M. Rusnoto Susanto, S.Pd, M.Sn
(Artist, Art Critic, Independent Curator, Doctoral Student at Post Graduate Program of Fine Art in ISI Yogyakarta)
Email: m_rusnoto@yahoo.com
ABSTRACT
The development of communication technology of simulation in the discourse of cybercultures and its cybernetic practices is very interesting to be observed and studied. This phenomenon is very important considering its rapid development over the past 5-10 years, especially in building and developing internet network. An ever increasing technological changes lead to an explosion of visual culture through variety of fantasy and visualization which becomes the dominant element in the reality of mechanical cybernetic system. It also gives pivotal influence both on the use of cyberspace to explore ideas by updating development in the discourse surrounding the world of architecture and in the practice of contemporary architectural plan which maximize the exploration of its innovative designs by utilizing cyber facilities.
The development of architectural work in Indonesia in the past decade has emotively explained the progress of architecture and the tendency of change in the image of the art of architecture in the world which assert the establishment of new paradigm. The emergence of innovative architectural designs has shown that architecture of today not only serves functional cause but most importantly it is directed towards identity construction and manifestation of personal aesthetic value which support the image building cause. Its integration with stakeholders shows intellectual and emotional awareness as a manifestation of the lifestyle of contemporary society who are drawn more and more into cyber culture. This case is evident in the current architectural design and imagery of housing, public space, office building, shopping mall, study center, art space, and religious spaces which shows the sublime relationship between architecture and the lifestyle of contemporary society.
The question is; is there any significant connection between cyber culture and the shift in the architectural design? To what extent does the construction of cyber culture lifestyle of contemporary society contribute to the development of new paradigm of cyber-architecture? Starting from my dissertation on virtual replacement which explores critical aspects of phenomenon appears as an impact of cyber culture, I will elaborate how the aesthetic imaging dominates the functional aspect of architectural work and produce the new paradigm of our architecture by proposing the discourse of cyber-architecture as the peak of the development of the art of architecture in Indonesia and the world.
Key words: cybercultures, cyber-architecture and lifestyle of contemporary society
I. PENDAHULUAN
The question that trouble me most was then: how we Indonesians could establish a contemporary architecture, created on the basis of truth and beauty, and relevant to our own Indonesia history and our present situation. [YB. Mangunwijaya]
Arsitektur adalah semangat dan keinginan untuk menerjemahkan zaman kedalam ruang esensi dari teknologi modern merupakan bagian penting yang harus bermakna dalam karya arsitektur. Karena bahwa teknologi merupakan ungkapan intelektualitas manusia modern dan teknologilah yang mendominasi kecendrungan mendatang. [Mies Van Der Rohe]
Sengaja saya petik salah satu perspektif tokoh arsitektur Indonesia, YB. Mangunwijaya mengenai bagaimana Indonesia dapat membangun sebuah arsitektur kontemporer yang dibuat atas dasar sebuah kebenaran, keindahan dan relevansinya untuk sejarah Indonesia dan dapat dihadirkan pada situasi saat ini? Pertanyaan ini sangat menarik dan dapat menyeret pemahaman kita untuk mempersoalkan kembali sebuah artikulasi estetik dari pencitraan arsitektural yang dikehendaki –perubahan cita rasa dan gaya hidup- masyarakat kontemporer di tengah integrasinya dengan praktik cybercultures. Di era digitalisasi (serba 3D animasi) dan aplikasi sistem perangkat lunak lainnya yang luar biasa dalam menyokong praktik-praktik perancangan yang menggunakan produk-produk cybercultures secara cerdas. Ini memungkinkan seorang arsitek mengeksplorasi kecerdasan intuisinya untuk menggali gagasan inovatif yang eksperimentatif, mempertemukan berbagai insight, berkelana dalam jagad virtual layaknya seorang penggila cybernetic melacak impian-impiannya pada semua jejaring dan menemukan solusi jitu problem rancang bangun untuk mengeksekusi gagasan kreatif.
Tingginya aktivitas masyarakat urban di kota-kota besar cenderung berorientasi pada pencapaian semua aktivitas dengan lebih cepat dan efisien. Inilah peluang penggunaan fasilitas teknologi komunikasi, informasi, simulasi dan digitalisasi. Teknologi simulasi digital dengan kecepatan-percepatan yang tinggi dan kemampuan simulasi teknologi canggih menunjukkan kekuatan menjadi candu yang menyergap semua aktivitas hidup masyarakat kontemporer. Kemudian muncul kecenderungan penggunaan fasilitas ruang maya yang mampu mengubah karakteristik masyarakat kontemporer begitu melekat dalam sistem digitalisasi, termasuk berpengaruh pada perubahan gaya hidup yang mampu mengonstruksi pencitraan pada dunia arsitektur.
Di Indonesia khususnya telah mampu menunjukkan perubahan sistem (sistem sosial, sistem pemerintahan, sistem politik, sistem ekonomi dan sistem budaya) dalam konteks penggunaan instrumen cybernetic secara sporadik. Aplikasi berbagai sistem jejaring mekanis cybernetic membawa perubahan sosial lainnya yang memberi pengaruh sangat signifikan terhadap perubahan sosial, perubahan sistem ekonomi dengan indikasi berubahnya gaya hidup (gaya berkomunikasi, gaya berbelanja, gaya transaksi bisnis, gaya belajar dengan fasilitas cyberspace dan gaya seks serta gaya penikmatan ’citra-kepekaan arsitektur’ ruang). Semua instrumen yang membangun kinerja jejaring sosial misalnya, baik antar institusi dengan individu yang dikonstruksi dalam sistem jejaring sosial yang difasilitasi sistem cybernetic. Fenomena semacam ini memicu perubahan budaya dan pergeseran visi yang berangsur-angsur menata dirinya untuk membentuk dimensi dan visi kehidupan baru. Ambil contoh, The New York Times menerbitkan artikel tentang pelapukan Capsule Tower, sebuah bangunan apartemen untuk para lajang di Tokyo. Setiap kapsul dalam Capsule Tower yang dibangun pada tahun 1972 ini, lengkap berisi fasilitas-fasilitas modern seperti televisi, tape recorder, dan kulkas. Bangunan-bangunan ini adalah contoh langka dari apa yang sering disebut sebagai Japanese Metabolism, sebuah gerakan dan tren asritektur yang terlibat dalam kebangkitan Jepang dari perang. Visi urban mereka kemudian melekat pada budaya orang Jepang pasca perang ketika itu. Kota-kota dibangun dan dirancang sebagai sistem terapung yang melambangkan citra masyarakat bergeser dalam transisi menuju modernitas. Pada saat yang sama, perubahan pada struktur masyarakat Jepang pun dapat jelas terlihat pada pergeseran struktur keluarga tradisional dan perpindahan arus tenaga kerja nasional. Fenomena yang terjadi di Jepang ini menarik perhatian dunia dan disambut antusias oleh para arsitek. Sekarang ini, ada gagasan untuk membuat museum arsitektur dari masa depan yang telah berlalu itu. Dari sinilah kecenderungan hidup dalam pengaruh cyberspace dan idealisai virtual space mengkristal secara laten pada masyarakat dunia akhir-akhir ini.[1]
Merunut pertumbuhan dan perkembangan penggunaan cyberspace yang kian melampaui populasi penduduk bumi hampir seluruh aspek telah diambil alih meski tidak sepenuhnya oleh daya pikat teknologi simulasi ini dalam melakukan pendiskualifikasian semua aspek kehidupan pada sistem informasi dunia virtual, dan berujung pada pembentukan budaya baru yakni akumulasi pluralitas nilai dalam paket cybercultures. Ini merupakan respons dari perubahan dan pergeseran maya (Virtual Displacement) yang kemudian memberi pengaruh signifikan terhadap relasi perubahan budaya yang ditandai sebuah fenomena faktual hari ini yang mengkonstruksi gaya hidup masyarakat kontemporer. Gejala desain arsitektur akhir-akhir ini cenderung membangun paradigma cyber-architecture dengan mengubah hubungan antara berbagai elemen dengan pencitraan teknologi canggih untuk menerjemahkan identitas masyarakat posmodern. Urbanisasi tak lagi berarti perpindahan manusia ke kota di dalam ruang nyata, namun berkembang ke arah urbanisasi virtual yaitu perpindahan manusia secara besar-besaran ke dalam pusat kota digital’electricity’ yang diimplementasikan pada perubahan radikal dan sporadik melahirkan citra-citra arsitektural yang futuristik. Kodratnya paradigma arsitektur untuk menyerap spirit jiwa jaman dan melakukan inovasi mengikuti perubahan jaman.
2. TUJUAN
a. Tujuan Jangka Pendek
Tujuan Jangka Pendek pada makalah penelitian adalah untuk menyajikan berbagai temuan-temuan data dan informasi seputar paradigma cyber-architecture dalam perkembangan wacana seni arsitektur kontemporer berkaitan langsung dengan life style masyarakat kontemporer. Keterlibatannya dalam praktik cybercultures yang berbanding lurus dengan kian canggihnya teknologi simulasi cybernetic di Indonesia. Tujuan akademik lainnya untuk menguji tesis bahwa bagaimana relasi antara life style, praktik cybercultures dengan paradigma dan praktik cyber-architecture yang terintegrasi membangun estetika baru seni arsitektur Indonesia.
b. Tujuan Jangka Panjang
Tujuan Jangka Panjang pada makalah penelitian ini adalah untuk merekonstruksi paradigma cyber-architecture dalam perkembangan wacana seni arsitektur global. Upaya pembacaan ulang terhadap gerakan avant garde yang memberikan spirit proses penciptaan arsitektur masa kini dengan temuan-temuan desain inovatif yang dapat mempresentasikan estetika perwajahan-citra atau identitas spesifik seni arsitektur Indonesia.
