Minggu, 05 Februari 2012

HIDUP ALA BARBIE Ulasan the Making of an Icon

HIDUP ALA BARBIE

Ulasan the Making of an Icon

Oleh:

Sakdiyah Ma’ruf & Rusnoto Susanto

I’m a Barbie girl,

In a Barbie world,

Life in plastic,

It’s fantastic

You can brush my hair

Undress me everywhere

Imagination…

Life is your creation..

(Barbie Girl-Aqua)

Plastik Paling Kondang

Siapa tak kenal Barbie? Boneka cantik dari Amerika ini adalah salah satu produk mainan yang paling terkenal di negara asalnya dan di seluruh dunia. Gretchen Morgenson dalam The Making of an Icon menyatakan bahwa kesuksesan dan popularitas Barbie dapat disejajarkan dengan Coca Cola dan Marlboro. Tentu sebuah prestasi extraordinary ketika produk mainan yang kebanyakan hanya dikonsumsi oleh segmen pasar tertentu—dalam hal ini anak-anak—dapat disejajarkan dengan produk konsumsi semua kalangan macam Coca Cola.

Kesuksesan ini sebenarnya bukan kesuksesan yang diraih dalam semalam. Dilahirkan di tahun 1950-an, Barbie mencapai masa keemasannya baru pada periode 1990-1996. Pada masa-masa tersebut, Barbie mendapat pengakuan luas bukan hanya dari media dan pasar, tetapi juga dari lembaga-lembaga prestisius seperti Los Angeles Craft & Folk Art Museum serta Smithsonian Institute. Sedemikian suksesnya Barbie, sampai-sampai ia berhasil ”mengalahkan” ikon perang vietnam dan ikon penjaga kepentingan Amerika di luar negeri, boneka G.I. Joe.

Apa yang membuat Barbie sedemikian populer? Salah satunya adalah usaha gigih dan kejeniusan tim Mattel dalam memanipulasi realitas, mengkonstrusi dan merekonstrusi kehidupan seorang Barbie. Menempatkan Barbie pada realitas kehidupan masyarakat Amerika dan masyarakat dunia pada umumnya hanya tugas awal yang telah mereka laksanakan. Selanjutnya, penggila Barbie-lah yang mengkreasikan 1001 kisah hidup Barbie. Tugas Mattel selanjutnya adalah menghubungkan kisah hidup masyarakat dunia yang senantiasa berubah (the popular) dengan Barbie untuk terus menerus menjamin kebaruannya. Kebaruan yang terus menerus inilah yang menjadi salah satu faktor yang mengukuhkan Barbie menjadi ikon popular culture abad ini.

Nenek yang Tak Pernah Tua

Usia Barbie sebenarnya tidak muda lagi, malah sudah nenek-nenek. Lahir di tahun 1950-an, Barbie mengarungi jaman dengan rambut pirang keemasan, mata biru, senyum mengembang, dan tubuh yang senantiasa kencang. Apakah sosok yang selamanya muda itu yang menjadi daya magnet Barbie? Bisa jadi.

Menjadi tua adalah issue tersendiri untuk perempuan. Industri kosmetik anti penuaan adalah industri beromset jutaan dollar setiap tahunnya. Ketakutan menjadi tua adalah salah satu dari sekian banyak socially constructed fear yang dimiliki perempuan. Barbie yang mengambil sosok “perempuan tercantik” versi Amerika kemudian menempati ruang dalam ilusi kemudaan pada diri perempuan. Sementara dalam real world, perempuan tidak akan mampu menghindari penuaan, Barbie world membuktikan sebaliknya. Grandma Barbie yang berusia lebih dari 50 tahun ini nyatanya forever young dan yang paling penting forever fresh.

Ilusi tentu tidak akan dapat diproduksi dan direproduksi hanya melalui seonggok boneka plastik dan Barbie bukan sekadar boneka plastik. Barbie adalah boneka yang bergerak dalam jiwa fashion, sementara fashion dihidupi oleh kebaruan. Dari sanalah ilusi kemudaan ini muncul. Barbie ternyata bukan nenek-nenek, dan ia tak akan pernah jadi nenek. Ia entitas yang selalu ada dalam setiap jaman dan muncul sebagai perwakilan jamannya. Ia yang sudah lama ada ini akan selalu ada dalam konteksnya yang baru di setiap era. Dengan demikian, ia akan selalu dekat dan punya hubungan dengan penggemarnya di setiap jaman.

Hubungan ini penting, karena fantasi dan ilusi sesungguhnya muncul berdasarkan pengalaman dan realitas. Orang yang tidak merasa terhubung dengan Barbie, tidak akan mampu mengkonstrusikan “hidup yang baru” bersama Barbienya. Dan karena fantasilah yang menjadi faktor penting larisnya Barbie, Mattel punya tim tersendiri untuk mekreasi dan rekreasi Barbie setiap saat. Lord dalam the Making of an Icon menyatakan bahwa ”Mattel has hundreds of people—designers, marketers, market researchers—whose full-time job it is continually to reinvent her by masterminding such cultural contradictions. These employees not only keep reinventing Barbie herself but also reconfigure her world so as to align it with what is currently popular. As a result, wherever anything is sold in many societies, Barbie is likely to be there or nearby.” Dimanapun Barbie dijual, ia akan selalu berada pada konteks masyarakatnya dan ia akan selalu dekat.

Ilusi Identitas

Barbie adalah boneka Amerika dengan gaya dan kecantikan yang ”disetujui” sebagai standar cantik Amerika. Namun, seperti yang dikatakan Lord diatas Barbie diciptakan untuk senantiasa cocok dalam masyarakat manapun dengan trend apapun. Maka, varian Barbie pun yang diproduksipun sangat beragam. Mulai dari Barbie kulit hitam untuk konsumsi masyarakat Amerika, sampai Barbie Minang dan Barbie Jilbab di Indonesia. Barbie pun kemudian diberi identitas yang dekat dengan konsumennya.

Persoalan yang muncul kemudian adalah satu boneka tidak bisa hadir dengan multi identitas. Di Amerika, saja blonde hair, blue eyes, dan glamorous life yang dipunyai Barbie sendiri masih kontroversial karena dianggap menciptakan ilusi identitas dan ilusi kecantikan tak tergapai yang menjebak anak-anak perempuan. Anak-anak perempuan kemudian diajak mengidentifikasi diri dengan apa yang dipakai Barbie dan bagaimana Barbie berpenampilan, dan lebih dari itu wujud Barbie sendiri. Hal ini berpotensi memunculkan krisis identitas diri.

Meskipun tidak berbicara secara spesifik tentang Barbie, namun potensi krisis yang sama ini pernah direflesikan Toni Morrison pada novelnya yang terkenal yaitu The Bluest Eyes. Dalam novel tersebut diceritakan nestapa anak perempuan kulit hitam yang merasa dirinya seolah bukan manusia karena ia tidak bermata biru. Jika ini persoalannya, Barbie juga punya varian kulit hitam, kulit kuning, kulit coklat yang akan membuat anak-anak kulit berwarna merasa dekat dengan Barbie. Tapi Barbie tetaplah Barbie. Perubahan kulit dan pakaian tidak serta merta membuat Barbie memiliki identitas genuine baru. Barbie hanya menampilkan ilusi akan identitas. Dibalik kulitnya yang hitam, kain songket keemasan, atau jilbabnya, tersimpan Barbie yang sama, Barbie yang merupakan ikon hedonistik dibungkus tubuh langsing tanpa cela.

Barbie: Ikon Hidup Mewah dan Mudah

Kelompok musik AQUA menggambarkan Barbie World sebagai dunia dimana kehidupan begitu fantastis dan dapat dirubah setiap saat, kapanpun diinginkan. Barbie adalah hidup ciptaan kita sendiri dengan segenap imajinasi kita. Benarkah, kita dapat berimajinasi sebebas-bebasnya dengan Barbie? Bisakah kita misalnya mengangankan Barbie kita sebagai sosok perempuan ilmuwan kuper pencipta senjata nuklir?

Barbie memang memungkinkan kita untuk berimajinasi, bahkan melarikan diri dari kehidupan nyata kita dengan menciptakan kehidupan baru bersama boneka-boneka kita. Namun, pada akhirnya yang kita lakukan bukan menciptakan kehidupan melainkan hanya mereproduksi citra-citra kemewahan dan kemudahan hidup. Mengapa kita tidak bebas berfantasi? Karena kehidupan ala Barbie tentu bergantung pada busana, aksesoris, dan tema-tema kehidupan yang disodorkan Mattel yang tentu saja muncul sebagai respon Mattel atas cita-cita utopis atas kehidupan yang serba senang, mudah, dan mewah.

Demikianlah Barbie diciptakan dan dijual oleh penciptanya serta diciptakan dan diproduksi ulang oleh konsumennya sehingga ia menjadi ikon dengan segenap kontradiksinya. Apakah strategi Mattel merupakan satu-satunya faktor yang membuat Barbie menjadi ikonik? Tentu tidak. Citraan dan ciptaan yang ditempatkan dalam masyarakat dan kemudian berevolusi bersama dengan masyarakat tersebut tentu senantiasa saling berinteraksi dalam kerangka relasi kuasa. Berbagai ilusi yang dideskripsikan diatas pun bukan muncul dari ruang hampa, tetapi muncul dari interaksi antara pengalaman masyarakat dan konstruksi sosial yang melingkupi masyarakat tersebut yang membuat Barbie ditolak atau diterima. Berdasarkan uraian tersebut, pertanyaan selanjutnya adalah:

  1. Mengapa Barbie baru mencapai masa keemasannya hampir 40 tahun setelah ia diciptakan?
  2. Bagaimana situasi sosial, budaya, politik, ekonomi masyarakat Amerika pada dekade 50’an sampai 80’an sehingga Barbie tidak banyak mendapat perhatian?
  3. Bagaimana situasi sosial, budaya, politik, ekonomi masyarakat Amerika pada dekade 90’an sehingga Barbie berhasil mengukuhkan dirinya sebagai ikon?

Selain pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas, menarik juga untuk lebih lanjut melakukan kajian tentang Barbie di Indonesia karena Indonesia adalah pasar potensial Barbie sekaligus pabrik Barbie dimana buruhnya bekerja keras untuk segenap ilusi kemewahan dan kecantikan Barbie dengan gaji bulanan yang bahkan belum cukup untuk membeli Barbie Calvin Klein.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar