VIRTUAL DISPLACEMENT
Manifestasi Eksistensi Humanistik dan Spiritualitas Baru
[influence Proses Penciptaan]
Netok Sawiji_Rusnoto Susanto
Perupa
Keberadaan dunia virtual sebagai produk teknologi informasi telah menimbulkan berbagai pertanyaan mendasar yang serius mengenai makna informasi bagi kesadaran eksistensi. Ketika manusia sampai pada titik pencapaian tertentu maka manusia sejatinya berada pada tataran krisis eksistensial. Nah, persoalanya adalah bagaimana manusia tergugah kembali dan tetap memiliki kesadaran eksistensi humanistiknya meskipun berada dalam arus informasi global namun dapat tetap melambungkan impian-impiannya. [Netok Sawiji_Rusnoto Susanto]
Kehidupan masyarakat dengan sebuah citra kontemporer, kini sarat dengan berbagai peluang pergerakan, pergantian, dan perubahan dalam ruang dan waktu dengan percepatan semakin memuncak yang mewarnai perubahan budaya urban dengan kecenderungan penggalian citra-citra baru yang dapat kita amati pada perubahan bahasa tubuh –gesture- dan karakter masyarakat kota yang memadati ruang-ruang aktivitasnya. Gegap-gempitanya pergantian pencitraan di berbagai media, launcing produk program unggulan televisi bermunculan tak kunjung terkendali hingga launcing televisi swasta, kompetisi produk dalam bisnis kapitalistik, bombardir tema dan gaya hidup menyergap tanpa batas pada ruang-ruang virtual (internet, televisi, radio, maupun baliho dengan electric screen) dan produk teknologi komunikasi lainnya, gemerlapnya persaingan pasar modal, fluktuasi harga, ekspansi niaga dan klangenan konglomerasi lainnya. Kemudian dalam wacana seba cepat dan instan kini dunia virtual mendominasi dunia realitas sehingga dapat dikatakan menjadi semacam ‘alam kedua’ kita. Jalur-jalur informasi bebas menyergap isi kepala kita kapan saja dan dimana saja. Acapkali kita menjadikannya sebagai kebutuhan yang paling mendesak untuk segera mengakses dan langsung berinteraksi dengan dunia virtual yang memanjakan kita untuk menikmati fenomena global dengan pemanfaatan perkembangan teknologi elektronik hanya pada serabut optik (fibre optic)[1] dengan kecepatan cahaya luar biasa dapat berinteraksi dan tak lagi mementingkan eksistensi fisik.
Kehidupan dengan kebutuhan waktu yang serba cepat, semakin memacu kehampaan dan fatalisme. Sebab aktivitas kehidupan dihabiskan untuk sebuah siklus kerja yang berjalan dengan akselarasi tinggi yang berpotensi menjadi perangkap bagi manusia dalam ritme percepatan sekaligus mempersempit ruang dan waktu bagi perjalanan kehidupan manusia yang bermakna spiritualitas. Pencapaian puncak percepatan di satu sisi meningkatnya durasi kenyamanan, di sisi lain adalah picu dalam mempersempit durasi spiritual yang berdampak langsung pada masyarakat metropolis yang tak mampu lagi berbagi ruang dan waktu untuk berbasa-basi, tegur-sapa, kesadaran kualitas interaksi sosial dan kehilangan lapis-lapis toleransi.
Perkembangan teknologi informasi dan digital dengan segala konsekuensi pelipatan ruang-waktu virtual telah merubah berbagai pemahaman tentang ruang-waktu dan sebuah pergerakan manusia di dalamnya secara kultural yang serba mekanis mempengaruhi rutinitas kehidupan kita sehari-hari sehingga tak sanggup mengendalikannya sehingga berbalik justru kita dikendalikan keberadaannya. Pada konteks budaya urban masyarakat postmodern, urbanisasi tak lagi berarti perpindahan manusia ke kota di dalam ruang nyata, namun berkembang ke arah urbanisasi virtual yaitu perpindahan manusia secara besar-besaran ke dalam pusat kota digital ‘cyberspace’(Yasraf Amir Piliang, 2008:360)
Keberadaan dunia virtual sebagai produk teknologi informasi telah menimbulkan berbagai pertanyaan mendasar yang serius mengenai makna informasi bagi kesadaran eksistensi. Apakah informasi itu digunakan manusia atau malah informasi yang mengekploitasi manusia. Apakah informasi dikendalikan manusia atau malah informasi tersebut yang mengendalikan manusia. Apakah informasi itu ada untuk manusia atau malah manusia ada untuk informasi. Ketika manusia sampai pada titik pencapaian tertentu maka manusia sejatinya berada pada tataran krisis eksistensial. Nah, persoalanya adalah bagaimana manusia tergugah kembali dan tetap memiliki kesadaran eksistensi humanistiknya meskipun berada dalam arus informasi global namun dapat tetap melambungkan impian-impiannya.
1. Cyberspace: Antara Need-Life Style
Ketika ruang harus dipahami dalam pengertian luas yakni ruang fisik, ruang psikis, ruang sosial, ruang simbolik, dan sebagainya. Perkembangan sosial di dalam era informasi dan virtualisasi dewasa ini kehadirannya menyergap secara bersamaan di dalam ruang-waktu yang telah tergantikan begitu sporadik secara virtual, yakni dalam wujud kehadiran bersama-sama dengan jarak jauh dalam ruang yang berbeda. Pada hakikatnya keberadaan dunia virtual, tidak hanya dimaknai sebagai perpanjangan sistem komunikasi antar manusia, akan tetapi perpanjangan hampir setiap aspek kehidupan manusia (tindakan, aksi, reaksi, komunikasi). Orang kini dapat melakukan berbagai aktivitas (sosial, politik, ekonomi, seksual) dalam jarak jauh (telepresence) tanpa harus melakukan proses perpindahan di dalam ruang-waktu dari stasiun ke stasiun lainnya, sebab yang disebut stasiun itu kini telah terkoneksi secara virtual lewat jaringan internet dan cyberspace tanpa penjelajajahan ruang-waktu secara fisik hanya melalui ruang-waktu virtual. (Yasraf Amir Piliang, 2008:57-58)
Teknologi realitas virtual merupakan upaya menterjemahkan mimpi menjadi keniscayaan elektronis. Substansi gagasan tentang virtual pada dasarnya berupaya agar melibatkan manusia dalam pelenyapan dunia riil secara otomatis dan menjadi tandingan dari realitas aktual. Realitas virtual sebuah teknologi yang mampu mensimulasi dan menciptakan pelbagai realitas dengan teknik simulasi computer telah melahirkan apa yang kemudian kita kenal sebagai tenologi realitas virtual, dimana pelbagi ilusi tiga dimensi mampu mencitrakan imaji realistik. Dengan demikian masyarakat dunia dapat mengakses file berbagai informasi terkini dengan jejaring ruang maya, file tersebutseolah-olah tersimpan dalam satu komputer induk saja meski merupakan multi jejaring. Berbagai kemudahan Web disebabkan oleh hadirnya bahasa universal, yakni Hypertext Markup Language (HTML), yang menyusun sebuah file sehingga komputer dapat menata data pada jendela lacak sambil membiarkannya terhubung dengan file-file lain –hyperlinks yang pada umumnya ditandai dengan warna biru. Hanya dengan klik terhadap cetak biru tersebut komputer aka segera terhubung dengan file di Uniform Resource Locators (URL) lainnya. Jejaring yang luar biasa tersebut dalam HTML kemudian memungkinkan setiap orang menciptakan isi yang kemudian menempatkannya dalam web. Hasilnya adalah semacam ledakan data. Kieron O’Hara pada seri Posmodern Plato dan Internet mengungkapakan bahwa, dalam Web terdapat sekitar 2,5 miliar data pasti, jumlah yang luar biasa besar (sebesar 7,5 miliar gigabyte)... dan, bahwa hal ini menjadikan internet sebagai mesin bagi pengalihan kapabilitas manusia secara besar-besaran. (Kieron, 2002:31)
Kemudian data statistik lain dari Matthew Symonds dalam Kieron O’Hara, memaparkan bahwa; Sebagian pengamat teknologi komunikasi menolak menganggap internet sebagai sebuah perubahan signifikan di bidang teknologi yang membawa ketertarikan filosofis. Sementara yang lain justru khawatir bahwa internet hanya akan mengundang permasalahan. Tentu saja, penting kiranya tidak terlalu melebih-lebihkan perihal pembelaan diri ini, khususnya jika kita menyadari bahwa setengah dari populasi penduduk dunia tidak pernah mempergunakan fasilitas telepon. (Kieron, 2002:32) Namun ledakan pada data dan isi yang tersedia bisa saja sama signifikannya terhadap perkembangan masyarakat dunia pada perspektif bahwa perkembangan teknologi sesungguhnya tidaklah berkaitan dengan penghancuran bumi melainkan bahasa dan sistem pengelolaan perubahan dan konteks eksitensi.