3. METODE PENELITIAN
a. Pendekatan Teori Quantum Untuk Mengkaji Fenomena Seni
Teori Quantum yang lazim melekat pada disiplin ilmu Fisika Baru dan Fisika Quantum sesungguhnya dapat dijadikan sebuah pendekatan yang menarik untuk mengkaji berbagai fenomena seni. Kemunculannya dicetuskan pertama kali pada 24 Oktober 1927 oleh sekelompok fisikawan di Hotel Metropole, Brussel. Term Quantum mengacu pada suatu paket discrete (yang terpisah secara individual) dari unit energi terkecil yang dapat diasosiasikan dengan peristiwa (event) atau fenomena subatomik tunggal apa saja.[2] Karya seni (termasuk seni arsitektur) dapat ditinjau dari aspek partikel atau dari aspek gelombangnya. Aspek pertikelnya yakni materi bangunan yang dikonstruksi dengan berbagai materi pendukung lainya (semen, beton, besi, paku, asbes, batu, fiber, alumunium, baja, kaca, kayu, cat dan air) dan dapat pula dilacak melalui gelombangnya yakni pencitraan atas konsepsi arsitektur, ekspresi visual, auratiknya, atau makna filosofis yang terus-menerus berubah tergantung cara pandang, oleh siapa yang mengapresiasi dan waktu ketika karya arsitektur diamati. Refleksi partikel dan gelombang serta merta menunjukkan eksistensi sebuah karya arsitektur yang melekat dengan idealisasi seorang konseptornya, yakni seorang arsitek.
Disinilah sebuah konsep eksistensialisme penting dicermati dan diungkap ketika mengamati fenomena seni dengan gejala khususnya. Memetik ungkapan Latin Cogito ergo sum ‘saya berpikir, maka saya ada’ yang sebelumnya diungkap Agustinus Si fallor, sum ‘jika saya tertipu, saya ada’ sebelum Decrates mendedah keniscayaan ungkapan cogito ergo sum, sebagai pernyataan satu-satunya kepastian yang kita miliki ialah kepastian eksistensi diri kita sendiri.[3] Cogito ergo sum kemudian dianggap sebagai kebenaran yang terbukti dengan sendirinya dan jelas dengan sendirinya. Dari dasar inilah Decartes mengembangkan sistem filsafatnya yang bersifat rasionalistik. Pada konteks kemunculan imajinasi-imajinasi dalam perancangan praktik arsitektur menunjukkan secara tegas berelasi dan merujuk filsafat ini untuk mempresentasikan konsep-konsep personal inovatif.
Penemu filsafat fenomenologi, Hasserl menyatakan bahwa: “The life-word is a realm of original self evidences. That which self-evidently given is, in perception, experienced as ‘the thing itself’ in immediate presenced, or, in memory remembered as the thing itself; and every others manner of intuition is a presentfication of the thing itself”.[4] Bahwa dunia kehidupan merupakan realisme pembuktian kesejatian diri, kemudian yang menjadi suatu pembuktian diri ialah apa yang dialami sebagai realitas itu sendiri dimana kemunculan cepat dan dalam ingatan; setiap intuisi lain adalah presentifikasi dari keadaan diri sendiri. Metode ini secara alami menerjemahkan ide-ide intuitif dengan model matematis atau pada wilayah ilmu pengetahuan yang jarang sekali menjadikan intuisi dari keadaan objektif tetapi lebih sebagai intuisi dunia kehidupan yang berkesusaian mempermudah konsepsi dan obsesi objektif yang dipersoalkan.
Dasar pemikiran fenomenologi secara singkat menerima dasar pemikiran untuk merelasikan dengan satu aktivitas melalui penampakan karya arsitektur yang menghasilkan perwujudannya yang khas dalam lingkungan sendiri.[5] Bila dikaitkan dengan makna perwujudan karya arsitektur dengan dunia kehidupan (Lebenswelt), merepresentasikan sebuah konsep dimensi kehidupan yang diterjemahkan melalui konsep ruang objektif dengan mengungkapkan aspek tiga dimensi sebagai manifestasi bentuk arsitekturnya. Dengan begitu fungsi karya arsitektur mengakomodasi berbagai kepentingan masyarakat baik fungsi dan estetik untuk membangun rasa aman, nyaman dengan pencitraan positif sehingga masyarakat pengguna fungsi produk arsitektur mampu membangun spirit hidup dengan lonjakan spirit produktivitas tinggi. Arsitektur dan lingkungannya secara integral bersinergi membangun daya hidup.
b. Metode Obervasi Non-partisipan dan Literatural
Metode Observasi merupakan pendekatan untuk menggali berbagai informasi dan mengumpulkan sejumlah data suatu projek penelitian, baik secara langsung maupun tak langsung. Pada penelitian ini saya menentukan penggunaan metode observasi non-partisipan.[6] Yakni, memosisikan pengamatan dari luar karena saya tidak menjadi bagian aktif dari objek pengamatan (dalam penelian ini mengingat disiplin ilmu dan kapasitas ilmu serta praksis) di luar praktik disiplin arsitektur.
Pada makalah penenilitan ini saya juga menggunakan studi literatur untuk mendapatkan konstruksi-konstruksi ideal dan komperehensif terhadap persoalan penelitian tersebut. Pengamatan lapangan dengan didukung studi literatur secara komperehensif dapat mengkomparasi aspek-aspek historis, visual, artistik, estetik dan filosofis melalui pendekatan kajian semiotika visual. Dengan demikian memungkinkan saya melakukan pengembaraan wacana dan menemukan persoalan-persoalan yang dapat dipetakan dalam menguatkan dugaan-dugaan. Hipotesa seputar pengaruh perkembangan cybercultures, life style, dan paradigma cyber-architecture yang belakangan menggejala dalam praktik arsitektur kian marak dibicarakan dapat diuraikan secara proporsional.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Menduga Wajah Arsitektur Kita: Kontekstualisme dan Postmodernisme
Pada tahun 1960-an merupakan titik balik sebagai koreksi terhadap arsitektur modern. Di era modern tersebut muncul protes dari para arsitek terhadap pola-pola yang monotis karena pada dasarnya arsitektur modern berkesan monoton dan jauh dari kesan ekspresif yang dapat mempresentasikan jiwa jaman. Maka melahirkan aliran baru yaitu aliran posmodern sebagai penyikapan terhadap potensi terbukanya ruang eksperimentatif dan peluang lahirnya karya posmo yang lebih inovatif. Visi arsitektur posmodern menembus batas, meninjau masa lalu dan masa depan menyatukan seni dan ilmu lain. Arsitektur yang melepaskan diri dari aturan moderenisme, regionalisme atas internasionalisme dan representasi fiksional atas bentuk geometris dan representasi fiksional dan menunjukkan eksklusivitas bangunan bukan simbol dari mesin dan konstruksi sebagai bagian dari proses arsitektur. Kemudian muncul konsep kontekstualisme dalam arsitektur sesuai dengan konteks penyajian visualisasi yang ideal antara bangunan sebelumnya dengan bangunan baru secara kohesif (menyatu). Rancangan arsitektur baru harus mampu memperkuat dan mengembangkan karakteristik dari penataan lingkungan, ramah atau setidaknya mempertahankan pola yang sudah ada. Suatu bangunan harus mengikuti langgam dari lingkungannya dan menyesuaikan diri dengan konteksnya dan memiliki kesatuan visual dengan lingkungan dan memiliki karakteristik kontekstual merupakan alat pengembangan yag memungkinkan untuk dapat dipertahankan dalam konteks baik.
Arsitektur kontekstual diklasifikasikan menjadi dua: Pertama, kontras yang berguna dalam menciptakan lingkungan urban. Kontras menjadi salah satu strategi desain yang paling berpengaruh bagi seorang perancang. Apabila diaplikasikan dengan baik dapat menjadi fokus dan citra aksen pada suatu kawasan kota. Brent C. Brolin menyatakan bahwa kontras bangunan modern dan kuno bisa merupakan sebuah harmoni. Kedua, kadang suatu lingkungan menuntut keserasian/keselarasan, hal tersebut dilakukan dalam rangka menjaga keselarasan dengan lingkungan yang sudah ada. Bangunan baru lebih menghargai dan memperhatikan konteks dimana bangunan itu berada, kemudian bersama-sama menjaga dan melestarikan “tradisi” yang telah berlaku sebelumnya. Sehingga kehadiran satu atau sekelompok bangunan baru lebih menunjang dan rival karakter bangunan sebelumnya walaupun terlihat dominan (secara kuantitas). Kontekstualisme sebuah teknik desain yang dikembangkan untuk memberikan jawaban khusus atas lansekap morfologis, tipologis, pragmatis, pluralistik dan fleksibel, serta berorientasi pada kaidah khusus. Kontekstualisme merupakan persoalan keserasian dan kesinambungan visual, memoar dan makna dari urban fabric. Prinsip kontekstualisme bahwa gaya arsitektur selalu menjadi bagian fragmentasi integrated gaya arsitektur secara luas. Pendekatan dan pemikiran arsitektural disesuaikan untuk situasi tertentu dengan merekonstruksi identitas diri melalui artikulasi visual pada karya terbaik citra arsitektural yang khas dan personal.
B. Perubahan Budaya, Life Style dan Pencitraan Cyber-Architecture
Giddens mengungkapkan bahwa, perkembangan gaya hidup dan perubahan struktural modernitas saling terhubung melalui reflektifitas institusional; karena keterbukaan kehidupan sosial masa kini, pluralisasi konteks tindakan dan aneka ragam otoritas, pilihan gaya hidup semakin penting dalam penyusunan identitas diri dan aktifitas keseharian. Ia juga mengingatkan, bahwa gagasan gaya hidup telah dikorupsi oleh konsumerisme, meskipun pasar, terutama ketika telah menjadi tema ideologis dalam politik neoliberal, sepertinya menawarkan kebebasan memilih, dan dengan demikian bermaksud mempromosikan individualisme.
Komodifikasi individualism melalui genre-genre narasi media, strategi pemasaran menekankan gaya pada biaya investasi nilai personal. (1)Untuk menjelaskan pandangan Giddens ini dikaitkan dengan gaya hidup yang ada dan menjamur di Indonesia ini, maka kita harus membuka perspektif agar tidak terbentur pada pola pikir yang tidak dengan serta merta berbicara konteks Timur dan Barat. (2) Pemaknaan yang terkait dengan hal-hal busana (fashion, style, dan mode). (3) style disebut sebagai corak mode dan gaya. (4) Mode (5) dikatakan sebagai vogue, current/latest style, look, trend, latest thing, latest taste; craze, rage, fad, general tendency, convention, custom, practice. (6) Roland Barthes, memahami mode ini sebagai sebuah objek otonom, dengan struktur aslinya sendiri dengan finalitas baru; fungsi-fungsi lain disubstitusikan bagi fungsi-fungsi sosial. Pemahaman ini jika diterapkan pada gaya busana, maka akan mengarah pada aspek bentuk, desain, ornamentasi, dan materialnya yang mencakupi ekspresi penciptaan dengan beragam komunikasi. (7) Bergaya sebagai bertingkah dengan tidak sewajarnya (dibuat-buat).[7]
Dalam Film David Cronenberg Videodrome, seorang pria tertelan ke televisi. Artis Stelarc menempel pada setiap bagian dari sensor tubuh dan stimulator yang terhubung ke internet, secara harfiah perpaduan teknologi dan tubuh. Dengan cara yang sama, komputer dan media elektronik lainnya memiliki dimensi tertentu. Kita bisa merasakan mereka datang ke dalam kontak dengan kulit tubuh kita. Realitas kehidupan kita sehari-hari sudah terstruktur sebagai dunia maya, dengan tubuh kita mendapatkan sensasi sentuhan mereka dari dunia maya sesungguhnya bukan ruang arsitektur aktual dan lansekap kota. Pada titik tertentu kita menjadi dikelilingi oleh arsitektur virtual dan tertutup dalam interior imajiner dalam sebuah raksasa besar inkubator (cyberspace). Dalam novel cyberpunk, ekspansi arsitektur virtual ini terkait dengan penurunan, kerusakan kota dan distorsi-dekonstruksi arsitektur. Sementara arsitek cyber resort formalisme sebagai fashion arsitektur virtual dalam bungkus realitas, realitas aktual di sekitar ditandai kian terkikisnya eksistensi tubuh kita melalui kontak dengan media elektronik yang diabaikan dalam arsitektur virtual dengan mengejar formalistik citra.
C. Citra Arsitektur Postmodern: Manifestasi Spirit Masyarakat Kontemporer
Di akhir abad ke-18, struktur megalomaniak yang diilustrasikan oleh Etienne-Louis Boulee sebagai raksasa untuk direalisasikan. Kemudian pada tahun 1920-an, para arsitek avant-garde Rusia membayangkan bangunan mengambang di udara. Pada saat ini masih hanya mimpi, tetapi ketika kita sampai kubah geodesik Buckminster Fuller yang membainshocking publik dimana kita dapat menemukan sesuatu yang khusus karena mereka memiliki daya tarik Boulee dengan para raksasa. Tentu saja sebuah bangunan mengambang tersebut tidak lagi sebagai sebuah fantasi belaka yang hidup dalam ruang imajiner. Fuller kemudian membranding dirinya dengan membuat sejumlah gambar rancangannya dari kubah geodesic raksasa mengambang di langit. Awalnya sangat tidak rasional dan mustakhil namun kini menjadi realitas perancangan arsitektur yang mencengangkan dan menjadi tonggak avant garde.
Kegialaan perancangannya menabrak kebuntuan patron arsitektur dan justru karena gravitasi didefinisikan batas penting untuk arsitektur yang Heidegger paparkan dari kuil Yunani yang bangkit dalam hubungan ketegangan dengan bumi (awal seni muncul). Pada sisi lain, arsitek telah mati-matian berusaha untuk dibebaskan dari keterbatasan ini. Telah berulang kali bermimpi bagaimana sebuah bangunan seolah terbang layaknya seorang astronot melayangkan tubuhnya pada ruang hampa udara. Saat ini, seorang arsitek yang mengaku sebagai desainer dari cyber-arsitektur menyatakan kebebasan mereka untuk merancang dalam ruang digital yang bebas dari batasan gravitasi. Situasi ini menjadikannya dunia maya hadir atau dihadirkan untuk menggantikan ruang yang sebenarnya sebagai target untuk penanaman modal dan lain sebagainya, tampak bahwa arti terminologi arsitektur memperluas dirinya untuk memasukkan konfigurasi ruang virtual dalam tampilan computer beserta simulasi-simulasi visualnya. Ini fakta yang terus hidup di akhir abad ke-20 melalui pertemuan fisik, sensual dan erotis dengan komputer sebuah eksplorasi arsitektural yang dapat menjadi ruang baru dan memiliki kekuatan untuk mengubah paradigma seni arsitektur kontemporer.
Rentang waktu tahun 1960 sampai 1970-an, perbincangan tentang posmodernisme mulai masuk ke dunia arsitektur. Diruntuhkannya bangunan perumahan Pruitt Igoe, St. Louis, Missouri, yang memiliki karakter arsitektur modern (arus arsitektur International Style yang dipelopori Mies van der Rohe) menandai lahirnya pemikiran arsitektur posmodernisme. Arsitektur posmodern membawa tiga prinsip dasar yakni: kontekstualisme, allusionisme dan ornamental. Robert Venturi, arsitek sekaligus teoretisi awal konsep arsitektur posmodern, dalam bukunya Complexity and Contradiction in Architecture (1966) menyatakan bahwa, arsitektur posmodern lebih mengutamakan elemen gaya hybrid (ketimbang yang murni), komposisi paduan (ketimbang yang bersih), bentuk distorsif (ketimbang yang utuh), ambigu (ketimbang yang tunggal), inkonsisten (ketimbang yang konsisten), serta kode ekuivokal (ketimbang yang monovokal). Sementara itu Charles Jencks dalam The Language of Postmodern Architecture (1977), menyebut beberapa atribut konsep arsitektur posmodern yakni; metafora, historisitas, ekletisisme, regionalisme, adhocism, semantik, perbedaan gaya, dan pluralistik. Arsitektur posmodern juga memiliki sifat-sifat hybrid, kompleks, terbuka, kolase, ornamental, simbolis dan humoris. Jencks juga menyatakan bahwa konsep arsitektur posmodern ditandai oleh suatu ciri double coding sebagai prinsip arsitektur posmodern yang memuat tanda, kode dan gaya yang berbeda dalam suatu konstruksi bangunan. Arsitektur posmodern hingga kini menerapkan prinsip double coding selalu merupakan campuran ekletis dari konsep medium dan nilai estetikanya.
1) Citra Electricity pada Hunian Privat dan Apartemen Gaya Hidup Metropolis
Keberadaan kota pada era posmodern tentu dipengaruhi berbagai aspek yang dibentuk oleh warna-warni pandangan, kecenderungan, keyakinan, gagasan, citra, tanda dan makna. Citra hunian masa kini cenderung mengaplikasi konsep Electricity yang ekletis, minimalis, kadang menekankan pada bentuk-bentuk disain arsitektur yang kompleks, detail-rumit, dan kontradiktif. Karakteristik inilah yang tumbuh dan hidup dalam siklus serta ritme masyarakat kontemporer. Terkonstruksinya citra semacam ini sesungguhnya merupakan manifestasi life style masyarakat kontemporer. Semakin tingginya kecenderungan pada konsumerisme dan kapitalistik maka dapat dipastikan berpengaruh pada meningkatnya cita rasa terhadap berbagai perspektif dalam upaya pemenuhan kebutuhan. Baik dari kebutuhan sehari-hari hingga hal yang berhubungan dengan pencitraan dan kemewahan. Cita rasa yang dipengaruhi oleh gaya hidup yang dibentuk cybercultures secara signifikan pula mempengaruhi berbagai gaya dan pencitraan arsitektur posmodern dengan citra cyber-architecture.
Pengembang hunian dan apartemen kini cenderung menekankan pencitraan pada konsumen sesuai gaya hidup, memiliki nilai investasi progressif, prestisius dan strategis maka memunculkan konsep-konsep super block mewah pada perancangan arsitektural yang energik, ekletis, benderang, glamour, gemerlap warna-cahaya, prestisius, elegan, stylist dan futuristic. Kecenderungan menentukan desain citra arsitektur posmodern dengan sentuhan etnik khusus menciptakan ruang bersifat bebas, anekaragam, dan pluralisme. Bangunan yang kreatif dan imajinatif menjadi khas masyarakat yang bebas berekspresi. Relasi khusus dengan arsitektur cyber ini dipengaruhi hal-hali diatas dianggap dapat menawarkan jawaban atas obsesinya.
2) Arsitektur Ruang Publik dan Arsitektur Futuristik
Pencitraan arsitektur ruang publik di Indonesia khususnya mengacu pada perkembangan arsitektur futuristik di Eropa dan Amerika. Karya arsitekturnya cenderung mengacu pada konsep landmark kota. Cermati saja pada citra arsitektur pusat belanja, perkantoran, niaga, pusat laboratorium pendidikan, pusat kebudayaan, pusat-pusat hiburan dan tempat peribadatan di kota-kota besar (Jakarta, Surabaya, Malang, Makasar, Bogor, Bumi Serpong Damai, Cikarang, Medan dan Bandung). Tak hanya pada arsitektur fungsional, projek pencitraan futuristik mewabah di area jembatan jalan tol, peristirahatan sementara dan gerbang-gerbang beberapa kawasan hunian yang difungsikan sebagai public space. Kawasan Kelapa Gading Jakarta mampu membenamkan miliaran rupiah sebuah projek pencitraan kawasan dengan membangun monumen karya pematung Rita Widagdo sebagai landmark Summarecon. Kota wisata, BSD, Agung Podomoro Group, Ocean Park, The Jungle, Menara BNI 46, FedEx, Surabaya Town Square, Green Bay Pluit, City Cat Walk dan lainnya secara sadar membranding dirinya dengan citra kawasan futuristik. Ada juga super block yang tampil mencolok seperti Seaview Condominium di Green Bay Pluit yang berada tepat di atas Mall sebagai paket kawasan hunian elit yang dilengkapi ruang publik berupa Botanical Garden seluas 12 hektar. Kawasan dengan view eksotik khas bahari terintegrasi dengan sarana pendidikan dasar hingga Perguruan Tinggi, resto, sport, resort, pusat kebugaran, wisata ancol, pantai indah Kapuk dan sarana pusat kesehatan. Mengingatkan kita pasa Vivo City Singapore dan Yokohama Land.
Citra futuristik pada bangunan berarti citra yang mengesankan bahwa ekspresi arsitekturnya berorientasi ke masa depan atau mengikuti perkembangan jaman. Fleksibilitas dan kapabilitas mampu melayani dan mengikuti perkembangan kebutuhan fungsi sekaligus pencitraan. Kriteria tersebut menampung tuntutan aktivitas yang senantiasa berkembang melayani perubahan ruang dan perwajahan. Futuristik sebagai core values layaknya Ferary maupun Lamborgini bercitra dinamis, estetis dan inovatif terutama dari segi teknologi yang dipakai (dinamis, canggih dan ramah lingkungan) dengan mengadopsi bentuk-bentuk bebas yang impresif, ekspresif dan futuristik. Futuristik merupakan lambang perubahan, dinamis dan menembus ruang imajinatif sebagai movement, ekstrim, berlebihan dan tidak natural. Nampak senada dengan paradigma perkembangan arsitektur yang bebas dan sarat dekonstruksi.
D. KESIMPULAN
Pranata teknologi simulasi cybernetic, jauh dari asal-usul dunia maya dapat ditelusuri pada seni abstrak modernis Malevich. Malevich mengakui kekuatan magnet, gravitasi, gelombang radio dan kekuatan virtual lainnya dan potensi melawan gravitasi yang dimemiliki tiap objek lukisan. Sepanjang garis yang sama, dia membayangkan sebuah bangunan mengambang dengan pondasi bangunan keluar, citra floating dibangun di atas sebuah struktur imajiner-virtual melalui afterimages dan mekanisme lain dari perspektif tertentu. Gejala perancangan dengan pelibatan kecanggihan teknologi digital merepresentasikan segenap obsesi dan keliaran imajinatif seorang arsitek dalam menerjemahkan desain virtual ke dalam perwujudan tiga dimensi pada ruang fisik, atau untuk membuat modifikasi artbitrer terhadap fleksibilitas ruang untuk mengejar objek yang tidak pernah bisa diungkapkan dalam kenyataan. Penampilan sesaat dari ruang maya dengan cara menggerakan objek, afterimages, dan efek stereoskopik. Ini menunjukkan betapa gigih ia mengejar ambiguitas ruang antara dua dan tiga dimensi -sub- zona, interval, stasiun transfer yang disebut ‘materi imaterial’. Imaterial, lahir dari cahaya dan gerak benda, memiliki unsur-unsur yang sama dengan ruang media elektronik. Arsitektur sangat cair pada ruang cyber dan ini jelas arsitektur imaterial. Tipikal arsitektur yang tidak lagi puas dengan bentuk, cahaya dan aspek lain dari dunia nyata.
Perkembangan arsitekturnya masa kini mengutamakan komposisi mixed, bentuk distorsif, ambigu, inkonsisten, dan kebebasan ekspresi visual. Citra arsitektur posmodern menjelaskan dan menguraikan dinamika kehidupan masyarakat kontemporer yang kian beragam dan rumit. Era posmodern juga diwarnai prilaku masyarakat yang ekspresif, bebas, dan pluralistik. Perubahan teknologi yang kian pesat menimbulkan sebuah ledakan budaya visual melalui berbagai fantasi dan visualisasi yang merupakan unsur dominan di dalam realitas mekanis sistem cybernetic. Hal ini juga memberi pengaruh yang luar biasa baik pada penggunaan fasilitas cyberspace untuk mengeksplorasi gagasan dengan mengakses –mengupdate- perkembangan wacana desain arsitektur dunia maupun dalam praktik perancangan arsitektur masa kini yang memaksimalkan konsep eksplorasi desain-desain inovasinya melalui berbagai fasilitas cyber. Kita dapat cermati maraknya program-program talk show dan life style seputar materi arsitektur di cyberspace baik di televisi maupun di situs-situs internet, sebut saja Metro TV dan AnTV hampir rutin setiap Sabtu-Minggu menayangkan paket program arsitektur dan life style dengan durasi satu jam untuk mengentertainment (Green Bay Pluit, Agung Podomoro, Rasuna Apartemet, Kawasan Ancol) produk-produk arsitektur inovatif berbagai pengembang properti kelas wahid dengan presentasi desain serba glamour, kontemporer, posmo dan imajinatif. Dari mulai hunian terbatas peruntukannya hingga hunian yang terintegrasi dengan lingkungan public space. Televisi lain menyajikan paket program arsitektur dari provider dalam paket reality show (Bedah Rumah, Penghuni Terakhir, maupun Rumah Idaman).
Apartemen yang dilaunching ugal-ugalan mengindikasikan bahwa citra arsitektur kita tengah menjadi bagian dari simulasi cyberspace menjadi penanda sederhana sebuah kecenderungan masyarakat memiliki daya serap potensial yang ditunjukkan maraknya bisnis properti, investasi properti menjadi bagian gaya hidup yang dibangun secara laten oleh cyberculture. Semakin tingginya kecenderungan pada konsumerisme dan kapitalistik maka dapat dipastikan berpengaruh pada meningkatnya cita rasa terhadap berbagai perspektif dalam upaya pemenuhan kebutuhan. Baik dari kebutuhan sehari-hari hingga hal yang berhubungan dengan pencitraan dan kemewahan. Cita rasa yang dipengaruhi oleh gaya hidup yang dibentuk cybercultures secara signifikan pula mempengaruhi berbagai gaya dan pencitraan arsitektur posmodern dengan citra cyber-architecture.
E. UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada semua sumber yang pemikiran-pemikiran terbaiknya sempat dipetik dalam penyusunan makalah seminar ini. Poin inilah yang sesungguhnya mengonstruksi dasar pemikiran saya untuk menemukan data dan berbagai penjabaran yang masih teramat sederhana ini, namun paling tidak dapat menjadi bahan diskusi untuk membaca ulang peta seni arsitektur kita. Terima kasih kepada segenap panitia SCAN #2 seminar arsitektur Atmajaya Yogyakarta dan tim viewer yang memberikan kesempatan luar biasa bagi saya yang jauh dari menguasai disiplin arsitektur, namun dengan tergagap-gagap mencoba memaparkannya dengan sangat yakin. Saya berharap ada perspektif yang berbeda. Dan, terima kasih kepada peserta seminar yang saya harapkan memberikan kontribusi pencermatannya pada presentasi makalah ini. Untuk merangkai pemikiran-pemikiran yang terpenggal dan menjumput berbagai tinjauan yang tak terurai dengan sempurna, maka dengan sangat terbuka saya menawarkan sebuah dialog ilmiah demi penajaman makalah ini.
F. DAFTAR PUSTAKA
1. Marianto, M. Dwi., 2004, Teori Quantum Untuk Mengkaji Fenomena Seni, Yogyakarta: Lembaga Penelitian ISI Yogyakarta.
2. Giddens, Anthony.,1979, Central problems in Social Theory: Action, Structure and Contradiction in Social Analysis. London: Macmillan.
3. ______________.,1981, Contemporary Critique of Historical Materialism. London: Macmillan.
4. ______________.,1984, The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity publisher.
5. ______________.,1990, The Constitution of Society. Outline of the Theory of Structuration. Cambridge: Polity publisher.
6. ______________.,1991, Modernity and Self Identity: Self and Society in the Late Modern Age. Cambridge: Polity Press.
7. ______________.,2004, Konsekuensi-konsekuensi Modernitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
8. ______________.,2007, Europe In The Global Age. Cambridge: Polity publisher.
9. Gilles Deleuze. (1972), Difference et Repetition. Presses Universitaires de France, Paris.
10. Gilles Deleuze. (1992), L'epuise. In: Samuel Beckett Quad. Minuit, Paris.
11. http://yusmanto.blogspot.com/2009/09/kontekstualisme-dalam-arsitektu.html
12. http://yusmanto.blogspot.com/2009/09/perspektif arsitektur YB. Mangunwijaya.html
13. http://yusmanto.blogspot.com/2009/09/arsitektur futuristik-dalam-arsitektu.html
14. Jencks , Charles., 1977, The Language of Postmodern Architecture
15. Larenz, Anton., 2009, Ruins of the Future “Virtual Displacement” by Rusnoto Susanto, Katalogus Pameran Tunggal Rusnoto Susanto, Yogyakarta: TBY dan Tubi art Space
16. Lorens, Bagus., (1996), Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia
17. Siregar, Laksmi G., 2006, Makna Arsitektur Suatu Refleksi Filosofis, Jakarta: UI-Press
18. Venturi, Robert ., 1966, Complexity and Contradiction in Architecture
19. Welton, Donn., 1999, The Essential Husserl Basic Writings in Transcendental Phenomenology. Indiana: University Press
[1] Anton Larenz (2009), Ruins of the Future “Virtual Displacement” by Rusnoto Susanto, dalam ‘Virtual Displacement’, Katalogus Pameran Tunggal Rusnoto Susanto, TBY dan Tubi art Space, Yogyakarta, p. xx
[2] Marianto, M. Dwi., 2004, Teori Quantum Untuk Mengkaji Fenomena Seni, Yogyakarta: Lembaga Penelitian ISI Yogyakarta, p. 10
[3] Lorens, Bagus., (1996), Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, p. 143
[4]Husserl, dalam Welton, Donn, 1999. The Essential Husserl Basic Writings in Transcendental Phenomenology. Indiana University Press, p. 367
[5]Laksmi Gondokusumo Siregar., 2006, Makna Arsitektur Suatu Refleksi Filosofis, Jakarta: UI-Press, p.63
[6] Marianto, M. Dwi.,Ibid., p. 82
[7](1) Giddens, Anthony. (1979), Central problems in Social Theory: Action, Structure and Contradiction in Social Analysis. London: Macmillan. (2) Giddens, Anthony. (1981), Contemporary Critique of Historical Materialism. London: Macmillan. (3) Giddens, Anthony. (2007), Europe In The Global Age. Cambridge: Polity publisher. (4) Giddens, Anthony. (2004), Konsekuensi-konsekuensi Modernitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana.(5) Giddens, Anthony. (1991), Modernity and Self Identity: Self and Society in the Late Modern Age. Cambridge: Polity Press. (6) Giddens, Anthony. (1984), The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity publisher, 1990. (7) Giddens, Anthony. The Constitution of Society. Outline of the Theory of Structuration. Cambridge: Polity publisher.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar