Crossover [Syn]aesthetic
Provokasi [Syn]Aesthetic dalam Praktik Kontemporer
Netok Sawiji_Rusnoto Susanto*
Kurator
(Syn) aesthetic memberikan wacana yang mendefinisikan secara bersamaan sebuah dorongan, proses produksi dan apresiasi yang menggabungkan penerimaan dan interpretasi dalam praktik kontemporer.
(Josephine Machon)
Pameran ini sesungguhnya tidak sedang mempresentasikan ikhwal visual dan show off ketinggian perihal pencapaian teknik artistik. Lebih penting dari itu pameran ini tengah membangun modus bahwa aktivitas kreatif begitu banyak hal yang hendak dicapai, diurai, diperbincangkan dan diperdebatkan dari berbagai pandangan. Karena jika itu mengisi peluang tersebut maka celah ini menjadi sebuah presentasi karya seni yang sejatinya banyak tinjauan yang diperkaya olehnya. Begitu luas dimensi interpretasi di dalamnya. Modus dari pameran ini adalah bagaimana melakukan provokasi terhadap pelbagai proses kreatif seorang perupa dan memprovokasi audience untuk mencerap berbagai sensasi aspek visual dan daya gugah pada aspek konseptualnya.
Selama satu semester karya-karya pada pameran ini disiapkan dan dipresentasikan dalam kesempatan yang khusus. Selama itu pula para peserta pameran mencermati –fokus- berbagai subject matter, menggali referensi untuk membangun konsep visual dan melakukan eksplorasi (konsep, visual, teknik dan estetik) yang merekonstruksi gagasan estetik terbaiknya. Mempertanggung-jawabkan content, muatan ekspresi dan kapasitas intektual personal yang telah dimanifestasikan dalam formulasi semua aspek seni yang terintegrasi pada proses penciptaan seni dilangsungkan hingga ketika dipresentasikan ke publik. Menguji coba tesis-tesis konsep penciptaannya menjadi sangat pokok karena tuntutan akademik mendorong calon master of art ke dalam wacana inteletualitas tersebut.
Relasi Crossover, Habitus, dan [Syn]aesthetic
Crossover merupakan cara jitu dalam mempermainkan aspek mental seorang perupa yang bermula dari konstruksi semantic interpretation untuk memberikan kesadaran bahwa proses kreatif bukan sekedar memenuhi tujuan-tujuan tertentu di luar tujuan kreatif sebuah karya seni digagas. Kreativitas pada prinsipnya kemudian membangun habitus baru dan memunculkan semacam sikap untuk berani melakukan crossover habitus. Pierre Bourdieu dalam Audifax (2006: 151) menegaskan bahwa dialektika antara internalisasi eksternalisasi dan eksternalisasi internalisasi terlembaga melalui habitus sebagai sistem-sistem disposisi yang bertahan namun dapat diubah. Dengan begitu term crossover merupakan potensi menciptakan habitus dan menggerakan [syn]aesthetic dalam relasi kinerjanya.
Hal tersebut memungkinkan seorang perupa menandai proses kreativitasnya dengan melakukan berbagai eksplorasi dalam praktik crossover habitus dan crossover [syn]aesthetic. Karena sesungguhnya habitus merepresentasikan suatu kerangka konseptual yang menggambarkan sebuah ‘prisma probabilitas persepsi’, yang meletakan bermacam-macam disposisi sosial menurut logika utamanya dengan memperhitungkan klasifikasi budaya dari dunia sosial.(Chaney, 2004: 113). Namun bagaimana strategi seorang perupa melakukan lompatan, lentingan, keberanian menyeberang dari lintasan umum? Pertanyaan semacam ini yang kemudian dimunculkan dalam sistem korelasi antar term.
Kemudian kemunculan Crossover [Syn]aesthetic menjadi tajuk penting mengusung pameran bersama mahasiswa Program Pascasarjana ISI Yogyakarta di Tujuh Bintang Art Space semata merujuk pada situasi proses kreatif dan situasi eksternal lain yang menyokongnya. Tajuk ini dipergunakan sebagai cemeti –cambuk- proses kreatif sekaligus proses interpretasi untuk menemukan relasinya. Mungkin ruang ini memiliki celah lemah bagi kita semua karena ketika melakukan proses kreatif dan upaya interpretasi mengolah gagasan sering luput dari ruang kesadaran kita bahwa untuk mempertemukannya adalah ruang sensasional yang dapat memicu bagian lainnya bergerak bersamaan mengkonstruksi aspek estetik secara inheren.
Untuk mempresentasikan materi pameran ini, selama satu semester saya terlibat dalam diskusi dan presentasi konsep serta proses kreatif dalam ruang perkuliahan Penciptaan Seni yang diampu Pelukis Sudarisman. Saya dan beberapa teman seniman professional dalam ruang presentasi tersebut secara emosional sangat dekat dan cukup faham dengan karya-karya sebelumnya karena dalam kurun 2-4 tahun belakangan saya pernah terlibat kuratorial sekaligus penjurian Kompetisi Tubi Art Award 2009 dalam sebuah pameran Kompetisi Tubi Art Award di Jogja National Museum, pameran nominator ‘Let’s Fly an Arrow’ , pameran nominator Homage dan menulis kuratorial hyperlinks di Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta. Paling tidak saya memiliki cukup bekal kemelekatan dengan mereka.
Keterlibatan saya di ruang presentasi tersebut bukan semata memata-matai mahasiswa Program Magister namun saya memiliki dorongan kuat untuk menyelami pola pikir dan kapasitas presentasi mereka. Karena di sisi yang ini biasanya perupa secara umum kedodoran, maka saya belajar dari proses tersebut. Saya sangat gemar memprovokasi mereka untuk sekedar mengetahui lebih dalam ideologi estetika apa yang mereka anut dan diperjuangkan atau sekedar untuk meyakinkan kembali komitmen berkeseniannya agar semakin tangguh. Satu persatu para perupa di ruang presentasi [bagi saya ini ruang/laboratorium pengamatan] bisa ditemui berbagai potensi kreatif yang spesifik dan sangat personal. Sebagian besar tengah menggilai pola-pola kerja dengan eksplorasi dan akselarasi tinggi. Saya membayangkan mereka tumbuh dengan lonjakan-lonjakan kreatif dan mempertajam konseptual yang dibangunnya hingga melampaui aspek teknis permukaan. Yang cukup menarik dari proses ini adanya potensi untuk melakukan crossover yang begitu kuat sehingga saya berpendapat bahwa mereka berhak diberikan peluang untuk presentasi dan menemukan identitas-identitasnya sendiri dalam area seni rupa praksis. Dan, saya ingin mendampingi tiap proses situ.
(Syn) Aesthetic dalam Praktik Kontemporer
(Syn) estetika berasal dari ‘synaesthesia’ bahasa Yunani [Syn] yang berarti ‘bersama’ dan responsif, yang berarti ‘sensasi’ atau ‘persepsi’. ‘Synaesthesia’ dan ‘synaesthetic’ kemudian dapat didefinisikan sebagai sebuah sensasi yang dihasilkan oleh stimulus yang terstruktur sebagai produksi impresi dari gambaran mental yang terkait. (Syn)estetika meliputi pengalaman sensorik dan potensi estetika, bahwa (syn)estetika merupakan potensi estetika yang mencakup pengalaman sensorik, baik aspek proses, media produksi, teknik pencapaian untuk menciptakan karya kreatif yang memiliki muatan interdisipliner, inter-tekstual dan multi-sensasional.
Karakteristik (Syn)aesthetic merupakan konsolidasi atas berbagai impresi responsi, prinsip bentuk visual dan teknik. (Syn)aesthetic juga menggambarkan sensasi rekreasi eksplisit melalui visual, fisik, kata, aroma, suara dan sebagainya. Sebagai sebuah peristiwa yang diwujudkan dan tindakan sensasi yang dipresentasikan sehingga membuat dengan rasa (sensasi) tertentu yang menetapkan suatu render bermata dua dari making-sense atau sense-making yang penting untuk memahami (Syn) dalam membangun strategi kinerja estetika dan apresiasi yang mengkonstruksi persepsi-persepsi responsivesif.
Kinerja (Syn)aesthetic memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan daya hidup dan sensasi yang memungkinkan sebuah pertemuan ide-ide dengan realitasnya. Dengan demikian memberikan ‘(syn) rasa estetika’ dalam konteks apresiasi, intuitif yang menyajikan gagasan yang hendak dipresentasikan, artikulasi visual ‘unarticulable’, melampaui teknik konvensional. (Syn)aesthetic jika dipersandingkan dengan terminologi crossover yang memiliki koneksitas sangat baik dan memiliki peta makna strategik dalam responsi. Kedua term [crossover] ini memiliki spirit sama yakni upaya memprovokasi melalui teks spirit menyeberangi atau melintasi dan term [Syn]aesthetic yang memprovokasi kinerja bersama antara artistik dan estetika secara simultan. Seperti yang ditegaskan Peter Brook (1986: 47) bahwa untuk mempresentasikan ide-ide yang berada di luar komunikasi konvensional, serta pikiran, pengalaman emosional, psikologis dan sebagainya.
(Syn)aesthetic merupakan gaya khas dalam praktik dan model apresiasi khusus karena mencakup kinerja yang terus-menerus melakukan penolakan konvensi sebelumnya, membongkar misteri bentuk visual dan merevitalisasi konsep penciptaan seni. Dengan cara seperti ini, (syn)aesthetic selalu terbuka untuk analisis, perubahan-perkembangan dalam praktik kontemporer. (Syn)aesthetic menggeser karya estetis ke dalam disiplin kinerja dan kepekaan pancaindra. Aspek disiplin kinerja dan kepekaan pancaindera memiliki morfologi tertentu ‘bentuk’ yang berkaitan dengan primordial, atau chthonic (istilah Yunani, bermakna dari atau di bawah ‘bumi’) sebuah kesadaran dan kekuatan yang mengisyaratkan kedalaman. Ini merupakan respons untuk melakukan proses penciptaan dan menerima kinerja mengkonstruksi persepsi tertentu dan memproduksi konstruksi-konstruksi konsep mental. Ketika karya seni mampu mengubah persepsi visual ke dalam persepsi konstruksi mental maka proses crossover [Syn]aesthetic berlangsung sempurna.
(Syn)aesthetic memberikan wacana yang mendefinisikan secara bersamaan sebuah dorongan, proses produksi dan apresiasi yang menggabungkan penerimaan dan interpretasi dalam praktik kontemporer. Hal ini menyajikan wacana, kinerja khusus non-genre yang merangkul praktik intertekstual, merayakan respons, praksis verbal, interpretasi visual dan teknologi. (Syn)aesthetic membuka peluang seluas-luasnya untuk melakukan movement dan lompatan-lompatan kreatif yang radikal sekalipun. Karena wacana ini sesungguhnya mediator bagi pemunculan gagasan-gagasan monumental sebagai intisari fenomena masa kini dan sensasi-sensasi spektakuler atas identitas kontemporer. Keduanya merupakan racikan prosedur proses penciptaan seni rupa kontemporer yang banyak diacu akhir-akhir ini dengan kekuatan daya pukau dan sangat menggugah. Kemudian praktik selanjutnya adalah tumbuhnya produktivitas, terbangunnya habitus dan perluasan praktik interpretasi nilai produk seni itu sendiri. (Syn)aesthetic menyajikan suatu teori untuk membangun kinerja bersama dengan menggabungkan kedua prinsip responsi (syn)estetika; mengawinkan interdisipliner, multi-sensual pada aspek responsi dengan karakteristik ‘synaesthesia’ neurologis dalam proses apresiasi untuk sebuah persepsi dan interpretasi.
Crossover: ‘Synaesthesia’ dan (Syn)estetika
Pada kondisi fisiologis tertentu yang dikenal ‘synaesthesia’ merupakan komplikasi neurologis mana ada crossover antara indera. Derivasi kata Yunani, syn (‘bersama’) dan responsif (‘sensasi’, ‘persepsi’), synaesthesia dapat dipahami secara harfiah sebagai efek sensorik dengan kombinasi kognisi dan kesadaran. Dalam kondisi fisiologis suatu sensasi terjadi ketika satu sisi dirangsang secara otomatis dan secara bersamaan yang menyebabkan stimulasi antar indera. Hal ini menunjukkan bahwa ini keunikan fisiologis merupakan akibat dari sistem respons (daerah otak yang merupakan sumber dari respons emosional) mengumpulkan fragmen imajinasi ‘memori’ otak dan dipindahkan bersama-sama untuk menghasilkan sebuah ‘memori baru ’ yang holistik. Karena dapat diterapkan dengan memanipulasi elemen estetis dalam proses kreatif dan dapat menentukan respons penonton atas pengalaman tertentu sebagai referensi.
Kemunculan sensasi sebagai bagian dari pengalaman yang disengaja, mereka tidak bisa ditekan atau terjadi, walaupun intensitasnya dapat dipengaruhi oleh situasi tertentu menghasilkan respons yang sangat emosional. Dokumentasi fakta visual dari individu yang memiliki detail synaesthesia berkaitan dengan bagaimana pengalaman tersebut dapat memiliki daya ganggu dan sulit untuk mengatasi atau malahan menyebabkan ekstasi tertentu. Hal ini diperlukan untuk menekankan gaya (syn)asthetic. Dapat dikatakan bahwa setiap karya visual memanipulasi berbagai hal yang berkaitan dengan gagasan, desain proses eksekusi sebuah gagasan dan teknik artikulasi visual tertentu. Disinilah terjadi potensi interelasi antara semua elemen proses penciptaan seni (gagasan verbal, artikulasi visual, dan menekankan content) dengan habitus baru yang dikemas secara menarik untuk menghasilkan respons (syn)estetika.
Banyak sekali fenomena crossover dalam konteks [syn]aesthetic, yang kemudian menggejala sebagai strategi kreativitas seorang seniman mengambil posisi tawar dan menjadikannya sebagai prawacana. Prawacana yang bisa saja memberi kontribusi penting dalam pemetaan kreativitas selanjutnya dan memungkinkan aspek identitas personal dimunculkan. Ini mengingatkan saya pada ungkapan Barthes dalam St. Sunardi, memaparkan mengenai creative transgression secara semiotika, kreativitas dapat dijelaskan dari ’inovasi’ dalam sintagma dengan jalan memasukkan unsur paradigmatik dalam sintagma. Barthes meracik dengan menyebut tiga cara creative transgression yang masing-masing diambil dari J. Tubiana, Trnka, dan Jacobson: (a) opposition of arragement, (b) rhymed discourse dan (c) rhetoric. Tiga hal ini merupakan bentuk invasi paradigma ke dalam sintagma. Unsur paradigma yang biasanya berada dalam status ’kemungkinan’ dimasukan ke dalam status kenyataan. Creative transgression ini dapat dipakai untuk menilai kreativitas kultural yang terjadi pada jaman sekarang. (Sunardi, 2002: 79). Menarik jika kita sejenak mencermati fenomena musik campur sari berkolaburasi dengan musik dangdut dan seperangkat musik band, tentu tetap merujuk terma kisah namun kesan yang lahir menjadi baru. Proses perwujudannya menjadi materi yang paling strategis untuk mengantar gagasan ke dalam serangkaian panjang sebuah proses kreatif.
Singkatnya, (syn)aesthetic menjadi pola yang menarik dari sebuah proses kreatif dan apresiasi yang telah muncul dalam beberapa tahun terakhir. Modus (syn)aesthetic memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan rasa (syn)estetika dan merealisasikannya. (Syn)aesthetic mendefinisikan modus apresiatif yang diperlukan untuk interpretasi sebuah proses kerja kreatif, memberikan wacana intelektual, fisiologis dan sensasi strategi apresiasi sebagai salah satu sistem stimulant sehingga memungkinkan crossover sensasi dan apresiasi terhadap hasil proses kreatif itu sendiri. Gaya kinerja (syn)aesthetic berkaitan dengan kehendak memanfaatkan kekuatan penuh imajinasi dan meruntuhkan batas-batas antara ‘nyata’ dan yang ‘dibayangkan’. Dengan menggunakan bahasa grafis, citra bentuk responsi dan citra visual untuk sebuah revitalisasi ide-ide yang paling abstrak sekalipun.
Sebagai catatan penting pada pameran ini adalah sebuah representasi perlintasan imajinasi, perseptual, konseptual dan upaya keras mengelola aspek [Syn]aesthetic sebagai sebuah cara menempuh proses penciptaan seni sekaligus mempresentasikan ke ruang publik. Mewujudkan kehendak untuk tetap melakukan crossover sebagai mediasi mengolah berbagai pemikiran kreatif, representasi atas visi kesenian dan konsep individual yang khas. Saya berharap pameran ini mampu memprovokasi diri para peserta pameran dan menginspirasi –provokatif- publik secara luas.
Netok Sawiji_Rusnoto Susanto
*perupa, penulis kritik seni rupa
Mahasiswa program Doctor PPs ISI Yogjakarta
Referensi:
Audifax, Imagining Lara Croft (Psikosemiotika, Hiperealitas, dan Simbol-Simbol Ketaksadaran), Yogyakarta: Jalasutra, 2006.
Brook, Peter. The Empty Space. Middlesex: Pelican Books, Penguin, 1986.
Chaney, David , Life Style: Sebuah Pengantar Komperehensif, terj: Nuraeni, Yogyakarta: Jalasutra, 2004.
Macho, Josephine, (Syn)aesthetics and Disturbance – Tracing a Transgressive Style in Contemporary British Female Performance Practice explores the connections between these and other critical and performance theories in order to support the argument for a (syn)aesthetic mode of practice and appreciation. (The doctoral thesis) of Brithish.
Sunardi, ST., Semiotika Negativa, Yogyakarta: Kanal, 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar