Oleh : Sulebar M. Soekarman
( 1 ) Antara Wujud Nyata dan Wujud Maya
Seni adalah suatu gaya ungkapan atau ekspresi manusia, mungkin untuk menghindari istilah "ungkapan" yang sering kali memberikan asumsi suatu karakter penuh permasalahan terutama di dalam pergerakan avant-garde, sebaiknya kita maknai secara sederhana sebagai suatu upaya penjelmaan keberadaan manusia yang unik dan spesifik. Dengan demikian, seni seperti halnya kehidupan itu sendiri, tidaklah begitu saja dapat dibagi menjadi bagian per bagian, seperti halnya dengan apa yang terjadi dengan wujud atau bentuk artistik yang sangat serius mempengaruhi wujud manusia, yaitu bentuk manusia itu sendiri.
Kalau kita menyebut bentuk artistik dan sekaligus bentuk manusia, ini merupakan klarifikasi awal dari apa yang dapat dipahami dengan kata "bentuk", suatu istilah yang sering dipergunakan dengan bebas dan samar-samar. Secara umum, bentuk (form) sering dikenali dan disalah artikan sama dengan “raga” (shape). Bentuk secara gamblang selalu diasosiasikan dengan kenampakan dari luar, sebagai suatu raga yang penuh batas. Pembatasan ini sebetulnya merupakan konsepsi bentuk sederhana, yang bersifat eksternal. Bagaimanapun pengertian ini sebetulnya sudah dapat membedakan dengan apa yang dimaksud dengan raga sebagai sesuatu yang mengisi bentuk itu sendiri, sesuatu yang membentuk. Raga menyokong penampilan bentuk dari luar, sebagai struktur, yang tersusun dari suatu organisasi bagian dalam, yang saling erat melekat satu sama lain dalam suatu kesatuan yang penuh batas. Bentuk karena itu, dapat digambarkan secara umum sebagai suatu struktur yang memanifestasikan dirinya sendiri dalam raga.
Setiap tubuh organik, setiap makhluk hidup memiliki bentuk, suatu wujud yang utuh. Manusia-lah, yang sejauh ini ‘berkembang jauh’ di luar keberadaan phisiknya, yaitu ke dalam dunia psikis, intelektual dan refleksi spiritual, karena itulah melalui ingatan dan kesadaran akan identitas, manusia mampu memasuki dimensi waktu, kedalam sejarah - manusia adalah makhluk hidup yang paling sangat terstruktur ini yang memilik bentuk alami yang paling maju. Dalam pembahasan tentang ‘isi’ yang ada di dalam bentuk alami itu, maka kita akan berbicara tentang bentuk manusia, suatu bentuk yang mempunyai kesadaran untuk memantulkan cahaya kekuatan batin, budaya, dan keberadaannya yang sementara.
Kita sebaiknya menghadapi pertama-tama sebagai ‘bentuk artistik’ dengan implikasi nya untuk bentuk manusia. Bentuk artistik adalah struktur dan raga yang diciptakan oleh tindakan atau laku seorang manusia. Informasi ini bisa saja diterima sebagai penjelasan apakah seni itu: ‘seni adalah bentuk yang diciptakan oleh manusia, sebagai hasil tindakan intelektual’. Seandainya kita ingin lebih mengkaji pengertian seni dari kecenderungan yang berkembang sekarang ini, mungkin kita bisa memasuki lebih dalam ke alam bentuk seni itu sendiri.
Hubungan antara ‘isi’ dan ‘bentuk’ tidak lain adalah dua aspek dari suatu hal yang sama dan tunggal – bermuara pada pertanyaan ‘apakah’ yang membantu menentukan ‘bagaimana’, dan dan sebaliknya, ‘bagaimana’ tidak pernah akan ada tanpa ‘apakah’ yang bermakna untuk menyampaikan sesuatu. Pertautan antara ‘isi’ dan ‘bentuk’ akan menjadi sangat penting, seperti hubungan antara kedua pertanyaan di atas, dalam upaya untuk lebih mengapresiasi karya seni abstrak nanti.
Wujud nyata yang terfokus pada tubuh jasmani (nyata, fisik atau perwujudan atom), dan tubuh virtual (digital, bukan perwujudan jasmani), yang juga disebut avatar dalam beberapa lingkungan digital telah merupakan perwujudan simbolis tetapi bukan perwujudan fisik dengan derajat perwujudan yang beraneka ragam. Sebuah avatar, sebagai badan yang digunakan dalam perwakilan diri sebagai badan jasmani, bisa menjadi tujuan yang melibatkan pengguna dalam bermain untuk kepentingan diri sendiri - memodifikasi avatar dapat menjadi sebuah pengalaman dari dan untuk diri sendiri. Dengan demikian sebuah avatar bisa disebut sebagai tubuh di dunia maya, sebuah wujud maya yang dapat memiliki setidaknya dua, atau lebih banyak, badan simbolis. Kehidupan di dalam dunia maya seperti itu, dikatakan sebagai Second Life (Kehidupan Kedua) dimana proses mengubah wujud maya dapat dilakukan dengan mudah setelah keahlian dalam perubahan avatar dapat dipelajari dan dikembangkan. Proses itu sederhana dengan mencoba kontak dengan peserta lain melalui jaringan pribadi atau secara online, wawancara in-world dan offline serta wawancara atomic-world.
Pertanyaan yang diajukan selama wawancara terfokus pada peserta ‘perasaan dan motif tentang kehidupan mereka di Second Life, bagaimana mereka menciptakan dan mengkreasikan avatar mereka (wujud maya), dan apa saja pengalaman yang didapat para peserta dengan avatar mereka.
( 2 ) Antara Avatar –Gejala Budaya Visual, dan Avatar– Produk Budaya Global
Menurut Wikipedia, avatar adalah representasi pengguna komputer yang mewakili dirinya sebagai aku yang kedua atau teman akrab yang dipercaya, apakah dalam wujud suatu model tiga-dimensional seperti yang dipakai di dalam permainan komputer (computer games), atau suatu ikon dua-dimensional yang digunakan di dalam forum Internet dan komunitas lainnya, atau suatu teks yang dibangun dan ditemukan di dalam system awal seperti MUD. Avatar adalah suatu "obyek" yang mewakili perwujudan pemakai komputer itu.
Dalam bahasa Inggris, kata avatar berarti "suatu perwujudan, suatu penjelmaan jasmani yang bersifat Ketuhanan" Dalam bahasa Sansekerta, Avatara berarti "penjelmaan/titisan." Istilah ini digunakan terutama di dalam teks Hindu. Sebagai contoh, Krishna adalah avatar yang kedelapan (penjelmaan/titisan) Vishnu Sang Pemelihara, yang oleh banyak pengikut Hindu dipuja sebagai Tuhan. Dasavatara adalah sepuluh "besar” penjelmaan/titisan Vishnu yang spesial. Istilah ‘avatar’ ini muncul pada tahun 1985, digunakan untuk representasi diri sebagai pengguna komputer, ketika digunakan sebagai nama salahsatu karakter pemain di dalam permainan komputer seri Ultima. Permainan komputer Ultima ini sebetulnya telah keluar sejak 1981, tetapi baru di dalam Ultima IV (1985), istilah "Avatar" diperkenalkan. Untuk menjadi "Avatar" adalah tujuan utama Ultima IV.
Virtual Displacement on Replacement Who Privacy-space?(Electricity Series),
40x40cm (6 panel), digital print, 2009
Game computer yang menghibur seperti Wii, Playstation 3 dan Xbox 360 ( lihat foto disamping) memperlihatkn avatar universal yang dianimasikan.
Avatar di dalam game video secara esensi merepresentasikan secara fisik pemain yang ada didalam dunia game. Di dalam kebanyakan game, representasi para pemain sudah dibakukan, tetapi kemudian dengan terus meningkatnya kualitas game, mulai menawarkan suatu model karakter dasar, atau template, dan kemudian dalam perkembangannya pemain itu dapat diubah disesuaikan dengan corak fisik serta penampilan pemain yang dipilih atau dikehendaki. Sebagai contoh, Carl Johnson, avatar dari Grand Theft Auto: San Andreas, dapat dikenakan pakaian dengan pilihan jenis pakaian yang cukup luas, dapat diberi tato dan pangkas rambut, bahkan postur tubuh yang berbeda sesuai atau tergantung dari aksi yang dibutuhkan pemain itu
Perkembangan tehnologi komputer yang sangat pesat dalam 10-20 tahun akhir ini, khususnya dalam membangun jaringan internet telah menimbulkan ledakan budaya visual khususnya fantasi memvisualisasikan diri merupakan unsur yang dominan di dalam realitas bekerjanya sistem cybernetic. Pengunaan icon dari bentuk ekspresi diri yang sederhana (smiley) hingga kreasi imajinatif merupakan unsur yang dominan di dalam cyberculture. Aplikasi surat elektronik (email) yang fasilitasnya disediakan secara gratis oleh provider besar semacam; Yahoo, MSN, Gmail, dan lain-lain, merupakan pintu masuk yang paling sederhana bagi setiap orang untuk mengeksplorasi praktik visualisasi diri, khususnya ketika forum-internet melalui fasilitas ‘chat-room‘ berkembang. Avatar, sebagai suatu bentuk imajinasi visualisasi diri semula merupakan ‘praktik estetis’ yang sirkulasinya terbatas hanya pada mereka yang memiliki skills dan akses yang luas pada praktik teknologi komputasi berbasis internet. Meskipun kini, di kalangan kaum muda khususnya, aplikasi avatar merupakan suatu trend yang cukup populer dan aplikasinya yang mudah dan instan tanpa skills khusus dikampanyekan secara luas melalui adverstising oleh provider mobile-technology (perusahaan teknologi seluler) sehingga bukan hanya bisa diunduh (download) melalui komputer, bahkan oleh piranti cybernetic yang lain seperti PDA dan atau handphone yang sistemnya ‘compatible‘ memungkinkan aplikasi internet. Lalu apa dan bagaimana sebenarnya ‘avatar’ itu, dan mengapa budaya memvisualisasikan diri ini menjadi trend sekaligus memiliki efek simulasi yang bersifat manipulatif?
Neil Stephenson yang pertama kali mempopulerkan istilah avatar ini ke dalam komunitas cyber melalui novel ber-genre cyberpunk yang terkenal Snow Crash pada tahun 1992. Dalam novel tersebut, avatar digambarkan sebagai simulasi virtual wujud manusia dalam realitas virtual di internet yang disebutnya sebagai ‘Metaverse‘ (yang secara simbolis diambil dari mitologi Hindhu kuno tentang sepuluh wujud penampakan spiritual dari ‘Dewa’). Yang menarik dalam novel tersebut, Stephenson menggunakan ‘kategori hierarki sosial’ sebagai penanda estetika visual dan praktik pengetahuan seseorang, di mana semakin ‘berbakat’ dan semakin ‘dilengkapinya seseorang melalui skills‘ sebagai programer dan hacker, memungkinkannya untuk menggandakan penampakan diri (multiple incarnation) hingga mencapai level Metaverse.
Sejarah visualisasi diri di dalam praktik technoculture pada awalnya sama sekali bukan ditujukan untuk praktik konsumsi-massa yang bersifat rekreatif, melainkan bermula dari suatu modul saintifik pada pertengahan abad ke-20 yang dikenal dengan istilah ‘H-anim’ (Human-animation). Di sini aplikasi visual manusia digunakan untuk menguji secara matematis produksi obyek teknologi canggih seperti pesawat luar-angkasa, ruang pengujian arsitektural, aplikasi robotik sebelum uji-coba secara manual, bahkan aplikasi teknologi ‘surveilence‘ seperti yang digunakan pada sistem perbankan, sirkulasi telekomunikasi-informasi dan pengujian persenjataan militer (Howard Rheingold: 2006). Dalam perkembangannya, jangkauan praktik visualisasi diri semacam ‘H-anim‘ melalui teknologi internet diperluas melalui kinerja piranti lunak VRLM (Virtual Reality Markup Language, suatu aplikasi 3D di mana human model dianimasikan secara kompleks yang berakar pada piranti lunak berbasis Object Oriented Programming Language semacam ‘Java’). Penggunaan aplikasi semacam ini yang kemudian mendorong munculnya MUDs (Multi-User Dungeons), suatu program game-komputer interaktif yang memiliki setting imajinasi sosial, di mana penggunanya dapat ‘mengkreasi’ karakter-karakter yang dapat mendiami suatu lingkup lingkungan sosial tertentu. Pada awalnya, hampir satu dasawarsa lalu keterkaitan seseorang di dalam praktik technoculture MUDs semacam ini memang bersifat ‘elitis’; akan tetapi kini, dikarenakan semakin banyaknya pengakses internet dan teknologi mobile, serta perluasan ‘multi-user virtual worlds‘, serta dukungan modal kapital ekonomi melalui ‘kekuatan advertising’; aplikasi semacam itu tak perlu lagi mensyaratkan skills atau pengetahuan khusus yang berbasis pada bahasa program, melainkan lebih menekankan pada kualitas pengalaman dan intensitas subyek ke dalam interaksinya di dalam komunitas cyber-world. Seseorang dengan mudah dapat menciptakan ‘realitas’ seperti yang diimajinasikannya dengan dilengkapi perangkat keras khusus atau bahkan sama sekali tidak memerlukan perangkat hardware yang mensyaratkan metode ‘plug-in‘ karena program ‘builder‘ piranti lunaknya dapat dibeli dan atau bahkan dapat diunduh gratis melalui internet. Meskipun perlu dicatat, hal ini berlaku hanya pada pengguna internet yang memiliki kualitas yang berbeda tergantung pada kondisi hardware dan kapasitas jangkauan akses yang broadband. (December 09, 2008 By: KuRniA_WahYuNi Category: Current Issue)
Aktivitas ‘menciptakan realitas maya’ yang berbasis pada imajinasi kreatif yang secara sosial berkarakter ‘estetika populer-massif’ (mengaburkan norma estetika seni dalam pengertiannya sebagai tradisi yang melembaga), kini bahkan dapat kita akses dengan mudah tanpa keterampilan khusus melalui komunitas cyber ‘Second-Life‘. Second-Life merupakan perkembangan lebih lanjut dari MUDs yang memapankan dan men-destabilisasi-kan konsepsi dan obyektifikasi ‘mitologi metaverse’ sebagaimana yang digambarkan Sthepenson. Minat yang paling menggelora dalam komunitas ini adalah ‘ruang fantasi’ di mana subyek pengguna terlibat secara aktif di dalam komunitas, memiliki kapasitas untuk memperluas jangkauan identitas diri dengan cara menciptakan dan mengggandakan karakter sekaligus menciptakan ‘virtual environment‘ tetapi juga berkomunikasi secara inter-personal (interaksi dengan pengguna lain) yang juga mempraktikkan modus serupa. Konteks semacam ini dinyatakan oleh Rheingold melalui slogan: “Welcome to the wild side of cyberspace, where ‘magic is real and identity is fluid‘.
Memahami ‘realitas’ yang dihadirkan melalui sistem cybernetic berhubungan dengan transformasi bentuk-bentuk budaya baru di mana kerja simulasi logico-iconic melibatkan transmisi audio-visual yang prosesnya bukan hanya sekedar reproduksi secara mekanis, melainkan bentuk-bentuk penyerapan informasi dan bersifat timbal-balik. Dalam konteks ini, sistem cybernetic khususnya yang kini kita jumpai dalam teknologi mobile – di satu sisi memainkan kerja simulasi – meskipun sekaligus sedang membangun suatu formasi sosial yang memiliki struktur dan agensi – pelaku-pelaku aktif yang menggerakkan struktur tersebut. Kekuatan simulasi merupakan esensi dari kinerja sistem cybernetic, dikarenakan kemampuannya untuk menghadirkan imajinasi tentang keberadaan ‘yang-liyan’ (the other). Ien Ang menjelaskan bahwa praktik simulasi di dalam budaya teknologi berkenaan dengan keberadaan fantasi – yang menjadi persoalan sebenarnya bukanlah tentang ‘fantasi itu sendiri’ - melainkan fakta yang menunjukkan aktivitas ‘berfantasi’ itulah yang dipersoalkan. Yakni suatu aktivitas memproduksi dan mengkonsumsi fantasi yang memungkinkan kita untuk ‘bermain-main’ dengan realitas (Ien Ang, 2001). Kenikmatan yang menjadi ‘candu’ di dalam mengkonsumsi fantasi semacam itu bukan terletak pada upaya-upaya ‘detecting truth‘ melainkan pada ‘eksplorasi imajinasi terus-menerus yang bersifat tak terbatas’. Hal semacam inilah yang membuat relasi kita dengan teknologi mobile bukan semata-mata suatu kebutuhan mekanis yang mempermudah aktivitas kehidupan sehari-hari, melainkan teknologi itu sendiri kini dirancang sekaligus sebagai suatu arena bermain yang memungkinkan setiap orang untuk ‘menjauhi’ realitas dan memasuki ‘realitas virtual’ di mana energi yang terfokus di dalamnya bukan ditujukan untuk mengungkap suatu kebenaran faktual, melainkan memperoleh kesenangan melalui serangkaian aktivitas menjelajah yang tak pernah ada batasannya. (December 09, 2008 By: KuRniA_WahYuNi Category: Current Issue)
( 3 ) Dunia Maya –Internet Masa Depan– Fenomena Pergeseran Maya
Dalam satu berita dari (Telkomsel Priority) internet Rabu, 30 April 2008 saya kutipkan:
TAHUKAH anda bahwa laju pertumbuhan pelanggan ponsel melebihi pertumbuhan penduduk dunia? setiap menit ada 253 bayi lahir. Dan setiap menit ada 723 pelanggan baru posel. Saat ini diperkirakan jumlah pelanggan ponsel mencapai 3,5 miliar. Pada juli 2007, biro riset Gertner memperkirakan sampai akhir 2007 jumlahnya meningkat menjadi 3,6 miliar.
Jumlah populasi bukan patokan apalagi batasan jumlah pelanggan ponsel. Inggris, Luxemburg dan Hongkong, misalnya, punya jumlah pemakai ponsel yang lebih besar dibandingkan total populasi negaranya. Ada delapan nomor ponsel yang aktif setiap 5 orang di Luxembourg dan ada tujuh nomor ponsel per lima orang di Hongkong.
Di negara-negara maju, pertumbuhan pelanggan ponsel sudah melambat. Setiap menit, hanya ada 29 pelanggan baru di Eropa Barat dan 46 pelanggan Amerika. Kini, yang menjadi daerah eksotis adalah Afrika dan Asia Fasifik. Dalam 10 tahun terakhir, pemakai ponsel di Afrika mencapai 300 juta orang, tumbuh ribuan persen dibandingkan 1998. Ada 94 pelanggan baru per menit. Total jumlah pelanggan saat ini mencapai 1,4 miliar dan diperkirakan akan meningkat hampir dua kali lipat pada 2010. Di samping pasar yang masih sangat besar, teknologi komunikasi yang semakin maju pun menciptakan pasar baru. Kecanggihan teknologi ponsel akan memudahkan mengakses internet.
Dunia virtual ini punya populasi sendiri. Saat ini ada sekitar 1,2 miliar "penduduk" internet dan bertambah seratus juta orang pertahun. Sebagian besar populasi internet baru nantinya akan online pertama kali melalui ponsel. Ponsel pintar (smartphone) tampaknya akan menjadi pusat konvergensi teknologi komunikasi. Tak hanya melakukan percakapan dan ber-SMS, pelanggan ponsel bisa dengan mudah browsing internet, mengakses email, bermain games, mendengar musik, menonton video dan melihat iklan.
Penetrasi internet di negara-negara berkembang karena ketergantungan terhadap komputer dan jaringan fisik akan diatasi teknologi mobile ponsel. Penambahan fitur dan fasilitas ponsel akan meningkatkan pasar bisnis ponsel. Menurut beberapa grup riset, seperti Rudicati, Juniper Research, IDC, pada 2010 diperkirakan akan terjadi booming pendapatan layanan mobile. Pertumbuhan paling besar adalah kue iklan dan jasa navigasi atau search engine. Nilai iklan di dunia virtual saat hanya $ 1,4 miliar akan tumbuh 10 kali lipat pada 2010 menjadi $14 miliar. Sementara nilai layanan navigasi atau search engine yang semula hanya $230 juta melesat menjadi $7 miliar. Angka terbesar tetap saja didulang layanan email, yakni $25 miliar meningkat empat kali lipat lebih dibandingkan tahun 2007.
BAYANGKAN! Kalau sekarang ini setiap orang yang memiliki handphone, laptop atau notebook, PC atau komputer pribadi dan komputer non-pribadi menyalakan peralatannya masing-masing melakukan komunikasi, membangun jejaringan kerja, maka bisa dibayangkan bumi yang indah tampak membiru dari angkasa itu akan terbalut dalam sebuah rajutan cyber-optic yang seandainya bisa diberi warna melalui ribuan provider dan satelit, maka tidak bisa dibayangkan, apakah bumi kita seperti dibalut dengan selimut pelangi atau satu warna hitam atau abu-abu legam saja!
Di dalam realitas dunia maya yang sebenarnya akan bisa dibayangkan terwujudnya dunia-dunia maya baru sebagai bentukan dari setiap pengguna komputer yang memiliki kemerdekaan penuh menyampaikan “ungkapan” mereka. Dunia internet sendiri akan pesat melaju, berkembang bukan hanya dilakukan oleh para pakar iptek komputer sendiri, tetapi juga oleh ribuan bahkan jutaan pengguna komputer yang lebih banyak menghabiskan waktunya di depan komputer mereka masing-masing dari pada bersosialisasi langsung dengan masyarakatnya.
Suatu fenomena pergeseran maya telah terjadi! Fenomena merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari kita, realitas itu sendiri yang menampakkan kepada kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas. Seorang pengamat kreatif dalam melihat sekuntum bunga mawar misalnya, ia akan melihat secara perpektif, ia akan melihat sekuntum bunga mawar itu dari muka, samping, belakang kanan, kiri, atas dan seterusnya. Sekuntum bunga mawar adalah sintesa semua perspektif itu. Dalam perspektif objek telah di konstitusi. Fenomena mengkonstitusi diri dalam kesadaran. Karena terdapat korelasi antara kesadaran dan realitas, maka dapat dikatakan konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas.
Suatu fenomena tidak pernah merupakan suatu yang statis, arti suatu fenomena tergantung pada sejarahnya. Kita pada dasarnya cenderung untuk bersikap alami, natural dalam artian dengan diam-diam percaya akan adanya dunia yang nyata ataupun yang maya. Reduksi menyingkapkan kesadaran sebagai menurut kodratnya terarah pada dunia, sebagai intensional. Menurut Husserl yang lebih penting dalam reduksi bukannya menaruh dunia sendiri antara kurung, melainkan setiap interpretasi atau teori tentang dunia. Ia menekankan aspek positif dari reduksi, reduksi bukan saja berpaling dari dunia seperti dimengerti dalam sikap natural/alami, melainkan juga terutama berpaling kepada sesuatu yaitu kesadaran atau “ego transendental”.
( 4 ) Pergeseran Maya –Wujud Nyata Lukisan Netok Sawiji_Rusnoto Susanto
Istilah virtual displacement (pergeseran maya) kita dapati di dalam mekanika (ilmu fisika) dalam kaitan dengan apa yang disebut ‘kerja maya’ (virtual work)
Menurut asas kerja maya (virtual work), setiap pergeseran maya sekecil apapun di dalam ruang konfigurasi, konsisten dengan batasan-batasan, maka tidak memerlukan usaha apapun. Suatu pergeseran maya berarti suatu perubahan seketika/spontan di dalam suatu koordinat (suatu pergeseran/jarak riil akan memerlukan waktu terbatas selama partikel dimungkinkan ber pindah; dan kekuatan dimungkinkan berubah).
Suatu pergeseran maya (virtual displacement) adalah suatu penggantian/jarak diferensial khayali yang tidak benar-benar berlangsung. Suatu pergeseran maya bisa saja konsisten dengan batasan-batasan yang mendukungnya maupun tidak konsisten dengan batasan-batasan yang mendukungnya. Suatu kerja maya adalah pekerjaan yang dilaksanakan dengan kekuatan atau saat/momen selama suatu pergeseran maya dari sistem itu. Metoda kerja maya dapat diberlakukan untuk memecahkan permasalahan yang melibatkan berkaitan dengan mesin (machines)- struktur dengan bagian yang dapat dipindahkan atau bingkai (frames)- struktur yang tidak memiliki bagian yang dapat dipindahkan.
Dengan membiarkan bagian bebas dari suatu sistem mengalami suatu pergeseran maya yang sesuai dan terpilih di dalam metoda kerja maya, kita dapat memecahkan persoalan seseorang tertentu yang tak dikenal pada suatu waktu di dalam kompleksitas yang tinggi seperti halnya menyelesaikan permasalahan sederhana dalam suatu mesin tanpa keharusan untuk memecahkan secara simultan penyamaan bersama.
Entah secara nyata-nyata berada pada area ‘hujan’ atau pada area yang baru pada tahap ‘gerimis’. Digital Rain menjadi tema paling sederhana yang mampu mendekatkan pada persoalan tersebut. Hampir sebagian besar mini market, supermarket hingga hypermarket semua ruang-ruang publik berubah menjadi etalase-etalase digital, baik yang diperdagangkan maupun menjamurnya ruang-ruang publik bercitra digitalys. Trend ruang terbuka serba hotspot sampai pada warung-warung makan (kantin) bercitra digital dengan menawarkan branded kantin hotspot.
Pada konteks masyarakat posmodern, urbanisasi tak lagi berarti perpindahan manusia ke kota di dalam ruang nyata, namun berkembang ke arah urbanisasi virtual yaitu perpindahan manusia secara besar-besaran ke dalam pusat kota digital ‘cyberspace’. Kemudian manusia mencoba melawan batas kecepatan dan keperkasaannya dengan cara menaklukan batas-batas ruang lewat waktu dan memang manusia kini dapat merobohkan segala batas-batas ruang virtual, namun tak disadari bahwa batas tersebut sesungguhnya bukan pada ruang, bukan juga pada waktu melainkan batas-batasnya berada dalam otak kita. (Catatan Netok Sawiji_Rusnoto S, email 15 Juni 2009)
Dengan tema virtual displacement yang diolah dan digelar dalam pameran tunggalnya sekarang ini, Netok Sawiji_Rusnoto Susanto (selanjutnya saya tulis NS_RS) mencoba untuk menceriterakan kegalauan-nya terhadap muncul berkembangnya cyberspaces, cybercities, dengan proses digitalisasi di dalam berbagai segi kehidupan yang mengikis rasa kemanusiaan masyarakat sekarang serta mengakibatkan terjadinya erosi spiritual. Bisa dikatakan NS_RS masih menggunakan metode naratif dengan pengkisahan simbolis pada obyek-obyek bentukan di permukaan bidang kanvasnya yang mampu merepresentasikan pengertian dari diri atau di luar dirinya, dan diharapkan masih bisa dikenali oleh pengamat.
Metode ini akan berpotensi untuk memicu pembahasan di kemudian hari hanya berorientasi di seputar substansi narasi itu sendiri, dan menjauhkan hal-hal yang paling mendasar dari seluruh proses penciptaan NS_RS. Padahal ada suatu ideologi yang menarik yang melibatkan pola pemikiran serta perenungan NS_RS yang tentunya secara konseptual dapat digali lebih mendalam lagi.
Obyek-obyek bentukannya mampu menjadi ’avatar’ sebagai wujud maya dan sekaligus wujud nyata yang bagi si pengamat dapat merangsang dorongan-dorongan subtil untuk masuk, meresapi makna setiap lukisannya yang tersaji. Kalaulah terjadi jalinan ’cerita’ yang runut atau kenampakan ’ruang’ yang ber dimensi, pastilah ada kaitannya dengan perhubungan waktu. Waktu disini adalah penanda ruang nyata dimana NS_RS sekarang ini berada, hidup dengan persoalan sehari-hari dan pengamatan serta perenungannya terhadap situasi dunia nyata dan sekaligus dunia maya yang saling ’bertabrakan’.
Kerinduannya akan keharmonisan dua dunia serta kembalinya hakekat kemanusiaan yang semakin kabur itulah yang nampaknya menjadi sumber penggalian ’rasa’ yang dieksplorasi habis-habisan dan ditampilkan dalam lukisan-lukisan bertemakan ’virtual displacement’ kali ini.
Keterlibatan semua unsur di atas permukaan kanvas menjadi suatu keserentakan penampakan yang menimbulkan impresi dan spirit yang mampu mengajak pengamat memasuki momentum pencerapan dengan pemahaman yang inspiratif.
( 5 ) Sang Avatar Memayu Hayuning Bawana
Belum selesai kita tergagap-gagap dengan perkembangan iptek-kom yang dahsyat itu, di dalam industri kreatif, kita diserang habis-habisan dengan produk-produk dari luar Indonesia berupa film, animasi, kartun, game, musik, e-book, facebook, friendster, youtube dsb yang hampir kesemuanya ’memanjakan’, memudahkan untuk melakukan komunikasi, mendapatkan informasi dan sekaligus memperoleh hiburan. Tinggal diri kita masing-masinglah yang harus mampu memilah dan memilih mana yang betul-betul kita butuhkan untuk kemajuan martabat kita dan mana yang akan menghancurkan kehidupan kita.
Sudah lebih dua tahun ini salahsatu stasiun TV swasta menayangkan serial film animasi yang berjudul Avatar: The Last Airbender. Salahsatu produk global yang mengingatkan kembali kekuatan kearifan lokal dalam upaya menyelamatkan bumi dari kerusakan karena ketamakan penghuninya.
Avatar: The Last Airbender ( juga dikenal sebagai Avatar: The Legend of Aang) adalah suatu serial acara animasi televisi Amerika yang telah ditayangkan selama tiga musim oleh Nickelodeon dalam Nicktoons Network. Serial animasi ini diciptakan dan diproduksi oleh Michael Dante DiMartino dan Bryan Konietzko, yang bertindak sebagai produser eksekutif bersama dengan Aaron Ehasz. Avatar di set dalam suatu dunia yang dipengaruhi oleh bangsa-bangsa Asiadengan seni yang berhubungan dengan perang serta manipulasi berkenaan dengan unsur-unsur alam yang mendasar, air – tanah – api – angin: 4 jenis kekuatan alam yang memiliki keunggulannya masing-masing. Ketika kekuatan itu tak terkendali, bekerja sendiri-sendiri maka keharmonisan alam terganggu. Hanya seorang Avatar yang dipercaya mampu menyelamatkan bumi. Pertunjukan film ini mengeksploitasi unsur-unsur dari Asia Timur, Asia Selatan, dan budaya Barat, menjadikannya sebagai suatu campuran dari anime dan film karton domestic dari Amerika Serikat.
Serial pertama film ini merupakan seri petualangan dengan pelaku utama Aang dan para teman-teman nya, yang harus menyelamatkan dunia dengan mengalahkan Dewa Api dan mengakhiri peperangan yang bersifat merusak dengan bangsa Api. Episode percobaan ditayangkan pada tgl 21 Februari 2005 dan serial ini terus menjadi terkenal sampai menjadi film televisi dua jam pada yang ditayangkan pada 19 Juli 2008. Film serial ini sekarang sudah tersedia dalam bentuk DVD, di toko-toko iTunes, dan Xbox Live Marketplace, dan tentu saja di Nickelodeon.
Avatar: The Last Airbender begitu populer bagi penonton maupun kritikus, mengumpulkan 5.6 juta penonton sebagai best-rated showing dan menerima penilaian tinggi dalam Nicktoons lineup, bahkan secara demografi diluar batas usia 6-11 tahun. Avatar telah dinomasikan dan menang memperoleh penghargaan Annual Annie Awards, the Genesis Awards dan primetime Emmy Awards, antara lain. Serial pertama yang sukses itu membuat Nickelodeon untuk memesan serial yang kedua dan yang ketiga. Bagian pertama dari film trilogi yang sementara berjudul The Last Airbender diharapkan dapat diputar pada tgl 2 Juli 2010.
Salah satu tugas seniman sejati (baik secara pribadi maupun dengan karya-karya ciptaannya) adalah berkarya untuk menghaturkan keindahan dunia, memayu hayuning bawana, mempersembahkan secara khidmat dan hormat kepada sesuatu yang transenden. Suatu kesadaran sikap akan nilai kejujuran dan kebenaran dalam memberikan sumbangan untuk menyelamatkan dunia. Ada tokoh bijak yang menggunakan perumpamaan bulan purnama untuk menjelaskan makna memayu hayuning bawana ini.
Sebagaimana bulan purnama membuat bumi bersinar, begitu manusia membuat dunia bersinar karena kehadirannya.
Manusia tidak pernah kehilangan jaraknya terhadap dunia luar, sebagaimana bulan terhadap bumi.
Karena batin manusia yang Ilahi, karena kehadirannya dalam dunia, ia memantulkan pancaranNya kepadanya, memperindah dan menyelamatkannya.
Seandainya Avatar benar titisan Batara Wisnu, Sang Penyelamat dan Pemelihara!
Yogyakarta, 20 Juni 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar