NOSTALGiLLA
[Merayakan Keliaran Tanda dan Persepsi]
’Masyarakat’ itu adalah entitas sosiologis yang kenyataannya teguh dan stabil, sehingga anggota-anggotanya (A dan D) bahkan bisa dikatakan pernah berpapasan di jalan tanpa pernah saling kenal, dan fakta ini tidak mempengaruhi bayangan bahwa keduanya toh memiliki hubungan.
Benedict Anderson
Komunitas Funky, Kreatif dan Segar Sebagai Titik Picu Kegilaan
Nostalgia, itulah awalnya komunitas ini mengusung tema perdananya untuk menandai sebuah peluncuran Rumah Joglo di Sewon, Yogyakarta salah satu ruang alternatif kebanggaan Art Sociates yang dibidani tangan dingin Dr. Andonowati. Alasanya sederhana, Nostalgia disepakati sebagai tajuk pameran ketika itu karena terjalinnya hubungan emosional di antara mereka dan Rumah Joglo beberapa diantara mereka sempat tinggal di joglo tersebut pasca gempa bumi akhir mei 2006. Sebuah kegiatan yang mempertemukan para seniman ini kembali untuk mengenang masa lalu dengan cara yang positif, mengingat seniman dalam komunitas ini pernah tinggal dalam satu rumah selama bertahun-tahun, beberapa di antaranya pernah menjadi bagian dari “Kelompok KAKUL 00”, Sanggar Dewata Indonesia Yogyakarta, anggota Sanggar Sakato dan sering beraktifitas secara bersama dalam kegiatan seni rupa meskipun mereka berasal dari latar belakang disiplin ilmu dan kultur yang berbeda, tetapi kebersamaan mereka tetap solid seolah hendak menampik kehawatiran Benedict Anderson dalam Imagined Communities. Keintiman mereka begitu kental dan terasa kuatnya jalinan persahabatan semenjak di masih kampus hingga bertebaran di ruang-ruang studio mereka yang menggerombol di wilayah hunian saling berdekatan bahkan adapula yang tetap satu atap.
Begitupun kelekatan kontak dan kekompakan mereka yang mengesankan ketika saya berkunjung ke studio AT. Sitompul di Nitiprayan untuk sebuah konfirmasi MoU terkait program pameran ‘Hyperlink’ yang segera saya kurasi sebagai agenda pokok pada Juli 2009 di Tujuh Bintang Art Space. Selepas Isya, agenda perolehan konfirmasi pameran selesai kemudian segera saya ingat. Ketika itu saya juga berencana mencari materi pameran untuk bulan Mei 2009, saya melontarkan tantangan kecil ini kepada AT. Sitompul ‘berani nggak temen-temen untuk didadak pameran dengan persiapan yang relatif singkat dan tampil dengan kwalitas sepadan pameran perdananya di Rumah Joglo atau bahkan lebih gila?’ Selang beberapa menit datang Hanif ZR (manager operasional), saya sampaikan hal yang sama padanya dan tanpa buang waktu dalam beberapa puluh menit merekapun bermunculan dan nyaris lengkap hanya kurang dua rekan saja yang tinggal agak jauh. Diskusi kami tidak berbelit-belit dan terjadi deal-deal, kemudian kami sesaat menyuntuki persoalan teknis pameran dan sebagainya hingga larut pagi.
Sebagai komunitas yang berlabel Nostalgia justru jauh dari kesan romantisme masa lalu, sentimentil, cengeng dan lebay. Menepis kesan sinis rekan-rekannya di luar komunitas. Paradoks inilah yang hendak segera dikemukakan ke khalayak bahwa mereka memiliki cara tersendiri untuk memaknai sisi romantisme dengan menjadikannya picu kegilaan proses kreatifnya. Sejatinya mereka funky, kreatif dan senantiasa segar ide-idenya. Perspektif berkeseniannya variatif, unik, dan kadang tak lazim serta kekuatan komitmennya menjadi perekat terbaik diantara mereka. Mereka mengumbar gagasan kreatif secara sporadik kadang radikal. Dalam keseharian mereka tampil gaul khas seniman Jogja yang funky, rambut gimbal, kucel, potongan rambut ngepunk, tindik, bertato dengan berbagai aksen layaknya seniman muda gaul dan energik. Yang membuatnya berbeda menilik proses kreatif dan dedikasi pada keseniannya, mereka anak muda yang tengah menguji kapasitas ktreatifnya dengan keliaran bahasa visual dengan inovasi-inovasi yang menggila.
Keliaran Permainan Tanda dan ‘Penjerumusan’ Gugus Persepsi
Proses kreatif bagi perupa sejatinya adalah sebuah mata rantai yang tak dapat diputus oleh berbagai alasan keterbatasan teknis dan olah kreatif lainnya. Kecenderungan perupa dalam melakukan proses penciptaan seni lebih menitikberatkan pada bagaimana semua elemen-elemen visual dihadirkan sebagai sebuah syarat mutlak pencapaian nilai estetik dalam perwujudan material-ansih dalam proses kreatif. Namun tidak sedikit perupa yang matang secara pemikiran atas dasar rujukan filsafat estetik, ia lebih menekankan bagaimana mengendalikan sebagian aspek visual sebagai representasi dari gugusan perenungan dan pendalaman spiritualnya tetang berbagai pokok persoalan secara spesifik dan personal. Kecenderungan ini diusung arus pemikiran postmoderisme sebagai counter modernisme yang liris dan kecenderungan sofistikasi.
Mari kita tengok dan cermati satu persatu proses kreatif mereka sebagai langkah sederhana mengkonfirmasi konseptual dan serangkaian relasi tanda yang dipergunakannya pada tiap karya yang cenderung berbeda. AT. Sitompul, alumnus Seni Grafis ISI Jogja 2007 adalah figur potensial dalam upaya penaklukan atas kegilaan-kegilaan obsesi kreatifnya yang kian mencengangkan kita pada setiap pembacaan atas olah kreatifnya belakangan ini. Seorang AT. Sitompul si penggila garis yang memicu nyalinya dalam pola proses kreatif serba perfeksionis selalu saja memainkan emosi dan persepsi kita melalui ilusi optik yang meruang pada barik-barik garis. Tompul agaknya bersikap radikal dalam upaya kerasnya untuk menundukan kendala teknis yang buatnya layaknya ritual suci kian rutin ditundukan kian mendalam dan menajam terasah sensibilitasnya. Ketika lagi-lagi diyakini sebagai ritual maka pola-pola penikmatannyapun kian tampak berjarak dari aspek-aspek permukaan-ansih namun tervibrasi muatan-muatan spiritualnya yang kian mengemuka sebagai sebuah kekuatan baru yang kelahirannya tak terduga sebelumnya. Keyakinan inilah yang ia segera tawarkan kedalaman tertentu mengenai berbagai hal ke hadapan kita untuk berbagi. Hal menarik lain, Tompul menepis stigma-stigma seni grafis mengenai sisi kerumitan teknis yang menjadi kendala terbesar pada olah ekspresi meski ia justru tunduk dan menundukan stigma tersebut, stigma mengenai keterbatasan medium ungkap yang dari jaman ke jaman seni grafis selalu dikait-kaitkan pada medium kertas yang dinilai menuai banyak kendala, maka ia pun terobos dengan kanvas yang berhasil ia tundukan secara teknis kendala proses cetak yang senantiasa dianggap masalah besar ‘gagal cetak’ di permukaan kanvas, stigma ‘tidak eksklusifnya’ grafis karena persoalan penggandaan ‘seri cetak’, kemudian ia sikapi justru masuk pada eksklusifitas itu sendiri. Kita bisa cek, upaya kreatif ‘seri cetak’ limited hand colouring. Paling tidak ia telah berupaya keras membuka kemampatan kran-kran dan membuka akses pada wacana pasar yang nyinyir terhadap seni grafis sekaligus menerobos pasar wacana untuk menilik lebih tuntas berbagai perspektif potensi semua itu.
Kata kunci ketika berhadapan dengan karya-karya Tompul berada pada term non-representasi objek yang dirujuk untuk mentransform konsepsinya. Ia begitu gigih sehingga ia begitu bebas memainkan imaji-imaji tersembunyi dalam representasi tiap gagasannya. Ada sebuah upaya kreatif yang luar biasa dari seorang AT. Sitompul, yang kini pada ruang minoritas/langka dan terasing kemudian terbaca kegelisahannya mengelola dan membebaskan aspek psikologis dari berbagai pilihan pembacaannya mengenai aspek psikis humanisme yang rigid. Ia memainkan peran kreatifnya dengan bahasa visual yang mampu mengecamuk sisi aspek psikologis kita atas objek-objek visual yang mengemuka sebagai representasi dari segenap gagasan personalnya. Tak puas-puas dengan kegemarannya mengeksploitasi visualnya untuk mengaduk-aduk emosi dan memutuskan jaringan-jaringan syaraf kita dengan memainkan kontraksi-kontraksi mata yang menggiring pada keniscayaan kemunculan bentuk-bentuk baru dalam waktu yang sama atau berlainan atau pemunculan-pemunculan ilusi optik pada jarak pandang tertentu, lama kelamaan mampu mempertajam kepekaan mata kita atau justru menjebol kekuatan retina mata kita yang makin terbatas karena lama terbiasa menikmati karya seni yang liris dan sofistik. Kekuatan inilah yang diwarisi dan ditebar oleh kecenderungan seni non-representatif dari pemunculan seni abstrak hingga optical art pada 1950-1960-an memunculkan nama-nama penting dalam wacana ini, Victor Vassrely dan Bridget Riley yang menonjolkan permainan unsur-unsur garis dan bentuk geometris yang berperan memainkan aspek kedalaman ruang-ruang ilusi tak terbatas bahkan tak terjamah.
Nah, di sini AT. Sitompul yang secara eksistensi berada di sana justru membebaskan diri dari kepejalan paradigma lama dan menerobosnya dengan paradigmanya melalui kendaraan seni rupa kontemporer yang dianggap paling netral baginya untuk melesat-lesatkan gagasan gilanya dengan penajaman olah spiritual dalam konteks yang lebih sederhana. Garis-garis baginya semacam olah spiritual yang ditapakan ke dalam barik-barik kanvasnya yang begitu perfeksi, mengingatkan kita pada laku seorang biksu dalam meniti jalan Sang Buddha dalam dharma beroleh nirwana. Representasi garisnya menarik segenap pemahaman kita mengenai sebuah kekuatan estetika yang lebih segar tidak sebatas elemen estetis saja.
AT. Sitompul dalam karya seni grafis monotype memperlakukan unsur garis sebagai representasi pemahaman pemikirannya tentang ritus-ritus renungan dan gejolak psikisnya mengenai berbagai persoalan kehidupan. Dalam pemahamannya mengenai psycho-visual sangat menarik karena ia dengan bebas bermain –eksplorasi estetik- dan memainkan emosi penikmat seni dengan permainan ilusi optik yang vibrasinya begitu inovatif. Saya melihat hal yang paling spesifik dalam proses kreatifnya, pada kemampuan craftmanshifnya memanifestasikan perasaan dan emosi melalui kepiawaian memainkan ribuan garis-garis yang nyaris konstan dan kondisi emosi yang begitu terjaga muatan ekspresinya kemudian kecerdasannya dalam menawarkan temuan-temuan solusi teknis grafis yang tak banyak perupa lain lakukan. Tompul memiliki daya pukau yang luar biasa pada sebagian besar olah kreatifnya, ini tampaknya yang ia sadari sebagai mortir penakluk untuk memposisikan karya seni pada rivalitasnya. Dan, keunikan lainnya ketika ia tetap berpijak pada penggalian nilai-nilai local genius dimana ia ditempa berbagai kebudayaan tradisi dalam perspektif estetika timur. Bagaimana ia tetap menggali muatan filosofis ulos dengan estetika lokal Batak Karo dan berbagai influence karya-karya seni tradisi masyarakat Timur lainnya seperti seni tradisi tekstil Jepang dan berbagai ragam hias pada tekstil maupun pahatan pada koin China atau mungkin tradisi tekstil ’Kain Sari’ India tanpa ia sadari tereduksi dalam representasi atau paparan visualnya. Sebuah influence dari aspek lokal kebudayaan yang lekat dalam pandangan dan pemahamannya sehari-hari.
Ini semacam kupasan sederhana dari Tompul yang segera ingin menyatakan berbagai hal atas itu. Bukankah sejatinya spiritualitas memvibrasi sekelilingnya dengan kelembutan dan kesahajaan? Bukankah spiritualitas makin kuat dan mendalam makin melesak ke bumi nyaris tak terjejaki oleh tangkapan indera kebanyakan orang? Kita layak mempertanyakan esensi atas spiritualitas diri kita sendiri. Dalam karya-karyanya tampaknya seorang AT. Sitompul mengusung semangat humanisme diletakkan pada ruang personal dan ruang sosial namun sekaligus melesak-lesakan daya gugat ‘daya ganggunya’ dengan memainkan emosi publik dalam pembacaan karyanya untuk mengaduk-aduk ruang sosial dan ruang kulturalnya untuk mendedah banyak persoalan kehakikatan atas eksistensi humanistiknya. Ruang-ruang kritis yang tak tersentuh tampaknya menjadi gejala umum pada karyanya yang cenderung meruntuhkan kelarutan masyarakat kiat secara psikologi tampak makin rentan. Ia makin luruh dan senyawa dalam permainan bahasa tanda dan memainkan relasi-relasi atas tanda sebagai pisau bedah penajaman proses kreatifnya.
Seorang Kadek Agus Mediana / Cupruk , berada pada lintasan berbeda yang justru mengumbar keliaran gagasan dan ekspresinya yang didasari serangkaian pengamatan terhadap subject matter secara tak lazim. Ia menjadikan studionya sebagai laboratorium kecil untuk mengenal, memahami, mendalami karakteristik dan aktivitas objek sekaligus melatih-merangsang kepekaan hubungan emosional antara dirinya dengan objek amatannya ‘lalat’. Acapkali ia menerima komplain dari rekan sestudio ketika ia berulah dengan buntut tikus [stimulant] yg diletakan di sudut ruangan bahkan di kamarnya dengan aroma khas bangkai yang menyengat dan berbagai perilakunya yang seolah menjalin hubungan emosional dengan lalat hingga ia berkewajiban menafkahinya. Sederhana saja alasannya, bahwa ia hendak mengetahui-mengamati kecenderungan lalat yang datang kepadanya ketika ia sajikan buntut tikus, burger, donut, sampah sisa makan, buah-buah segar, coklat atau potongan pizza. Ia begitu intens meneliti secara etnografi layaknya antropolog, sampai-sampai ia mengetahui jenis dan spesifikasi lalat yang segera datang hanya dengan mencium aroma busuk tertentu ketika ia berkunjung ke studio teman-temannya. Dalam perspektif lain, saya menangkap adanya sebuah kegelisahan seorang Cupruk yang hendak diketengahkan pada ruang publik berkait dengan eksplorasi dan berbagai treatment yang didasari dan disadari ingin segera menjumput sejumlah esensi. Inilah sebagai bahan dasar berharga dalam mengolah ikon-simbolisasi tertentu dengan personifikasi maupun sekadar melakukan representasi juxta position sebagai kekayaan ‘modal intelektual’ yang berbanding terbalik dengan modal sosialnya. Tidak berlebihan jika kelumatan hubungan emosional berlanjut pada pemahaman dan penajamannya dalam proses kreatif yang menjadikan objek amatanya sebagai ruh dalam tiap proses kreatifnya.
Ia tampaknya ingin bermain-main dengan hipotesanya untuk meyakinkan atau mematahkan stigma umum bahwa lalat identik dengan citra busuk, jijik, dan kecenderungan lainnya yang buat orang lain tidak begitu penting namun bagi Cipruk justru menjadi sangat penting untuk eksplorasi dan eksploitasinya sebagai media pokok menghadirkan ikon atau sebut saja keyword dalam untuk menghadirkannya sebagai metafora dari persoalan-persoalan kritis yang menjadi kegelisahannya. Ia telah memperoleh hasil dari kerja kerasnya ketika mengikuti beberapa kompetisi yang salah satunya dalam event kompetisi ‘Freedom’ Finalis Moon Décor Painting Festival 2008, Finalis Radar Bali Art Award 2008, 82 Besar Jakarta Art Work 2008. Ketika itu saya begitu terganggu dan gemas dengan kecerdasan dan sikap kritisnya terhadap negeri kita hari ini dengan menghadirkan ‘Indonesia dalam Karung’, sebuah metafora yang dicuatkan Cupruk menjadi sangat menarik ketika menyandingkan kata kunci Indonesia dan karung, keduanya memiliki pencitraan dan tafsir yang berbeda. Ia ingin bersitegang dengan wacana Indonesia dengan citra yang baik dan bermartabat dengan mengarunginya layaknya seonggok sampah busuk yang dihinggapi seekor lalat hijau yang memiliki konotasi terbusuk karena kecenderungan lalat hijau dalam pemahaman Cuprug juga masyarakat awam mengenainya dimana sering kita jumpai keberadannya di kotoran-kotoran hewan dengan citra apalagi selera yang kebangetan. Karya yang menarik lainnya ‘Mati di Secangkit Kopi Bali’ 162cmx181cm, Acrylic on canvas, 2008. Sepintas ikon lalat mati di secangkir kopi bekas seruputan kita selepas menemani begadang hingga larut pagi atau kopi yang kita tinggal sejenak dan menarik rasa penasaran seekor lalat ingin pula mencicipinya hingga terbunuh di kubangan kopi menjadi pemandangan yang biasa, namun ketika merujuk pada ‘Kopi Bali’ ini yang berbeda kenapa harus Bali? Begitu kuat impresi saya ketika membaca lukisan tersebut setelah konfirmasi tema yang membungkusnya, sisi kritisnya menjadikan karya ini menarik dan nakal untuk mengemas kekecewaan yang tak tertuturkan. Ada semacam kekhawatiran personal dengan local geniusnya. Tampaknya ia menjadi gamang dengan pesona lokalnya yang kemudian baginya Bali sebagai genangan rasa nikmat yang mematikan, bagi saya ini spekulasi pembacaan saja berdasar proses semiologi yang sudah barang tentu dapat terkoreksi kapan saja, katakanlah saya sebagai perpanjangan lidah seorang Cupruk dalam mengartikulasikan perenungannya sebagai sebuah tesis baru yang tentu sah jika muncul antitesisnya kelak.
Pada pameran ini dengan penuturan yang lebih lembut tampaknya ia hendak memindai persoalan masyarakat urban dalam kemasan steril. Tema budaya dan masyarakat urbannya dikemas dengan aspek visual yang khas Cupruk, ‘Hiegenis’, 130x110cm, acrylic on canvas, 2009. Cupruk melihat ada sebuah perubahan budaya yang signifikan masyarakat urban sebut saja gadis-gadis remaja desa (begitu hiegenis) ketika ke kota dan beradaptasi dengan budaya urban ia make over segenap penampilan dan pola pikirnya dalam kemasan budaya yang serba palsu. Ikon kemasan makanan atau buah yang di jumput dari Hanif ZR (managernya) ketika membeli strawberry yang segar dengan kemasan serba hiegenis dengan barcode yang eksklusif ditangkapnya sebagai sebuah isyarat kemasan produk yang populer pada wacana budaya urban yang serba membungkus dengan kemasan yang menawan berkedok peduli kesehatan dan serba steril.
Kecemasannya merupakan kesadaran umum yang mengemuka ketika gadis-gadis usia produktif memasuki dunia kerja misalnya pada wilayah kerja sebagai pembantu rumah tangga, karyawan pabrik maupu SPG produk-produk kecantikan hingga makanan dan rokok selalu saja menjadi pribadi yang berbeda terbungkus dengan lipstick kota yang terkesan bening dan menawan namun tak sedikit yang menutupi kebusukannya dengan bungkus yang seolah-olah hiegenis. Apalagi ditambah labeling dan price pada kemasannya menjadi berbeda interpretasinya. Lain lagi ketika mencermati ‘Love Ice’ yang hendak bertutur tentang sebuah ruang romantik dalam bill pemesanan makanan namun lagi-lagi lalat hinggap di atas ice cream yang pesonanya begitu menggairahkan. Ada semacam catatan penting, dimana terjadi moment estetis yang begitu berharga dan kenangan terindah kisah cintanya selalu saja dihinggapi persoalan, atau hal lainnya yang mengacam keberlangsungan kisah romantisnya. Ini terjadi juga pada kisah cinta rekan muda lainnya, terutama pada Rendra CO.
Afdhal, kini mengeksplorasi aspek humanistik dalam perspektif ekologi. Hal ini dapat dilacak pada puluhan karya terakhirnya yang begitu terinspirasi relasi alam dan manusia sebagai suatu aspek pokok dalam mengolah subject matter, pada beberapa karya lukis dan karya 3 dimensi dan instalasi acap berseliweran ‘Soul Biologycal Control Series’ sebagai tajuk karya-karyanya. Afdal begitu gundah mengamati gejala alam yang sudah pada batas sabar melayani manusia dengan menyediakan sumber daya yang luar biasa namun kita tak pernah mencapai kepuasan untuk mengeksploitasinya. Menurutnya penduduk bumi ini tamak sehingga mereka secara ugal-ugalan melakukan ekplorasi alam tanpa berpikir bahwa alam butuh keseimbangan ketika pada satu sisi dieksplorasi maka disisi lain kita lakukan konservasi.
Afdhal beranjak dari kecintaannya pada lingkungan hidup selalu dipicu romansa kanak-kanak hingga remaja ketika di kampung seringkali menerobos kampung dan rerimbunan hutan untuk mendaki gunung, dari sinilah kedekatannya dengan ekologi tumbuh yang kemudian menjadi dasar ideologi proses penciptaannya. Kepekaannya kian tumbuh kuat ketika Afdhal memiliki cukup kesadaran kritisnya terhadap dominasi kapitalistik yang membongkar, mengobrak-abrik, sekaligusmemusnahkan keseimbangan hayati yang pada akhirnya ia menyadari adanya semacam bentuk perang ideologi manusia. Kekecewaan serupa kemudian secara intens Afdhal melakukan eksplorasi konseptual untuk segera merumuskan gagasan-gagasan kritisnya terhadap kerusakan dan kehancuran ekosistem. Tampak jelas kekecewaannya ketika ia menyatakan bahwa manusia secara spekulatif melakukan perang ideologi, jangankan pada tataran persoalan yang sederhana bakan ideologi mengenai keTuhananpun kini menjadi makin gamang dan tak jelas lagi.
Menarik benang merah pemikiran seorang Afdhal tak cukup jika tak berkesempatan untuk menelusuri jejak estetik yang terepresentasi integral dalam karya-karya mutakhirnya, pada seri tajuk yang sama melalui karya lukisnya ia mulai membukakan pintu masuk bagi kita untuk segera faham dengan perasaan galaunya. Disana-sini tersemburat warna-warna pucat-pasi seolah bertutur kepanikan dan serba tak menentu, barik-barik tebing cadas tak berlumut sekalipun. Muncul ikon celah diantara ceruk-ceruk cecadasan yang menyerupai pintu/jedela berteralis, mengingatkan kita pada pemandangan pemakaman batu di Tana Toraja dan melesatkan bayangan saya beberapa tahun silam ketika napak tilas Lubang ‘Gua’ Jepang di Bukit Tinggi Sumatra Barat. Rasa giris saya ketika itu menemukan sebuah ruang eksekusi, di ujung gua tersebut terdapat lubang sempit kurang lebih hanya cukup untuk memasukan tubuh manusia karena lubang tersebut lebih tepat berfungsi sebagai saluran pembuangan mayat setelah dieksekusi yang berakhir pada sebuah lubang keluar di tebing Ngarai Sianok. Pagi harinya warga sekitar Ngarai Sianok segera menyaksikan keluarganya yang telah mengalami eksekusi setelah menjalani serangkaian siksaan. Ikon lubang berteralis pada karya Afdhal, sesungguhnya sebuah personifikasi atas persoalan yang tengarai manusia sesungguhnya berada pada system keruangan semacam itu ketika memperlakukan alam secara semena-mena.
Kemudian kita beralih pada tanda selanjutnya, hamparan padang rumput kecoklatan seolah ia bertutur romantis mengenai impiannya melihat alam yang hijau tak lagi ditemuinya. Kering kerontang itulah yang ingin dinyatakan. Objek utama sebuah figur manusia hijau bersayap putih memegang batang kayu seakan-akan bergerak cepat untuk membus ruang kaca dan dinding massive, sebuah relasi tanda yang mengisyaratkan suatu desakan untuk menebus kepejalan dan kekakuan ruang kaca. Figur manusia hijau bersayap dapat diinterpretasikan sebagai sosok penyelamat bumi yang bertugas menjaga keseimbangan alam dan menghijaukan bumi.
Begitupun pada karya tiga dimensi dengan seri tajuk persoalan serupa, secara simbolik Afdhal menghadirkan figur manusia hijau dank ran air dengan pipa stainles steel yang memperoleh perlakuan khusus hingga menyerupai liukan cobra. Tanpa banyak cakap ia tampak tegas ingin menggugah ruang spiritual kita mengenai konteks air dan sumber kehidupan yang paling pokok dibutuhkan semua mahluk hidup untuk pemenuhan segenap kebutuhan dari yang paling sederhana sampai pada sebuah kebutuhan kolosal sekalipun. Air dan peran kran sejatinya dikendalikan oleh pola dan perilaku manusia (yang terwakili sosok manusia hijau) yang memiliki kesadaran tinggi untuk mengendalikan keseimbangan siklus alam secara berimbang. Hal ini menarik bukan secara visual yang mengadung muatan nilai estetika semata namun lebih dari itu semua pada karya ini sarat muatan filosofis dan pesan kesadaran humanistiknya. Secara umum karya-karyanya mengisayaratkan impresi bahwa Afdhal hendak menginspirasi kita semua untuk mewarisi kepakaan kontrol jiwa-jiwa alam yang hidup. Sehingga paling tidak kita menyadari bagaimana seyogyanya kita menyikapi persoalan-persoalan global warming yang telah menjadi persoalan penduduk dunia.
Hal senada juga sempat dituturkan SH. Joko Atmaja, dimana ia begitu kecewa dengan perubahan ekosistem dan lingkungan sekitar pemukimannya yang kian panas, sesak, tingkat polusi yang tinggi, dan menipisnya kesadaran humanistik yang kian akut. Ia tampaknya hendak memindai persoalan keseharian yang terjadi dengan sadar dilakukan manusia untuk membangun obsesi-obsesinya sehingga manusia tak lagi memiliki kesadaran bahwa sejatinya manusia sendiri menyiapkan dirinya sebagai tumbal pada menara-menara yang dibangun secara obsesif dan egois.
Menara Tumbal, itulah tajuk yang sering muncul dalam karya mutakhirnya. Ia hendak berbagi kesadaran bahwa ketika manusia membangun mimpi layaknya menara sebagai puncak pencapaian kejayaan maka sejatinya ia menawarkan tumbal bagi impianya. Gambaran semacam ini dikuatkan aspek visual lainya seperti kepulan asap tebal kehitaman, langit memerah, figur badut, penggalan kepala dan bangunan-bangunan pabrik serta rumah hunian congkak menjulang. Kegelisahannya mengenai kepanikan penduduk bumi dengan pemanasan global sebagai konsekuensi logis dari perilakunya yang ugal-ugalan mengeksplorasi alam demi untuk sebuah obesesi dan penaklukan dunia dengan teknologi paling mutakhir tanpa berorientasi pada lingkungan yang butuh keseimbangan. Bahkan untuk kebutuhan hidupa seperti udara yang kita hirup setiap saatpun ia abaikan dengan tetap pemproduksi karbon dioksida secara berlebihan. Akibatnya kesehatan terancam juga dirinya, tanpa disadari ia menjadi tumbal dari menara-menara keangkuhannya.
Joko pada karya-karya drawingnya jutru sangat menarik baik secara teknik pengolahan media maupun kekuatan konsepsinya semakin member posisi tawar yang baik. Saya mencermati bagaimana seorang Joko menggilai luncuran-luncuran garis pada ujung pena menelusuri barik-barik yang bermunculan mewujud seiring dengan pengembaraan imajinasinya yang digelandang pada pokok persoalan yang diacu. Eksplorasi bentuk visualnya sangat unik dan pencitraan kesan arsitektural dengan permainan ruang padat, ditambah bumbu penyedap aksentuasi warna disana-sini kian seorang ia melakukan rekonfirmasi terhadap tema secara ketat yang tengah diyakini sebagai mata pisau untuk meracik sebuah karya inovatif.
I Made Adinata Mahendra/Benot, Sepintas jika mencermati karya-karya Mahendra tampak ia segera bertutur mengenai paradox, satu sisi berlebih di sisi yang berbeda begitu kekurangan, bagaimana konversi elpiji di gagas bernagai problem hemat energi di seberang sana masyarakat kit tak pernah siap dengan program tersebut dan kebijakan kenaikan BBM yang berimbas ke mana-mana, kemudian solusi jitu di luncurkan BLT yang juga tetap menuai masalah baik teknis maupun efek edukasi yang kedodoran. Mahendra begitu cermat mengamati problem sosial dari perhatiannya mengenai budaya konsumsi protein disekitar kita yang relatif rendah, hal ini semata-mata bukan tingkat kesadaran masyarakatnya yang rendah namun lebih kepada daya beli protein masyarakat kita yang belum memadai. Namun, ironis ketika ia tesuri pokok-pokok permasalahan di sekitar kita meski tak kunjung menemukan jawaban yang memuaskan kecuali kekecewaannya terhadap negeri ini dengan ikan laut berlimpah, tambak-tambak perikanan, dan sumber protein nabati dengan tingkat produktivitas tinggi tetap saja tak sedikit ditemukan kasus gizi buruk dan kasus serupa lainnya.
Tampak lugas ketika beradad dihadapan karya ‘Diagnosa Energi Hijau’, 280x299cm, Acrylic o n Canvas, 2009, sebuah pemandangan yang menarik disana-sini disesaki tabung-tabung gas hijau khas konversi minyak tanah ke gas yang menui berbagai persoalan sekadar ledakan kecil hingga kasus ledakan yang memberangus puluhan korban di berbagai daerah. Tabung gas yang dihadirkan dengan pencitraan sebongkah daging ikan segar yang baru saja dipotong peris berada di tengah-tengah tabung seolah ia hendak menyoal kembali problem protein yang ia gelisahkan. Sampai ia pernah menyatakan rasa penasarannya isi tabung gas itu berbentuk dan berwarna seperti apa, memang konyol sepintas tetapi untuk melakukan eksplorasi maka penghayatan semacam ini menjadi satu cara tersendiri. Segera dapat kita jumpai teks ‘Diagnosa Energi Hijau’ sebagai pengembaraan makna semantik tentang hal ini.
Rendra C.O, lebih memilih pengalaman sejatinya menjadi inspirasi terkuat untuk dipesentasikan pada tiap karya yang selalu dipicu kekecewaan dan getirnya romansa percintaannya. Menahun sudah masa lalu dikubur tetapi ia senatiasa hidupkan kembali ketika ia tetap bahagia mengenang romansa-romansa bersama wanita terindah dalam kehidupannya meskipun pahit terasa. Yang sempat saya tangkap dari pernyataan Rendra bahwa wanita terkasihnya yang paling diimpikan justru kemudian ia sebut sebagai ‘perek’, entah apa yang sebenarnya yang berkecamuk dalam dada dan kepalanya.
Saya belum bisa memahami kesengkarutan perasaannya sampai ia mempunyai stigma tersebut yang tak tanggun-tanggung iapun mengangkat poblematik jiwanya sebagai materi eksplorasi pada tugas akhir di ISI Yogyakarta. Justru Rendra mampu menjumput tiap pergolakan emosi dalam kenangannya tersebut menjadi sebuah kekuatan untuk menajamkan aspek kritis yang terbungkus pada kepiwaian mengelola aspek visual yang merepresentasikan segenap perasaannya. Pada karya ‘Green Stocking’, 200x100cm, Acrylic on canvas, 2009 tampaknya ia segera bertutur mengenai kelekatan hubungan emosional pada kenangan pahitnya. Stocking hijau merupakan simbolik dari sosok perempuan malam yang senang berbagi kebahagiaan meski jauh di dalam hatinya teriris-iris. Rendra merepresentasikan figur perempuan yang mengenakan stocking hijau yang berada di ruang merah dengan frame hitam sebagai representasi mengenai wanita pekerja seks komersial yang berada pada ‘ruang panas’ dan jebakan dunia hitam. Ikon/simbol playboy disemat pada lengan sosok tersebut kian tegas mengisyaratkan sebuah gaya hidup dan kebebasan dunia malam yang glamour.
Mirza Al Rasyid , pada karya sebelumnya Al bertutur romantik melalui gerai-gerai brushstroke lembutnya yang menggambarkan suasana laut yang bergerak ekspresif disudut tertentu bagian atas ia mengetengahkan sebuah bangunan imajinatif dengan terpaan angin dan debur ombak sangat kuat membangun suasana. Seri karya ini Al memperoleh kebebasan mengumbar fantasi dan keliaran gagasan yang begitu terbuka. Romansa yang hadir ke permukaan sejatinya tebaran segumpal perasaan sentimental seorang Al yang macho. Tampaknya karya-karya semacam ini menarik untuk ditelusuri kekuatannya akan tetapi menuntut kecermatan pada content dan segenap aspek artistik yang tak sederhana.
Karya-karya Al akhir-akhir ini mengeksplor subject matter otak dengan tajuk ‘virus otak’ seolah ia segera menggugat berbagai paradigma masyarakat kita seputar perspektif manusia yang selalu dilihat dari sisi lebihnya, status sosial, kecerdasan dan hal-hal sepele di luar dirinya. Persoalan dunia dalam memandang dirinya. Hal inilah yang selalu menggelayuti kegelisahan pikirannya, problem eksistensi tampaknya menjadi picu awal proses kreatifnya. Ia tak lagi peduli dunia memandangnya, namun bagaimana justru pentingnya dirinya memandang dunia. Artinya seorang Al mencoba memposisikan dirinya secara strategis untuk lebih merdeka diluar berbagai persoalan yang dianggap tidak seimbang dan naïf ketika dunia melihat kediriannya. Ada semacam aspek psikologis yang mencuat pada karya Al, kegundahannya hadir pada kecenderungan warna dan karakter brushstroke meninggalkan jejak keras dan beban tertentu. Atau justru sebaliknya Al ingin menjadikan kekuatan pada karyanya dengan pencitraan tersebut.
Berbeda dengan citra karya-karya AT. Sitompul dalam memainkan persepsi dengan jebakan ilusi optik seorang I Gusti Ngurah Arya Udianata justru bergerak di wilayah permainan persepsi dengan kapasitas cool. Ia menyentuh permukaan retina mata kita tanpa menekan dengan tingkat kontraksi mata yang serius, ia secara lembut menyentuh penglihatan kita kemudian mengirim pesan interpretatifnya ke dinding sensitif perasaan kita untuk segera menterjemahkan semua aspek tanda visual yang mengemuka sebut saja pada karya ‘focus’, 2008. Kesan yang kemudian muncul nampaknya Arya Udianata bersikeras memainkan emosinya sekaligus mengganggu emosi orang-orang di sekelilingnya seputar soal kesementaraan waktu dan orientasi kita pada objek visual sesederhana apapun.
Ia seringkali mengekploitasi sobekan kanvas yang telah finish di lukisi lantas ia rusak ataupun lipat, permainan tanda di dalamnya justru hanya permainan aspek visual semata karena seluruh bagian lukisan justru utuh sebagai lukisan tanpa cacat apalagi sobekan kanvasnya memancing rasa geram dan gelo/sayang. Kesan realistik muncul begitu kuat hingga mengecohkan pandangan kita bergegas pada sebuah ruang orientasi visual tertentu, sebuah lukisan yang seolah-olah lepas bagian pinggirnya dan pengelupasan/kerut kanvas dan kesan kayu span yang ikut membangun imajinasi kita pada kesan keruangan. Tengok saja karya lamanya dia ‘Jalur Gaza’, pesan artistiknya sungguh luar biasa apalagi padu dengan konsepsi kritisnya yang kian terindikasi kesadaran spiritual humanistiknya.
Pande Nyoman Alit/Dj, performance seorang punker menjadi label ketika kita mencoba mengingat-ingat kembali Dj dengan permainan persepsinya tentang ruang. Dj dengan konsern mengarap tema-tema sederhana tak muluk-muluk namun penggalian makna filosofisnya sungguh fundamental. Ia menjumput gagasan dari keseharian dan kedekatannya dengan sesuatu yang menjadi bagian hidupnya. Seekor anjing kesayangannya acapkali dijadikan sumber inspirasi yang tak pernah habis, dari munculnya pola-pola kerja dua dimensional hingga pada wilayah pencitraan tiga dimensional. Ada pula karya yang menghadirkan citra kado berbentuk empat persegi panjang pada bagian luar dilukisi objek-objek anjing sebagai motif pembungkus kado.
Semua karya-karyanya sejatinya ingin membenturkan persepsi kita yang mengkasifikasi ruang dua dimensi dan tiga dimensi, sebuah lukisan misalnya lazim di sebut sebuah luisan ketika menyuguhkan citra karya dua dimensi sedang pada kecenderungan karya-karya tiga dimensi ketika sesuatu memiliki volume. Dj melakukan sebuah perlawanan sederhana berangkat dari inspirasinya yang dipicu pada pola kerja dan citra seni rajah tubuh (tattoo) dimana seorang perajah tubuh tak pernah berpikir dia penciptakan karya seni tiga dimensi, meskipun dia cuma menggambar layaknya di lebaran kanvas yang senatiasa di cap sebagai media konvensional lukisan. Menurut saya ia tengah bermain-main dengan kegilaan gagasannya untuk membangun paradigma baru.
Saat ini Dj menyajikan karya mutakhirnya bertajuk ‘Nostalgia A.S.U’, ia mengeksplor bentuk kapal dengan celah lubang bulat bertahta nama-nama rekan komunitas Nostalgia. Ia menggambarkan sebuah komunitas ibarat sebuah keluarga besar yang harus saling melindungi, bekerjasama, berbagi dan memiliki komitmen yang sama serta visioner untuk mengarungi samudera kehidupan. Pada karya-karya tiga dimensi dia menggunakan pencapaian teknik melukis pada helaian kanvas yang berbentu prisma, persegi panjang atau bentuk geometris lainnya. Ada pula karya yang ditempuh dengan teknik melukis dipadu dengan bentuk lainnya misalnya patung-patung anjing atau boneka untuk membangun gagasan penciptaannya. Dj mencoba menerobos kebuntuan seni lukis dewasa ini hingga iapun belum memperoleh restu dari pengampu tugas akhirnya di ISI Yogyakarta. Alasannya masih seputar ‘kotak’ aktivitas kreatif dan paradigma seni modern yang diacu sebagai sebuat ketaatan pada kaidah seni rupa yang saat ini tetap diyakini.
Akhirnya saya bahagia dan bangga memperoleh kesempatan melakukan pembacaan karya-karya terbaik mereka yang bagi saya begitu luar biasa. Peta seni rupa segera disemarakan kehadiran karya-karya terbaik mereka, kita tunggu perayaan keliaran gagasan selanjutnya karena saya yakin meraka memiliki peluang besar.
Yogyakarta, 22 April 2009
Netok Sawiji_Rusnoto Susanto
- perupa, mahasiswa prog. Pascasarjana ISI Yogyakarta
- dosen luar biasa seni rupa Universtas Negeri Jakarta
email: m_rusnoto@yahoo.com web. : www.netoksawiji.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar