Minggu, 05 Februari 2012

MENGGELEDAH KESERAGAMAN IKON; REPRESENTASI DAN REINTERPRETASI TEKS DALAM TEKS

MENGGELEDAH KESERAGAMAN IKON;

REPRESENTASI DAN REINTERPRETASI TEKS DALAM TEKS

[Menggali Tafsir Representasi Teks Verbal dalam Teks Visual]

Terdapat semacam gejala pencuatan kembali kerinduan idiom seni modern yang kian melenggak-lenggok di lapis terdepan permukaan seni rupa kita, lebih-lebih ketika booming seni rupa Asia terasa memicu adrenalin para perupa yang kian remah dalam ranah komoditi potensial bagi investor seni.

Sebuah kecenderungan yang luar biasa pada perkembangan seni rupa kita akhir-akhir ini dalam wacana seni rupa kontemporer, bagaimana sikap kreatif seorang perupa sejatinya ketika teks-teks tertentu melesat begitu deras dalam lapis-lapis artivisialnya. Ketika wacana pasar kita merujuk pada citra pembangkangan terhadap seni modern kendati acapkali masih tampak kerinduanya yang mengaduk-aduk konsep demi pencitraan seni yang lebih baru dan segar. Sofistikasi yang dulu didobrak sebagai upaya derasnya alur kreativitas seni yang lebih plural seringkali memperoleh cemooh karena lagi-lagi seni rupa kita tetap merujuk pada term tersebut, kemudian para perupa kini cerdas dalam membungkus –upaya pengkaburan jejak rujukan- dengan bahasa visual yang lebih trendi atau sekadar terasa familiar di mata pialang pada balai-balai lelang yang tengah marak. Potensi karya-karya yang dapat masuk ke wacana pasar nampaknya telah terbaca dengan baik oleh perupa sehingga ada semacam keseragaman tematik, teknik, ikon, maupun pola-pola pencitraan yang cenderung –naratif, eksplosif, sembrono, naïf, masa bodoh dan kemedol- cepat diserap dan di dongkrak dengan percepatan nilai tertentu dalam tiap ketuk palu auctioner.

Booming seni rupa kita saat ini menjadi sebuah tonggak kebangkitan seni rupa Indonesia di mata internasional. Ini tak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut tak lagi menjadi isapan jempol belaka dan isu semata bahwa seni rupa kita menjadi sasaran para pemain pasar internasional. Jogja, kini menjadi daerah perburuan karya-karya seni yang digeledah secara gerilya oleh pemain local maupun pemain asing yang membuka agen-agen seni untuk melakukan pengamatan dan pendekatan personal dengan para perupa yang terindikasi sedang dibidik pasar lelang. Lahirnya broker-broker antar perupa atau malahan kurator dan perupapun bisa nyambi jadi broker sebagai perpanjangan tangan kolektor, art dealer dan pemain lelang amatir maupun professional.

Tidak sedikit para pemain lelang amatir –spekulan muda- banyak menyerap pengalaman pendahulunya yang lebih professional secara langsung atau sekadar nguping dari broker dan para perupa. Lagi-lagi Jogja secara potensial menjadi barometer perkembangan seni rupa sekaligus indikasi terkuat pasar seni rupa dunia dalam praktik perburuan karya seni sebagai kontribusi booming-booming seni rupa dari waktu ke waktu. Artinya, ini menarik untuk di sikapi secara proporsional bagi pembentukan peta seni rupa dalam sekala regional, nasional maupun internasional. Terbuka luas peluang untuk merepresentasikan karakteristik yang paling personal –local genius- ke jaringan internasional dan membuka upaya pembacaan peta seni rupa kita dengan mendekati pola-pola kecenderungan pasar pada konteks reinterpretasi nilai seni dalam wacana pasar secara lebih proporsional tentunya.

Menarik, ketika merujuk pernyataan Suwarno Wisetrotomo dalam menyikapi berbagai pembacaan terhadap sistem pasar yang telah membentuk dan membawa arus perubahan yang signifikan pada peta kesenirupaan kita dimata dunia, “bahwa betapa kita mudah silau, kemudian menjadi kabur dan keruh dalam melihat dan berpikir, lantaran dikepung oleh hiruk-pikuk praktik seni rupa, praktik pemaknaan dan pembacaan, serta praktik pasar yang menyertainya?” (Suwarno Wisetrotomo, Visual Arts, vol. 4 no.23 Feb-Maret 2008: 50). Kita memang langsung dihadapkan pada pelbagai fakta; praktik seni rupa kita dengan beragam pencapaian artistik, estetik, dan gejala visualnya; praktik pembacaan/pemaknaan (wacana) tak senantiasa membantu menjernihkan pemahaman publik; praktik pasar acapkali menghadirkan kejutan-kejutan (ketika pasar menyerap dengan harga eksplosif dengan frekuensi tinggi) lantas dengan mudah dan relatif singkat menggusur isu-isu lain yang lebih fundamental, misalnya semacam isu kecerdasan ide seniman, kekuatan mengolah metafora, kecanggihan teknik dan tata visual. Lalu, kita semua memang tak kunjung mendapatkan pencerahan, baik dari aspek ideologi, filosofi, estetika, sosiologi, maupun spiritualitas karena tak lagi cukup punya ruang dan waktu untuk memikirkannya apalagi memperdalamnya. Seni sebagai produk kebudayaan, untuk sementara terabaikan, dan mungkin kian asyik terkooptasi sebagai produk industri?

Hal tersebut bukan saja dugaan malah kian terumuskan sebagai sebuah stigma bahwasannya ada semacam pola pembenaran baik dari para perupanya maupun sistem pasar kapitalistik yang membentuk semacam pola-pola industri. Belakangan ini, publik seni gencar mengemukakan asumsi bahwa Jogja kini menjadi ‘pabrik’ sentra industri baru seni rupa kita yang menjadi area perburuan pemain pasar lelang. Tumbuhnya agen-agen seni rupa kitapun dipicu oleh lesatan pertumbuhannya. Tampaknya imbas dari arus besar pasar seni rupa dunia di Prancis, Jerman, Itali dan China yang tengah berada pada titik didih pada sirkulasi jejaring karya seni rupa kontemporer. Asia dengan kekuatan pasar seni rupa China menjadi catatan penting bagi kita untuk mengindikasi sebuah kecenderungan-kecenderungan ‘selera’ seni rupa kontemporer Indonesia yang diduga kuat beraroma China. Jika dugaan semacam itu benar adanya, maka seni rupa kita berada pada pertikaian besar dalam wacana seni rupa kontemporer -yang sempat dipuji-puji mampu menggali nilai-nilai lokal- tengah terjadi krisis intelektual/ideologi yang melanda dan terbuka keniscayaan menelan bulat-bulat perkembangan peta seni rupa kita. Terjadi suatu penegasan yang sebelumnya disinyalir oleh beberapa penulis dan kritius seni rupa kita belakangan yang menyidik aroma China, namun tak dapat ditepis jika para perupa kita berada pada krisis ide, eksplorasi teknik dan visual serta krisis lokalitas sungguh tidak mustakhil dalam waktu yang relative singkat melemahkan posisi tawar kita karena perupa dunia sedang berada pada titik didih yang luar biasa dalam menyikapi kekuatan lokal dan personalitasnya.1

Bagaimana dengan sejumlah perupa Indonesia? Nama-nama seperti Heri Dono (1960), Eddie Hara(1957), Ay Tjoe Christine (1973), Putu Suatawijaya (1971), Ugo Untoro 91975), Rudi Mantofani (1973), S.Teddy (1970), Alfi (1975), Budi Kustarto (1972), Gusmen Heriadi (1974), Yusra Martunus (1973), Yunizar (1971), Handiwirman Saputra (1975), Entang Wiharso (1967) misalnya menyuguhkan kekuatan warna lokal yang mampu menembus panggung global. Saya menangkap gejala yang begitu marak, bagaimana para perupa muda kita yang tengah dimabukan dalam kenikmatan area pasar transaksi. Entah apakah mereka masih menggendam kesadaran untuk tetap meletupkan gagasan ideologinya dan melakukan eksplorasi yang tak berkesudahan serta pendokumentasian proses kreatifnya melalui berbagai media dokumentasi seperti yang sering dilakukan oleh seniman dunia, sebut saja W. Kandinsky yang begitu gigih untuk memaparkan kesadaran pemikiran kreatifnya dalam bukunya The Concerning Spiritual in Art dan Piet Mondrian yang juga tetap gelisah menghargai proses kreatifnya sebagai proses kesadaran intelektualitasnya. Paling tidak ini hamper disebut sebagai pola yang paling tidak menarik bagi para perupa kita, meskipun telah dimulai para perupa pendahulu seperti S.Sudjojono, AD. Pirous, Made Wianta, Nashar dan Rustamaji yang gemar mendokumentasikan pemikiran-pemikiran kreatifnya dalam bentuk buku. Kini tampaknya menjadi pemicu para pelukis Abstrak yang tengah giat-giatnya membangun wacana dalam olah pemikiran intelektual untuk menangkap kesadaran proses kreatif dalam kurun 5 tahun ini dalam usungan manifesto Abstrak yang pertama kali dijejakan di awal 2004 kemudian dilesatkan pada 2005 di TIM, kemudian digelindingkan bagai bola salju kian menggumpal dalam perjalan seni abstrak di beberapa kota di TIM dan National Gallery Jakarta, Galer Semar Malang, Sika Contemporary Galler Ubud, dengan pameran 3 periode di Taman Budaya Jogjakarta. Geliatnya menampakan ketajaman pikirnya mengenai proses kreatif yang mengacu pada aspek spiritualitas sebagai wacana yang mengkerucut yang kemudian dilesapkan pada usungan paradigma yang tergali dalam tiap perjalanannya; nir-rupa, niskala, skala niskala dan entah wacana apalagi yang hendak dicuatkan sebagai pendalaman wacana seni abstrak senantiasa merujuk muatan spiritualitas kontekstual dan olah penjembatan atas penghayatan ritual penciptaannya yang paling personal.

Menelusuri Peran Teks Verbal –Visual dan Konteks Spiritual

Kebebasan berkesenian kembali membentuk pola-pola kecenderungan proses kreatif yang semakin spesifik, kendati terjadi berbagai pola-pola baru yang cenderung terkesan adanya sebuah arus yang seragam. Tampaknya terjadi representasi visual yang nyaris tunggal meskipun para perupa kita memiliki latar persoalan yang tentunya jauh berbeda, lantas adakah pemicu terkuatnya selain terbentuknya reinterpretasi yang seragam atas issu ‘arus’ tertentu yang menggilai kristalisasi visual yang seakan-akan tersepakati. Munculnya kecenderungan garis, warna, bentuk, tematik, maupun tematik yang sedang digemari pasar lelang seolah menjadi acuan pokok, ironisnya kelompok perupa tertentu membentuk sebuah kecenderungan kedaerahan meski representasinya tercerabut dari akarnya. Bahkan, ada asumsi jika pelukis Padang, Palembang atau Bali tidak tampak dekat dengan pola-pola representasi rekan sekomunitasnya dianggap tidak loyal, dan mereka memiliki kebanggaan luar biasa ketika lukisannya beraoma kedaerahan tersebut karena pasar transaksi kian menuntunya pada altar-altar lelang yang prestisius. Potensi tersebut dapat menjadi lokomotif yang segera menghantarkannya pada panggung seni rupa Asia maupun Internasional. Tanpa disadari kemunculannya sering menuai berbagai asumsi publik bahwa ini semacam gerakan kesenian yang mengindikasi atau justru menjadi indikasi dari jejaring sistem pasar seni rupa dewasa ini. Atau, sebuah upaya pembacaan ulang peta seni rupa kita yang pernah booming sebelumnya atau malah hanya pembacaan ulang karya-karya seni yang tengah bermain begitu ekspresif di perhelatan akbar seni rupa Asia yang kian mendidih.

Terdapat gejala penyeragaman virtuoso yang bebas menggelinding dalam wacana seni rupa kita, yakni munculnya teks-teks verbal yang acapkali menggelisahkan, mengelikan dan menjengkelkan karena kehadirannya terasa kenes serba kekanak-kanakan. Tak sedikit para perupa begitu menggilai citra graffiti pada street art untuk sebuah letupan kecil sekadar dapat dianggap sebagai seni kontemporer. Kekentalan ekspresif dan pejalnya apriori terhadap nihilisme ketika seorang perupa mengelontorkan nilai-nilai artistik yang familier kepada publik. Saya menangkap beberapa kecenderungan pola-pola kehadiran teks verbal yang kian marak, yakni; kehadiran teks verbal hadir sebagai teks, teks verbal hadir sebagai manifestasi membangun kepentingan konsepsual, atau teks verbal hadir sebagai sebuah transformasi ikon baru yang paling personal, atau malahan kecenderungan teks-teks verbal dieksploitasi atas kepanikannya mengelola laju perkembangan bahasa visual?