Masyarakat kontemporer, menurut Heidegger dalam Yasraf Amir Piliang (1999:173) sampai pada satu jaman, yang di dalamnya eksistensi manusia tak lebih dari sebuah citraan. Pencitraan tersebut menemukan bentuknya yang ironis, yang di dalamnya lebih diutamakan ‘permainan bebas’ tanda dan kode-kode ketimbang kebenaran, pesan dan makna-makna ideologis di balik citraan itu. Kode juga kini telah mencapai titik balik, ketika ia bukan lagi berfungsi sebagai sebuah paradigma, konvensi atau aturan main yang final, yang membentuk sebuah ‘struktur’ tertentu. Kemudian dalam lesatan ruang-waktu terjadi pelipatan dan percepatan segala bentuk kepentingan yang teraktualisasi dalam wujud virtualnya, sehingga untuk mencapai tujuan (berbagai aktivitas yang terwakili secara signifikan) kita tak perlu lagi menerobos ruang melalui waktu tetapi kita yang menaklukan ruang lewat waktu tanpa mempersoalkan jarak. Hal ini memberi kontribusi perubahan sosial dengan gaya hidup (lifestyle) sebagai manifestasi kesadaran eksistensi dan konsekuensi logis. Dampak perkembangan sains dan teknologi mewarnai gaya hidup serba internet dalam melakukan berbagai aktivitas termasuk pada perubahan bisnis cyber-style, gaya piknik, gaya belajar, gaya hiburan, gaya seksual, dan sebagainya. Gaya hidup internet, akan dicirikan oleh inovasi-inovasi aplikasi dan perangkat lunak computer yang amat cepat. Kecepatan inovasi aplikasi perangkat lunak dan perangkat keras itu diikuti dengan kecepatan setiap orang untuk mengganti aplikasi, perangkat lunak maupun perangkat keras komputernya, yang cenderung semakin pendek umurnya. Dalam kondisi demikian, daur hidup (life cycle) sebuah produk cenderung semakin singkat dan tidak tahan lama diganti produk baru yang lebih bertenaga, kompleks, menarik, dan tentu lebih gaya.
Dorongan pola hidup konsumerisme kemudian menjadi problem masyarakat dunia, dimana kebutuhan trend –menekankan aspek inovasi desain misalnya- melampaui kebutuhan fungsi yang lebih mendasar meskipun kita tidak dapat mengoptimalisasi aplikasinya. Kita berbangga dengan gaya hidup serba mudah, cepat dengan tingkat kenyamanan tinggi tanpa kita sadari kelak kita segera mewariskan gaya hidup semacam ini pada generasi selanjutnya atau bahkan memicu perubahan-perubahan besar lain selanjutnya dengan tingkat pencapaian berbeda.
2. Kesadaran Humanistik dan Perspektif Eksistensialisme
Secara evolusioner, humanisme merupakan tahap dimulainya paradigma manusia sebagai sentral beranjak dari tahapan evolusi kosmosentris, ketika tahap kosmosentris berakhir manusia kemudian merubah paradigma pemikirannya dengan memusatkan diri pada teosentris (ke-Illahi-an). Kemudian terjadi revolusi dramatis ketika posmodern membentuk eksistensi sekumpulan identitas yang terbatas dan geliatnya terfragmentasi menjadi deretan identitas saling bersaing yang cenderung tidak stabil. Heidegger dalam Yasraf Amir Piliang (2008:45) merumuskan bahwa melihat dunia sebagai prakondisi bagi eksistensi. Konsep ada itu berarti ada dalam dunia yang satu sama lainnya tak dapat terpisahkan. Artinya eksistensi itu tak akan mungkin tanpa dunia sebagai kontainer-nya. Sebaliknya , tidak ada makna dunia bagi eksistensi tanpa ada manusia yang memaknainya. Ada dalam dunia adalah ada dalam dunia eksistensial.
Secara historiografi modern menjadikan manusia menyadari bahwa masa lalunya ternyata dapat dimanipulasi sekaligus masa depannya dapat dirancang oleh manusia itu sendiri. Ketika kesadaran intelektual manusia semakin cerah dan dapat menyadari posisi sentralnya kemudian ia mampu mereduksi pengalaman empirik dan kreativitasnya untuk menemukan ilmu pengetahuan secara induktif. Karakter humanistiknya menjadi arus yang menempatkan manusia sebagai pelaku utama sejarah dan pusat rajutan sekaligus sumber makna segala aspek. Pada akhirnya mereka malah menghadapi pekerjaan lebih banyak dibandingkan sekedar memikirkan, yaitu untuk menjadi sesuatu yang baru, untuk menegaskan sesuatu yang baru, untuk merepresentasikan nilai-nilai baru. (Friedrick Nietzsche, 2002:189)
Posmodernisme menggiring manusia memaknai realitas sampai pada tingkat ketika kita terbentuk kesadarannya bahwa ‘realitas’ semata sudah tak cukup tanpa mempersoalkan tumbuhnya sebuah rasa dan bukan kenyataan aktual tentang itu. Dominasi dunia virtual memicu kecepatan yang sekaligus mempengaruhi krisis eksistensial yang telah membebaskan manusia dari berbagai hambatan ruang-waktu dan memungkinkan manusia memilih dan menjalankan model kehidupan yang serba instan serba cepat yang sekaligus menjebak manusia dalam arus kecepatan itu sendiri dalam ketergantungan. Menurut J.Baudrilard dalam Haryatmoko (2007:33) menyatakan bahwa pencitraan mendiskualifikasi kategori kebenaran sehingga tidak bisa lagi dibedakan antara realitas, representasi, simulasi, kepalsuan dan hiperealitas. Ada peningkatan kekuatan kebenaran yang mencuat, kekuatan yang dihayati sebagai sebuah kebangkitan atas objek namun kehilangan substansinya. Sementara Krisna Murti (2006:48) menduga, apakah media sebagai perluasan tubuhnya merupakan bentuk gugatan budaya secara individual: sebuah reaksi kepada rezim komoditi tubuh yang kini banyak dimainkan industri entertainment dan gaya hidup melalui media massa. Dengan ditemukannya teknologi digital yang memfasilitasi manusia ke dalam relasi cyber dengan jati diri maya, semangat bergerilya sepertinya mendapat darah segar.
Kemudian munculah persoalan eksistensi manusia di sini, kita menuai ekses dunia virtual yang telah menciptakan model kehidupan yang serba panik, tergesa-gesa, dan emosional. Sebagaimana dinyatakan Gleick dalam Yasraf A. Piliang (2008:63), bahwa model kehidupan seperti itu menjadikan “kita dalam keadaan rusuh…tergesa-gesa…yang menandai ketaksabaran”
3. Virtual Displacement dan Konsep Imaji
a. Konsep Imaji adalah Kesadaran
Membentuk sebuah gagasan tentang suatu objek dan membentuk suatu gagasan sederhana merupakan suatu hal yang sama; mengutip pernyataan Hume dalam Sartre, bahwa: referensi gagasan tersebut pada suatu objek yang sedang menjadi satuan tidak ada hubungannya, yang di dalamnya sama sekali tidak memiliki karakteristiknya. Sekarang mustakhil untuk membentuk gagasan tentang sebuah objek yang mencakup kualitas dan kuantitas karenanya tidak memiliki ukuran yang tepat, maka ada suatu kemustakhilan yang sama dalam membentuk sebuah gagasan yang tidak terbatas dan tidak dibatasi dalam kedua fakta tersebut. (Jean-Paul Sartre, 2001:6-7)
Berdasarkan pandangan ini maka gagasan tentang buku misalnya, sama sekali tidak ada hubungannya dengan buku yang sesungguhnya. Bukan buku yang ada di dunia luar, tetapi buku yang hanya dapat penulis rasakan; bukan buku kertas atau lontar yang memungkinkan penulis dapat membedakan gagasan tentang buku dengan gagasan tentang objek yang lain (virtual). Akan tetapi bagaimanapun juga gagasan penulis yang sesungguhnya tetap merupakan sebuah gagasan tentang buku. Memiliki gagasan tentang buku adalah memiliki sebuah buku dalam kesadaran. Hal ini diperlihatkan dengan fakta bahwa apa yang benar tentang objek, juga benar halnya tentang gagasan. Apabila objeknya harus memiliki kualitas dan kuantitas tertentu, begitu pula gagasan dan di wilayah inilah peran strategis imajinasi dalam mereinterpretasi sebuah citra tertentu (secara virtual) dalam perwujudan yang berbeda secara visual.
b. Kesadaran Imajinatif Memposisikan Objeknya Sebagai Ketiadaan
Kesadaran terhadap sesuatu ‘kesadaran nonreflektif’ membayangkan objek-objek yang heterogen untuk kesadaran: misalnya, sex dalam kesadaran imajinatif dalam frame virtual maka kita membayangkan sebuah adegan-adegan erotik, yaitu objek yang melintas di permukaan monitor pada dasarnya bersifat eksternal terhadap kesadaran-kesadaran yang keluar dari dirinya sendiri yang sejatinya mementingkan dirinya sendiri.
Jika kita menjelaskan kesadaran ini, seperti telah kita ketahui, kita harus membangun kesadaran baru yaitu ‘refleksi’. Karena kesadaran yang pertama seluruhnya merupakan kesadaran tentang sex, free sex, atau virtual free sex. Karena kesadaran ini tidak memiliki objek lain selain objek-objek virtual yang telah memperoleh konfirmasi sebelumnya dari pengalaman pengamatan kita sebagai sebuah imaji, dan arena kesadaran tersebut adalah objek refleksi. Kesadaran transendental sebuah kebebasan sex merekonstruksi berbagai impulse sebagai imaji kemudian memposisikan free sex tersebut yakni sebuah cara yang bukan kesadaran perseptual saja namun menyentuh wilayah kesadaran konseptual baik mengenai gejalanya, pembacaannya maupun efek, serta kemampuannya menyampaikan antitesis yang lebih luas.
- Spontanitas
Kesadaran perseptual menampakkan diri sebagai sesuatu yang pasif. Sebaliknya, kesadaran imajinatif menampakkan diri pada dirinya sendiri sebagai kesadaran imajinatif, yaitu sebagai suatu spontanitas yang membentuk dan meneruskannya pada objek sebagai sebuah imaji. Hal ini merupakan suatu jenis imbangan tak terjelaskan dari fakta bahwa objek muncul sebagai suatu kehampaan non-eksistensi.
Kesadaran tampak pada dirinya sendiri sebagai sesuatu yang kreatif, tapi tanpa memposisikan bahwa apa yang telah tercipta adalah sebuah objek. Karena kualitasnya kabur dan bersifat sementara inilah maka kesadaran imaji sama sekali tidak tampak seperti busa terapung di samudera, melainkan seperti sebuah gelombang sebagai kesadaran dan menjadi satu dengan lainnya yang lebih awal dan menyatukan secara sintesis. Kesadaran tersebut bersifat spontan dan kreatif, ia memelihara dan mempertahankan kualitas yang masuk akal dari objeknya dengan sebuah proses penciptaan yang berkesinambungan.
4. Virtual Displacement Sebagai Subject Matter
Virtual displacement tentu dapat dijejaki pada sebuah indikasi ketika cyberspace berada pada lingkaran repetisi yang sudah barang tentu mengalami pergeseran maya. Kemudian ketika masyarakat pengguna cyberspace berada pada paradigma bahwa dunia maya menjadi mediasi spiritual model baru, tentu dalam pemahaman serupa pada konteks perubahan sosial membawa pergeseran konsep spiritualitas yang melampaui pemahaman masyarakat kita yang memasukan konsep spiritual pada pengembaraan batin dalam wacana mistik, ekstase dan spirit religiusitas. Inilah paradoks narasi digital: paradoks antara perbedaan/repetisi, kebaruan/pengulangan, masa depan/masa lalu. Artinya, layar sebagai mesin konkret mungkin dapat mati, akan tetapi layar sebagai mesin abstrak, akan direpetisi, melalui pengulangan prinsip-prinsip penghimpunan, aransemen, mesin, pencitraan, penglihatan dan tatapan. Bagaimanapun barunya horizon narasi digital yang dibentangkan di masa depan, di dalamnya domnasi penglihatan atas indra-indra lainnya tetap akan direpetisi. (Jean-Paul Sartre, 2001:363)
Narasi digital mau tidak mau, suka tidak suka menjebak kita pada setiap kesempatan karenanya kita terlibat aktif dalam jejaringnya, khususnya masyarakat kota-kota besar yang menjadi pengguna aktif ’on-line’. Sebagai indikator pengguna aktif cyberspace di Asia, jika mengacu pada Indeks Masyarakat Informasi (Information Society Index, ISI) yang dibuat oleh IDC (International Data Corporation) dan Word Times, untuk 55 negara yang ’intensif dalam bidang Teknologi Informatika’ (IT). Menurut IDC, ISI telah membuat standar dimana semua negara diukur berdasarkan kemampuan untuk mengakses dan menyerap informasi dan teknologi informasi. Menurut data ISI tahun 1998 (lihat tabel 6.1), Australia, Jepang, Singapura, Honkong, Selandia Baru, Taiwan, dan Korea Selatan berada di setengah teratas negara-negara yang menggunakan TI secara intensif. Negara-egara Asia yang lain berada jauh di belakang: Malaysia berada pada urutan 36, sementara Filipina, Thailand, Cina, India, dan Indonesia berturut-turut berada pada peringkat 47, 48, 51, 52, dan 53. Peringkat negara-negara Asia pada tahun 1999 masih sama, ...India turun ke-54. Di sisi lain, Taiwan, Malaysia, dan Indonesia naik berturut-trut pada posisi 18, 35 dan 52. Negara-negara lain, termasuk yang lebih menonjol diantara negara lainnya (Thailand, Cina dan Indonesia). (Assafa Endeshaw, 2007:155 dan 157)
Kecenderungan negara-negara berkembang dan negara maju begitu dominan dalam bentuk reaksi terhadap kemajuan internet di Asia-Pasifik. Lebih tegas Assafa Endeshaw memaparkan bahwa, reaksi terhadap internet yang paling dasar, bahkan beberapa orang menyebutnya sebagai sikap bertahan, yang telah dilakukan oleh beberapa Negara Asia-Pasifik adalah dengan mengendalikan akses internet dengan memperlakukannya sebagai salah satu medium untuk melakukan penyiaran. (Assafa Endeshaw, 2007:159)
Dalam postmodernisme yang mengacu pada berbagai perubahan dan perkembangan budaya kontemporer, tak jelas apa yang menjadi paradigma utamanya. Penulis berasumsi tengah terjadi gejala perubahan serius dalam berbagai wacana kebudayaan hari ini, hal ini bukan sekadar wacana virtual displacement semata namun telah menjadi monster terlahir dari cybernetics[2]. yang berpotensi mengendalikan sebuah arus besar kebudayaan manusia dewasa ini. Yang jelas terdapat celah kekosongan mendasar di segala bidang setelah semua paradigma dianggap berakhir (the end of ideology, the end of nation-state, the end history, the end of art, the end of science). Bambang Sugiharto (2006:6) berpendapat bahwa, terjadi situasi tidak pasti dan kosong itu akhirnya mendorong bangkitnya pelbagai bentuk spiritualitas baru: New Age, Cyber-spirituality, film-film apokaliptik, program-program meditasi, ziarah, terapi-terapi psikologi dan paranormal, penghayatan agama tanpa dogma dan menekankan pengalaman.
Dalam situasi semacam ini ruang spiritual dipahami sebagai ‘otherness’, sesuatu yang misterius dan tak terumuskan di balik realita yang cenderung merelatifkan gagasan dan keyakinan lebih semacam potensi dekonstruksibilitas tak terelakan. Sedangkan di wilayah sosial, muncul fenomena hiperealitas serta konsumerisme yang mencapai titik ekstremnya, yaitu ketiadaan makna. Masyarakat yang dikuasai dan didikte oleh media, memuja tubuh dan kemajuan dalam bentuk konsumsi atas produk-produk terbaru serta fashion, tenggelam dalam ekstase informasi. (Alfathri Adlin, 2006:31)
4. Dasar Proses Penciptaan
Terus terang, sebuah upaya imitasi manusia atas alam semesta jika dikerjakan oleh tangan seorang seniman adalah bukan semata reproduksi murni. Namun, sejatinya sebuah penyematan jiwa yang dilesakan ke dalam proses penciptaanya sehingga menaikan sekian derajat nilai dari sesuatu menjadi -sumber inspirasi- acuannya. Lebih tegas Maeterlinck dalam Wassilly Kandinsky, terjemahan Sulebar (2007:106) menyatakan: ’Tidak ada apapun di atas bumi ini yang begitu ingin tahu tentang keindahan atau begitu menyerap tentangnya, dari sebuah jiwa. Karena alasan itulah beberapa jiwa yang mematikan (mortal) tetap bertahan di dalam kepemimpinan dari suatu jiwa yang memberi kepada mereka keindahan’. Sebagai landasan proses penciptaan, penulis lebih mengacu pada teori yang dicetuskan oleh Wassilly Kandinsky dalam terjemahan Sulebar (2007:109) yang awalnya menjadi sumber inspirasi yakni; (1) Impression. Suatu kesan –impresi- yang langsung terhadap alam dari luar (outward nature), diungkapkan dalam bentuk artistik murni. (2) Improvisation. Suatu ekspresi spontan yang sebagian besar tak disadari dari karakter bagian dalam (inner character), alam yang non-material. (3) Composition. Suatu ekspresi dari perasaan bagian dalam (inner felling) yang perlahan-lahan terbentuk, yang muncul terungkap hanya setelah proses kematangan yang panjang.
Gambar 1.
Lukisan karya Rose Bleckner ’Oceans’, 304.8 x 365.8 cm, oil wax on canvas, 1984 (Emily and Jerry Spiegel Colelection, New York)
Sumber: Klaus Honnef,’Contempoary Art’, Taschen, 1988, p. 32
Gambar 2.
Lukisan karya Yaacov Agam
’Transparent Rhytms II’ (2 view), 12’1” x 13’2 ,1/4”, oil on aluminum, 1967-1968
Sumber: Daniel Wheeler, ’Art Since Mid-Century’, Thames and Hudson, New York, 1991, p. 234-235
Karya-karya Yaacov Agam dan Rose Bleckner ini bagi penulis mampu member inspirasi dalam proses kreatif. Kedua karya tersebut begitu kuat menciptakan ilusi optik dan memainkan emosi penulis dalam tiap kedalaman ruang yang tercipta, disamping pencapaian teknik kreatifnya yang luar biasa. Paling tidak aspek-aspek artistik yang mengemuka menjadi acuan sederhana bagi penulis untuk melakukan analisis teknis dan melakukan komparasi pada karya-karya sebelumnya yang selanjutnya dapat dijadikan dasar dalam proses penciptaan.
Estetika yang penulis anut seperti yang dianjurkan oleh Kant sebagai estetika selera, ‘Karena selera harus merupakan sebuah kemampuan orisinal’. (Hans-Georg Gadamer, 2004:49) Hanya ada sejumlah kecil revisi dan modifikasi disana-sini, sebagai upaya olah kreatif untuk merepresentasikan bahasa visual yang personal. Visi estetis penulis adalah merespon simulasi variable-variabel yang bergerak secara simultan, aktif dan dinamis dengan melakukan sebuah perubahan-perubahan terstruktur untuk menghindari kekacauan atau disharmoni. Karena betapapun seni adalah perihal chaos, relativity dan inkonsistensi maka sudah sewajarnya setiap seniman pada proses penciptaan seni menemukan caranya sendiri untuk mengatasi berbagai problem baik konsep maupun praksis, seperti alam mampu menyembuhkan dirinya ketika kerusakan terjadi.
Virtual Displacement merupakan pokok masalah (subject matter) dalam tugas akhir ini, penulis terinspirasi dari cyberspace yang sangat menarik untuk ditelusuri gejala dan perubahannya yang berpengaruh secara signifikan pada perubahan sekaligus pembentukan karakter masyarakat kontemporer. Betapa sebuah ‘pergeseran maya’ secara sporadis hadir dan menyergap setiap sudut ruang aktivitas kita membawa kita pada kondisi dan paradigm baru yang berangsur-angsur pada suatu format pada konteks modal sosial terkini.
Virtual displacement tentu dapat dijejaki pada sebuah indikasi ketika cyberspace berada pada lingkaran repetisi yang sudah barang tentu mengalami pergeseran maya. Kemudian ketika masyarakat pengguna cyberspace berada pada paradigma bahwa dunia maya menjadi mediasi spiritual model baru, tentu dalam pemahaman serupa pada konteks perubahan sosial membawa pergeseran konsep spiritualitas yang melampaui pemahaman masyarakat kita yang memasukan konsep spiritual pada pengembaraan batin dalam wacana mistik, ekstase dan spirit religiusitas.
‘Virtual Displacement’ ialah ketika kita berada pada keluasan ruang perenungan, sejatinya kita berada pada dimensi terdalam diri kita untuk menelusuri perubahan-perubahan bahkan pergeseran virtual yang paling inti. Virtual displacement dalam konteks soul-scape tentu menjadi wacana yang berbeda sebab pada persoalan ini saya berusaha meyakinkan tesis ini sebagai indikasi pemunculan persoalan yang kemudian secara kreatif dapat di reinterpretasikan dengan pemahaman dan kesadaran personal serta pluralis. Dasar-dasar kajian humanistiknya sudah barang tentu terkait secara komprehensif.
Konteks tersebut menjadikannya sebuah mahadaya pada kehidupan aktivitas kreatif ke dalam bentuk apapun dalam melahirkan narasi-narasi kebudayaan secara implisit. Sebuah perluasan dari perubahan narasi besar-besaran dewasa ini diusung masyarakat kontemporer dengan pola pembentukan budaya secara kontinu dan disadari sebagai suatu perubahan dari narasi kebudayaan sebelumnya. Namun, hal tersebut muncul dan dicuatkankan sekaligus oleh sebuah realitas-realitas sosial tertentu yang begitu menggejala sebagai sebuah kecenderungan baru atas keseragaman pelbagai persoalan masa kini. Realitas-realitas baru yang dipresentasikan melalui kecenderungan munculnya produk-produk budaya baru dan konstruksi sosial sebagai indikasi perkembangannya. Soul-scape sejatinya sebuah reinterpretasi kesejatian kita dalam menyidik virtual displacement, artinya bahwa sebuah ketajaman spiritual ketika kita mampu merekam gejala pergerakan, perubahan serta pergeseran virtual dalam jiwa kita sekaligus mendokumentasikan esensi dan eksistensinya.
Namun, sejatinya sebuah penyidikan dan penyematan jiwa yang dilesakan ke dalam proses penciptaanya sehingga menaikan sekian derajat nilai dari sesuatu menjadi -sumber inspirasi- acuannya. Penulis melakukan beberapa pendekatan yang melandasi proses penciptaan yang mampu membangun wacana, kesadaran, gagasan dan sikap/tindakan penulis untuk mengomunikasikan renungan-renungan kritis atas berbagai fenomena kontemporer.
1. Pendekatan Metode Induktif
Penggunaan metode induktif begitu bebas dari asumsi metafisis dan agaknya masih bebas dari bagaimana seseorang melihat realisasi dari fenomena yang diteliti tersebut. Seseorang tak menemukan sebab-sebab khusus, tetapi hanya menegaskan kesamaan-kesamaan. Kemudian tidak penting apakah seseorang percaya pada kebebasan kehendak atau seseorang masih bias membuat berbagai prediksi di ruang kehidupan sosial. Untuk membuat berbagai deduksi dari keteraturan-keteraturanya yang berkaitan dengan fenomena ini diharapkan tidak memasuki asumsi apapun tentang karakter dari konteks yang keteraturannya memungkinkan untuk diprediksi. Keterlibatan keputusan-keputusan bebas tidak lagi bercampur aduk dengan proses yang teratur tetapi berkaitan langsung dengan kualitas umum dan teratur yang ditemukan melalui induksi. Hal tersebut ideal dari sebuah pengetahuan maupun sains masyarakat yang dikembangkan secara sistematis. Dalam konteks tersebut maka seseorang mulai berpijak pada pemikiran psikologi sosial.
Pengalaman terhadap dunia sosio-historis yang bisa menimbulkan dan membentuk sains dengan prosedur induktif dari ilmu-ilmu pengetahuan sosial yaitu dengan segenap pengetahuan historis memasukan penerapan pengalaman umum pada objek penelitian khusus, penelitian historis –fenomenologis- semacamnya berusaha untuk memahami fenomena konkret sebagai sebuah sampel dari aturan umum. Pada kasus tertentu tidak hanya berperan untuk menguatkan keteraturan yang idealnya bukan untuk memahami fenomena itu sendiri di dalam realitas sebenarnya.
2. Fenomenologi Husserl dan Metode Epoche
Husserl pertama kali merumuskan fenomenologinya secara tuntas dalam karya besarnya Logical Investigation tahun 1900, yang memakan waktu sepuluh tahun. Fenomenologi Husserl mengadopsi pola filsafat Kant, yaitu filsafat transcendental. Filsafat transcendental sendiri dapat diartikan sebagai pola berfilsafat yang tidak lagi berbicara tentang sumber dan kodrat pengetahuan, melainkan syarat-syarat pengetahuan tetapi diandaikan. (Donny Gahral, 2005:149)
Fenomenologi Husserl sebagai ilmu tanpa presuposisi, bertolak belakang dari model filsafat sejak Hegel yang menafikan mungkinnya ilmu pengetahuan tanpa presuposisi (naturalism dan psikologisme) yang mennghantui filsafat selama ini.(Donny Gahral, 2005:149) Naturalisme adalah asumsi bahwa objek-objek berdiri terlepas dari subjek pengetahuan. Objek-objek adalah sesuatu yang asing dan kemudian diserap ke dalam kesadaran subjek. Sedangkan psikologisme adalah mode yang berkembang di kalangan logikawan abad ke-19 yang mereduksi kodrat entitas yang digarap logika semata entitas psikologis dalam benak pikiran manusia.
Husserl menginginkan fenomenologi dikuras dari segala sesuatu yang bersifat faktual. Fenomena tidak dipahami sebagai sesuatu yang faktual. Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari objek-objek sebagai korelat bagi kesadaran. Kemudian Husserl mengajukan satu metode epoche, epoche adalah penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi memunculkan esensi. Tanpa penundaan asumsi naturalisme dan psikologisme, kita terjebak pada dikotomi subjek-objek yang menyesatkan. Tujuan epoche adalah mengembalikan sikap kita terhadap dunia pada sikap keseharian yang menghayati dan bukan memikirkan benda-benda. (Donny Gahral, 2005:151)
Epoche mengandaikan adanya kebebasan dalam memilih dan dan menentukan perspektif kita mengenai sebuah fenomena tertentu. Epoche mengatasi karakter faktual dari kesadaran manusia, bahwa sifat kesadaran yang melulu percaya akan sesuatu yang hadir terlepas darinya harus dilepas. Lepasnya sifat faktual dari kesadaran akan membawa kita pada fenomena murni. Saat mendayagunakan penudaan fenomenologis, semua karakter faktual lenyap dan menyisakan kesadaran murni yakni kesadaran sebagai eksistensi absolut dimana objek-objeknya selalu korelat baginya. Disinilah Husserl dalam Donny Gahral (2005: 153) menyatakan bahwa kesadaran kita memiliki keterarahan, kesadaran selalu terarah pada objek. Hal ini disebut sebagai intensionalitas kesadaran. Tindak intensionalitas menyeruak keluar menuju objek transenden.
3. Konsep Humanistik Bildung
Konsep Bildung dengan sangat jelas menunjukkan perubahan intelektual yang mendalam yang masih menyebabkan kami untuk mengalami babad Goethe sebagai masa kini, sementara zaman baroque telah muncul seperti zaman sejarah pertengahan. Konsep-konsep dan kata-kata kunci yang biasa digunakan kemudian perlu didefinisikan, dan jika kami tidak menerima bahasa secara otomatis tetapi mencari sebuah pemahaman diri atas fenomena yang rasional. Konsep-konsep seperti seni, sejarah, kreatif, pengalaman, jenius, dunia eksternal, interioritas, ekspresi, ekspresi, gaya, dan simbol, yang secara otomatis digunakan.
Bildung merupakan ide yang lebih awal dari sebuah ‘bentuk alamiah’ yang merujuk pada penampakan eksternal yang kini dihubungkan erat dengan kebudayaan dan terutama menunjukkan cara manusia yang benar dalam mengembangkan salah satu bakat dan kemampuannya. Hal ini menjadi sangat jelas dalam ide tentang Bildung teoretik, karena untuk memiliki sikap kritis dimana ia melampaui apa yang diketahui dan dialami secara empirik. Seperti yang diungkapkan Gadamer (2004: 15) bahwa bildung teoretik merupakan penalaran untuk mengikuti apa yang berbeda dari dirinya dan untuk menemukan pandangan-pandangan yang universal yang darinya seseorang bias memahami sesuatu, ‘sesuatu yang objektif di dalam kebebasannya’, tanpa mementingkan dirinya sendiri.
Pendekatan atau metode tersebut hanya penulis pergunakan sebagai cara yang paling sederhana untuk melakukan proses kreatif secara metodologis dan prosedur sistemik. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan sensibilitas ruhaniah maupun estetik jelas sangat bergantung pada bagaimana penulis secara intensif menjaga dan melembagakan proses kreatif. Soul-scape dijadikan sebagai mediasi intelektual untuk membidik sesuatu yang sublim, melatih pemahaman dan penajaman mengenai kedalaman spiritual yang paling personal yakni sebuah tunutan kreatif kita untuk melahirkan nilai-nilai pada lapis terjauh karena tidak mudah orang lain berada diantaranya apalagi untuk berada di ruang virtual sana.
5. Proses Penciptaan
Pada proses penciptaan seni lukis, secara umum penulis mengadaptasi beberapa metode yang lazim dipergunakan secara praktis dengan melakukan pendekatan yang berbeda. Pendekatan yang dilakukan diantaranya dengan Eksplorasi (brainstorming) di antaranya eksplorasi konsepsi (intersubjektivitas pengamatan dan pengalaman estetik pada aesthetic structure), eksplorasi-analisis visual form, dan eksplorasi estetik. Tahap berikutnya adalah improvisasi; pembentukan dan penggalian berbagai aspek visual -artistik- dan penajaman estetik dengan kemampuan teknis maupun analitis intuitif. Tahapan evaluasi; mengevaluasi berbagai relasi aspek ide, eksekusi artistik dan segala sesuatu yang berkaitan pada kedalaman impresi dan ekspresi yang disajikan semacam pengendalian dan pengendapan emosional disetarakan atau komprehensif dengan kapasitas intelektual yang tervibrasi dalam proses penciptaan. Ekspolrasi di antaranya eksplorasi konsepsi (intersubjektif pengamatan dan pengalaman estetik pada aesthetic structure), eksplorasi visual form, dan eksplorasi estetik.
a. Brainstorming
Sebuah tahapan pencarian dan penggalian ide-ide kreatif sekaligus mengekplorasi materi-materi (baik teknis maupun non-teknis) pemecahan masalah atau suatu projek desain yang memaksimalkan fase eksplorasi ide-ide yang sudah lazim diketahui. Contoh sederhana, ketika penulis sulit menangkap sebuah gejala dari ekses dunia virtual dan menentukan konsep-konsep visual yang dapat dihadirkan sebagai sebuah gagasan penting tertentu atas subyek matter atau ketika penulis mengalami kemampatan dalam eksplorasi visual, estetik maupun artistknya. Ketika penulis menemukan jalan buntu dan kemampatan gagasan, disinilah peran brainstorming betul-betul mendesak untuk dilakukan agar mampu meluncurkan berbagai pemikiran eksploratif.
Proses penciptaan seni yang penulis lakukan didasari pada prioritas-prioritas kebaruan, kedalaman, dan aktualisasi tertentu misalnya kadar perenungan, keuletan mengeksplorasi ruang-ruang imajiner untuk menggali ide-ide baru, keberanian mencoba hal baru, eksplorasi yang liar nyaris tak terbatas sehingga dapat memetik ide kreatif dan lebih segar.
b. Eksplorasi Konseptual
Pada dasarnya kemunculan konsepsi dari serangakain pengamatan yang serius dan mendalam atas suatu objek amatan, sehingga melahirkan gugus interpretasi intersubjektif. Dalam proses pangamatan muncul pengalaman estetik tertentu yang menggelegak yang segera dieksekusi ke dalam tahap eksplorasi visual dan sketsa maupun tulisan sebagai penunjang artikulasi visual. Tahap awal proses kreatif yakni eksplorasi konsepsi, berbagai hal yang menjadi kegelisahan, kegalauan, kebahagiaan tertentu dieksplorasi secara mendalam untuk memperoleh sebuah intisari dari berbagai gagsan yang muncul tersebut. Sebagai ujung tombak bagi kekuatan isi dan substansi sebuah karya seni dipresentasikan.
c. Eksplorasi Visual
Tahap eksplorasi visual memungkinkan dilakukannya analisis visual form yang berkelanjutan sebagai eksekusi dari eksplorasi konsepsi yang mendasarinya. Penulis melakukan berbagai ekplorasi visual melalui sketsa-sketsa manual maupun digital dan penerapan teknik pencapaian artistik yang eksploratif misalnya dengan arang, pencil, charcoal, pena, tinta, krayon di atas kertas kwarto maupun pada kertas daur ulan sertakertas bekas cetakan dengan woodcut dan aplikasi digital print.
Hal tersebut penulis lakukan sebagai tahap wajib sebelum melukis dengan totalisas proses kreatif sesungguhnya untuk membuka berbagai kemungkinan aspek bentuk visual sekaligus teknik pencapaian artistiknya. Dari ekplorasi visual ini dapat menjadi acuan eksplorasi-eksplorasi selanjutnya. Pada aspek visual form adalah menjadi bagian berikutnya yang diolah dalam proses penciptaan sebagai presentasi bentuk atas gagasan-gagasan yang dimunculkan dalam serangkaian proses improvisasi imajinasi. Visual form secara objektif bukan sekadar lahir karena kepentingan artistik semata tetapi merupakan manifestasi konsepsi dan kegelisahan kreatif.
Karena pada dasarnya visual form adalah hasil yang dapat diamati dalam sebuah eksekusi artistik yang telah digarap dalam mencapai tujuan pembentukan konsep dasar. Apabila seseorang memandang objek seni maka potensinya untuk menginterpretasikan visual form menjadi lebih aktual. Visual form sejatinya funded perception yang menjadikannya pengalaman estetik apabila terjadi relasi dengan kualitas yang menyatu dari visual form. Kemudian membentuk gugus Aesthetic Structure yang menunjuk pada aspek kekuatan kerja pengalaman estetik yang mengikat persepsi-persepsi yang bersenyawa dalam sebuah gugus masif yang tidak menunjuk pada penandaan isi dan pengalaman estetik melainkan menunjukpada operasi psikologis dengan kesadaran akan isi dan substansi menjadi felling into.
d. Eksplorasi Media dan Teknik
Dalam proses ekplorasi media dan teknik hampir sama prosesnya ketika penulis melakukan eksplorasi bentuk visual, saya mendahuluinya dengan sketsa-sketsa dalam pencarian dan penggalian bebtuk-bentuk visual. Pada eksplorasi media dan teknik, mengoptimalisasian berbagai proses perlakuan terhadap media dengan berbagai pendekatan teknik konvensional dan non-konvensional. Untuk pemilihan media ekspresi penulis mencoba menggali berbagai kemungkinan media campuaran dengan berbagai teknik; drawing, digital print, woodcut, impasto, opaque dan kolase dengan koran, kertas sisa cetak, dan kertas daur ulang (kertas merang, singkong, rumput, dan kertas jepun dengan kadar pH rendah) dimixed cat minyak, akrilik dan pastel pada medium kanvas.
Media lain yang digunakan yakni cat minyak dan acrylic special artist produk Winsor & Newton England, untuk drawing saya pergunakan media charcoal produk Rembrant dan oil pastel produk talent serta media penunjang lainnya seperti pengaplikasian pelak ban jenis kertas yang berfungsi menciptakan bidang-bidang objek secara akurat. Kuas dari ukuran kecil sampai terbesar produk Picasso, Huang Hong, Eterna dan rol cat produk Winsor & Newton atau produk China dan lokal. Pisau Palet produk Winsor & Newton dan Talent. Pertimbangan saya dalam memilih dan menggunakan media tersebut semata-mata tuntutan kebutuhan kreativitas dan eksplorasi media dengan teknik-teknik tertentu yang menjadi daya dukung dalam proses penciptaan.
e. Eksplorasi Estetik
Eksplorasi estetik sejatinya dalah kebutuhan mendasar selain eksplorasi media dan teknik penggunaan media, namun pada eksplorasi estetik merupakan hirarki dari sebuah karya seni menjadi representasi emosi, perasaan dan intelektualitas seorang perupa. Eksplorasi dilakukan jauh sebelum sebuah gagasan dieksekusi maupun sepanjang proses kreatif berlangsung. Aspek-aspek Aesthetic Structure menjadi bagian aspek terpenting dalam pengamatan moment estetik yang menjadi petikan-petikan pengalaman estetik seseorang kemudian diinterpretasikan secara personal menjadi representasi-representasi visual interpersonal.
Hal-hal yang berkaitan dengan gugusan ide –virtual- sampai pada hal-hal visual form yang memiliki kekuatan-kekuatan imaji tertentu dalam proses pencitaan. Moment estetik yang ditangkap dapat dijadikan pengamatan, eksplorasi dan improvisasi lebih lanjut dalam satu karya yang tengah dieksekusi maupun karya-karya berikutnya. Tentunya dengan cara pandang yang berbeda dan tingkat sensibilitas estetik yang berbeda. Sehingga citra-citra visual yang masih virtualpun dapat tergali maksimal dengan kapasitas estetik tertentu yang mengakomodasi aspek-aspek intelektualitas seorang perupa.
f. Improvisasi
Tahap berikutnya adalah improvisasi; pembentukan dan penggalian berbagai aspek visual –artistik- dan penajaman estetika dengan kemampuan teknis maupun analitis intuitif. Dalam improvisasi, saya menggali dan memanfaatkan nilai-nilai probabilitas dari berbagai aspek baik aspek-aspek yang berkaitan dengan visual maupun teknik artistik lainnya serta representasi konsep estetiknya. Dengan menggali dan dan membuka berbagai kemungkinan diharapkan muncul gagasan, imajinasi, asosiasi dan berbagai pencitraan yang bersifat juxtaposisi (juxtafore) maupun sebuah pendekatan metaforik (Methaphoric Approach), yang menghasilkan sesuatu yang berbeda, personal dan unik.
g. Pendekatan Metaforik (Methaphoric Approach)
Metafora kini menjadi subjek kajian pokok di dunia filsafat, dan menempati posisi strategis dalam wacana posmodernisme. Pemahaman tentang metafora ini diharapkan dapat lebih memperkaya pengetahuan dan memperbesar kesadaran pelaku seni dalam mencipta karya seni, dan juga dalam mengartikulasikan ide-ide serta konsep karya seni... (M. Dwi Marianto, 2007:28) Pendekatan metaforik menjadi salah satu pendekatan penciptaan yang paling efektif dalam mensintesa pemikiran yang berkaitan dengan pendekatan dekonstruksi dan eksistensialisme yang menjadi pisau bedah bagi persoalan humanisme sebagai inspirasi proses kreatif.
Pendekatan semiotika dalam penciptaan menjadi sebuah metode pendukung dalam sublimasi kegaduhan dan ketakteraturan munculnya berbagai gagasan yang berserakan sehingga tanda –sign- menjadi lebih memiliki kapasitas otonom. Dari berbagai tanda yang muncul sebagai idiom yang virtual teraktualisasi dalam teks-teks visual yang dapat berelasi dan berkorelasi secara signifikan dalam konteks spiritualitas keseluruhan karya.
Barthes dalam St. Sunardi (2002:79), memaparkan mengenai creative transgression secara semiotika, kreativitas dapat dijelaskan dari ’inovasi’ dalam sintagma dengan jalan memasukkan unsur paradigmatik dalam sintagma. Dia menyebut tiga cara creative transgression yang masing-masing diambil dari J. Tubiana, Trnka, dan Jacobson: (a) opposition of arragement, (b) rhymed discourse dan (c) rhetoric. Tiga hal ini merupakan bentuk invasi paradigma ke dalam sintagma. Unsur paradigma yang biasanya berada dalam status ’kemungkinan’ dimasukan ke dalam status kenyataan. Creative transgression ini dapat dipakai untuk menilai kreativitas kultural yang terjadi pada jaman sekarang.
Ketika musik campur sari berkolaburasi dengan musik dangdut dan seperangkat musik band, tentu tetap merujuk terma kisah namun kesan yang lahir menjadi baru. Proses perwujudannya menjadi materi yang paling strategis untuk mengantar gagasan ke dalam serangkaian panjang sebuah proses kreatif. Sebuah rekontekstual dari sebuah persoalan humanisme menjadi konsern pada tiap karya yang terlahir sebagai sebuah manifestasi pemikiran, perenungan dan impresi dari konteks sumber inspirasi tersebut.
h. Evaluasi
Tahapan evaluasi; berbagai relasi aspek ide, eksekusi artistik dan segala sesuatu yang berkaitan pada kedalaman impresi dan ekspresi yang hendak disajikan semacam pengendalian dan pengendapan emosional disetarakan dengan kapasitas intelektual yang tervibrasi dalam proses penciptaan. Evaluasi tentu menjadi penting dalam membuat kerangka pemikiran/konsepsi maupun revitalisasi visual sehingga keseluruhan visualisasinya menjadi padu dalam kekuatan estetik.
Hal tersebut menjadi pertimbangan pengevaluasian proses penciptaan yang merujuk pada konsepsi untuk lebih menekankan pada content, muatan ekspresi maupun substansinya. Secara visual, hasil yang direpresentasikan kelak dalam sebuah eksekusi artistik yang telah digarap merupakan upaya merekonstruksi gagasan dan teknik pencapaian/visualisasi konsep dasar pengolahan tanda dengan pendekatan semiotik.
6. Analisis
Virtual Displacement secara umum dipahami sebagai bentuk pergeseran maya dimana ruang-ruang virtual memberi pengaruh luar biasa pada setiap aspek kehidupan penduduk dunia dewasa ini. Percepatan dan pelipatan waktu pada perkembangan teknologi telekomunikasi menjadi picu terbesar ke dalam terperangkap sebuah ruang dimana sistem simulasi cybernetic menjadi begitu penting untuk pemenuhan tingkat kenyamanan, efisiensi dan efektif. Ekses terkecil adalah pembentukan pola gaya hidup dan kecenderungan menipisnya kesadaran humanistik jauh dari kesadaran ‘membumi’ menilik akar ‘local genius’. Kita seringkali terjebak pada pola budaya kontemporer yang menjadikan diri kita melambungkan begitu jauh angan-angan dan impian melampaui batas realitas. Ini sebentuk candu budaya kontemporer ketika ruang diterabas begitu sangat mudah dan super cepat dan kita berada di dalam ruang-ruang virtual tersebut hendaknya tetap memiliki impian untuk membumi.
Kemudian dalam lesatan ruang-waktu terjadi pelipatan dan percepatan segala bentuk kepentingan yang teraktualisasi dalam wujud virtualnya, sehingga untuk mencapai tujuan (berbagai aktivitas yang terwakili secara signifikan) kita tak perlu lagi menerobos ruang melalui waktu tetapi kita yang menaklukan ruang lewat waktu tanpa mempersoalkan jarak. Hal ini memberi kontribusi perubahan sosial dengan gaya hidup (lifestyle) sebagai manifestasi kesadaran eksistensi dan konsekuensi logis. Dampak perkembangan sains dan teknologi mewarnai gaya hidup serba internet dalam melakukan berbagai aktivitas termasuk pada perubahan bisnis cyber-style, gaya piknik, gaya belajar, gaya hiburan, gaya seksual, dan sebagainya. Gaya hidup internet, akan dicirikan oleh inovasi-inovasi aplikasi dan perangkat lunak computer yang amat cepat.
Dasar pemikiran tersebut merupakan upaya merepresentasikan sebuah gejala-gejala sosial diamana telah terjadi sebuah pergeseran perilaku, gaya hidup, dan pembentukan karakteristik masyarakat dunia umumnya dan negeri berkembang seperti Indonesia sebagai dampak perkembangan dunia teknologi komunikasi. Perubahan paling menyolok terjadi pada masyarakat kota-kota besar, indikasi sederhana ketika perkembangan dunia telekomunikasi mencapai titik puncak kemutakhiran teknologi simulasi. Kemudian masyarakat kini menjadikan perkembangan teknologi komunikasi ini sebagai media paling efektif dan sangat dibutuhkan untuk mendukung aktivitas sehari-hari melalui ruang-ruang virtual yang senantiasa berada pada genggamannya. Namun, pada sisi lain virtual space memiliki peluang mendiskwalifikasi realitas.
Contoh sederhana ketika virtual space dipergunakan sebagian orang untuk melecehkan harkat dan martabat bahkan pembunuhan karakter seseorang dengan memberikan informasi bertolak dari realitas sesungguhnya. Dengan teknologi animasi misalnya seseorang dengan mudah digantikan karakter bahkan figur dapat diganti dengan figur lain, inilah yang sering terjadi pada public figure populer. Contoh sederhana lainnya, ketika seseorang melakukan komunikasi melalui face book atau semacamnya apalagi fasilitas 3G yang memuka peluang begitu bebas menerobos ruang-ruang privasi sehingga seseorang mulai kehilangan ruang privasinya.
Endnote:
Adlin, Alfathri, ”Spiritualitas/Terapi: Fenomena Keberagamaan dan Tashawuf di Masyarakat Perkotaan” dalam Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta, 2006
Adian, Donny Gahral. (2005), Percik Pemikiran Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta.
Amir Piliang, Yasraf, Hiper-Realitas Kebudayaan, LKiS, Yogyakarta, 1999
_________________, Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melalui Batas-Batas Kebudayaan, Jalasutra, Yogyakarta, 2006
_________________, Multiplisitas dan Diferensi: Redefinisi Desain, Teknologi dan Humanitas, Jalasutra, Yogyakarta, 2008
Anderson, Benedict, Imagined Communities, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008
Assafa Endeshaw, Assafa, Hukum E-Commerce dan Internet dengan Fokus di Asia Pasifik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007
Gadamer, Hans-Georg, Kebenaran dan Metode, versi terjemahan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004
Haryatmoko, Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi, Kanisius, Yogyakarta, 2007
Honnef, Klaus, ’Contempoary Art’, Taschen, 1988
Kandinsky, Wassilly , Concerning The Spiritual in Art, (Pendalaman Spiritual Dalam Seni), terjemah: Sulebar M.Soekarman, Yayasan Seni Visual Indonesia, Jakarta, 2007
Marianto, M. Dwi “Relasi Luar-Dalam Antara Seni dan Metafora”, dalam Surya Seni, Volume 3, No. 1, Februari , Jurnal Penciptaan dan Pengkajian Seni PPs ISI Yogyakarta, 2007
Murti, Krisna, Apresiasi Seni Media Baru, Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan Film, Jakarta, 2006
Nietzsche, Friedrick, Beyond Good and Evi, (Prelude Menuju Filsafat Masa Depan), terjemah:Basuki Heri Winarno, Ikon, Yogyakarta, 2002
O’Hara, Kieron , Plato dan Internet, Jendela, Yogyakarta, 2002
Sartre, Jean-Paul, Psikologi Imajinasi, Bentang, Yogyakarta, 2001
Strinati, Dominic, Popular Culture, Jejak, Yogyakarta, 2007
Sugiharto, Bambang, ”Posisi Ruh dalam Peradaban Kontemporer” dalam Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta, 2006
Sunardi, St., Semiotika Negativa, Kanal, 2002
Wheeler, Daniel , Art Since Mid-Century, Thames and Hudson, New York, 1991
[1] fibre optic : semacam serat kaca yang telah dimurnikan secara kimiawi yang dapat mengirimkan data lewat cahaya.
[2] Cybernetics adalah sebuah keilmuan khusus yang mengkaji relasi timbale balik antara informasidan kendali (control), yang memungkinkan pesan dari manusia ke mesin, dari mesin ke manusia, atau dari mesin ke mesin dapat mencapai tingkat efektivitas tertentu. Dikutip Norbert Wiener dalam Yasraf Amir Piliang, Ibid., p. 404
Tidak ada komentar:
Posting Komentar