Minggu, 05 Februari 2012

HYPERFOCAL DISTANCE

HYPERFOCAL DISTANCE

Sebuah Inter-refleksi Fenomena Momen Estetik

Hyperfokus dipahami sebagai jarak hiperfokus (terdekat) kamera dengan objek yang tetap memiliki kwalitas ketajaman fokus ketika fokus lensa berada pada titik tak terhingga ‘infinity focus’.

Prolog

Sesungguhnya kerja kreatif seorang fotografer bukan sekedar merekam objek ‘moment’ dalam ruang reflector kamera dalam kecepatan detik dari sebuah pengembaraan estetis semata. Namun sebuah keniscayaan proses eksplorasi emosional dan intelektual yang mampu mempertemukan berbagai aspek estetik. Pertautan kepekaan estetis atas momen-momen estetik yang mampu mempengaruhi dirinya dan penikmatnya sebagai sebuah insight. Serangkaian proses inter-reflection berbagai fenomena dan momen estetik yang menebarkan daya ganggu secara konseptual, daya pukau secara estetik, kekuatan sensasional yang dihasilkan ambient light dan mengelola hyperfocal distance sebagai konstruksi karya fotografi professional yang ideal.

Hyperfocal Distance, sebagai term representatif untuk membingkai pameran fotografi hasil eksplorasi dan kerja intensif seorang professional; Agus Heru, M.A. Roziq dan Windujati. Hyperfocal Distance merupakan term cukup populer dalam dunia fotografi yang paling tidak mampu mendekatkan perpektif kita dengan gejala visual yang dipresentasikan. Presentasi karya fotografi dengan mengedepankan aspek-aspek personal yang gestal. Mereka tidak sedang mempersoalkan jarak hyperfocus dengan pewacanaan yang bisa jadi justru mengganggu fokus dan intensi kreatif. Hyperfocus secara harafiah dapat diketemukan dalam wacana seni fotografi sebagai jarak hiperfokus (terdekat) kamera dengan objek dengan kwalitas fokus yang tajam ketika fokus lensa berada pada titik tak terhingga atau semacam infinity focus. Kerja semacam ini dilakukan tak semata ingin menemukan detail namun kehendak perjumpaan dengan nilai tertentu yang dikonstruksi maupun yang didekonstruksi secara alamiah dari rangkaian proses pencermatan, perenungan, pengembaraan visual dan spiritualitas dari berbagai hal yang tak terduga.

Inter-refleksi Fenomena ‘Momen Estetik’

Projek pameran ini sesungguhnya dibangun dari kesamaan visi dan pengayaan suatu refleksi atas berbagai fenomena sebagai objek pencermatan masing-masing. Cuatan interelasi fokus penciptaan seninya beranjak dari ruang-ruang inter-refleksi atas gejala yang tampak sebagai momen-momen estetik dengan eksekusi kerja kreatif individual dengan keyakinan ideologi estetika yang diusung. Menggali sekaligus menemukan persoalan yang berkembang di masyarakat secara dekat dan mengemukakan aspek kritis. Agus Heru, M.A. Roziq dan Windujati tampaknya menemukan kesetaran perspektif mengenai problem sosial, identitas dan megurai layer-layer humanistik dalam representasi personalnya. Selanjutnya kita bisa dengan seksama mencermati detail-detail pemikiran dan jejak visualnya yang khusus pada presentasi ini.

Agus Heru: Metafor Biji dan Ruang Eksplorasi Identitas pada ‘[r]Evolution of The Plants’

Membaca karya-karya Agus Heru serta merta menyeret persepsi kita mengenai ikhwal sebuah inti makhluk organis yang mulai memperoleh ruang dan memiliki denyut pertama atas hak kehidupannya. Presentasi subjek dalam ruang imajinatifnya memproduksi keluasan interpretasi intersubjektif. Pemunculan bentuk-bentuk organis ia lakukan melalui riset yang serius kemudian memunculkan kesadaran konseptual untuk menjawab beberapa kegelisahan epistemologis. Kemudian Ia bergerak pada amatan-amatan sederhana untuk menemukan esensi yang tidak bisa dianggap sederhana. Mengamati sesuatu yang seringkali dilupakan dan tak penting.

‘[r]evolution of the plants’, 100x100cm, digital print on photo paper, 2011

Heru menyuntuki subject matter yang dirintis dari sebuah pengamatan sehari-hari mengenai tingginya tingkat kecenderungan konsumerisme masyarakat urban dengan mengonsumsi segala jenis makanan, sandang bahkan kebutuhan papan tanpa mau peduli dari mana semua itu bermula. Apakah kita menyadari atau paling tidak mengingat kembali sebuah proses panjang mulai nasi kucing angkringan sampai sebuah pizza disajikan, pakaian sederhana hingga batik dan songket bernilai ratusan juta dikenakan sebagai simbol status sosial serta bagaimana sebuah rumah disusun dari berbagai jenis kayu mulai sengon hingga jati berkualitas? Semua kebutuhan masyarakat dunia dipenuhi bermula dari sebuah butiran-butiran kecil yang kita sebut biji-bijian. Siapa yang peduli kapan biji berubah menjadi kecambah dan seterusnya dan seterusnya. Nah, tampak kuat sekali Heru mengolah hal tersebut sebagai tindakan kreatif yang ia sampaikan secara kritis menyoroti berbagai persoalan secara khusus dan mendalam.

‘[r]evolution of the plants’, 100x100cm, digital print on photo paper, 2011

Biji dalam karya Heru sebagai metafora multi interpretatif dengan kemasan visual ‘[r]evolution of the plants’. Ia segera menemukan sebuah evolusi yang dapat dicermati lebih lanjut sebagai sebuah [r]evolution dengan temuan-temuan ‘bentuk baru’. Jika semua orang telah hafal dengan bentuk kecambah kacang-kacangan dan selesai disini. Bagi Heru banyak aspek yang melekat dan bisa diurai detail-detailnya bahkan relasinya dengan persoalan-persoalan keseharian, psikologis, sosiologis dan filosofis. Kemampuan teknik fotografi dengan pemberdayaan fasilitas lensa macro yang ditekuninya kian mendekatkannya pada ruang proses penciptaan seni dengan perspektif hyperfocal distance. Tampilan visualnya sepintas mengubah persepsi kita dengan citra-citra yang kadang sama sekali baru hanya dengan memainkan sudut pandang objek. Dari biji inilah segala aktivitas kehidupan tumbuh dan digerakkan dalam siklus yang dinamis dan harmoni. Ihwal biji sebagai cara alam mulai menyentuh kepekaan dirinya dengan rerimbunan hutan, gunung dengan bukit-bukit indah, sungai, telaga dan samudera mengambil peran dalam pembentukan ekosistem serta berfungsi penyebaran hampir semua flora fauna termasuk biji-bijian. Bukankah [r]evolution of plants juga representasi manusia secara umum? Tentu dengan berbagai perspektif dan pendekatan baik lahir atas pembacaan atau otokritik bagi kita semua.

Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah seberapa peka masyarakat dunia mengenai perlakuannya terhadap alam, kepedulian lingkungan dan keberlangsungannya yang dipengaruhi sangat signifikan dengan meninggikan harkat biji sebagai benih yang diwariskan kepada generasi manusia selanjutnya. Ia berkutat mengenai masalah problem mendasar masyarakat urban dengan karakteristik kunsumerismenya dan kesadaran mengenai problem alam. Ia mengekspresikan berbagai aspek kritis mengenai kehawatirannya dengan perilaku manusia terhadap alam dengan mempresentasikan mengenai konsep ‘Museum of The Dead Trees’, 100x100cm, digital print on photo paper, 2011. Ia hendak mendokumentasikan perenungan kritis seputar perilaku masyarakat dunia terhadap eksistensi pepohonan dalam frame ‘museum kematian pepohonan’. Suatu hari pada beberapa generasi mendatang setelah kita supaya menemukan jejak bahwa begitu banyak jenis pohon yang punah dengan tragis. Mereka akan temukan rendahnya kesadaran dan kepedulian terhadap pepohonan masyarakat dunia dewasa ini sebagai bahan perenungan ke depan agar tetap menumbuhkan kepedulian lingkungan hidup dan menemukan kembali hutan-hutan tropis dan mempertahankan amazon-amazon baru. Hamparan permadani pepohonan di khatulistiwa sebagai paru-paru dunia bukan sekedar slogan namun menjadi impian dan realisasi bersama. Secara cerdas Heru menyajikan landscape yang segar dan baru ke dalam ruang kritik yang menyoroti problem universal.

Konstruksi Ikonik Pilar-Pilar Kayu Korek Api dan Eksplorasi Estetik M.A. Roziq

Secara umum karya-karya Roziq cukup unik dan menempati ruang estetiknya secara khusus pada deretan pemilihan subject matter sebelumnya. Tampak ia menemukan terminal kecilnya untuk fokus melakukan eksplorasi dan pendalaman konseptual. Berbeda sudut pandang dengan karya Heru yang mempresentasikan objek biji dalam bentuk kecambah dan persoalan pohon yang diubah peran sebagai subjek-subjek yang menjelma untuk mempresentasikan konsepsinya. Maka Roziq mengambil bagian kecil yang dipersoalkan Heru pada karya ‘Museum of The Dead Trees’ yakni ikon pilar-pilar kayu dari batang korek api. Ini memiliki dasar relasi yang sama antara pohon dan kayu. Dan, Windijati sesunguhnya memiliki ikatan emosional dengan Heru dengan menggunakan cahaya sebagai elemen penting membangun konsepsi dan Roziq mengeksplorasi cahaya sebagai cara melakukan dramatisasi subjek-subjek imajinernya. Windujati mengeksplorasi refleksi perfeksi cahaya untuk konstruksi ide karyanya.

Stik kayu korek api baginya menarik untuk dieksplorasi lebih lanjut, impresi yang diperoleh ketika batang-batang korek api itu dibakar dibagian ujungnya. Efek yang muncul kemudian lahir citra-citra visual baru yang distingtive dan mengandung nilai-nilai ketika direlasikan dengan konsep gagasan yang mendasari dari konfigurasi karya-karya fotografinya. Objek-objek non-organis yang bermunculan seolah membangun pencitraan dan identitas-identitas baru. Objek non-organis yang melakukan konstruksi individualnya berangsur menyawai dirinya dan menjadikannya subjek-subjek penting dalam landscape bisu di kedalaman ruang-ruang representasi. Mereka sibuk dengan proses berbagi peran ‘drama’, pemaknaan atas diri dan atmosfer yang mempresentasikan eksistensinya.

‘Sinyal Kehancuran’, 100x150cm, digital print on canvas, 2011

Kita segera menemukan formasi subjek-subjek baru pada karya ‘Sinyal Kehancuran’, 100x150cm, digital print on canvas, 2011 yang secara kritis merespons bentuk kekhawatiran masyarakat dunia mengenai konteks api, pembakaran tak sempurna penghasil Karbon dioksida, korek api yang tak terpisahkan dengan aktivitas membakar cerutu dan sejenisnya. Roziq sengaja meminjam issue terkini mengenai penggunaan energi aman, ramah lingkungan, go green dengan sosialisasi blue energy pengganti minyak tanah dan kompor jadul itu. Citra blue energy pada satu bagian objek batang korek api yang berpendar pada bagian tubuh objek tersebut tidak cukup memberi fakta aman pada penggunaan sehari-hari. Elemen-elemen tersebut sebentuk sinyal-sinyal kehancuran yang diinterpretasikan secara subjektif oleh Roziq pada paparan visualnya. Sebuah elemen alam (pohon) penghasil terbesar oksigen terbaik dunia kini berubah peran sebagai penghasil Carbon Dioksida yang mengancam semua makhluk hidup penghuni kulit bumi terancam dengan efek global warming yang mengganas belakangan ini. Bukankah perubahan-perubahan tersebut merupakan sinyal kehancuran yang laten bahkan sporadik?

‘Dialog’, 100x150cm, digital print on canvas, 2011

Situasi lain diurai begitu artistik dalam ‘Dialog’, 100x150cm, digital print on canvas, 2011 yang mementaskan adegan pilar-pilar korek api yang sudah terbakar pada sebagian besar batangnya dengan komposisi adegan dialog layaknya dialog antar individu-individu. Pembagian bidang terpusat pada bagian kiri dengan pengolahan background dan formasi objek sesungguhnya membutuhkan perhitungan sekaligus kepekaan estetik yang tidak sederhana untuk menghasilkan sebuah komposisi yang elegan ‘ideal’. Gestur dari objek-objek fotonya sangat menguasai ruang dialog secara keseluruhan ditunjang dengan bayangan objek yang berperan memberikan energi hidup bagi objek itu sendiri. Seolah Roziq mengolah perannya tidak sekedar aktivitas memotret objek namun menyutradarai sebuah peran-peran pada adegan itu. Ia meniupkan ruh-ruh pada objek organis yang kini berubah peran sebagai objek an-organis (dari pohon, kayu dan pilar-pilar kayu korek api), kemudian pada karya ini Roziq membayangkan bahwa objek-objek an-organis ini dikembalikan eksistensinya sebagai objek organis. Mengembalikan esensi, nilai, substansi pada kapasitas eksistensi objek sebagai subjek yang memiliki peran penting dalam keberlangsungan hidup makhluk hidup penghuni bumi.

Formasi batang-batang korek api yang terbakar seolah memberikan isyarat pada kita bahwa mereka tengah membicarakan perilaku manusia dalam praktik penebangan pohon, pembalakan hutan, penghentian dan pemusnahan pohon sebagai inti penyeimbang iklim global. Pohon yang dieksplorasi –dieksploitasi- untuk pemenuhan hasrat atau ambisi manusia tanpa memikirkan dampak lingkungan dan keseimbangan hayati. Dialog itu seakan membicarakan kekhawatiran manusia juga dirinya mengenai rendahnya kesadaran manusia dalam projek pemulihan dan pengembangan pepohonan. Tema penting ini juga digelisahkan oleh Heru pada karya ‘Museum of The Dead Trees’.

Refleksi dan Perfeksi Cahaya pada Karya Windujati

Windujati mengolah refleksi dan perfeksi cahaya. Sepintas ia tengah membayangkan peristiwa biomorfis dan proses alam ketika mengembalikan semua aspek organis pada intinya. Seperti manusia menemukan nuansa hakikat kemanusiaannya. Tebaran nuansa warna yang ia tangkap dan irisan-irisan bentuk intuitif menuntun persepsi kita pada helaian-helaian ruang berlapis. Padu padan cahaya, warna, barik, kontur-kontur bentuk dan citra-citra ruang kian mendekatkan imajinasi kita pada sublimasi visual yang absurd. Absurditas inilah yang nampak mengedepan sebagai referensi romansa yang ia rasakan dalam mengeksplorasi sekian jauh proses penciptaan seni juga proses hidupnya.

‘Nuansa’, 200x100cm, digital print on canvas, 2011

Windujati pada dua karya mutakhirnya ‘Nuansa’, 200x100cm, digital print on canvas, 2011 dan ‘gerak rasa’, 200x100cm, digital print on canvas, 2011 meski bukan eksplorasi final namun dapat dijadikan tanda penting bagi proses penciptaan seni yang diyakininya. Pada ‘Nuansa’, 200x100cm, digital print on canvas, 2011 impresinya yang cenderung cool menyiratkan pengembaraan menemukan spectrum cahaya dinamis membangun rekonfigurasi bentuk biomorfis. Nuansa cahaya berpendar menemukan bentuk visual yang acapkali tak terduga. Ketakterdugaan dan ketakpastian menjadi identitas khas kehidupan dengan misterinya.

‘gerak rasa’, 200x100cm, digital print on canvas, 2011

Kemudian mencermati karya dengan tajuk ‘gerak rasa’, 200x100cm, digital print on canvas, 2011 adalah sebuah penggambaran gerak yang dapat divisualisasikan namun melalui gerak rasa inilah seseorang akan memproduksi gestur untuk membahasakan situasi perasaannya. Lazimnya foto aura yang populer 5-7 tahun belakangan ini di kota-kota besar sebagai jalan pintar membaca masa depan dengan risiko-risikonya. Kepanikan dan ancaman psikologis nampak menjadi bahasan utama pada ruang-ruang konsultasi psikolog. Tingginya tingkat frustasi masyarakat kontemporer yang mengalami gejala kehilangan keyakinan identitas dan rasa percaya diri. Kemudian ramai-ramai secara rutin mengunjungi studio foto aura yang kemudian juga memproduksi paranormal dan ahli medis terapi aura dadakan. Ia tentu tidak berhubungan langsung dengan hal ini namun gerak rasa mencitrakan ikhwal pembacaan situasi emosi yang bisa berkaitan langsung dengan aktivitas manusia sehari-hari. Pembacaan visual dengan berbagai teknik representasi untuk segera menangkap garis-garis cahaya dan mengungkapkan rahasia bentuk yang akhirnya mencuat sebagai hasil interpretasi atas refleksi cahaya.

Perjumpaan cahaya dengan retina yang direkam pada ujung lensa macro pada jarak terdekatnya menemukan sensasi-sensasi visual yang mampu mewakili situasi perasaan jiwa. Cahaya dipindai dari inti gerak spektrumnya. Spektrun cahaya dianalisis detail dengan dinamisasi gerak yang membangun bentuk imajinatif merangsang otak kita pada hamparan ilusi-ilusi optikal ribuan warna. Melalui unsur visual berikut muatan ekspresinya menghanyutkan emosi kita pada ruang reinterpretasi-reinterpretasi yang tidak tunggal. Jika kita melacak pada detail bentuk dan ruang persquare maka kita segera menemukan titik-tik emosi yang bergolak dinamis. Ia memiliki kehendak menerjemahkan perasaan, emosi dan kristalisasi matrix rasa sebagai sebuah kesadaran eksistensial. Sebuah kesadaran mendasar yang menyeimbangkan sebuah pribadi dalam pencapaian aktualisasi diri.

Epilog

Wacana Hyperfocal Distance pada pameran fotografi di Bentara Budaya Yogyakarta merupakan satu perspektif bagaimana sebuah karya seni fotografi sejak dahulu sesungguhnya sudah dilakukan namun kita acuh untuk mempersoalkan potensi konseptual yang berkembang menjadi titik pijak strategis penciptaan seni fotografi. Term yang selama ini selalu digali dan dibahas secara teknis. Teknik rekam yang berkembang mengikuti proses pencanggihan teknologi digitalisasi fotografi tanpa banyak pembahasan mengenai peluang tinjauan sosiologis, psikologis maupun filosofis.

Hyperfocal Distance menempatkan posisi Heru, Roziq dan Windujati pada wilayah proses penciptaan seni pada fokus pengolahan Inter-refleksi fenomena berbagai momen estetik yang hingga saat ini tetap menggairahkan. Kegairahan mereka tak semata eksperimentasi dasar fotografi namun kegairahan mengolah subject matter secara khusus dan pendalaman konseptual seni yang menggeser harkat objek sebagai subjek-subjek dengan nilai-nilai filosofis yang melekat. Pada konteks semacam ini kiranya pameran ini menggunakan perspektif universalitas dalam mendekati momen estetik secara detail dan particular. Layaknya keniscayaan sebuah gambar yang diciptakan sebuah jarak hiperfokus kamera dengan objek dengan kwalitas fokus lensa berada pada infinity focus mentransformasi keseluruhan gejala visual yang kasat.

Presentasi visual mereka bertiga sesungguhnya bentuk dokumentasi proses perenungan, eksplorasi dan spiritualitas yang segera dibagi ke publik seni secara luas dan terbuka. Proses pematangan penciptaan seni yang mampu menciptakan ruang dialog intelektual. Event penting dan segar ini tentu menjadi pijakan atau bahkan picu kreativitas yang segera melonjakkan keyakinan pilihan proses kreatifnya yang tak mustakhil suatu hari mengubah atmosfer presentasi-presentasi karya seni fotografi. Saya berharap mereka dalam waktu dekat akan memperkaya projek dengan kegilaan-kegilaannya dan memberikan insight yang melekat pada penikmat dan perkembangan wacana fotografi.

Netok Sawiji_Rusnoto Susanto, Kurator dan Mahasiswa Program Doktor PPs ISI Yogyakarta

1 komentar:

  1. fotone ra metu mas rus :)
    carane arep pameran foto piye mas ? hehehe
    (seno)

    BalasHapus