Representasi karya-karya yang paling tidak akhir-akhir ini marak bukan lagi periode kritik sosial yang pernah trend di penghujung 1990-an dan ketika konsep politik kita mengacu pada reformasi ke segala aspeknya tetapi kini representasikan gejala karya seni yang kini memiliki percepatan nilai investasi dalam ruang-ruang pameran dan balai-balai lelang dengan kecenderungan representasi visualnya. Sebagai perbandingan, sulit untuk membayangkan seperti apakah jadinya sebuah analisis ‘empiris’ mengenai Gorbachev, misalkan saja dalam konteks perubahan sosial secara sporadis. Era 1988-1992, analisis demikian itu mungkin akan berupa pertanyaan ‘semua berjalan lancar, bergerak teramat cepat’, kemudian memproduksi persoalan lain dalam setiap aspek kehidupan dengan perspektif perubahan sosial dan politis. Sebut saja, ketika pemuculan kembali citra visual yang cenderung seragam, sebagai indikasi telusur ketika teks dalam beberapa periodisasi menuturkan pada kita mengenai esensi dan makna atas produk proses kreatif misalnya pola dominasi proses penciptaan seniman-seniman besar seperti Jean-Michel Basquiat dengan lugas melesatkan teks verbal sebagai gugatan eksistensinya, sampai pada protes-protes Sudjojono hingga Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia. Kemudian pembacaan kita menjadi berbeda ketika Joan Miro terinspirasi brushstroke kaligrafi China-Jepang sebagai representasi kepekaan estetiknya dan upayanya menggali spirit oriental dalam karya surealisme ekspresifnya yang kemudian mewabah dalam ujud pembacaan ulang karya-karya monumentalnya. Artinya, bahwa Miro memiliki kesadaran yang berbeda ketika ia menangkap estetika kaligrafi tersebut dan ia tangkap spiritnya menjadi sebuah kekuatan spirit baru mengemuka dalam teks visual imajinatifnya. Made Wianta, pun memiliki kesenadaan dengan pola tersebut. Wianta, sebagai orang Timur yang katakanlah bersenyawa –mendarah daging- dengan teks-teks maupun konteks spiritual. Ketika ia mengelola kaligrafi China, Jepang, Bali, Jawa, maupun Arab, seorang Wianta tak lagi disibukan lagi makna teksnya namun ia lebih sublime bagaimana ia merepresentasikan citra-citra estetika baru dengan menggelandang interpretasi artistiknya yang melecutkan gugahan spitualitas personal. Kehadiran teks-teks verbalnya justru menjadi makna-makna baru ketika sarat muatan kecoh dan melesapkan maknanya secara perlahan. Ekspolrasi-eksplorasi teks verbal menjadi penting bagi perupa masa kini –dengan langgam non representasi object sejatinya- yang tengah bergerilya menemukan induk-induk citra baru pada ranah seni kontemporer yang tak lagi penting melakukan proyek pendalaman yang paling substantif. Acapkali mereka hanya mengolah teknik artistik atau sekadar kenes untuk mebghadirkan teks dalam tiap kesempatan proses kreatifnya sebatas ledakan emosi kecilnya, malah sebagai bumbu-bumbu penyedap meski ia faham itu yang seolah-olah seperti menggarami laut saja namun adapula tartil dalam mengeja berbagai gejala sosial, politik, psikologis, maupun merespon perubahan ekonomi. Menarik ketika mengamati beberapa perupa yang menggilai teks; Farhan Siki (Fall Victim to a Thinking, 200x180 cm, akrilik, marker pada kanvas), Jumaldi Alfi (Series Ingatan; number 09061, 150x145 cm, akrilik pada kanvas, 2006), Heri Kris (Dialog Religi Aku dan Burung, akrilik pada kanvas), Saftari (Kisah Nusantara, 250x140 cm, akrilik pada kanvas, 2007), S. Teddy D. (Art Merdeka Space, 100x100 cm, oil on canvas, 2007), Alit Sembodo (Confrontasi, 130x190 cm, akrilik pada kanvas, 2001), Slamet ‘Suseno’ Santoso (Can I Help You, 180x130 cm, akrilik pada kanvas, 2008), Putu Sutawijaya (Bintang Tujuh, 142x140 cm, mixed media, 2008, Ugo Untoro (Javasutra, 200x150 cm, akrilik pada kanvas, 2008), I Wayan Sudana Putra (Duniawi Indah Kini, 145x200 cm, akrilik pada kanvas, 2008), Hayatuddin (Allah Pasti Menyembuhkan Kalau Kmu Minta, 124x157 cm, mixed media, 2008), Tonni Volunteero (How Far You Can Jump, Love?, 140x140 cm, akrilik pada kanvas, 2008), Pius Sigit Kuncoro (Katuranggan, 100x150 cm, akrilik pada kanvas, 2008), Arie Dyanto (Mencabar Mimpi dalam Udara, 200x150 cm, mixed media, 2008), Feriko Edwardi (ESC-Escape, 145x146 cm, akrilik pada kanvas, 2008), Da’an Yahya (Founding Father, 137x180 cm, akrilik pada kanvas, 2008), I Wayan Kun Adnyana (Smile?, 120x90 cm, mixed media, 2008), Maslihar’Panjul’ (Dengan Segala Kerendahan Hati, 100x148 cm, akrilik pada kanvas, 2008), Ugy Sugiharto (No Freedom, 183x151 cm, oil on canvas), Indieguerillas (Hoax Will Tear us Apart, 250x150 cm, mixed media, 2008), dan sederet nama seperti Yunizar, Ibrahim, M. Irfan (I Can Go Any Where, 150x250 cm, mixed media, 2008), Deddy Sufriadi, Teguh Ostentrik, teks diinterpreasikan sebagai representasi sama kokohnya dengan bentuk-bentuk secara visual form ikon utama yang dapat mengejawantahkan pokok-pokok persoalan sekaligus sarat dengan permainan semantik sebagai olahan daya ganggu tersendiri. Beberapa karya Deddy Sufriadi acap menuturkan catatan-catatan hariannya –perjalanan pengalaman sejati- dalam beberapa karya terakhirnya. Deddy Sufriadi tampaknya ingin memindai persoalan spiritualitasnya untuk menapaki kematangan pribadinya, ia tengah mengasah sensibilitas estetika yang kian berkecamuk dalam pemikiran-pemikirannya akhir-akhir ini. Deddy seolah ingin merepresentasikan pernik-pernik jiwanya dalam kolase yang hendak dimaknai sebagai gejala personifikasi kesejatian hidup yang tumpang tindih dengan sengkarutnya problematik. Ada pula seperti Made Wianta dan Farhan Siki mengeksplorasi teks-teks verbal sampai batas terakhirnya yang kemudian pola pencitraannya sejatinya mengungkapkan nilai-nilai estetika baru, paling tidak pada kapasitas estetikanya yang kian mencuat dengan personalitas yang tak terbantahkan layaknya representasi teks seorang Basquiate. Wianta dan Farhan Siki seolah menjadikan kecemasan teks verbal dengan pengelolaan teknik, permainan semantic interpretation, pengeksploitasian bentuk-bentuk abjad –baik bersumber dari kaligrafi Arab, China, Jepang maupun Latin- untuk menggugah keterlibatan emosional dan pengkrucutan visi pemahaman nilai estetika. Namun tak sedikit perupa muda masa kini, memaknai kehadiran teks-teks verbal semata sebagai lecutan artikulasi yang hampir tak terpahami olehnya, atau malah mereka sekadar masuk pada arus ‘wacana’ sekaligus trend pasar saat ini. Ada semacam gugatan sosial menggejala secara permukaan pada beberapa karya perupa kita untuk mereinterpretasi kecemasan pasar wacana yang banyak dituding sebagai eksekutor atas produk kreatif, kemudian para perupa bebas menterjemahkan selera pasar dengan menyerangnya secara bertubi-tubi dan besar-besaran. Mereka menjadikan moment berharga ini ketika wacana memberi dukungan pembenaran yang juga bertubi-tubi sebagai penyokong sebuah upaya pelesakan seni rupa kita untuk segera berkiprah di ajang internasional. Nyaris tak ada lagi jarak untuk di jadikan ruang renung yang disediakan olek kritikus, pengamat, curator, akademisi maupun institusi yang melakukan perang urat syaraf terhadap gejala seganjil apapun selagi karya-karya tersebut tengah asyik dilahap pasar. Seakan-akan selera pasar dilegitimasi secara signifikan, penulis dan pengamat justru menjadi penonton sembari melantunkan puja-puji yang bias saja me-ninabobo-kan proses kreatifnya.

Hal ini sangat strategis bagi kedua pihak untuk saling menguntungkan dalam proses menata kembali substansi proses kreatifnya sekaligus menikmati kenyamanan di kastil-kastil pada puncak pencapaian yang fantastis. Kita bisa bersama-sama membentuk kerajaan-kerajaan kecil di puncak kejayaanya untuk mengasingkan diri, bermeditasi dan berpenetrasi bagi karya-karya spektakulernya kelak. Analogi tersebut menjadi acuan sementara kita untuk memaparkan paling tidak permukaan-permukaan yang kini tengah marak menjadi ikon pemunculan fenomenal tersebut dan memiliki daya jual tinggi nan laris manis yang mampu mempengaruhi pembentukan kecenderungan formal yang bermuara pada pola-pola penyeragaman visual form tentu tak lepas dari sebuah target-target tertentu kedua pihak yang saling mengacu setidaknya dengan tak menafikan content pada representasi seni apapun, idealnya.

Representasi dan Reinterpretasi Estetika ‘teoresasi-ideologi’

Sebuah interelasi yang menarik, mengacu pada konteks keindahan alamiah bebas -dalam ruang seni- tampak sebagai keindahan menurut pertimbangan selera murni, karena itu ia indah ’dalam-dirinya sendiri’. Ketika Kant mengangkat persoalan mengenai minat terhadap yang indah tidak secara empirik, tetapi a priori, dan persoalan minat terhadap yang indah ini bertentangan dengan pernyataan fundamental mengenai tidak adanya minat terhadap kesenangan-kesenangan estetik yang menimbulkan sebuah masalah baru dan menyempurnakan transisi dari sudut pandang selera ke sudut pandang jenius. Ini merupakan doktrin yang sama dikembangkan dalam hubungannya dengan kedua fenomena. Penting, dalam membangun dasar-dasar untuk membebaskan ’kritik terhadap selera’ dari prasangka-prasangka sensualistik dan rasionalistik. Persoalan tipe suatu objek dinilai secara estetik kemudian seluruh persoalan hubungan antara keindahan alam dan seni. Tidak dipertanyakan oleh masyarakat penikmatnya, lebih-lebih dijauhinya seperti halnya ketika kita berhadapan dengan karyanya. Tetapi dimensi pertanyaan ini dengan sendirinya terbuka bila seseorang berpikir jauh mendalam tentang perspektif cita rasa estetik dengan melampauinya. Makna menarik dari sesuatu yang indah merupakan persoalan yang benar-benar operatif dalam estetika Kantian.

Dalam wacana kritik, pertimbangan estetik bukan persoalan posisi jenius yang mengeluarkan posisi cita rasa, melainkan pencapaian konsep tentang jenius hanya menempati produk seni secara estetis. Wacana kini bergeser, dimana sebuah latar budaya metafisik dari kerekatan konsep tentang simbol secara keseluruhan, mungkin saja representrasi budayanya ditemukan dari sesuatu yang terindera. Atau malah merepresentasikan hal fisik ditemukan dari sesuatu yang justru tak terindera. Karena bukan semata keniskalaan yang gelap tetapi pengaliran dan refleksi terhadap kebenaran. Konsep simbol modern tidak dapat dipahami tanpa fungsi dan latar belakang yang menguatkanya begitu juga pada seni rupa kontemporer yang menajam pada upaya representasi dan reinterpretasi gejala kebudayaan masyarakat sebagai acuan pokok, meski kadang-kadang terganjal dengan asumsi para pemikirnya ketika konsensusnya mendesak pada citra penggalian kembali local genius yang dinilai menjadi identitas kekuatan karya tersebut mencuat meski seni telah dipahami sebagai sesuatu yang pluralistik.

Jelas, saya juga kita tidak lagi bermaksud hanya menciptakan relasi antara estetik dengan ‘estetika transendental’ ruang dan waktu kemudian tersublim oleh sebuah seni kritisisme terhadap pertimbangan estetik. Tampaknya telah terjadi transformasi ide transendental tentang cita rasa ke dalam tuntutan ruang spiritual semua pihak. Tetapi jika perbedaan antara realitas dan pencitraan –intersubjektif- menentukan konsepsi yang mampu memecahkan kerangka kerja alam inklusif. Seni pada persfektifnya menegaskan klaim otonomi seni terhadap supremasi atas value itu sendiri.

Kritisisme fenomenologis terhadap psikologis dan epistemologi abad kesembilan belas bahwa kita terbebas dari konsep-konsep yang mencegah sebuah pemahaman terhadap form estetik. Ide imitasi alam, penampakan irealitas, ilusi magis , mimpi menunjukan korelasi yang berbeda dengan estetik. Tetapi kembalinya fenomenologi kepada pengalaman estetik menyadarkan pemikiran kita tentang kebenaran aktual sesuai dengan pengalaman estetik dan hakikat pengalaman yang lebih genuin terhadap realitas. Sebagai kesadaran estetik menegaskan sebuah representasi secara total hubungan karya seni dan dunianya tidak lagi bermakna, sebaliknya kesadaran estetik adalah sentra pengalaman. Gagasan ini nyaris identik dengan tradisi, dengan implementasi praksis -eksperimentasi yang terpadu dan teruji- dengan baik berabada-abad. Idealisme memiliki praktik spiritual mendalam, terpadu dan teruji, tergenerasi tidak sekadar menjadi spekulasi abstrak tanpa konfirmasi apapun. Dengan ketiadaan konfirmasi dan keruntuhan kosmis, idealisme jadi sekadar spekulasi tanpa berhasil mengintegrasikan fragmentasi modernitas. Paradigma bukan sekadar interpretasi lain atas realitas, lebih jauh lagi paradigma dikonstruksi secara kultural dan memberi ruang renung bagi paradigma baru dengan pandangan dunia spiritual secara holistik.

Alih-alih filsafat Post-structuralisme mengambil gagasan serupa, tetapi sedikit lebih liar dan jauh dari nuansa spiritual: realitas yang sampai pada kita bukanlah persepsi tetapi interpretasi. Meski mental imagery dari suatu objek sebagian memang merupakan spiritual dipandu secara signifikan oleh aspek-aspek intrinsik dari pengetahuan inderawi. Interpretasi menjadi kemutlakan pada perwujudan pola-pola baku dan terumuskan, haruskah kita percaya pada kemampuan kita untuk berpikir, ataukah kemampuan kita untuk mengalami langsung secara empirik? Tampaknya kita meyakini keduanya, tetapi perpecahan pun terjadi ketika kita mulai mempersoalkan bagaimana merepresentasikan pikiran kita secara aktual. Kita lebih cenderung pada aspek umum memperingan kita untuk tidak sekadar menguniversalisasikan tinjauan aspek khusus, sementara para perupa dunia lebih memilih kontingensi pun terusik perhatiannya ketika perupa lain berpikir secara inheren.

Pada beberapa karya seni yang kian ’diburu’ oleh pialang pasar lelang seni dunia kini dapat ditelusuri dari citra-citra seni post-modernisme dalam reinterpretasi ruang kontemplasi begitu sarat, kemudian membuka peluang interpretasi yang tidak bisa berjarak dengan kepahamannya dan kesadaranya tentang sebuah penghayatan serta pendalaman megenai sesuatu yang tergali sebagai subject matter . Namun, jika kita amati secara seksama karya-karya seni yang kemudian memperoleh label seni kontemporer mencuat paling representatif justru dari karya-karya seni abstrak ’non-representative object’ yang mengemuka. Permainan aspek visual yang muncul dari kedalaman pemahaman kognisi dan afeksinya yang melampaui aspek fisik yang nyaris tak terdedah oleh banyak peneliti. Meski kadang tak sedikit pelukis abstrak yang bersikap kenes, dengan menambahi diom formal tertentu untuk memberi citra kontemporer dan supaya pasar sering buntu meresponse karya-karya abstrak murni, tetapi dengan sedikit tingkah autis –dicoret-coret tanpa beban nilai apapun- menjadikannya langsung dipahami pasar yang cenderung fluktuatif cita rasa berdasarkan kepentingan tertentu itu. Lantas mereka menjadikan ekspresi sebagai bagian terpenting olah spiritualitas yang dikelolanya dengan persepsi inter-subjektif ditebar dengan kekuatan getar ekspresi yang tak terperhitungkan atau malah kecenderungan representasi karya sebaliknya yang emotif dan ada semacam pola pengabaian nilai atas seni itu sendiri. Aspek-aspek teks visualnya acap kali melampaui kendali konsepsi, artinya kepekaan estetik semakin menajam di tiap proses penciptaan meskipum lazimnya teks visual selaras atau linier dengan pokok pikiran. Lantas, ada kesan luapan emosinya menyadi penting sehingga ekses ledakannya menempati prioritas utama ketimbang upaya penyematan sebuah nilai di dalamnya. Memang, pasar tak lagi acuh dengan muatan nilai seni yang dikaji secara njelimet dan kupasan-kupasan estetika yang dianggap memuakan di mata kolektor seni, art dealer, balai lelang atau bahkan kolektor militan yang idealis. Hal utama yang berperan adalah kecenderungan pasar tengah berkiblat kemana dan siapa merujuk siapa bukan lagi mempersoalkan siapa merujuk apa dan menggali potensi sebuah estetika kesenian tertentu, justru yang terjadi adalah bagaimana karya seni itu dapat diserap pasar kapitalis lebih cepat dengan cita rasa kolektif menjadi rujukan spekulatif. Menariknya justru pada keadaan semacam ini jejaringnya mampu mendongkrak nilai dari komoditi atau investasinya dengan percepatan nilai yang nyaris tak terbatas. Ironisnya justru pelaku yang berkutat pada wacanapun tak lagi mampu mengendalikan apalagi membelokan arah mata angin wacana pasar yang nyaris tak terkendali atau bahkan keadaan semacam ini justru peran kurator, kritikus, intelektual justru banyak yang memanfaatkan dan dimanfaatkan. Tak sedikit justru ia berada pada arus pembenaran selera pasar yang lebih mampu memberi kenyaman hidup yang lebih mapan ketimbang harus perang urat nadi dengan pemain pasar yang kita bisa maghfum kwalifikasi kepahamannya atas kandungan estetika murni yang makin terabaikan atas estetika selera yang didasarkan atas berbagai pertimbangan dan perimbangan cashflow apapun namanya serta pretensi tertentu dalam konteks investasi.

M. Rusnoto Susanto

* Perupa,

Penulis Seni Rupa,

Dosen Luar Biasa Seni Rupa UNJ

Mahasiswa Program Magister ISI Yogyakarta



1 Data sejumlah perupa Asia yang mulai meramaikan pasar seni rupa dunia dan menyelinap dalam lapis-lapis peta seni rupa kita yang tentu saja menggali nilai-nilai lokal, misalnya para perupa China; Liu Xiantao (1968), Xiao Hong (1966), Yang Mian (1970), Xin Haizhou (1966), Song Yonghong (1966), Zeng Fanzhi (1964), Zheng Delong (1976), Miao Xiaochun (1964), Ma Yue (1968), Feng Zhengjie (1968); perupa Thailand seperti Vasan Sitthiket (1957), Tawatchai Puntusawasdi (1971), Thaweesak Srithongde (1970), Sakarin Krue-On (1965), Niti Watuya (1944), Natee Utarit (1970), Michael Shaowanasai (1964), Manit Zhengjie (1968); perupa Thailand seperti Vasan Sitthiket (1957), Tawatchai Puntusawasdi (1971), Thaweesak Srithongde (1970), Sakarin Krue-On (1965), Niti Watuya (1944), Natee Utarit (1970), Michael Shaowanasai (1964), Manit Sriwanichpoom (1961), Kamin Lertchaiprasert (1964), Jakapan Villasineekul (1964),; perupa Vietnam diantaranya Dang Xuan Hoa (1959), Do Hoang Tuong (1960), Hoang Duong Gam (1974), Nguyen Quang Huy (1971), Tran Luong (1960), Truong Tan (1963),; perupa Philipina misalnya Wire Rommel Tuazon (1973), Winner Jumalon (1984), Rodel Tapaya Garcia (1980), Ronald Ventura (1973), Ronald ‘Poklong’ Anading (1978), Nona M. Garcia (1978), Nunelucio Alvarado (1950), Patricia Eustaquio (1978), Manuel Ocampo (1965), Maya Munoz (1972), Louie Cordero (1978), Lena Cobangpang (1976), Kiko Escora (1970), Jonathan Olazo (1969), Fernando Escora (1971), Alfredo Esquuillo, Jr (1972); perupa Malaysia antara lain Ahmad Zajii Anwar (1954), Chong Siew Ying (1969), Jailani Abu Hasan (1863), Nadiah Bamadhaj (1968), Raja Shahriman Raja Aziddin (1967), Yee I-Lann (1971); Singapura diantaranya Hong Sek Chern (1967), Ian Woo (1967), Jason Lim (1966), Jimmy Ong (1964), Susie Wong (1956), Vincent Leow (1961). Nama-nama yang berada di panggung seni rupa kontemporer dengan ‘gaya pribadi’ yang kuat. Simryn Gill (Singapura) misalnya, berkarya dengan media fotografi, Thaweesak Srithongdee, Jakapan Vilasineekul, dan Sakarin Krue-On (Thailand) menggali potensi ornamentasi, teknologi, dan mitos, Manuel Ocampo atau Alfredo Esquillo, Jr (Philipina) yang mengekploitasi ihwal religiusitas dan problem sosial masyarakat dan lain-lainnya terasa ‘original’. (Suwarno Wisetrotomo, Visual Arts, 2008:52)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar