Netok Sawiji_Rusnoto Susanto
Kurator
Secara sederhana Homage dapat diinterpretasikan sebagai sebuah sikap penghormatan terhadap berbagai aspek dalam proses pencapaian nilai-nilai terpuncak yang sampai saat ini sedang atau bahkan tetap diacu. Penghargaan/penghormatan dapat dialamatkan terhadap subjek-subjek tertentu yang dinilai memiliki kapasitas khusus, misalnya; tokoh, peristiwa, era atau penanda periodisasi maupun simbol-simbol tertentu yang muncul mengambil posisi penting. Penghormatan terhadap seorang maestro seni rupa misalnya, dengan berbagai pemikiran-pemikiran kreatif begitu sangat signifikan lekat pada produk kreativitas penggagasnya. Baik dari aspek visual maupun wacana filosofis dikembangkan dalam proses kreatif yang secara otomatis dapat merumuskan nilai-nilai dari ideologi estetika yang digelutinya. Disitulah spirit kreatif dipicu, diacu, berbagai kekhususan subject matter diurai/diartikulasikan, wacana seni rupa digulirkan dan proses kreativitas diperjuangkan nilai estetikanya.
Selayaknya memberikan penghormatan kepada maestro-maestro kita yang memperjuangkan sekaligus menegaskan kembali ideologi estetika sejak masa perjuangan, revolusi, kemerdekaan hingga seni rupa kontemporer yang akhir-akhir ini hiruk-pikuk berhasil menempatkannya pada pencapaian-pencapaian derajat sekaligus nilai inovatifnya. Bagaimana sejarah seni rupa kita dipertunjukkan di hadapan kita ketika mereka merepresentasikan ketajaman dan kecerdasan intuitif dengan perspektif individual yang tetap merespon jiwa jaman atas nilai-nilai local genius yang menjadi kesadarannya.
Alasan-alasan semacam inilah kemudian bingkai kuratorial ini dengan intensi mematangkan asumsi bahwa untuk meretaskan berbagai pemikiran-pemikiran segar dari para perupa peserta pameran dalam mendedikasikan proses perenungan, pemikiran dan olah kreatifnya sebagai representasi penghormatan nilai-nilai serta ideologi estetika yang diperjuangkan. Bernagai artikulasi visual dalam konteks ini tentu tidak secara permukaam diinterpretasi, namun dapat dicermati sebagai wujud persembahan nilai-nilai estetika untuk avant garde seni rupa kita. Pameran ini didedikasikan untuk para avant garde dan peristiwa yang diwacanakan pada kompetisi Tubi Art Award 2009 silam.
Penghormatan Kembali dan Upaya Menggali Ideologi Estetika
Seringkali kita luput untuk mampu menyampaikan apresiasi tertentu terhadap pencapaian-pencapaian puncak orang lain, terlebih rivalitasnya. Kita begitu disibukkan dengan rasa kagum –bahkan kadang berlebihan- atas pencapaian yang diraih diri kita sendiri tanpa rasa peduli pencapaian puncak diri kita bermula dari suatu inspirasi –inspirator- tertentu. Pada wacana kreativitas hal tersebut sangatlah umum dijumpai dan seketika menjadi sangat cair toleransinya. Padahal semua saling terkait, saling sinergi bahkan terinspirasi. Kemudian sesorang tergerak empatynya untuk berada pada sebuah kecenderungan melakukan hal serupa atau bahkan perlawanannya. Simak saja seorang Van Gogh menggilai karya-karya woodcut Jepang dan Joan Miro terinspirasi brushstroke kaligrafi China serta Affandi mengurasi berlebihan ekspresi visual Van Gogh dengan representasi baru dan personal. Mereka begitu menghargai inspiratornya hingga mereka menemukan kekuatannya sendiri dalam sejumlah periodisasi proses kreatif tanpa mereduksi penghormatannya terhadap apa yang ia sebut sebagai pemicu kreatifnya.
Inspirasi kreatif menjadi mula bagi seorang seniman terpicu segenap kepekaan dan kemampuan kreativitasnya untuk menjejaki, mengembangkan, menguatkan maupun meruntuhkannya. Baik ketika seseorang melakukan eksplorasi maupun dengan kesadarannya melakukan pertentangan sebagai antithesa. Tentunya sekali lagi peran inspirator menjadi posisi penting dalam proses kreativitasnya. Nah, pada konteks semacam ini fokus utamanya ialah upaya penghormatan atau penghargaan atas nilai-nilai tertentu yang ditebarkan inspirator bagi banyak orang sehingga mampu menggerakkan sekaligus menguatkan nilai lainnya. Begitu banyak satu nilai sederhana ketika dengan kesadaran menghargainya maka nilai tersebut kemudian memiliki kekuatan untuk memproduksi nilai-nilai lainnya. Memproduksi, mengembangkan, atau bahkan memformulasikannya dengan format berbeda sama sekali. Kemudian nilai-nilai kebaruan dimanifestasikan.
Pameran yang diikuti beberapa peserta nominator dan pemenang Tujuh Bintang Art Awards 2009 dipetakan dalam paket-paket pameran secara berkala di Tujuh Bintang Art Space sebagai serangkaian penghormatan dan penghargaan setingi-tingginya untuk para pemenang dan peserta nominator kompetisi tersebut. Yang tak kalah pentingnya adalah pameran ini sebagai bentuk penghargaan kami kepada para nominator Tujuh Bintang Art Awards 2009. Sejumlah karya-karya terbaiknya masuk dalam 59 nominator diantaranya karya: Dedy Sufriadi, Yudi Irawan, Rokhim Maosart, Miranti Minggar Triliani, Danny Irawan, Nawir Mc Pitt, M. Wira Purnama, Agung Santosa, Baswara Indrajati, Handry L.S, Pande Nyoman Alit Wijaya Suta, RB. Setiawanta, Hilmi Fabeta, I Gede Arya Sucitra, Nugroho Wijayatmo, Dani ‘King’ Heriyanto, I Made Ngurah Sadnyana, Afdhal , Nugroho Heri Cahyono, Dhomas Yudhistira (Kampret), Achmad Basuki, Mulyo Gunarso, Untung Yuli Prastiawan, Widhi Kertiya Semadi, Ferry Gabriel, I Wayan Legianta, Tri Wahyudi, Kadek Agus Mediana (Cupruk), I Made Adinata Mahendra, Roni Ammer, Bambang Supriyadi, Budi Agung Kuswara a.k.a Kabul, Jouhan Jauhari, Baskoro latu, Nur Fitriyah , Agus Triono, Dwi Rustanto, Ivan Yulianto, Imam Abdillah, dan Andi Riyanto (Laghost).
Secara umum mereka memiliki kapasitas konsepsi dan kemampuan tekink artistik sangat memadai. Eksplorasi-eksplorasi media, teknik, visual dan eksplorasi estetiknya mencukupi nilai yang hendak diperjuangkan. Mereka menggunakan berbagai pencapaian kapasitas kreatifnya melalui media dua dimensi, tiga dimensi, variable media, dan hanya dua karya multi media dengan tingkat eksplorasi yang luar biasa untuk membuka berbagai nilai kemungkinan..
Pada kesempatan kali ini Tujuh Bintang Art Space menghadirkan sebagian dari nominator Tubi Art Award 2009 dan selebihnya akan dihadirkan dalam pameran bagian kedua pada 24 Juli 2010. Kemunculan nama-nama yang mendedikasikan proses kreatif mutakhiirnya sebut saja I Kadek Agus Ardika, Syaiful A. Rachman, Hasto Edi Setiawan a.k.a Iwan Hasto, Rocka Radipa, Yudi Irawan, Rokhim Maosart, Danny Irawan, Agung Santosa, Nugroho Wijayatmo, Achmad Basuki, Roni Ammer, Nur Fitriyah, Rudi Hendriatno, Wibowo Adi Utama, I Wayan Upadana, Erianto, Cipto Purnomo, Khusna Hardiyanto, Miranti Minggar Triliani, Nawir Mc Pitt, M. Wira Purnama, Ferry Gabriel, Hilmi Fabeta dan Ronald Efendi. Perupa-perupa tersebut berangkat dari berbagai disiplin ilmu dan otodidak, formulasi semacam ini menarik ketika kita hendak melakukan studi banding untuk membangun wilayah-wilayah kreatifnya. Bagaimana karya kriya berhadapan langsung dengan disiplin patung, lukis, grafis dan lainnya tentu tidak sederhana untuk mempersandingkan sebab aspeknya berbeda namun mereka memiliki kepekaan estetik yang mampu menyetarakan dan menebarkan nilai-nilai sekaligus.
Dalam perspektif lain, mengamati puncak-puncak kreatif generasi perupa yang relatif muda ini mengingatkan kembali kecenderungan-kecenderungan (dari sekitar 1500an karya yang masuk) munculnya bahasa visual mengingatkan kita kembali mengenai dinamika seni lukis modern yang dipaparkan Greenberg ketika itu yang bergerak melakukan pembersihan-pembersihan berurutan melampaui figurasi, kedalaman, pelampauan hingga berakhir pada upaya pencitraan datar dan warna belaka. Yang dianggap Danto sebagai the end of art dan dinyatakan secara filosofis sebagai keruntuhan dari semua narasi ahli. Kemudian Pop Art sebagai ruang pemakamannya sekaligus penanda kebaruan seni lukis ke dalam pola kebebasan ‘post-historis’ di mana segala sesuatu dapat diamati sebagai karya seni, Kotak Brillo dari Warhol (Warhol’s Brillo Box) misalnya yang berdiri sebagai epifani sebagai bentuk perayaan tiga raja dalam Kristen. Paling tidak Warhol dapat kita jadikan sampel kasus dalam upaya pembacaan yang simpatetis dan cerdik dari seorang Wollen yang mensituasikan ‘teatrikalisasi kehidupan sehari-hari’ (theatricalization of everyday life) sebagai tindak lanjut avant-garde historis yang mengangkat hambatan-hambatan antara seni dan kehidupan yang dimunculkan kembali.
Kecenderungan semacam ini tentu menjadi picu kaum muda untuk merayakan kebebasan artistik sempurna (perfect artistic freedom) di mana segala sesuatu diperbolehkan (everything is permitted) kendati berhadapan langsung dengan konsep-konsep estetika Hegel. Kemudian berakhir pada datangnya kesadaran sifat seni yang lebih filosofis, seni dapat masuk melalui celah filsafat pada momen yang hanya mengambil keputusan intelektual saja dan mampu menentukan antara seni dan bukan seni. Neo-avant-garde bergerak merealisasikan tujuan melakukan perubahan paradigma menuju praktik-praktik postmodernisme yang terus menerus dan sistemik akan diperluas hingga hari ini. Postmodern tidak pernah sepenuhnya bermaksud menghapus modern. Dua wujud yang selalu dalam pengertian ‘paling dihormati’ karena begitu visioner melihat masa depan yang dibayangkan dan masa lalu yang dimanifestasikan kembali.
Namun demikian postmodern dalam pemahaman yang berbeda memunculkan antithesis bukan sekadar manifestasi estetis tetapi politis. Sejarah ini masih dianggap terlalu baru untuk mampu merekonstruksi perciknya yang lepas lantas berpotensi memberikan nuansa kontradiksi suatu waktu. Misalkan, terjadinya berbagai perubahan pradigma dalam seni lukis (ruang-ruang eksperimentasi estetis) yang memiliki dasar kecenderungan lebih luas dengan olah konseptualisasi yang tampaknya kemudian menjadi ketegangan dalam wacana seni postmodernisme.
Pada pameran ini terdapat suasana yang saya paparkan di atas. Para perupa lebih dominan mempresentasikan gagasannya dengan penggunaan bahasa visual bercitra realistik meskipun hanya dalam prosentase kecil saja yang memposisikannya pada langgam non representasi objek. Citra-citra yang paling mudah diidentifikasi adalah upaya setiap perupa masuk ke ranah seni rupa kontemporer dengan citra representasi visual maupun kekuatan-kekuatan gagasan yang mendasari olah kreatifnya. Karya-karya ini telah mampu mengindikasi perubahan peta perkembangan seni rupa kontemporer hari ini, paling tidak ini cukup representatif untuk mengetahui laju perkembangan dan prediksi wacana seni rupa mendatang.
Dalam kurum waktu kurang setahun mereka telah menunjukkan berbagai perubahan dan perkembangan dalam proses kreatif, ini membuktikan bahwa seniman-seniman terbaik yang berhasil masuk nominator Tubi Art Awaard 2009 semakin layak diperhitungkan kematangan prosesnya. Hal tersebut dapat kita lacak dari pemilihan media ungkap, penentuan gagasan, penguasaan teknik dan kedalaman-kedalaman yang bersifat substantif. Mereka kian menegaskan kembali ketajaman menentukan subject matter dan pendalaman kajian-kajian filosofis yang dijadikan dasar prosese penciptaannya. Kecermatan memecahkan berbagai persoalan teknis visual menjadi sebuah kekuatan baru untuk mencuatkan kegelisahan batin dan mempertajam karakteristik ideologi estetikanya. Dasar-dasar kesadaran semacam ini sesungguhnya yang menjadi daya hidup dalam memanifestasikan gagasan kreatif dan menyerap spirit jiwa jaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar