Minggu, 05 Februari 2012

Artlicious Proses Kreatif Antara Kenikmatan dan Kesetiaan

Artlicious

Proses Kreatif Antara Kenikmatan dan Kesetiaan

Netok Sawiji_Rusnoto Susanto

Seorang seniman bekerja tidak sekedar membangun gagasan emosional namun secara inheren bekerja berdasarkan kekuatan inteletual dan spiritualitasnya dalam menerjemahkan jiwa jaman. Ketika proses kreatif dilangsungkan seringkali seseorang akan merasakan sekaligus berada pada situasi tertentu dimana sebuah kenikmatan proses kreatif menjadi picu sekaligus candu untuk membangun estetika individual dalam karya-karya terbaiknya. Pada saat seperti inilah sesungguhnya seniman berada pada dimensi Artlicious. Bagaimana sebuah kenyamanan dan kenikmatan berkesenian secara intens dibangun sebagai sebuah penyikapan terhadap berbagai situasi baik internal maupun aspek di luar dirinya. Dan, bagaimana sebuah kesetiaan dan kecintaan pada proses keseniannya dimanifestasikan. Artlicious merupakan tema penting untuk menandai peristiwa pameran ini. Nah, sesungguhnya kita sedang berhadapan dengan karya-karya seni yang dibangun atas spirit kenikmatan dan kesetiaan terhadap subject matter yang amat spesifik dan particular dalam proses penciptaan seninya.

Hanoi-Jogja di Helat

Pameran ini yang berada di hadapakan kita sesungguhnya didedikasikan untuk publik seni di Jogja yang dipresentasikan secara ‘baik’ akomodatif di ruang pameran Tujuh Bintang Art Space sebelum kemudian di helat pada akhir tahun 2010 di Vietnam Fine Art Museum, Hanoi atas undangan pihak KBRI di Vietnam untuk menandai hari jadi hubungan diplomatik Indonesia-Vietnam yang memasuki tahun ke 55. Materi pameran ini seharusnya sudah dilangsungkan perhelatannya di Hanoi tepat 18-24 Oktober ini, namun karena pertimbangan tertentu sehubungan scheduling kunjungan Presiden RI dalam rangka KTT Asia Timur ke Vietnam maka pameran ini terpaksa ditunda penyelenggaraannya hingga akhir tahun ini. Pameran ini mempresentasikan karya-karya mutahir para perupa Jogja, Bali, dan Jakarta diantaranya Nurkholis, Hadi Soesanto, Hardiana, Eddy Sulistyo, Rommy Iskandar, Joko ‘Gundul’ Sulistiono, I Gede Arya Sucitra, I Made Arya Palguna, Dani ‘King’ Heriyanto, Dadi Setiadi, Januri, Dyan Anggraini, Felix S Wanto, Wilman Syahnur, Agus ‘Baqul’ Purnomo, Suitbertus Sarwoko, Suharmanto dan Sapto Adinugroho. Paling tidak saya memperoleh informasi singkat yang coba saya tangkap dari Sapto Adinugroho dan Hadi Soesanto sebagai salah seorang peserta dan penggerak pameran ini di sesi wawancara seputar ikhwal pameran ini diusung beberapa hari lalu di kampus pascasarjana ISI Yogyakarta.

Lantas perhelatan pameran ini sangat menarik ketika diproyeksikan ke depan di Vietnam Fine Art Museum karena alasan-alasan strategis dalam membangun networking antar seniman Asia Tenggara yang sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya. Vietnam Fine Art Museum terletak di 66 Nguyen Thai Hoc Street Hanoi memiliki sejarah panjang yang menarik untuk dicermati sekilas karena lokasi ini sebagai target –paling tidak kita bisa menandai spiritnya- ke depan program annual. Museum yang menyedot sebagian besar pengunjung domestik dan asing memmang diperuntukan sebagai ruang pameran seni rupa dan arsitektur serta dijadikan besar dan peralatan yang memadai disediakan untuk menyimpan konservasi karya seni, laboratorium restorasi dan observasi-penelitian seni rupa. Museum tersebut dibangun pada tahun 1930 oleh Perancis, diperuntukkan bagi anak perempuan penguasa kolonial Perancis 'seluruh Indocina yang datang ke Hanoi untuk belajar.

Pada tahun 1962, pemerintah meminta Menteri Kebudayaan untuk mengubah bangunan dari arsitektur barat menjadi arsitektur Vietnam dengan detai ragam hias dari arsitektur tradisional rumah bercitra ‘lokal’ komunal dan cocok untuk memamerkan karya-karya seni rupa. Kemudian 26 Juni 1966 Vietnam Fine Art Museum dengan luas 4200 meter persegi yang 1200 meter persegi diresmikan dan diperuntukkan sebagai ruang pameran. Dari tahun 1997 hingga 1999, total luas meningkat menjadi 4737 meter persegi. Selain jalan Nguyen Hoc Museum di Thailand, cabang kedua di jalan Cau Hoang Hanoi juga memiliki suasana yang sangat baik dengan fasilitas, sistem ruangan besar dan peralatan yang memadai disediakan untuk menyimpan konservasi karya seni, laboratorium restorasi, konferensi dan pertemuan. Dalam sistem museum nasional negara, Vietnam Fine Art Museum dianggap sebagai salah satu museum penting dalam mempertahankan dan mempromosikan heritage seni masyarakat etnis Vietnam. Selama 40 tahun, Vietnam Fine Art Museum layak sebagai pusat seni dan studi budaya yang memberikan kontribusi luar biasa dalam edukasi, pemetaan, pelestarian dan promosi warisan budaya bangsa.

Proses Kreatif Antara Kenikmatan dan Kesetiaan

Pada paparan kuratorial ini sejujurnya saya tak berkecukupan baik perihal waktu hingga alasan kemampuan telaah untuk mencermati karya dari 18 peserta pameran (Nurkholis, Hadi Soesanto, Hardiana, Eddy Sulistyo, Rommy Iskandar, Joko ‘Gundul’ Sulistiono, I Gede Arya Sucitra, I Made Arya Palguna, Dani ‘King’ Heriyanto, Dadi Setiadi, Januri, Dyan Anggraini, Felix S Wanto, Wilman Syahnur, Agus ‘Baqul’ Purnomo, Suitbertus Sarwoko, Suharmanto dan Sapto Adinugroho). Namun dengan sangat terbata-bata saya mencoba meraba berbagai tekstur yang yang mengemuka mungkin dapat dikatakan spesifik sebagai proses identifikasi.

Bahwa seluruh peserta pameran dalam artikulasi visualnya mengetengahkan berbagai metafora yang dihadirkan secara cerdas dan khas. Mereka seakan menggarap tema-tema besar mengenai eksistensi dan humanisasi-dehumanisasi dalam konteks urban cultures serta problem Wisdom. Sebut saja Nurkholis (Temporary Art), Januri (Diantara Orang Besar 3), Arya Palguna (Pace Series), Romi Iskandar (Scream), Hardiana (Doa), Dyan Anggarini (About Woman), Eddy Sulistyo (Dad, I Can’t Draw) Dani ‘King’ Heriyanto (Aku Berfikir Maka Aku Ada) begitu fokus pada teks-teks eksistensialisme. Mereka secara baik mengemas persoalan eksistensi beserta problematiknya melalui bahasa estetis yang dapat diinterpretasikan secara berlapis. Kekayaan cara pandangnya memungkinkan karya-karya ini menggejala sebagai represenrasi problem kekinian masyarakat kontemporer. Agus ‘Baqul’ Purnomo (Rainbow), Hadi Soesanto (Dol), Suitbertus Sarwoko (The Survival), Wilman Syahnur (Boxing With The Angel), Joko ‘Gundul’ Sulistiono (Life, Love Lifely), Dadi Setiadi, dan Felix S Wanto (A Lady) dengan sangat bergairah mengelola pencitraan humanisasi dan dehumanisasi dalam konteks urban cultures. Arus budaya urban hingga shock cultures yang ditandai kekuatan arus besar cybercultures akhir-akhir ini berpotensi karya serupa tetap hangat dipersoalkan sebagai getar jaman. Bagaimana problem-problem kemanusiaan direcoki tingkat kenyamanan bertransaksi, konsumerisme dan gaya hidup yang membungkusnya sebagai penguatan identitas masyarakat urban. Kemudian secara spasial Suharmanto (Bening) dan Arya Sucitra (Freedom and Wisdom) menelisik problem Wisdom. Kesadaran mengenai aspek lokal kian tereduksi dan muncul berbagai problem yang beranak-pinak dan sangat urgen dihadapkan pada nilai-nilai kesadaran masyarakat hari ini.

Yang menarik adalah cara pandang intersubjektifnya dan sebagian mereka melakukan eksplorasi untuk menjumput berbagai metafora-metafora yang segar, menarik dan faktual-aktual. Metafora kini menjadi subjek kajian pokok di dunia filsafat, dan menempati posisi strategis dalam wacana postmodernisme. Kecermatan memunculkan metafora ini dapat lebih memperkaya pengetahuan dan memperbesar kesadaran seniman dalam proses penciptaan seni ketika mengartikulasikan ide-ide serta konsep seni. Pendekatan metaforik menjadi salah satu pendekatan penciptaan yang paling efektif dalam mensintesa pemikiran yang berkaitan dengan pendekatan dekonstruksi dan eksistensialisme yang menjadi pisau bedah bagi persoalan humanisme sebagai sumber inspirasi proses kreatif dalam perspektif yang lebih luas.

Pendekatan semiotika dalam proses kreatif menjadi sebuah metode pendukung dalam sublimasi confusing dan ketakteraturan munculnya berbagai gagasan yang berserakan sehingga tanda –sign- menjadi lebih memiliki kapasitas otonom. Dari berbagai tanda yang muncul sebagai idiom yang imajiner segera teraktualisasi dalam teks-teks visual yang dapat berelasi dan berkorelasi secara signifikan dalam konteks yang lebih luas. Formulasi tanda dengan penggugusan tanda lainya yang terangkai secara signifikan dengan sumber gagasan menjadi kesatuan holistik dari sebuah karya seni itu sendiri.

Meminjam pernyataan Barthes dalam St. Sunardi (2007: 79) memaparkan mengenai creative transgression secara semiotika, kreativitas dapat dijelaskan dari ’inovasi’ dalam sintagma dengan jalan memasukkan unsur paradigmatik dalam sintagma. Dia menyebut tiga cara creative transgression yang masing-masing diambil dari J. Tubiana, Trnka, dan Jacobson: (a) opposition of arragement, (b) rhymed discourse dan (c) rhetoric. Tiga hal ini merupakan bentuk invasi paradigma ke dalam sintagma. Unsur paradigma yang biasanya berada dalam status ’kemungkinan’ dimasukan ke dalam status kenyataan. Creative transgression ini dapat dipakai untuk menilai kreativitas kultural yang terjadi pada jaman sekarang.

Ketika musik campur sari berkolaburasi dengan musik dangdut dan seperangkat musik band, tentu tetap merujuk terma kisah namun kesan yang lahir menjadi baru. Proses perwujudannya menjadi materi yang paling strategis untuk mengantar gagasan ke dalam serangkaian panjang sebuah proses kreatif. Sebuah rekontekstual dari sebuah persoalan humanisme menjadi konsern pada tiap karya yang terlahir sebagai sebuah manifestasi pemikiran, perenungan dan impresi dari konteks sumber inspirasi tersebut.

Proses penciptaan mereka umumnya merujuk pada konsepsi yang lebih menekankan pada isi, muatan ekspresi maupun substansinya. Secara visual, hasil yang direpresentasikan dalam sebuah eksekusi artistik merupakan upaya merekonstruksi gagasan dan teknik visualisasi konsep dasar pengolahan tanda dengan pendekatan semiotik. Seperti yang diusulkan Prieto dalam Umberto Eco (2009: 349-352) dengan pendekatan semiotis dalam berbagai arikulasi: sistem-sistem tanpa artikulasi, kode-kode yang hanya punya artikulasi kedua, kode-kode yang hanya punya artikulasi pertama, kode-kode yang punya artikulasi tanda-super dapat dianalisis menjadi tanda dan figure, kode-kode artikulasi bergerak dan kode dengan tiga atikulasi inilah cukup representatif.

Sesungguhya saya hendak mendekatkan term Artlicious dengan pentingnya statemen mengenai proses kreatif antara kenikmatan dan kesetiaan berproses menjadi lumat sebagai candu dalam kerja kreatif seorang seniman. Proses menikmati atmosfer kreatif bertumpu pada landasan kesetiaan pada fokus kajian-kajian yang diacu untuk mengartikulasikan subject matter dengan gestal. Dinamisasi inilah yang memberi spirit bagi kita semua. Saya berharap karya-karya terbaik mereka mampu memprovokasi secara kreatif dirinya, menginspirasi orang lain yang mencermatinya, mampu mendedah nilai dan substansi lainnya.

Netok Sawiji_Rusnoto Susanto

*Kurator Independen dan Mahasiswa Program Doktor Pascasarjana ISI Yogyakarta

INVITATION

Tujuh Bintang Art Space cordially invites you to attend the opening of

Contemporary Art Exhibition

Artlicious

Nurkholis, Hadi Soesanto, Hardiana, Eddy Sulistyo, Rommy Iskandar, Joko ‘Gundul’ Sulistiono, I Gede Arya Sucitra, I Made Arya Palguna, Dani ‘King’ Heriyanto, Dadi Setiadi, Januri, Dyan Anggraini, Felix S Wanto, Wilman Syahnur, Agus ‘Baqul’ Purnomo, Suitbertus Sarwoko, Suharmanto dan Saptoadi Nugroho

Opening Ceremony:

Saturday, 23 Oct 2010

at 07.30 pm

Will be offiated by:

GP Sindhunata

Curator:

Netok Sawiji_Rusnoto Susanto

Exhibition: 23 October-13 November 2010

Hadi Soes Music Performance

Tidak ada komentar:

Posting Komentar