. Beberapa catatan penting ketika mencermati karya-karya mereka layak dikaji lebih jauh dan perlahan tapi pasti akan masuk ke perhelatan penting seni rupa kita.

Mukaror dari Tambaksari Kendal memainkan kekuatan imajinasi dengan menjumput aspek lokalitas pesisiran. Ikan sebagai ikon. Saya tak perlu lagi meragukan kemampuan teknik realistiknya tentu, namun saya lebih tertarik mencermati ‘Fly’, 140x190cm, oil on canvas, 2011 pada sisi konseptual dan nilai-nilai estetik dikedalaman karyanya. Karor menggunakan ikan dan dirinya menjadi bagian tanda yang menggumpalkan metafora yang lumat. Representasi diri sebagai personifikasi pelaku bahari dengan gugusan ikan yang melekat pada tubuhnya sebagai komoditi pokok masyarakat setempat dalam persenyawaan seolah membawanya terbang membawa obsesi, harapan, dan impian-impian penting yang tetap hidup mewakili sosiokulturnya.

‘Fly’, 140x190cm, oil on canvas, 2011 (Mukaror)

Baginya ikan dan dirinya merupakan asset kebudayaan dan jaminan masa depan masyarakat bahari sebagai sumber inspirasi, sumber kehidupan dan sumber kearifan alam serta kemurahan sang Khaliq yang menjamin kehidupan dan impiannya. Impian membawa totalitas diri dan masyarakatnya terbang menyentuh langit untuk menemukan identitas, entitas psikologis, eksistensi dan impian-impiannya. Karya ini inspiring untuk memicu kita semua untuk menghargai aspek lokalitas secara teringrasi dengan perubahan jaman.

Lisinatra, pelukis dari Gringsing Batang yang mengolah tema-tema seputar konfrontasi dunia materialistik (meminjam idiom ‘uang’ dan ‘cabe’ berkonotasi uang panas) dengan spirit masyarakat bawah dengan bahasa realistik yang memadai, memadai dalam pengertian berkecukupan mempresentasikan dasar pemikirannya dengan artikulasi visual yang dihadirkan. Sehingga ,mampu menampaikan esensi konseptual karyanya melalui bahasa visual. Eksplorasi teknik artistiknya segera memesonakan mata. Artefak yang bisa dipindai atas seputar problem sosial yang berujung pada persoalan nominalisasi atas sesuatu yang tengah diperjuangkan.

‘Uang Panas’, 130x190cm, oil on canvas, 2010 (Lisinatra)

‘Uang Panas’, 130x190cm, oil on canvas, 2010 adalah upaya merelasikan sekaligus menabrakan idiom formal koin pecahan mata uang dengan idion ‘cabe’ adalah sebentuk penangkapan fenomena sosial bukan saja penduduk pesisiran utara saja yang merasakan bahkan problem pasar perdagangan nasional. Tumpukan koin dari nominal kecil hingga yang paling tinggi nominalnyasekonyong-konyong ada sebutir cabe berang yang melenggang diatas himpunan koin tersebut, tentu menyampaikan isyarat khusus sebagai pesan representasi harga cabe (diasosiasikan pedas dan rasa panas) dipasaran yang terus melambung, bahkan kita menemukan harga cabe yang tak terbeli di lingkungan petani penghasil cabe itu sendiri. Tak berlebihan, dimana pergerakan harga cabe mampu memberikan pengaruh signifikan dengan peningkatan harga jual komoditi pertanian lainnya termasuk mampu menentukan fluktuasi harga pasar sembako lainnya. Nilai jual komoditi pertanian cabe, beras, bawang, telur, gula, daging dan rempah lainnya bahkan menggairahkan sistem spekulasi perdagangan disektor lain seperti dolar mempergaruhi harga emas dunia.

Samsuri dari Kendal secara lugas dan tegas menyatakan kepada diri dan orang di sekitarnya untuk melakukan otokiritik dengan mengemukakan tajuk ‘Waspada’, 130x170cm, oil on canvas, 2010 Samsuri ingin mempresentasikan gagasannya dengan idiom potret dirinya dengan gesture layaknya penjaga gawang dalam sebuah permainan sepak bola tanpa mengenakan kostum team dan menggunakan bumi (bola dunia) sebagai metafora. Waspada dalam menghadapi tantangan jaman, perubahan dunia dan ancamannya. Waspada dalam pengertian keterjagaan terhadap segala sesuatu yang menghampiri bahkan yang berhadapan dengan kehidupan kita.

‘Waspada’, 130x170cm, oil on canvas, 2010 (Samsuri)

Fenomena cybernetic pada produk-produk cybercultures (TV, Telephone, Hp, IPAD, dan internet dengan jejaring sosial di dalamnya: facebook, twetter, fiendster dan badoo) yang mempresentasikan aktivitas masyarakat dunia dalam genggaman kita melalui internet di handphone kita. Tentu kita kurang menguasai ruang untuk mewaspadai apa dan bagaimana aktivitas remaja juga anak-anak kita dalam mengekspolrasi cyberspace itu. Semua informasi berjejal seakan hendak menunjukkan dirinya keluar ruang virtualnya, dan ini dibutuhkan kewaspadaan yang luar biasa apa-apa yang kita akan tangkap sebagai sesuatu yang benar-benar kita butuhkan. Kewaspadaan masyarakat harus kita harus membekali diri untuk berhadapan dengan dunia dan perubahannya.

Al Manaf dari Kalirejo Kendal secara representatif ihwal filsafat ilmu pengetahuan melalui ‘Come On’, 130x180cm, oil on canvas, 2011 dengan meminjam tokoh Einstein sebagai ikon genius dalam temuan-temuan penting penyumbang ilmu pengetahuan. Mengutip ujaran Al Manaf bahwa ‘Mari kita selalu belajar dan berfikir, tapi bukan cuma menggunakan akal tapi kita harus tau norma-norma atau ajaran-ajaran untuk mengontrol diri kita dari sesuatu yang tidak baik’. Pernyataan ini mendasari gagasan penciptaan karyanya dan kesadarannya akan pentingnya memiliki ruang berpikir dan spirit untuk tetap belajar sebagai upaya perwujudan nilai ibadah dan membangun eksistensi.

‘Come On’, 130x180cm, oil on canvas, 2011 (Al Manaf)

Manaf hendak merepresentasikan kekuatan berpikir sebagai sikap kritis terhadap dominasi kekuatan rasional yang harus berhadapan langsung dengan sejumlah etika, norma, dogma dan cara berpikir yang kemudian menemukan konvensinya. Banyak hal yang dapat dikayakan dari kesadaran belajar dan berpikir karena dalam proses tersebut maka seseorang memberdayakan potensi-potensi tersembunyi dalam dirinya yang pada saat itu juga atau kesempatan mendatang akan mencuatkan pemikiran dari gagasan visioner yang berilian. Ia menggambarkan potret Einstein dengan gesture spesifik muncul dari retakan-retakan bebatuan yang mengisyaratkan bahwa kekuatan berpikir mampu memecahkan kekuatan fisik yang nyaris tak mampu terpecahkan. Dengan kekuatan berpikir segala sesuatu menemukan pemecahannya.

Ragile dari Kendal mengusung gagasan ‘Bee’, 90x140cm, oil on canvas, 2011, tawon atau lebah menjadi pokok masalah dalam lukisan ini kehadiran lebah sebagai mahluk penyeimbang kosmologi. Representasi bola bumi yang bening dan daun mint yang segar membentuk konfigurasi bentuk lebah di atas batu yang menyerupai perut lebah dengan background citra gurat-gurat kayu jati yang artistik. Relasi tanda yang dirangkai pada karya ini membangun interpretasi mengenai kehidupan, kesejatian, revitalisasi dan komitmen yang kuat menjaga keberlangsungan mekanisme hayati, menjaga pertumbuhan biomorfis, pelestarian alam dengan konsep keseimbangan. Kritik terhadap fenomena pembalakan liar hutan tropis Indonesia yang menjadi keprihatinan masyarakat dunia. Konsepsi ‘bee’ bisa menemukan perluasan dalam berbagai wacana yang berkaitan dengan problem dunia hingga fenomena global warming.

‘Bee’, 90x140cm, oil on canvas, 2011 (Ragile)

Sebuah jaringan televisi Australia melaporkan bahwa perusahaan multinasional Asia Pacific Resources International, pemilik salah satu pabrik kertas dunia, secara ilegal telah menggunduli hutan di Indonesia, termasuk Kalimantan dan Sumatra. Atas dasar impor berbagai produk kertas, pemerintah Australia menyatakan memiliki kewajiban untuk menyelidiki klaim perusahaan tersebut telah merusak hutan yang seharusnya dilindungi. Kemudian issue pemanasan global adalah isu dunia yang menarik perhatian masyarakat dunia. Pemanasan global disebabkan antara lainnya oleh kehadiran banyak gas karbon dioksida di atmosfer. Pemanasan global juga pencetus fenomena iklim ekstrim yang menghasilkan pelbagai malapetaka seperti ribut taufan dan banjir di seantero dunia. Sejak 1997 hingga 2008, pengeluaran karbon dioksida di dunia berikut penggunaan bahan bakar fosil meningkat 31%. Ia bermakna jumlah gas karbon dioksida harus dikurangi kerana jika tidak kita akan menghadapi tekanan lebih berat lagi.

Nah, melaui karya-karya semacam ini tentu dapat mengkampanyekan sikap kritis terhadap pembalakan liar yang mengurangi produksi oksigen bumi dan fenomena global warming sebagai langkah menyikapi problem kehidupan hari ini. Ini sebuah re-contribution paling nyata seniman melalui karyanya memberikan kesadaran berperilaku dan mengedepankan kepentingan masyarakat dunia dalam menjaga ekosistem hayati. Selamat berpameran untuk memberikan inpirasi, proses edukasi dan menggairahkan iklim kesenian kita.

Netok Sawiji_Rusnoto Susanto

kurator independen dan mahasiswa program Doctoral Program Pascasarjana ISI Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar