SOULSCAPE
MELACAK RUANG SPIRITUAL DAN PENDALAMAN NILAI ESTETIKA SEBAGAI MANIFESTASI PROSES KREATIF
Netok Sawiji_Rusnoto Susanto
Deteritorialisasi spiritual adalah kehidupan spiritualitas yang tanpa kedudukan, kepastian atau ketetapan. Hidup mengalir mengikuti energinya sendiri, dalam keseketikaan dan kesesaatan yang terus-menerus, tanpa ada konsistensi menuju pada sebuah tujuan yang pasti.
[Guattari]
Pengembaraan perenungan dan pemikiran seorang seniman dalam beberapa sisi tinjauan teks mengenai soulscape tampaknya seperti sebuah proyek ambisius. Betapa tidak, subject matter yang menjadi bingkai proses kreatif sekaligus dasar-dasar pemikirannya adalah jiwa. Sejatinya tujuh seniman inipun berpotensi meledakan kebuntuan-kebuntuan dengan lebih ambisius lagi untuk menjadikannya sebagai gerilya jiwa. Jiwa yang intersubjektif, jiwa yang tak terperi dan jiwa yang tak mudah untuk mengeksplorasi tanda-tanda ketika kita tak bersungguh-sungguh meletakan kesadaran mengamatinya, merasakannya, menjumputnya sebagai kesadaran spiritual yang dianyamnya sebagai scape. Jiwa dijelajahi melalui pelbagai cara pembentangannya mulai dari pendedahan dunia kehidupan sehari-hari dengan memperlihatkan pelbagai aspek fenomenologis, dunia tanda yang dihantamkan persis di hadapan kita dengan perubahan besar budaya dan pencapaian puncaknya pada hiperrealitas media, dan membentangkan pelbagai dimensi-dimensi dunia realitas kontemporer dengan kompleksitas perubahannya hingga pada penjelajahan spiritual dan religi. Sebuah dunia baru bagi orang lain ketika tak muncul artikuasi meskipun baginya secara personal menjadi sebuah ikatan psikis yang sangat dipahaminya hingga diyakininya sebagai ruh tak terpisahkan.
Upaya pembacaan kembali interelasi teks visual maupun konseptual muncul berdampingan dengan aspek kontekstual dimana teks tersebut lahir. Teks lahir karena tuntutan aspek kreatif dimana kebaruan menjadi mengedepan maupun muncul sebagai sebuah tanggapan kritis terhadap fenomena tertentu yang membangunnya. Pencermatan terhadap teks-teks yang berserak pada serangkaian proses kreatif seorang kreator seringkali dilakukan secara berjarak oleh seorang penulis yang sama sekali tak pernah terlibat secara totalitas emosional pada proses tersebut. Tampaknya menarik ketika proses pembacaan dan pendokumentasian dilakukan oleh penulis yang memiliki hubungan/relationship begitu dekat atau malah perupa tersebut yang menuliskan pemikiran dan proses kreatifnya hingga proses pembacaannya dengan pola bersilang, artinya diantara perupa saling melakukan pembacaan secara bergantian dalam proses bedah karya sebagai konfirmasi. Dalam hal ini penulis hendak menginventarisasi data-data sebagai upaya merumuskan kembali ruang spiritual, pemikiran dan pendalaman estetika yang berserak. Penelusuran ruang spiritual lazim digali melalui pendekatan spiritualitas sebagai nilai yang disematkan dalam gugus pencitraan atas gagasan-gagasan kreatifnya, disamping tentu konsepsi dan pernyataan sikapnya.
Soulscape: Semiotika Realitas dan Spiritualitas Virtualisasi Hasrat
Bertrand Russell (2007: 229) mengingatkan kita kembali pada pemikiran Aristoteles bahwa tubuh dan jiwa saling berkaitan sebagai materi dan forma: jiwa tentunya adalah substansi dalam pengertian sebagai forma dari suatu tubuh material yang memiliki potensialitas kehidupan di dalamnya. Namun substansi adalah aktualitas dan dengan begitu jiwa adalah aktualitas dari tubuh yang dicirikan di atas maka jiwa adalah substansi dalam arti berkaitan dengan formula definitif yang terdapat pada esensi.[1] Ini tentu dapat dijadikan rujukan sebuah kesadaran kita semua khususnya praktisi kreatif dalam menggagas subjek-subjek amatanya melalui penelusuran dan olah referensi yang dapat menterjemahkan obsesinya dan pemikiran intelektualnya.
Pendoktrinan mengenai materi dan forma dalam filsafat Aristoteles berkaitan dengan perbedaan potensialitas dan aktualitas. Materi mentah dikonsepsikan sebagai potensialitas forma; semua perubahan adalah sebuah evolusi dalam arti setelah terjadi perubahan tertentu memiliki lebih banyak forma dari pada sebelumnya. Konsep potensialitas dalam berbagai aspek terkesan luwes jika konsep tersebut digunakan sedemikian rupa hingga dapat menginterpretasikan pernyataan kita ke dalam bentuk dimana konsep itu sendiri tak hadir. Hal ini semacam bilah-bilah pisau untuk membedah aspek hasrat ke kedalaman ruang spiritual sekaligus upaya penelusuran kembali dimensi estetika secara integral.
Soulscape, tidak semata mengartikulasikan tanda-tanda secara harafiah yang muncul ke permukaan pemahaman kita mengenai makna kata sebagai pemandangan jiwa. Soulscape secara interpretatif bagi tujuh perupa ini dipandang sebagai sebuah media manifestasi dalam menginterpretasikan pemikiran, kegelisahan, dan berbagai nilai spiritual yang dimunculkan dengan kesadaran bahwa apa-apa yang menjadi perenungannya merupakan simphony ruang terdalam (inner feeling). Adapun artikulasi-artikulasi tanda mengemuka dalam nuansa yang personal dan unik. Perenungan atas pemikiran-pemikiran yang jernih muncul sebagai dasar filosofis dalam proses penciptaan dan terus berkembang ketika proses tersebut didiskusikan secara intensif antar perupa dan penulis dengan kemelekatan kedekatannya tanpa mengurangi nilai objektivitas.
Hasrat, hampir tak ada kekuatan yang mampu membatasinya karena sesungguhnya ia bertumbuh, berkembang, membiak dengan kecepatan tinggi dan tanpa kendali sehingga seringkali melampaui batas-batas dan cenderung over-ekstasi. Ia mengalir bebas melampaui batas-batas ruang yang bersifat alami dan kecepatan dimensi waktu, ketika hasrat meletakan kita pada situasi tanpa grafitasi –escape velocity- mengapung tanpa kekuatan diluar dirinya yang mampu mengendalikan karena secara mekanis hasrat bekerja melawan arah mencari pelepasan-pelepasan arus dalam ruang material maupun dimensi spiritual.
Hasrat berhadapan langsung dengan bentuk-bentuk larangan dan aturan-aturan lebih-lebih pada wilayah transendental (metafisik) mengalir begitu bebas. Namun, di era perkembangan teknologi informasi yang piawai mencapai kemungkinan menciptakan semacam solusi pencitraan (imagenary solution), yakni pencapaian pencitraan pelbagai bentuk substitusi dari dunia fisika maupun dunia metafisika (spiritual) dalam bentuk simulasi pencitraan. (Piliang,2006: 169)[2]
Hasrat tentu menjadi anak kunci dari serangkaian aktivitas spiritual. Hasratlah yang melesakan kekuatannya menempatkan manusia pada dimensi spiritual tertentu dalam berbagai perspektifnya. Dari pandangan spiritual semacam ini sepertinya mengesankan manusia terseret pada hasrat-hasrat konsumerisme, gaya hidup jet set, seksualitas dan bentuk-bentuk dimensi spiritualitas baru yang berkembang pesat dalam masyarakat kontemporer yang tak kunjung menemukan objeknya. Meskipun demikian, di sinilah letak keunikan dimensi spiritual dalam penjelajahan, pengolahan, pembacaannya dan pemproduksian maknanya. Keluasan dimensinya menjadikan ruang terkaya tanpa batas.
Menitik beratkan pada aspek proses edukasi maka bingkai soulscape dianggap potensial sebagai upaya penggalian dimensi-ruang spiritualitas untuk melakukan pendalaman nilai estetika secara inheren. Saling isi dalam proses pematangan itu sendiri. Hal yang cukup menarik, tujuh perupa yang terlibat dalam satu bingkai Soulscape memiliki latar belakang budaya, suku bangsa, latar belakang intelektual, background pendidikan dan tingkat kematangan spiritual yang berbeda. Masing-masing perupa mengusung subject matter, penggalian ruang spiritual dan memanifestasikan olah kreatifnya secara berbeda. Pandangan indivudualnya mengenai proses penciptaan dengan landasan filosofis yang saling melengkapi satu sama lain menjadikannya kekayaan spiritual dan intelektual yang kian melembaga. Berbeda pula cara mengatasi problem teknik artistik dan pencapaian estetikanya. Kita dapat melakukan konfirmasi detail pada setiap poin-poin pemikiran sekaligus melakukan konfirmasi pada kapasitas olah visualnya.
Soul-scape sebuah interelasi dunia dalam (psikis) dan dunia luar (responsibilitas fisik) yang menjembatani proses perenungan atas aktivitas-aktivitas imajiner pada ruang virtual, kemudian menjadikanya media untuk mentransform perenungan maupun pemikiran kreatif ke dalam bahasa visual. Upaya reinterpretasi kesejatian seorang seniman bukan sekadar menjumput inti namun lebih kepada pemaknaan aktivitas ruhani sebagai referensi kecerdasannya untuk mengolah sekaligus merumuskan pesan terdalam dari soul-scape. Bagaimana seorang seniman dengan kesadaran dan sensibilitas tertentu mampu menangkap gejala-gejala psikis –pengembaraan spiritualitas- dan menghubungkan berbagai aspek baik secara humanistik maupun keIllahian pada satu titik temu yang dikait dengan keluasan horizon virtual dalam bentangan landscape sebagai interpretasi inter-subyektif yang paling personal.
Soulscape meyakinkan saya bahwa sebuah kesejatian ‘ruang dalam’ –inner- yang kemudian dapat merefleksikan identitas humanistik yang paling personal dan mampu mengaktualisasikan impian-impian besar. Monalisa tak terlahir dan mencuatkan fenomena masa lalu dan relasi ke masa kini, bukan tidak mungkin Monalisa tetap bersemayam dalam dunia imajiner seorang Leonardo da Vinci jika seorang da Vinci tidak begitu menggilai impian-impiannya. Vincent Van Gogh tidak sekadar menjumput Sun Flower di sudut studio dan kamarnya ketika ia frustasi memindai landscape bunga matahari yang terbentang sebagai objek on the spotnya bersama rival-rivalnya, yang berujung pada tikai rivalitas yang mungkin menurutnya sudah tak lagi wajar. Rekannya mempresentasikan bunga matahari sebagai bunga matahari tanpa perenungan kritis terhadapnya namun lebih pada proses penikmatan keindahan visual secara material.
Berbeda dengan Van Gogh yang mencoba menangkap esensi dunia dalamnya sebagai refleksi psikisnya, ia menterjemahkan objek yang dihadapannya sebagai picu kesadaran mengenai realitas kehidupan dan ia berhasil merepresentasikan kegetiran, kelayuan dan kekusaman kehidupan jiwanya sebagai representasi ralitas sosial ketika itu dapat dijejaki pada kelopak-kelopak yang layu, merunduk meski barik-barik tegas pada objek lagi-lagi tak lepas dari karakteristik Vincent van Gogh yang tegas dengan realitas hidupnya yang keras. Sekali lagi Vincent van Gogh dalam karya-karyanya menyelami persepsi, interpretasi, content –makna- pada lapis-lapis terdalam bukan pemajaan/pemujaan visual. Mondrian, W. Kandinsky dan anak jaman lainnya sebagian besar mengelola subject matter ke dalam payung besar soul-scape karya-karya besar dunia.
Konteks tersebut menjadikannya sebuah mahadaya pada kehidupan aktivitas kreatif ke dalam bentuk apapun dalam melahirkan narasi-narasi kebudayaan secara implisit. Sebuah perluasan dari perubahan narasi besar-besaran dewasa ini diusung masyarakat kontemporer dengan pola pembentukan budaya secara kontinu dan disadari sebagai suatu perubahan dari narasi kebudayaan sebelumnya. Namun, hal tersebut muncul dan dicuatkankan sekaligus oleh sebuah realitas-realitas sosial tertentu yang begitu menggejala sebagai sebuah kecenderungan baru atas keseragaman pelbagai persoalan masa kini. Realitas-realitas baru yang dipresentasikan melalui kecenderungan munculnya produk-produk budaya baru dan konstruksi sosial sebagai indikasi perkembangannya. Soulscape sejatinya sebuah reinterpretasi kesejatian kita dalam menyidik sebuah ketajaman spiritual ketika kita mampu merekam gejala pergerakan, perubahan serta pergeseran virtual dalam jiwa kita sekaligus mendokumentasikan esensi dan eksistensinya.
Namun, sejatinya sebuah penyidikan dan penyematan jiwa yang dilesakan ke dalam proses penciptaanya sehingga menaikan sekian derajat nilai dari sesuatu menjadi -sumber inspirasi- acuannya. Penulis melakukan beberapa pendekatan yang melandasi proses penciptaan agar mampu membangun wacana, kesadaran, gagasan dan sikap serta tindakan penulis untuk mengomunikasikan renungan-renungan kritis atas berbagai fenomena kontemporer.
Melacak Ruang Spiritual, Pendalaman Nilai estetika dan Manifestasi Proses Kreatif
Keindahan alamiah tidak hanya mempunyai fungsi praktis metodologis tetapi juga mempunyai salah satu content, secara jelas mempertimbangkan banyak pokok ini dari doktrinnya. Alam yang indah bisa menimbulkan minat langsung, yaitu minat spiritual. Dengan menemukan bentuk-bentuk alam yang indah, pokok-pokok yang indah melampaui dirinya sendiri pada pemikiran bahwa alam menghasilkan konsep estetika kebaruan pemikiran spiritualitas. Seni tidak sekadar representasi indah dari sebuah objek melainkan impresi ide-ide estetik yaitu sesuatu yang melampaui semua konsepsinya.
Sebuah doktrin mengenai ide-ide estetik di representasikan seorang perupa secara tak terbatas sebagai upaya perluasan konsep tertentu yang mendorong pada area permainan bebas kemampuan spiritualitasnya. Dasar pemikirannya terbebas dari kesalahan dan logikalitas yang mengesankan pada proses pencapaian puncak pada fungsi konsep genius dalam nilai estetik dengan dasar interpretasi terhadap kemampuan yang lebih rinci untuk merepresentasikan kristalisasi ide-ide estetik yang ditunjukkan dengan tidak sekadar mengalihkan perhatiannya pada filsafat transendental dan mendorong ke dalam cul-de-sac (jalan buntu) dari psikologi citra artistiknya. Irasionalitas genius menghasilkan produktifitas unsur ciptaan yang memberikan keterkaitan makna baik dalam bentuk uniknya maupun sensasi misteri dari kesan yang tidak pernah mampu direpresentasikan dalam bahasa visual apapun.
Kritik terhadap pertimbangan estetik bukan persoalan posisi genius yang mengeluarkan posisi cita rasa, melainkan pencapaian konsep tentang genius hanya menempati produk seni secara estetis. Wacana kini bergeser, ada sebuah latar belakang metafisis dari konsep tentang simbol secara keseluruhan, mungkin saja representrasi keIllahian kemudian diketemukan dari sesuatu yang terindera. Karena bukan semata keniskalaan yang gelap tetapi pengaliran dan refleksi terhadap kebenaran. Konsep simbol modern tidak dapat dipahami tanpa fungsi dan latar belakang metafisik sebelumnya.
Bahkan ide kesadaran estetik fundamental memberi paradigma baru terhadap alegori yang telah kita bicarakan menunjukan bahwa kesadaran estetik terdapat unsur dogmatik. Perbedaan antara kesadaran mistis dan kesadaran estetis itu tidak mutlak, bukan sekadar konsep seni itu sendiri melainkan sebuah produk kesadaran estetik. Jelas, kita tidak lagi bermaksud hanya menciptakan relasi antara estetik dengan ‘estetika transendental’ ruang dan waktu kemudian tersublim oleh sebuah seni sebagai kritisisme terhadap pertimbangan estetik. Tampaknya telah terjadi transformasi ide transendental tentang cita rasa ke dalam tuntutan ruang spiritual. Tetapi jika perbedaan antara realitas dan pencitraan –intersubjektif- menentukan konsepsi yang memecahkan kerangka kerja alam inklusif. Seni pada persfektifnya menegaskan klaim otonominya sendiri terhadap supremasi.
Kritisisme fenomenologis terhadap psikologis dan epistemologi abad ke-19 bahwa kita terbebas dari konsep-konsep yang mencegah sebuah pemahaman terhadap form estetik. Ide imitasi alam, penampakan irealitas, ilusi magis , mimpi menunjukan korelasi yang berbeda dengan estetik. Tetapi kembalinya fenomenologi kepada pengalaman estetik menyadarkan pemikiran kita tentang kebenaran aktual sesuai dengan pengalaman estetik dan hakikat pengalaman yang lebih genuin terhadap realitas. Sebagai kesadaran estetik menegaskan sebuah representasi secara total hubungan karya seni dan dunianya tidak lagi bermakna, sebaliknya kesadaran estetik adalah sentra pengalaman.
Gagasan ini nyaris identik dengan tradisi, implementasi praktis –eksperimentasi- yang terpadu dan teruji dengan baik berabada-abad. Idealisme memiliki praktik spiritual mendalam, terpadu dan teruji tergenerasi tidak sekadar menjadi spekulasi abstrak tanpa konfirmasi apapun. Dengan ketiadaan konfirmasi dan keruntuhan kosmis, idealisme jadi sekadar spekulasi tanpa berhasil mengintegrasikan fragmentasi modernitas. Paradigma bukan sekadar interpretasi lain atas realitas, lebih jauh lagi paradigma dikontruksi secara kultural dan memberi ruang renung bagi paradigma baru dengan pandangan dunia spiritual secara holistik.
1. Garis Sebagai Manifestasi Spiritualitas AT Sitompul
AT. Sitompul dalam karya seni grafis monotype memperlakukan unsur garis sebagai representasi pemahaman pemikirannya tentang ritus-ritus renungan dan gejolak psikisnya mengenai berbagai persoalan kehidupan. Dalam pemahamannya mengenai psycho-visual sangat menarik karena ia dengan bebas bermain –eksplorasi estetik- dan memainkan emosi penikmat seni dengan permainan ilusi optik yang vibrasinya begitu inovatif. Saya melihat hal yang paling spesifik dalam proses kreatifnya, pada kemampuan craftmanshipnya memanifestasikan perasaan dan emosi melalui kepiawaian memainkan ribuan garis-garis yang nyaris konstan dan kondisi emosi yang begitu terjaga muatan ekspresinya kemudian kecerdasannya dalam menawarkan temuan-temuan solusi teknis grafis yang tak banyak perupa lain lakukan. Tompul memiliki daya pukau yang luar biasa pada sebagian besar olah kreatifnya, ini tampaknya yang ia sadari sebagai mortir penakluk untuk memposisikan karya seni pada rivalitasnya. Dan, keunikan lainnya ketika ia tetap berpijak pada penggalian nilai-nilai local genius dimana ia ditempa berbagai kebudayaan tradisi dalam perspektif estetika timur. Bagaimana ia tetap menggali muatan filosofis ulos dengan estetika lokal Batak Karo dan berbagai influence karya-karya seni tradisi masyarakat Timur lainnya seperti seni tradisi tekstil Jepang dan berbagai ragam hias pada tekstil maupun pahatan pada koin China atau mungkin tradisi tekstil ’Kain Sari’ India tanpa ia sadari tereduksi dalam representasi atau paparan visualnya. Sebuah influence dari aspek lokal kebudayaan yang lekat dalam pandangan dan pemahamannya sehari-hari.
Tetapi, memahami bahwa setiap tradisi kebudayaan cenderung untuk mengoreksi kesalahannya ke arah yang berlawanan. Sama halnya, ketika tradisi Barat sudah mencapai titik puncak naturalisme, maka segera pula ia mengambil arah yang berlawanan: anti naturalisme. Hal ini bermula pada impresionisme periode terakhir, dan mencapai puncaknya pada periode abstrak sekarang ini. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa hal itu terjadi karena seorang seniman atau beberapa seniman telah mengambil keputusan untuk mengurangi ekses-ekses dari lukisan-lukisan realistis, bahwa makna historis dari seni abstrak adalah sekedar sebagai penyembuh penyakit itu, tidak. Sayapun tidak bermaksud mengatakan bahwa lukisan realistik dan naturalistik memerlukan penyembuhan itu. Disadari atau tak disadari, motivasi seniman-seniman abstrak yang pertama sampai sekarang ini adalah lain dari alasan-alasan di atas. Impresionisme, misalnya, bermula sebagai usaha untuk menyempurnakan naturalisme. Sepanjang sejarah kesenian tidak pernah terjadi di jaman ini, sebuah konsekwensi selalu terluput dari kehendak.
Setiap sivilasi dan setiap tradisi kebudayaan nampaknya memiliki kemampuan untuk penyembuhan diri serta koreksi diri yang secara otomatis berlangsung. Apabila suatu tradisi tertentu nyeleweng terlalu jauh ke suatu arah tertentu maka ia akan meluruskan kembali arahnya kearah yang sebaliknya. Satu-satunya masalah adalah bahwa peradaban mempersembahkan energi mental untuk produksi faedah-faedah serta hal-hal yang bersifat materiil, dan bahwa kebudayaan meletakkan tekanan atas aktivitas yang berpamrih serta bertujuan. Hal ini tercermin dalam kesenian kita yang seringkali diteliti, meletakkan tekanan atas gerak perkembangan dan hasil sebagai sebuah dinamika proses kreatif. Sebagai analogi, musik misalnya. Bandingkan musik Barat, yang secara relatif sangat memperhatikan plot serta struktur keseluruhan dan dengan demikian secara relatif tak begitu memperhatikan kiasan-kiasan, bentuk-bentuk dan ketelitan yang ornamental sifatnya: pikirkan betapa lamban puisi Cina dan Jepang kalau dibandingkan dengan puisi Barat, dan betapa gemar puisi Timur tersebut berputar pada situasi-situasi statis; dan betapa tak-pasti kecenderungan terhadap logika penceritaan pada fiksi non-Barat. Renungkan betapa berbelit-belitnya puisi Arab kalau dibandingkan bahkan dengan puisi lirik Barat yang paling bertele-tele sekalipun. Dan tentang musik non-Barat, bukankah selalu terdengar jauh lebih monoton dari musik Barat?
Nah, bagaimana seni Barat mengimbangi, mengoreksi, atau setidaknya menilai tekanan yang diletakkannya atas dinamika –suatu tekanan yang mungkin menimbulkan ekses tapi mungkin juga tidak? Lantas bagaimana kehidupan Barat itu sendiri mengimbangi, mengoreksi, atau setidaknya menilai keterlibatannya dalam produksi matiriil serta aktivitas yang bertujuan itu? Tetapi dalam Seni sebuah jawaban rupanya tengah menampakkan diri, dan bentuk sebagian jawaban itu adalah seni abstrak.
Seni abstrak bisa dikatakan universal, dan kaligrafi Jepang serta Cina adalah kuas -abstrak– dalam pengertian bahwa sedikit orang Barat yang bisa membaca karakter tulisan Jepang dan Cina. Tetapi di Barat, baru limapuluh tahun yang terakhir ini hal-hal yang disebut lukisan-lukisan abstrak serta seni patung abstrak muncul. Yang membedakan adalah bahwa mereka semata-mata adalah aspek insidental atau setting dari benda-benda lain diluar dirinya dan menantang kemampuan kita untuk kontemplasi -tanpa- pamrih dengan cara yang lebih membutuhkan konsentrasi serta kesadaran, lebih dari hal-hal lain yang saya ketahui dalam kesenian. Musik adalah pada esensinya seni abstrak, tetapi bahkan pada musik yang paling abstrakpun, tak peduli itu karya Bethoven ataupun Mozart yang banyak dipaparkan secara memukau dari era 1950-an hingga kini, bagaimana wacana seni abstrak dibangkitkan kembali.
Arti serta sejarah yang lebih impersonal serta jauh lebih umum telah menentukan bahwa Kebudayaan Barat telah memilih seni abstrak sebagai penyembuh. Dalam pengertian itu, seni yang nampaknya baru ini berkembang sebagai ihtisar dari segala sesuatu yang diperlukan kontemplasi tanpa pamrih, dan juga sekaligus sebagai tantangan serta celaan terhadap masyarakat yang dengan tidak sehat mengembangkan nilai intrinsik dari aktivitas bermaksud dan berpamrih. Kemudian meletakan seni abstrak lebih sebagai relief, menjadi contoh dari sesuatu yang tidak harus memiliki arti lain, atau berguna untuk hal lain, diluar dirinya sendiri. Kemudian ia berkembang pada ranah yang makin luas dan dinamisasinya lebih menekan lagi pada kejenuhan aspek visual yang memajakan beralih pada konteks ‘budaya’ dengan mengusung paradigma yang lebih berbeda, bermain pada wacana seni kontemporer dengan asumsi berbeda tentunya. Masuk pada kecenderungan wacana kontektual tentu lebih dinamis dan lebih berpeluang dalam penggalian proses kreatif dengan tetap mengurik-urik permainan kebebasan imajinasi yang kemudian memposisikannya pada sebuah terminologi yang lebih khusus.
Manifestasi Garis Dalam Eksplorasi Estetik
Garis adalah representasi citra visual yang mencuatkan efek artistik pada karya grafis AT. Sitompul tak sekedar olah emosinya yang kemudian mengecamuk emosi penikmat seni dengan ilusi optikal yang kemudian ia nyatakan sebagai psycho-visual. Hal ini tentu menarik perhatian wacana seni rupa kita, dalam ranah seni rupa kontemporer ini nampaknya muncul semacam gejala baru atau gejala minoritas seniman grafis tanah air. Sekaligus mencairkan kebekuan paradigma kita mengenai seni grafis yang semakin di nomor dua-kan selama ini.
Jika memetik dialog dalam perkuliahan kritik seni dengan Dr. M. Dwi Marianto, seringkali beliau berseloroh bahwa semenjak di bangku kuliah rekan-rekan di studio seni grafis menjadi seseorang yang serba ora [pelukis ora, designer grafis ora] , seolah disiplin seni grafis menempatkan dirinya yang serba tanggung secara posisioning dan dalam wacana pasar dan pasar wacanapun dianggap seniman kelas dua. Nah, di sini AT. Sitompul yang secara eksistensi berada di sana justru membebaskan diri dari kepejalan paradigma lama dan menerobosnya dengan paradigmanya melalui kendaraan seni rupa kontemporer yang dianggap paling netral baginya untuk melesat-lesatkan gagasan gilanya dengan penajaman olah spiritual dalam konteks yang lebih sederhana. Garis-garis baginya semacam olah spiritual yang ditampakan ke dalam barik-barik kanvasnya yang begitu perfeksi, mengingatkan kita pada laku seorang biksu dalam meniti jalan Sang Buddha dalam dharma beroleh nirwana. Representasi garisnya menarik segenap pemahaman kita mengenai sebuah kekuatan estetika yang lebih segar tidak sebatas elemen estetis saja.
Yang mendorong pengamatan saya pada karya-karya AT. Sitompul adalah pada kekhususan pola perspektif kreatifnya yang sangat dekat dengan kemustakhilan pencapaian artistik yang secara teknis dan daya juangnya untuk membongkar kebekuan paradigma seni grafis yang tak lagi dekat dengan publik dan kecenderungan para perupa grafis yang acapkali ambil jalan pintas menerobos pasar kapitalistik dengan menggeser bahkan meninggalkan seni grafis murni sebagai bahasa ungkap proses kreatifnya. Kecenderungan ini sudah menjadi rahasia umum, para perupa grafis segera beralih menjadi kurator, dosen, penulis, pelukis atau bahkan tak sedikit yang berprofesi menjadi teknisi cetak di perusahaan advertising atau malah buka usaha sablon. Dalam proses kreatif seorang AT. Sitompul justru mengindikasikan sebuah perlawanan atas itu sehingga bagi saya menarik untuk ditelusuri lebih jauh kedalaman esensi nilai seni dalam konteks muatan ekspresi dan estetikanya.
Anggara Tua Satahi Saoloan Asa Rap Hasea Sitompul Lumban Dolok XV yang kemudian meretaskan nama sederhana AT. Sitompul, pegrafis muda dilahirkan di Pematang Siantar, 24 September 1977 alumni Seni Grafis ISI Jogja 2007 adalah figur potensial dalam upaya penaklukan atas kegilaan-kegilaan obsesi kreatifnya yang kian mencengangkan kita pada setiap pembacaan atas olah kreatifnya belakangan ini. Tompul agaknya bersikap radikal dalam upaya kerasnya untuk menundukan kendala teknis yang buatnya layaknya ritual suci kian rutin ditundukan kian mendalam dan menajam terasah sensibilitasnya. Ketika lagi-lagi diyakini sebagai ritual maka pola-pola penikmatannyapun kian tampak berjarak dari aspek-aspek permukaan-ansih namun tervibrasi muatan-muatan spiritualnya yang kian mengemuka sebagai sebuah kekuatan baru yang kelahirannya tak terduga sebelumnya. Keyakinan inilah yang ia segera tawarkan kedalaman tertentu mengenai berbagai hal ke hadapan kita untuk berbagi. Hal menarik lain, Tompul menepis stigma-stigma seni grafis mengenai sisi kerumitan teknis yang menjadi kendala terbesar pada olah ekspresi meski ia justru tunduk dan menundukan stigma tersebut, stigma mengenai keterbatasan medium ungkap yang dari jaman ke jaman seni grafis selalu dikait-kaitkan pada medium kertas yang dinilai menuai banyak kendala, maka ia pun terobos dengan kanvas yang berhasil ia tundukan secara teknis kendala proses cetak yang senantiasa dianggap masalah besar ‘gagal cetak’ di permukaan kanvas, stigma ‘tidak eksklusifnya’ grafis karena persoalan penggandaan ‘seri cetak’, kemudian ia sikapi justru masuk pada eksklusifitas itu sendiri. Kita bisa cek, upaya kreatif ‘seri cetak’ limited hand colouring. Paling tidak ia telah berupaya keras membuka kemampatan kran-kran dan membuka akses pada wacana pasar yang nyinyir terhadap seni grafis sekaligus menerobos pasar wacana untuk menilik lebih tuntas berbagai perspektif potensi semua itu.
Kata kunci ketika berhadapan dengan karya-karya Tompul berada pada term non-representasi objek yang dirujuk untuk mentransform konsepsualnya. Ia begitu gigih pada konteks ini sehingga ia begitu bebas memainkan imaji-imaji tersembunyi dalam representasi tiap gagasannya. Ada sebuah upaya kreatif yang luar biasa dari seorang AT. Sitompul, yang kini pada ruang minoritas/langka dan terasing kemudian terbaca kegelisahannya mengelola dan membebaskan aspek psikologis dari berbagai pilihan pembacaannya mengenai aspek psikis humanisme yang rigid. Bagaimana ia memainkan peran kreatifnya dengan bahasa visual yang mampu mengecamuk sisi psikologis kita atas objek-objek visual yang mengemuka sebagai representasi dari segenap gagasan interpersonalnya. Suwarno Wisetrotomo menanggapi yang sama bahwa; ‘Tak puas-puas dengan kegemarannya mengeksploitasi visualnya untuk mengaduk-aduk emosi dan memutuskan jaringan-jaringan syaraf kita dengan memainkan kontraksi-kontraksi mata yang menggiring pada keniscayaan kemunculan bentuk-bentuk baru dalam waktu yang sama atau berlainan atau pemunculan pemunculan ilusi optik pada jarak pandang tertentu, lama kelamaan mampu mempertajam kepekaan mata kita atau justru menjebol kekuatan retina mata kita yang makin terbatas karena lama terbiasa menikmati karya seni yang liris dan sofistik’. Kekuatan inilah yang diwarisi dan ditebar oleh kecenderungan seni non-representatif dari pemunculan seni abstrak hingga optical art pada 1950-1960-an memunculkan nama-nama penting dalam wacana ini, Victor Vassrely dan Bridget Riley yang menonjolkan permainan unsur-unsur garis dan bentuk geometris yang berperan memainkan aspek kedalaman ruang-ruang ilusi tak terbatas bahkan tak terjamah.
Seni non-representasi objek melaksanakan hal ini dengan cara yang sangat harafiah serta imajinatif. Clement Greenberg mengindikasi dua hal penting sebagai karakteristik seni abstrak dalam artikel Pembelaan Terhadap Seni non-representasi objek atau terhadap seni Abstrak, yakni; Pertama, ia tidak sekadar menonjolkan ilusi atau persamaan benda-benda yang telah kita kenal baik alam kehidupan kita sehari-hari; ia tidak menyediakan ruang imajiner kepada kita supaya bisa berjalan dengan mata-batin kita; tidak menyediakan obyek-obyek imajiner untuk disukai atau tidak disukai; ia tidak menggambarkan tokoh-tokoh imajiner untuk dibenci atau dicintai. Kita ditinggalkan sendiri dengan warna-warna dan bentuk-bentuk. Keutuhannya segera nampak, dan nilai tertinggi dari sebuah lukisan , ukuran tertinggi dari kekuatannya untuk menggerakkan dan mengontrol imajinasi visual kita, harus terletak pada keutuhan itu. Dan inilah sesuatu yang harus teraba dengan sekali pandang, dalam waktu yang seketika. Pengalaman yang sejati dan tepat dari sebuah karya seni tidak pernah melibatkan semacam pengharapan; tidak seperti cerita, sajak atau musik, maka ia tidak memiliki awal, tengah dan akhir.
Sebuah karya hadir seketika, seperti wahyu yang turun tiba-tiba. Keseketikaan karya seni non-representasi objek sampai kepada kita dengan ketunggalan serta kejelasan yang lebih besar dari pada karya seni representasional. Untuk memahami ‘keseketikaan’ ini diperlukan kebebasan pikiran dan mata yang tak terbelenggu. Mereka yang semakin mampu untuk mengalami hal ini pasti mengerti apa yang saya maksudkan kemudian seolah anda dikumpulkan pada suatu titik dari rangkaian waktu. Lukisan itu melaksanakan hal tersebut atas kita, mau tak mau, tak peduli apa yang sedang berkecamuk dalam pikiran kita; pandangan sekejap saja akan menciptakan sikap yang dibutuhkan bagi apresiasi atasnya, laksana perangsang yang memancing respon. Untuk kemudian menjelma seluruh perhatian, berarti bahwa kita pada saat itu ‘lenyap’ dan sepenuhnya identik dengan objek yang menjadi perhatian kita.
Korelasi itu justru dapat kita temukan pada karya-karya seni grafis AT. Sitompul, ia tak sekadar mengolah idiom-idiom formal yang umumnya dijadikan senjata ampuh para perupa lain demi pemenuhan kepentingan gagasan atas estetika tertentu namun ia bergiat membongkar bilah demi bilah olah estetikanya sehingga kita segera mendapati vibrasi estetikanya yang lebih personal. Ia tak lagi menawarkan seni yang prerekuisit –yang berjenjang- namun ia bersikeras memahami kedalaman pemahamannya atas tangkapan moment estetik yang segera dijadikan dedahan sesederhana apapun dalam pola perwujudan yang spesifik, kendati pola konsepsualnya melenting-lenting nyaris melampaui esensi visualnya. Ia membedah hirarki kesenian yang tampaknya liat. Ia pun menepis bahwa, seni umumnya cenderung untuk memulai dari awal, menyusur bagian tengah dan menuju ke bagian akhir. Kita menanti apa yang ‘akan terjadi’ –seperti juga apa yang kita alami dengan kesusasteraan.
Dalam konteks ini, maksud saya mengatakan bahwa lukisan non-representasional mirip dengan sastra adalah bahwa ia cenderung untuk melibatkan kita sekaligus dalam pamrih dan bukan pamrih dengan cara menyatakan imaji-imaji benda-benda yang tak mungkin bisa kita pisahkan dari waktu dan tempat. Hal ini bahkan berlaku bagi landscape (pemandangan), gambar-gambar bunga serta style life (alam benda). Masalahnya bukan sekedar bahwa kita mencampuradukkan benda-benda yang dinyatakan dalam lukisan itu dengan nilai lukisan itu sendiri. Bukan sekedar kenyataan bahwa pesona semacam itu tak ada hubungannya dengan keberhasilan sebuah karya seni. Yang lebih fundamental adalah bahwa arti –sebagai yang dibedakan dari pesona– dari apa yang dinyatakan menjadi sungguh-sungguh tak terpisahkan dari cara menyatakannya.
Psycho-Visual, Permainan Emosi dan Spiritualitas
Maraknya sajian-sajian praksis melalui buku-buku psikologi populer dan training-training, lokakarya-lokakarya ‘spiritual’ bertarif fantastis menawarkan efek instan (percepatan pencapaian puncak-puncak spiritualitas) dengan percepatan tempuhan tanpa tempaan merepresentasikan meningkatnya kecenderungan masyarakat pada taraf pencarian solusi secara instan. Praktik semacam ini justru memanfaatkan beerbagai gangguan psikis ketimbang kesadaran reflektif, disini rentan pendistorsian gagasan spiritualitas. Banalitas berada pada relalitas kebudayaan kontemporer. Gambaran tersebut, nampaknya sebuah citra kesejatian masyarakat kita dewasa ini yang tak lagi mampu melepaskan peradaban Barat dengan budaya konsumerisme dan sikap materialisme sehingga segala sesuatu dirujuk dan dicapai dari konsepsi realitas datarnya –memateri-kan sesuatu yang jelas-jelas immateri. Sementara Timur tak lagi mampu mengimun peradaban Barat dengan situasi tak jauh berbeda, meski tradisi ilmiah struktural hierarkis realitas –mulai dari materi, tubuh, pikiran dan psikis, jiwa- bisa sepenuhnya direduksi menjadi struktur materi saintifik.
Karya-karya begitu arif dan sufistik ketika mempersoalkan kediriannya sebagai manusia berada dalam kosmologi yang maha luas, dengan segera seolah ia mempertanyakan pada dirinya atau semacam satire terhadap gejala sosikulturalnya yang kini layak mempersoalkan hakikat hidup dalam konteks sebenarnya? ‘Apa Tujuanmu, Untuk Itulah Kamu Hidup’. Gejala serupa dimunculkan kembali -‘Spiritualisasiku, Mu, Dia dan Entah Siapa’ (2007)- sebagai penegasan pada sebuah gejala baru kebudayaan kontemporer, dimana masyarakatnya tengah gelisah luar biasa menghadapi persoalan sengkarutnya hidup lantas berbondong-bondong kembali pada jalan sufi dengan ‘training-training spiritual’ kolektif dengan mengacu pada konsep budaya serba instan dan serba cepat dalam pencapaian spiritulitasnya tanpa mempedulikan muatan apalagi tempaan laku spiritual. Ada semacam kekhawatiran dalam dirinya mengenai fenomena tersebut bukan sebagai gejala tunggal, maka ia dengan cerdas ‘pendekatan semiotika’ merepresentasikan konfigurasi ikon-ikon kerucut (kenapa kerucut? mungkin inilah idiom yang paling representatif untuk konteks spiritual yang mengkerucut, yang subtil, atau piramida yang paling sederhana kita tangkap sebagai jargon dan pola-pola spesifik dalam estetika dan spiritual Timur? mungkin saja kan?) sebagai idiom formal dengan jalinan garis-garis liris membentuk lingkaran-lingkaran yang konstan mengingatkan kita pada thawaf mengeliling ka’bah.
Yang mengejutkan, dalam jalinan garis-garis thawaf tersebut memunculkan konfigurasi kerucut-kerucut ‘piramida’, terdapat kerucut yang begitu kuat tampil dan menajam sampai pada bayangannya yang menguatkan ilusi optik atas objek seolah-olah mengambang, apa mungkin AT. Sitompul menghadirkan satire masyarakat kita yang spiritualitasnya masih permukaan? Dan, biasanya olah spiritual yang dangkal –pendangkalan- justru merepresentasikan kegenitan tampilan luarnya toh. Berbeda ketika mengamati beberapa relasi ikonisitas lainnya, kerucut yang tampilanya mulai beradaptasi dengan garis circle kemudian ada dua kerucut lainnya yang benar-benar menyatu dengan garis circle meski tetap terjejaki identitas eksistensinya. Seperti karya-karya representasi tak lagi mementingkan bentuk kasat mata, karena bentuk tersebut tak mampu menampilkan ‘rasa’ spiritual dimana Edmund B. Feldman membedakannya dengan karya religi, bentuknya cenderung lebih sederhana dan terbebas unsur peniruan alam.[3]
Psycho-visual tampaknya masih di olah sebagai subject matternya pada Soulscape dimana permainan emosi dan spiritualitas tetap menjadi focus yang tampaknya kini secara umum menjadi olahan masyarakat postmodernis. Budaya serba instan kemudian diacu secara ugal-ugalan sampai pada persoalan spiritualitas, maka spiritalitaspun menjadi instan. Acapkali spiritualitas diposisikan sebagai salah satu nilai tawar dalam segala aspek khususnya dalam industri kiat praktis, merubah spiritualitas menjadi terapis bukan lagi sebagai sebuah praktik penempaan dan penyucian jiwa. Geliat pencarian sisi-sisi hakikat sampai menggapai-gapai sisi makrifat yang kemudian tak lagi dapat dibedakan dengan gairah rasa penasaran untuk merasakan sensasi-sensasi spiritual kendati masih pada tataran seolah-olah spiritual saja. Sensasi-sensasi tersebut distimulus melalui berbagai pengkondisian psikis yang kini memunculkan simulakra mistisisme berupa titik balik, ketika spiritualitas sekadar terapi untuk mereparasi dan mengembalikan lagi manusia ke pola hidup hedonis dan hasrat fisiknya. Disini terdapat fenomena yang menyerupai ‘ekstase’ namun dialami atau dialami justru berjarak dari esensi spiritualitas itu sendiri.
Ini semacam kupasan sederhana dari Tompul yang segera ingin menyatakan berbagai hal atas itu. Bukankah sejatinya spiritualitas memvibrasi sekelilingnya dengan kelembutan dan kesahajaan? Bukankah spiritualitas makin kuat dan mendalam makin melesak ke bumi nyaris tak terjejaki oleh tangkapan indera kebanyakan orang? Kita layak mempertanyakan esensi atas spiritualitas diri kita sendiri. Dalam karya-karyanya tampaknya seorang AT. Sitompul mengusung semangat humanisme diletakkan pada ruang personal dan ruang sosial namun sekaligus melesak-lesakan ‘daya gugat‘ daya ganggunya’ dengan memainkan emosi publik dalam pembacaan karyanya untuk mengaduk-aduk ruang sosial dan ruang kulturalnya untuk mendedah banyak persoalan kehakikatan atas eksistensi humanistiknya. Ruang-ruang kritis yang tak tersentuh tampaknya menjadi gejala umum pada karyanya yang cenderung meruntuhkan kelarutan masyarakat kiat secara psikologi tampak makin rentan. Ia makin luruh dan senyawa dalam permainan bahasa tanda dan memainkan relasi-relasi atas tanda sebagai pisau bedah penajaman proses kreatifnya.
2. Intertekstual dan Hipertekstual dalam Tinjauan Estetika Dedi Sufriadi
Dedi Sufriadi kian meyakinkan pandangan saya semenjak saya berkesempatan menulis kuratorial pada pameran tunggal ‘Hypertext’ di Tembi Contempoarary sebagai figur seorang pelukis muda eksploratif yang begitu sangat menggilai kerja kreatifnya. Tidak sebatas itu saya mengenalnya, ia juga seorang pelukis yang kaya referensi yang menyuntuki berbagai kajian untuk memperkaya wacana, memperdalam-mempertajam konseptual dengan pemahaman filosofis, dan keluasan pandangan keseniannya. Awalnya ketika itu saya mengenalnya dengan hanya mengingat kelekatan Dedy Sufriadi dengan Eksistesialisme, kemudian pada periode-periode berikutnya saya terasa diaduk-aduk lagi dengan kecenderungan pengolahan subject matter dan representasi visual yang begitu berbeda dan mengejutkan karena sejatinya ia sangat piawai menawarkan kemungkinan-kemungkinan teknik artistik yang begitu personal.
Dalam kurang dari tiga tahun saya mengenalnya dengan baik dengan intensitas dan kualitas pertemuan yang selalu terlibat pada diskusi-diskusi serius baik dalam komunitas Abstrak Indonesia dan Soul-Scape maupun perjumpaan di ruang-ruang pameran bahkan sering berlanjut hingga pada saat saling kunjung ke masing-masing studio. Dan, saat itu saya mulai masuk pada ruang kreatifnya yang sebenarnya.[4]
Pada konteks hypertext seriesnya Dedy, menjumput pemikiran Heidegger dalam Yasraf Amir Piliang (2008: 91), memaparkan mengenai bagaimana ada menampakan dirinya sebagai citra yang kemudian lazim disebut world picture (drawing, potret dan lukisan). Ketika potret dunia yang ditampilkan dalam wujud representasi ‘citra’ yang kemudian digunakan untuk menjawab pertanyaan ‘apa itu ada?’ Artinya bahwa citra dihadirkan sebagai bingkai kemenyeluruhan ada, ketika konteks eksistensi menjadi penting. Karya-karyanya mengisyaratkan Dunia yang dibungkus dengan teks atau dunia terbungkus teks, inilah sebuah istilah yang paling tidak menjadi sebuah analogi sederhana yang dapat mendekatkan persepsi kita pada pemahaman karya-karya Dedy Sufriadi, dengan jelas dalam olahan visual dan imaji-imaji yang digelandangnya merepresentasikan kekuatan teks untuk menuasai ruang dan menebar makna intersubjektif di dalamnya.
Dedy seolah tak acuh dengan apa-apa yang menyebabkan kemunculan gejala selanjutnya setelah proses kreatif yang awalnya hanya sebagai upaya penelusuran emotif atas sesuatu yang begitu saja mendorongnya muncul. Hal lainya adalah bagaimana ia menyadari kegelisahan jiwanya untuk menelusuri lebih dalam kekuatan-kekuatan intuitifnya sebagai amunisi untuk meledakan gagasan-gagasan kreatifnya.
Keliaran libasan brushstroke dengan intensitas terjaga mengisyaratkan getaran jiwanya yang kian mendidih. Ini semacam representasi riil dari aktivitas hidup yang sejatinya saling silang, saling salip, saling tindih, saling melengkapi dan saling mengikat dalam sebuah relasi-relasi yang tak terputus sekalipun terjadi benturan keterdesakan manusia pada kapasitas kemanusiaan. Teks ketika menjelma menjadi sebuah narasi seolah-olah memicu munculnya inspirasi baru pada proses penciptaan karya-karya berikutnya, dan ketika inspirasi tergali begitu jauh sekonyong-konyong menyelinap sebuah misteri pada tiap bilah-bilah teks yang saling berkelebat. Dalam konteks semacam ini terjadi sebuah pembentukan narasi besar yang menjadikannya objek pembacaan ulang atas gejala sosiokultural, psikis, atau ia muncul justru menjadi subjek. Artinya, antara narasi, inspirasi, dan misteri menjadi bagian yang terintegrasi secara otomatis dalam perspektif eksistensialisme. Sensiblitas estetiknya memberi peluang bagi kelahiran inspirasi baginya juga bagi orang lain. Namun justru yang terpenting baginya adalah sebuah sintesa yang kemudian dipahaminya sebagai ruang-ruang spiritual.[5]
Nah, pada karya-karya mutakhir Dedy kehadiran teks secara sporadik digelontorkan dalam tiap ruang pada bidang kanvasnya, namun ia tak sekadar bertutur persoalan artistik semata. Teks hadir berdampingan sejajar dengan unsur artistik lainnya, bahkan teks dapat secara tegas mengambil peran strategis dan vital mampu menerjemahkan segenap pikiran, obsesi, opini, dan kegelisahannya mengenai berbagai hal yang tak terjemahkan oleh bahasa visual. Bermula dari kepahamannya mengenai peran teks dan relasinya ‘interteks’ saya menduga kuat di sinilah titik pijak konsepsual seorang Deddy Sufriadi mengusung subject matter Intertextual yang beberapa kali saya tawarkan menjadi tema penting dalam project soulscape.
Pada periode awal memang teks tersebut ‘bunyi’ seolah menuturkan banyak hal berkaitan dengan obsesi, penghargaan, renungan, pengakuan, kebahagiaan, kesedihan bahkan kekecewaan dan kepanikan. Semua bermunculan melahirkan novel-novel ‘about the soul’ pada kanvas, kemudian berlangsung lagi dan berlangsung terus. Penggeledahan pemikiran kreatifnya berlanjut pada serangkaian proses kreatif yang bagi saya sangat mendebarkan menginggat kegilaan pola kerjanya yang luar biasa produktif dan lebih mencengangkan lagi ketika ia mampu menjaga ritme kerja dan intensitas proses kreatifnya secara stabil. Ia sanggup mengendalikan semua proses itu untuk tetap menjaga kwalitas karya-karya mutakhirnya. Barik-barik ditorehkan sebagai jejak perenungannya meski kadang terjadi sebuah efek tak terduga muncul -sebagai hadiah kreatif- tidak sekadar sebagai aksen namun dicermati sebagai pengendali kekuatan karakteristik teknik untuk membangun gagasan yang berkembang ketika proses kreatif berlangsung. Kecermatan semacam inilah yang menjadikan seseorang kian menajam kepekaan estetiknya.
Pertanyaan-pertanyaan mendasar acapkali disampaikannya seputar; kenapa muncul teks, kenapa terjadi konvensi teks, siapa yang pertama kali memiliki kesadaran tentang kehadiran teks, kemunculanya dilatarbelakangi persoalan apa, dan apakah dengan teks mampu membangun serta mengembangkan ilmu pengetahuan? Dan, berbagai pertanyaan fundamental lainnya yang mengawali perbincangan serius kami ketika itu, terutama perihal filsafat eksistensialisme. Dari pokok inilah mulai menggelinding pokok-pokok persoalan yang esensial, ketika ia dengan sadar mengumbar teks-teks semacam catatan hariannya pada bidang-bidang kanvas.
Intertextual : Inspirasi, Narasi dan Misteri Text
Tak sedikit para perupa begitu menggilai citra graffiti pada street art dan kekentalan ekspresif dan pejalnya apriori terhadap nihilisme ketika seorang perupa mengelontorkan nilai-nilai artistik yang familiar kepada publik. Saya menangkap beberapa kecenderungan pola-pola kehadiran teks yang kian marak, yakni; apakah kehadiran teks hadir sebagai teks, teks hadir sebagai manifestasi membangun kepentingan konsepsual, atau teks hadir sebagai sebuah transformasi (ruh) ikon baru yang paling personal? Segera kita disadarkan pernyataan Lao Tze bahwa semua mahluk hidup dan benda-benda di alam ini memiliki jiwa (ruh). Pada akhirnya filsafat timur mengajarkan kita bahwa alam dan manusia menjadi bagian terintegrasi bukan sebaliknya manusia sebagai pusat pengendali di dalamnya. Artinya, terbukanya peluang untuk memahami kemunculan teks dengan gejala dibalik kehadirannya.
Pada dasarnya pemenuhan unsur-unsur visual jelas sangatlah penting, mengingat bahasa visual sejatinya merupakan bahasa estetik. Meminjam ungkapan Henry M. Sayre (1997: 151-157) dalam A World of Art, bahwa representasi nilai keindahan dalam sebuah karya seni lebih ditentukan pada kepekaan seseorang dalam mengelola aspek-aspek visual dengan menguasai berbagai prinsip desain, selebihnya adalah keunikan-keunikan yang dieksplorasi seseorang baik pada aspek eknis maupun konseptual dalam sebuah pencapaian tujuan estetika yang lebih personal. Struktur piktorial yang disajikan Dedy dalam lukisan-lukisannya kali ini adalah kehadiran raga atau bentuk yang diwujudkan melalui perlakuan garis (berupa garis sebagai garis, huruf, teks, titik, coretan, lelehan, blok atau apa saja) tetapi juga melibatkan pemanfaatan warna dan transformasi timbulnya komposisi oleh pergerakan fisik, seperti halnya penggunaan tanda-tanda dan lambang di dalam sebuah kesatuan irama. Kadang-kadang huruf-huruf/teks itu dipresentasikan dengan berbagai cara yang berbeda (horisontal, vertikal, miring, terbalik, atau saling bertumpuk), sedemikian rupa sehingga penulisan itu muncul seperti berjalan, membentuk dinding, berlari dan melompati ke seberang ruang itu.
Ekspresi yang dicuatkannya seputar coreng moreng dan bagan karena mungkin periodisasi ini paling unik karakteristik visualnya. Melalui media semacam inilah Dedy dapat segera menemui masa kecilnya dengan serangkaian kenangan terindahnya, menjumput kesan terdalam ketika ia pertama kali belajar berhitung memainkan angka-angka, mengenali dan menuliskan abjad, melafalkankan huruf-huruf dengan artikulasi yang terbata, serta kegirangannya ketika ia mulai bisa menuliskan namanya apalagi pekik hysteria ketika susunan nama-nama orang terdekatnya yang ditulis dengan kapur di balik papan kayu pada meja atau gerusan dedaunan maupun arang pohon asem di tembok rumahnya dihapus. Gambaran semacam ini acapkali kita jumpai pada masa kanak-kanak kita tentunya. Nah, dalam karya ini ia seolah bertutur kembali perihal itu. Misteri teks mulai tak terpecahkan dan tetap menjadi misteri bahkan menjadi semacam kenangan semata bagi orang lain.
Suatu proses abstraksi dari kesemuanya itu disusun bertumpukkan pada suatu latar belakang warna-warna, atau disapu temaram warna yang nampak bagaimanapun juga berhubungan dengan gambar itu; ia berani untuk juga melakukan ‘pengosongan’ teks/huruf baik secara nyata ataupun dengan tindakan ‘reverse’ sepertinya menyadari sepenuhnya di sana ada suatu kekuatan hidup, esensi materi dan kehidupan sehari-harinya. Di dalam karya ini tidak ada lagi perbedaan yang nyata antara gambaran yang dilukis dan halaman sebuah buku, antara lukisan dan penulisan; apa yang kita amati adalah suatu perlakuan plastis dari huruf-huruf/teks yang disiapkan untuk melekatkan semua pergerakan di dalam garis grafis yang meruang.[6]
Di sini jelas bahwa aspek keindahan dalam konteks visual form ‘tangible’ memposisikan dirinya pada skala prioritas utama kemuadian disusul aspek keindahan ‘intangible’ yang tersembunyi dibalik karya seni tersebut. Dan, kaidah-kaidah keindahan lainnya yang membangun nilai estetik lainnya merupakan hal mutlak dalam sebuah tinjauan nilai estetika, termasuk berbagai aspek kemampuan dan kepiawaian teknik (kapasitas ekplorasinya) artistik seorang seniman dalam mewujudkan gagasan dasar yang daigali atas subjek matter yang direpresentasikan dalam ekspresi seninya. Muatan ekspresi yang lekat pada kepiawaian seorang seniman dapat terejawantah secara solid, ketika ia dengan segenap jiwanya menumpahkan aspirasi kreatifnya.
Dalam wacana lain, dapat sebagai pembanding bagi pengayaan perpektif kita mengenai makna keindahan dalam karya seni, Wassilly Kandinsky (2007:4) mecetuskan keyakinannya lebih dalam dari aspek visual form. Bagaimanapun juga, ada di dalam seni jenis kesamaan eksternal yang dikemukakan sebagai sebuah kebenaran yang fundamental. Bila ada suatu kesamaan kecenderungan dalam keseluruhan nilai moral dan nilai spiritual, suatu kesamaan dari cita-cita, pada awalnya kehilangan aspek tangible ke sebuah perasaan yang dalam (inner felling) sebagai efek logis dari kebangkitan nilai bentuk eksternalnya dalam merepresentasikan perasaan-perasaan. Keselarasan semacam ini atau bahkan pertentangannya secara emotif bukanlah suatu kedangkalan atau ketakbernilaian, sesungguhnya justru ‘stimmung’ dari suatu lukisan tersebut dapat untuk memperdalam dan memurnikan perasaan dalam proses pengamatan dan pemaknaannya.
Sebut saja, ketika pemuculan kembali citra visual sebagai indikator telusur ketika teks dalam beberapa periodisasi menuturkan pada kita mengenai esensi dan makna atas produk proses kreatif misalnya pola dominasi proses penciptaan seniman-seniman besar seperti Jean-Michel Basquiat,[7] yang dengan lugas melesatkan teks sebagai gugatan eksistensinya, sampai pada protes-protes Sudjojono hingga seni konsep pada Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia. Kemudian pembacaan kita menjadi berbeda ketika Joan Miro terinspirasi brushstroke kaligrafi China-Jepang sebagai representasi kepekaan estetiknya dan upayanya menggali spirit oriental dalam karya surealisme ekspresifnya yang kemudian mewabah dalam ujud pembacaan ulang karya-karya monumentalnya. Artinya, bahwa Miro memiliki kesadaran yang berbeda ketika ia menangkap estetika kaligrafi tersebut dan ia tangkap spiritnya menjadi sebuah kekuatan spirit baru yang kemudian mengemuka dalam teks visual imajinatifnya. Made Wianta, pun memiliki kesenadaan dengan pola tersebut. Wianta, sebagai orang Timur yang katakanlah bersenyawa –mendarah daging- dengan teks-teks maupun konteks spiritual. Ketika ia mengelola kaligrafi China, Jepang, Bali, Jawa, maupun Arab, seorang Wianta tak lagi disibukan lagi makna teksnya namun ia lebih sublime. Ketika dikonfirmasi lebih lanjut bagaimana ia merepresentasikan citra-citra estetika baru dengan menggelandang interpretasi artistiknya yang melecutkan gugahan spitualitas personal. Kehadiran teks-teks verbalnya justru menjadi makna-makna baru ketika teks sarat muatan kecoh dan melesapkan maknanya secara perlahan. Ekspolrasi-eksplorasi teks kemudian menjadi penting bagi perupa masa kini –dengan langgam non representative object sejatinya- yang tengah bergerilya menemukan induk-induk citra baru pada ranah seni kontemporer dengan tetap melakukan proyek pendalaman yang paling substantif. Tak sedikit perupa acapkali lebih disibukan dalam mengolah teknik artistik atau sekadar kenes untuk menghadirkan teks dalam tiap kesempatan proses kreatifnya sebatas ledakan emosi kecilnya, malah sebagai bumbu-bumbu penyedap meski ia faham itu yang seolah-olah seperti menggarami laut saja namun adapula yang tartil dalam mengeja maupun merespon berbagai gejala sosial, politik, psikologis, ekonomi dan perubahannya.
Bagi Deddy Sufriadi; teks diinterpreasikan sebagai representasi sama kokohnya dengan elemen visual lainnya. Secara visual form teks menjadi ikon utama yang dapat mengejawantahkan pokok-pokok persoalan sekaligus sarat dengan permainan semantik sebagai olahan daya ganggu sekaligus daya pukau tersendiri. Beberapa karya Deddy Sufriadi acap menuturkan catatan-catatan hariannya –perjalanan pengalaman sejati- dan pada beberapa karya terakhirnya Deddy Sufriadi tampaknya ingin memindai persoalan spiritualitasnya untuk menapaki kematangan pribadinya, ia tengah mengasah sensibilitas estetika yang kian berkecamuk dalam pemikiran-pemikirannya akhir-akhir ini. Deddy seolah ingin merepresentasikan pernik-pernik jiwanya dalam kolase yang hendak dimaknai sebagai gejala personifikasi kesejatian hidup yang tumpang tindih dengan sengkarutnya problematik. Sama halnya ketika Made Wianta dan Farhan Siki mengeksplorasi teks-teks verbal sampai batas terakhir yang kemudian secara radikal membentuk sebuah pola pencitraan yang sejatinya mengungkapkan nilai-nilai estetika baru, paling tidak pada kapasitas estetikanya mencuat dengan personalitas yang kian tak terbantahkan layaknya representasi teks seorang Basquiate. Dedy Sufriadi, senada dengan Wianta dan Farhan Siki seolah menjadikan kecemasan teks verbal dengan pengelolaan teknik, permainan semantic interpretation, pengeksploitasian bentuk-bentuk abjad bersumber dari kaligrafi Arab, China, Jepang maupun Latin untuk menggugah keterlibatan emosional dan pengkrucutan visi pemahaman nilai estetika.
Kehadiran teksnya terasa berbeda dengan teks yang diumbar pada Never Ending of Mind, 180x150cm, oil, charcoal on canvas, 2009, baik secara visual, emotif maupun rasional. Sebuah gambaran menarik ketika ia mencermati dirinya juga orang lain mengenai sebuah tuntutan kebutuhan manusia yang tak pernah selesai ataupun terpuaskan. Ia merepresentasikan melalui pesan teks yang saling tindih, confuse, dan seringkali panik dalam mewujudkan obsesinya yang ingin serba cepat terpenuhi. Kadang kebutuhan bisa muncul lebih cepat dari impian atau sejumlah pertimbangan argumentatif mengenainya, ia hadir sesaat dengan kontak mata dengan dorongan tertentu untuk memperolehnya. Semacam tinjauan kritis pada budaya konsumerisme ditengah masyarakat kontemporer hari ini yang selalu ‘lapar mata’. Sebuah jelajah ruang spiritual baru tampak dengan sungguh-sungguh ia tekuni sebagai sebuah proses ritual dengan tingkat kecermatan, pertimbangan estetika tiap ‘keruangan’ teks dan gugahan emosi yang kian matang dan stabil.
Dedy mengeksplorasi bentuk-bentuk abjad dari kaligrafi China dengan representasi artistik dan usungan estetika yang berbeda ketika menjumput beberapa ikon oriental dari aspek visual maupun pemindaian spirit oriental. Kaligrafi yang dimunculkan pada permukaan kanvasnya tak mengacu pada pakem/kaidah dan tak merujuk kepentingan makna dari teks itu sendiri, ia menjadikannya sebagai impulse kreatif semata yang kemudian menguatkan citra-citra oriental disana-sini khususnya citra huruf kanji dengan citra warna merah dan maroon khas oriental. [8]
Pada karya-karya semacam ini Dedy ingin bermain-main dalam ruang analitik, karena tidak saja mengumbar kebebasan menerjemahkan citra-citra kaligrafi baku ke dalam citra barunya yang membongkar kebekuan makna dan menjadikannya sebagai elemen estetik tanpa dibebani berbagai tuntutan kaidah di dalamnya tetapi ia juga melakukan berbagai pertimbangan artistik yang terukur. Ada semacam olah pengendalian artistik ketika ia menentukan ruang-ruang imaji dan tebaran aksentuasi warna untuk membangun citra spiritual.
Berhadapan dengan lukisan Dedy Sufriadi kali ini kita disajikan puisi teks-visual liris, sebuah gugus puisi visual yang mengangkat keindahan dengan nuansa romantis. Romantisme bagi seorang Dedi Sufriadi nampaknya adalah sebuah lintasan petualangan panjang yang segera mempertanyakan keberadaan diri dan transenden dalam rangkaian dzikir yang tidak terputus yang dimunculkan secara ekspresif. Jean-Paul Sartre, "human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan tersebut bebas? Bagi Dedy, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain. Setidaknya ini pernah disikapi seorang Sulebar M Soekarman dalam paparan diskusi pameran tunggalnya Dedi Sufriadi.[9]
Secara keseluruhan karya Dedy Sufriadi menuturkan arus kebebasan dan keluasan perspektif. Sebuah integrasi yang kokoh ketika pemikiran-pemikiran Dedy disandingkan dengan olah kreatifnya tanpa hirau dengan kebuntuan-kebuntuan umum yang justru dijadikannya sebagai sumber inspirasi yang menguatkan karakteristik masing-masing kecenderungan proses kreatifnya. Dalam mempersiapkan project pameran tunggalnya inilah memicu kegilaan eksplorasinya yang mencuatkan paling tidak lima sampai enam kecenderungan proses kreatif semacam terminal-terminal kecil dimana ia dihadapkan pada berbagai pilihan yang menuntut kecakapan menentukan keputusan-keputusan terbaiknya dan sungguh luar biasa karena dari masing-masing kecenderungan olah kreatifnya ia dengan kesadarannya justru membangun karakter pada masing-masing karyanya. Saat ini kita semua segera dihadapkan pada ruang pictorial karya mutakhirnya dalam bingkai Soulscape, di mana ia mengejawantahkan segenap aspirasi kreatifnya untuk mendedah kebuntuan dan keniscayaan sekaligus mengenai bagaimana seorang seniman mampu memperbaiki sistem pendokumentasian perenungan, pemikiran, tindakan dan olah spiritualitasnya dalam membangun karya terbaiknya.
3. Virtual Displacement: Manifestasi Eksistensi Humanistik dan Spiritualitas Baru Netok Sawiji_Rusnoto Susanto
Sulebar M Soekarman memberikan beberapa catatan terhadapnya bahwa; istilah virtual displacement (pergeseran maya) kita dapati di dalam mekanika (ilmu fisika) dalam kaitan dengan apa yang disebut ‘kerja maya’ (virtual work). Menurut asas kerja maya (virtual work), setiap pergeseran maya sekecil apapun di dalam ruang konfigurasi, konsisten dengan batasan-batasan, maka tidak memerlukan usaha apapun. Suatu pergeseran maya berarti suatu perubahan spontan di dalam suatu koordinat (suatu pergeseran/jarak riil akan memerlukan waktu terbatas selama partikel dimungkinkan ber pindah; dan kekuatan dimungkinkan berubah). Suatu pergeseran maya (virtual displacement) adalah suatu penggantian/jarak diferensial khayali yang tidak benar-benar berlangsung. Suatu pergeseran maya bisa saja konsisten dengan batasan-batasan yang mendukungnya maupun tidak konsisten dengan batasan-batasan yang mendukungnya. Suatu kerja maya adalah pekerjaan yang dilaksanakan dengan kekuatan atau saat/momen selama suatu pergeseran maya dari sistem itu. Metoda kerja maya dapat diberlakukan untuk memecahkan permasalahan yang melibatkan berkaitan dengan mesin (machines) struktur dengan bagian yang dapat dipindahkan atau bingkai (frames) struktur yang tidak memiliki bagian yang dapat dipindahkan.[10]
Dengan tema virtual displacement yang diolah sebagai subject matter Netok Sawiji_Rusnoto Susanto mencoba untuk menceriterakan kegalauannya terhadap muncul berkembangnya cyberspaces, cybercities, dengan proses digitalisasi di dalam berbagai segi kehidupan yang mengikis rasa kemanusiaan masyarakat sekarang serta mengakibatkan terjadinya erosi spiritual. Bisa dikatakan Rusnoto masih menggunakan metode naratif dengan pengkisahan simbolis pada obyek-obyek bentukan di permukaan bidang kanvasnya yang mampu merepresentasikan pengertian dari diri atau di luar dirinya, dan diharapkan masih bisa dikenali oleh pengamat.
Dengan membiarkan bagian bebas dari suatu sistem mengalami suatu pergeseran maya yang sesuai dan terpilih di dalam metoda kerja maya, kita dapat memecahkan persoalan seseorang tertentu yang tak dikenal pada suatu waktu di dalam kompleksitas yang tinggi seperti halnya menyelesaikan permasalahan sederhana dalam suatu mesin tanpa keharusan untuk memecahkan secara simultan penyamaan bersama.
Metode ini akan berpotensi untuk memicu pembahasan di kemudian hari hanya berorientasi di seputar substansi narasi itu sendiri, dan menjauhkan hal-hal yang paling mendasar dari seluruh proses penciptaannya. Padahal ada suatu ideologi yang menarik yang melibatkan pola pemikiran serta perenungan Netok Sawiji_Rusnoto Susanto yang tentunya secara konseptual dapat digali lebih mendalam lagi. Kerinduannya akan keharmonisan dua dunia serta kembalinya hakikat kemanusiaan yang semakin kabur itulah yang nampaknya menjadi sumber penggalian ’rasa’ yang dieksplorasi habis-habisan dan ditampilkan dalam lukisan-lukisan bertemakan ’virtual displacement’ kali ini. Keterlibatan semua unsur di atas permukaan kanvas menjadi suatu keserentakan penampakan yang menimbulkan impresi dan spirit yang mampu mengajak pengamat memasuki momentum pencerapan dengan pemahaman yang inspiratif.
Meminjam pernyataan-pernyatan Rusnoto pada sesi bedah karya, menjawab soal bagaimana pengertian anda mengenai pengembaraan spiritual. ’Menghabiskan waktu dalam ruang pustaka dan menyuntuki diskusi malam hingga pagi dengan kurator, ilmuwan, ahli sejarah dan filsof merupakan pengembaran untuk memindai referensi-referensi. Kontemplasi menjumput bagian-bagian terkecil dari gagasan yang berserak bagiku upaya melakukan konfirmasi atas referensi-referensi maupun subject matter dan melukis adalah upaya saya menemukan referensi’.[11]
Berbeda perspektif, Suwarno Wisetrotomo memaparkan tanggapan kritisnya terhadap Rusnoto pada pameran tunggal ’Virtual Displacement di TBY, 2009 bahwa, dunia maya (virtual) merupakan keniscayaan realitas kehidupan hari ini. Ia menjadi keharusan untuk atas nama apapun; entah sekadar gaya hidup, hingga suatu kebutuhan yang tak terelakkan. Fenomena menjamurnya jaringan wi-fi, hotspot, atau blackberry misalnya, menunjukkan tegangan antara gaya hidup dan tuntutan fungsi (pekerjaan) yang niscaya itu. Dalam dunia imajinasi, bisa dibayangkan, betapa silang sengkarutntya ruang di sekitar kita, karena demikian riuh dengan seliweran lalu lintas komunikasi dan informasi nirkabel.
Terkait dengan tema “Virtual Displacement”, apakah yang sesungguhnya salah tempat, yang tidak sesuai dengan posisinya? Apakah tema ini dijadikan pisau bedah untuk membongkar pertanyaan-pertanyaan, seperti; apakah yang sesungguhnya terjadi adalah -terkait dengan “displacement” itu– suatu kekacauan (disorder), ataukah ketertiban (order) dalam ruang maya? Jika terjadi kekacauan, karena apa, mengapa, dan untuk apa; sebaliknya jika yang terjadi adalah ketertiban, karena apa, mengapa, dan bisa digunakan untuk apa?
Catatan ini tentu tak hendak mengurai, atau membaca apa yang sudah dikerjakan Rusnoto, dan sekarang dipresentasikan dalam ruang pameran ini. Karya-karya dalam ruang pameran ini, secara sederhana dapat dikatakan merepresentasikan pengalaman personal Rusnoto dalam aktivitas berenang di ruang maya (virtual).[12] Dari area itu, ia menemukan sejumlah realitas dengan segenap paradoksnya. Bagi saya, akan lebih menarik untuk menyusuri pemikiran Rusnoto, kemudian memamahi tegangan kreatifnya ketika menggubah karya-karyanya berdasarkan konsep pemikirannya itu. Keduanya merupakan persoalan bagaimana mengartikulasikan gagasan melalui bahasa kata dan rupa. Tantangannya adalah; sejernih apa artikulasinya melalui kata-kata/bahasa, dan sekuat (serta seambigu) apa artikulasinya dalam bahasa rupa/bentuk.
Lebih lanjut Kuss Indarto menyatakan, bahwa ada titik perkembangan kreatif dalam karya-karya Rusnoto, terlebih dalam kurun 2 tahun terakhir. Pada satu sisi, terjadi pergerakan yang gradual dari kecenderungan kreatif atas karyanya yang bisa ditengarai sebagai abstrak murni menuju abstrak figuratif. Dari tahap penuh coreng-moreng yang mengedepankan jejak manual yang ekspresif, menuju tahap penuh gurat-gurat terukur yang terkelola layaknya tapak-tapak digital yang impresif. Kecenderungan ini terasa memberi percik kesan “pendewasaan” atas karyanya yang tak lagi sekadar menorehkan “beban” ekspresi, namun juga didalami dengan muatan konseptual. Kata “pendewasaan” tentu membawa risiko yang debatable karena ini tidak berkait secara melekat dengan problem usia seorang seniman, namun lebih pada kegigihan dan ketekunannya untuk mempertautkan dunia visual/bentuk yang ditorehkannya di atas kanvas beserta dunia substansi/ide yang melambari atau mengiringi ketika dunia itu akan/tengah dimunculkan di atas karya.
Oleh karena itu, pada sisi yang lain, apresian bisa menyimak bahwa karya-karya Rusnoto pada pameran tunggal kali ini juga memiliki pergerakan yang terasa menguat secara konseptual. Dorongan ini, tentu bisa diyakini oleh situasi batin dan sistem pengetahuannya yang bergerak menuju progresivitas. Pada poin ini, Rusnoto—dugaan saya—teramat diuntungkan ketika masuk dalam sebuah komunalitas besar bernama Yogyakarta sebagai kampus pembelajaran yang sesungguhnya. Di samping secara resmi menjadi mahasiswa Program Pascasarjana ISI Yogyakarta, kawasan Yogyakarta yang dinamis dan penuh hiruk-pikuk kreatif ini betul-betul telah menjadi academia yang sarat pengetahuan untuk terus-menerus ditimbanya.
Kemudian sistem pengetahuan yang bergerak membaru (setidaknya bagi dirinya) tumbuh dari kawasan dan situasi yang mendukungnya ke arah yang lebih progresif. Konsep kreatif yang mendasari proses kekaryaannya ini, yang bertajuk Virtual Displacement, dengan jelas mempertontonkan geliat kritisismenya dalam menyimak tiap gejala sosial yang berkelindan di lingkungan sosial kemasyarakatan di seputar mata kepala dan batinnya. Memang tidak semua gejala dipelototinya. Namun ada kotak penegasan atas tema yang diambilnya, yakni gejala umum yang mempertautkan antara realitas kemasyarakatan dan relasinya dengan teknologi, terkhusus pada teknologi digital.[13] Ini memang sebuah gejala global yang berimbas teramat banyak terhadap berbagai kawasan. Kini, kita bisa mengalami bersama bahwa kemajuan teknologi telah memberi pembentangan kemungkinan jagad hingga perluasan medan pengalaman yang berbeda yang tidak terpikirkan sebelumnya.
Ahli komunikasi Marshal McLuhan (yang termashur lewat jargonnya: Medium is Message), misalnya, secara optimis melihat teknologi sebagai sebuah utopia 'perpanjangan manusia' di masa depan. Dengan teknologi, kita bisa meyakini bahwa segala keterbatasan, hambatan dan kekurangan manusia (fisik, psikis, spiritual) dapat diatasi melalui kekuatan sains dan teknologi, khususnya teknologi realitas virtual (virtual reality), yang dapat menawarkan sebuah 'dunia baru', yang sepenuhnya dibangun secara artifisial (artificial reality)-inilah pandangan tekno-romantisisme (techno-romantism).
Berikutnya, kedua, distopianisme (dystopianism), yakni sebagai pandangan pesimis tentang sains dan teknologi. 'Distopia' merupakan sebuah tempat atau kondisi yang di dalamnya segala sesuatu dilukiskan tampil dalam kondisi seburuk-buruknya. Visi distopia tentang masa adalah lukisan tentang masalah-masalah serius yang ditimbulkan oleh perkembangan sains dan teknologi dan ketidakmampuan manusia mengatasi dan menanggungkan setiap bahaya, risiko dan bencananya. Untuk itu, harus ada upaya serius untuk membendung bahkan menghentikan pertumbuhan sains dan teknologi, yang bila tidak dilakukan akan membawa pada bencana dan kehancuran manusia. Perkembangan sains dan teknologi yang 'melampaui' menyediakan terlalu banyak fungsi dan produk, yang semakin menjauhkan manusia dari alam. Teknologi informasi, misalnya, menjadikan setiap individu sebagai subyek yang berjarak dengan dunia realitas, semacam 'penjarakan pengalaman' (distanciation). Di sini, teknologi juga berpotensi menciptakan ketakpuasaan dan kesadaran tak bahagia yang abadi.
Dan poin ketiga, 'hiper-topianisme' (hypertopianism), yakni pandangan 'fatalis' tentang sains dan teknologi. Ini menyangkut persepsi tentang pelukisan dunia yang kehilangan batas, kategori serta ukuran. 'Hiper-topia' dapat dijelaskan sebagai 'tempat yang melampaui', yang mendekonstruksi segala batas, definisi dan kategori-ketegori yang ada. Bila pandangan utopianisme mempunyai definisi dan batas-batas tentang apa yang disebut 'baik', 'sempurna', 'bahagia'; dan, pandangan distopia mempunyai definisi dan batas-batas tentang apa yang disebut 'buruk', 'merusak' dan 'bencana'; pandangan hiper-topianisme tidak mempunyai definisi dan ukuran-ukuran itu, disebabkan ia dibangun oleh prinsip 'fatalisme' (fatalism). Sains dan teknologi dipandang telah berkembang ke arah kondisi 'melampaui' (hyper), yang tidak menyediakan lagi ruang untuk refleksi di dalamnya. Manusia tunduk pada kekuasaan sains dan teknologi, menempatkan dirinya di hadapan produk-produknya sebagai 'mayoritas yang diam' (the silent majorities), dan menjadi bagian dari setiap struktur yang diciptakannya.
Dalam kaitan dengan tiga kemungkinan sikap ini, kehadiran karya-karya Rusnoto memang tidak secara sengaja mengambil titik tegas. Ketiga poin tersebut sangat mungkin mencair dalam sebuah pemahaman yang longgar, yakni bahwa kehadiran teknologi digital pantas untuk diterima secara arif, dikelola dengan cermat, dan kemudian dipraktikkan dalam ruang pemahaman yang selaras dengan kebutuhan dan situasi. Karya-karya Rusnoto seperti masih bergerak untuk membuat narasi atas situasi yang berada di sekelilingnya, dan belum mempersuasi kepada apresian atas sikap pribadinya terhadap kehadiran teknologi. Dalam kapasitasnya sebagai seniman juga bagian dari masyarakat dunia ketiga yang ramai-ramai menjadi konsumen atas gempuran kehadiran teknologi, karya juga sikap dan pemikiran Rusnoto, seperti tampil sebagai seorang penyaksi. Dia tengah mengabarkan atas semua yang dialami saat ini.
Cara ungkapnya yang secara visual bergeser dari kecenderungannya sekitar dua tahun lalu, telah cukup selaras dalam menjemput garis kesesuaiannya dengan torehan temanya. Beberapa citraan yang tertera hampir pada tiap kanvasnya seperti simbol visual yang merujuk pada bangunan citra berbau teknologis terasa tertata cukup rapi, terukur bagai diolah lewat standar baku yang berkait dengan barang teknologi, dan semacamnya. Semuanya, untuk sementara ini, berjalan “baik-baik saja”. Selebihnya, Rusnoto mesti memberi agenda yang tegas, misalnya, tentang sikapnya terhadap geliat progresivitas teknologi yang terasa menusuk agresif di segala kisi kehidupan kita. Dari sini, dimungkinkan karyanya akan lebih “berbunyi”, dan tidak sekadar menjunjung eksotisme visual.
M. Dwi Marianto menanggapi dalam paparan text contributor pada katalogus pameran tunggal ‘Virtual Displacement’, bahwa Karya-karyanya menggambarkan ruang-ruang luas, dengan bangunan-bangunan yang tertata rapi, terstruktur, seperti bangunan-bangunan kongkrit di suatu gurun gersang, dengan instalasi dan penataan ruang berpresisi tinggi. Suasana yang dihadirkan serba surreal. Tak ada pepohonan, yang ada dalam salah satu karyanya adalah suatu bentuk mirip potongan akar pohon keras yang telah jadi ruang hunian. Begitu tertib, terukur, terstruktur, sampai seakan-akan tidak ada hembusan angin yang arah dan kekuatan hembusannya tak terprediksi. Tak ada denyut makhluk hidup, yang ada cuma matematika, dan ketepatan. Tak nampak bukti kehidupan makhluk bernama manusia dalam lukisan Rusnoto. Kemana mereka? Kemana perginya burung-burung? Dimana warung angkringan disana dimana orang menghitung tidak pakai kalkulator elektronik, namun pakai jemari tangan?
Postmodernisme, Kapitalisme High-Tech, dan Cyberpunk
Anton Larenz, seorang antropolog dan kurator seni rupa mengelaborasi proses kreatif seorang Rusnoto bahwa, karya-karya baru Rusnoto memberikan visi tentang dunia yang didominasi oleh teknologi modern yang disimbolkan melalui modul-modul dan tabung-tabung komputer. Dunia yang diangankannya ini tidak berpenghuni dan tidak ramah. Struktur metaliknya membuatnya kelihatan sebagai tempat yang tidak nyaman untuk ditinggali. Meskipun awalnya diciptakan oleh manusia, pada akhirnya manusia tidak lagi dibutuhkan karena sistem yang berkuasa telah mampu beroperasi sendiri. Lukisan-lukisan Rusnoto Susanto ini menggambarkan lanskap perkotaan pada situasi postmodern bahkan posthuman. Manusia modern telah membuat dirinya tak berumah. Mereka telah menggusur diri sendiri sementara karakteristik arsitektur kota yang dulunya sedemikian khas telah menghilang secara simultan. Teknologi tinggi dengan dorongan-dorongan fungsionalnya telah menciptakan keseragaman absolut. Alam telah sama sekali dihilangkan oleh pertumbuhan tekstur asing dari unit-unit yang digerakkan oleh informasi digital. Keserba sempurnaan peralatan teknologi kemudian dirusak oleh goresan dan karat. Rusnoto menyampaikan kepada kita bahwa bahkan kota-kota masa depan pun tak akan bisa lolos dari kehancuran. Kepingan-kepingan mesin lapuk dalam pembusukan…….[14]
William Gibson dapat dikutip juga dalam hal ini. Menurutnya, ‘The matrix memiliki akar pada permainan tabel teka-teki (arcade) kuno…… Cyberspace adalah sebuah konsensus halusinasi yang dialami sehari-hari oleh jutaan operator resmi di seluruh dunia dan oleh anak-anak yang belajar matematika……Cyberspace adalah juga sebuah representasi grafis dari data yang diabstraksi dari bank data setiap komputer dalam sistem manusia….Di dalamnya terdapat kompleksitas yang tak terbayangkan, garis-garis cahaya yang melintas di luar ruang-ruang pikiran, kumpulan dan konstelasi data yang berseliweran. Seperti lampu kota, ia akan berpendar dan memudar.”
‘Matrix Digital Rain’ ditampilkan dalam film Matrix. Kode-kode berwarna hijau yang berjatuhan di layar seperti hujan mewakili virtual reality dari The Matrix. Huruf Latin terbalik, Huruf Katakana Jepang, Huruf Arab, serta beberapa lambing dan gambar menginjeksi The Matrix dengan aura sakral dan kuno.
Beberapa hari yang lalu, The New York Times menerbitkan artikel tentang pelapukan Capsule Tower, sebuah bangunan apartemen untuk para lajang di Tokyo. Setiap kapsul dalam Capsule Tower yang dibangun pada tahun 1972 ini, lengkap berisi fasilitas-fasilitas modern seperti televisi, tape recorder, dan kulkas. Bangunan-bangunan ini adalah contoh langka dari apa yang sering disebut sebagai Japanese Metabolism, sebuah gerakan dan tren asritektur yang terlibat dalam kebangkitan Jepang dari perang. Visi urban mereka kemudian melekat pada budaya orang Jepang pasca perang. Kota-kota dibangun dan dirancang sebagai sistem terapung yang melambangkan masyarakat yang berubah dalam transisi menuju modernitas. Pada saat yang sama, perubahan pada struktur masyarakat Jepang pun dapat jelas terlihat pada pergeseran struktur keluarga tradisional dan perpindahan arus tenaga kerja nasional. Fenomena yang terjadi di Jepang ini menarik perhatian dunia dan disambut antusias oleh para arsitek. Sekarang ini, ada gagasan untuk membuat musium arsitektur dari masa depan yang telah berlalu itu. Secara metaforis, nasib dari Capsule Tower tersebut mirip dengan kota-kota digital Rusnoto Susanto.
Karya Rusnoto Susanto mengingatkan dan membawa kita—selain pada simbol-simbol pada The Matrix secara umum—pada suasana hujan di musim gugur dalam puisi-puisi Jepang sehingga memberikan kita kesempatan untuk merenungkan lajunya dunia. Tampak jelas bahwa kepedulian Rusnoto tertuju pada struktur komunikasi dalam masyarakat urban modern, dan dampak konsumerisme melalui media internet. Kritik Rusnoto berfokus pada kepalsuan citra-citra dan pada ilusi kenyataan. Citra, imaji, dan gambaran-gambaran sama-sama dihasilkan oleh seni dan dunia virtual. Namun, perbedaannya terletak pada kemutlakan pelibatan teknologi dalam proses pembuatannya. Struktur komunikasi yang terdigitalisasi menghasilkan jauh lebih banyak citra dan gambar dengan waktu yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan apa yang mampu dihasilkan oleh seluruh seniman di dunia. Kecepatan pergerakan sistem komunikasi yang senantiasa meningkat memainkan peran yang menentukan yang pada akhirnya mengambil alih fungsi kontrol sistem politik dan sistem sosial (cf. Paul Virilio). Kehidupan sehari-hari kita diarahkan oleh informasi-informasi yang masuk dari sumber-sumber digital. Apapun yang terjadi di dunia didistribusikan secara sangat cepat melalui internet dan saluran-saluran informasi lain sehingga menciptakan belantara simulacra yang tidak dapat lagi dilihat balik atau direfleksikan.
Aliran bebas informasi melalui internet memicu gerakan sosial dan politik. Dampaknya di Moldavia sudah dikaji oleh pemerintah AS. Jaringan sosial Twitter juga memainkan peran yang penting pasca pemilu di Iran. Twitter terus menerus diberitakan sebagai satu-satunya alat komunikasi antara pendukung Moussavi dengan dunia luar. Media asing dilarang untuk melaporkan secara langsung situasi di Iran. Meskipun, pemerintah Iran membatasi akses Internet, berita-berita dari Iran tetap mengalir ke media internasional melalui kamera ponsel langsung menuju siaran-siaran berita malam di seluruh dunia.
Apapun yang visual telah menjadi alat komunikasi utama dan secara terus menerus menggantikan bahasa tulis dengan ikon-ikon dan gambar-gambar. Buku dan surat kabar akan segera hilang. Berita berubah menjadi ilusi visual sehingga yang nyata tidak dapat lagi digunakan untuk memahami yang virtual. Kudeta virtual (Virtual displacement) sungguh sedang terjadi..…
Berikut kutipan pernyataan konsepsi Rusnoto dalam sesi bedah karya dikonfirmasi mengenai beberapa hal yang menyoal kedalaman konsepsi, serangkaian referensi terbaiknya dan mengenai proses kreatifnya memiliki integrasi signifikan dengan soulscape.
Perkembangan teknologi informasi dan digital dengan segala konsekuensi pelipatan ruang-waktu virtual telah merubah berbagai pemahaman tentang ruang-waktu dan sebuah pergerakan manusia di dalamnya secara kultural yang serba mekanis mempengaruhi rutinitas kehidupan kita sehari-hari sehingga tak sanggup mengendalikannya sehingga berbalik justru kita dikendalikan keberadaannya. Pada konteks budaya urban masyarakat postmodern, urbanisasi tak lagi berarti perpindahan manusia ke kota di dalam ruang nyata, namun berkembang ke arah urbanisasi virtual yaitu perpindahan manusia secara besar-besaran ke dalam pusat kota digital ‘cyberspace’.
Krisis eksistensi begitu dekat dengan masyarakat kontemporer dalam sebuah keterlibatan cybercultures. Dehumanisasi lebih disebabkan oleh gaya hidup dalam pengertian seluas-luasnya, baik gaya belanja, gaya belajar, gaya menjalin jejaring sosial maupun gaya seksual yang serba cyber. Dehumanisasi adalah sebuah bentuk kekhawatiran yang jauh dari sikap spekulatif saya. Statement-statement saya yang munculkan dalam tesis saya ’Virtual Displacement’ menegaskan bahwa cybercultures meletakan secara tegas manusia pada posisi mengkonsumsi ’pola pendiskwalifikasian’ dirinya maupun konteks eksistensi lainnya di dalam ruang-ruang maya yang menjadi tengah dan akan tetap menjadi kebutuhan tak terelakkan lagi untuk memacu akselarasi hidupnya. Ketika proses pendiskwalifikasian dalam berbagai bentuk dieksplorasi secara ugal-ugalan pada saat ini maka manusia berada pada situasi dimana dehumanisasi mulai harus dimunculkan sebagai pokok masalah sebagai bentuk kesadaran bahwa kita sedang merayakan hilangnya lapis-lapis kesadaran humanistik. Atau kesadaran semacam ini di jadikan referensi masyarakat hari ini untuk tetap menjaga aspek nilai-nilai humanistik meskipun berada dalam arus besar cybercultures. Memang benar situasi ini akan menempatkan kita pada wilayah budaya-budaya baru yang revolusioner dimana nilai-nilai kemanusiaan beringsut adaptasi demi sebuah kemudahan-kemudahan dan nilai-nilai prestige dalam budaya baru sebagai jiwa jaman. Begitulah memang, tetapi bukankah budaya baru juga terbangun dari rangkaian panjang dan didasari referensi-referensi budaya sebelumnya? Jika demikian benarkah budaya baru berpotensi mereduksi nilai-nilai lokal budaya sebelumnya?
Nah, pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang meyakinkan saya untuk menyuntuki subject matter ’Virtual Displacement’ sebagai upaya melacak kembali ruang kreatif dalam wacana cybercultures. Keberadaan dunia virtual sebagai produk teknologi informasi telah menimbulkan berbagai pertanyaan mendasar yang serius mengenai makna informasi bagi kesadaran eksistensi. Apakah informasi itu digunakan manusia atau malah informasi yang mengekploitasi manusia. Apakah informasi dikendalikan manusia atau malah informasi tersebut yang mengendalikan manusia. Apakah informasi itu ada untuk manusia atau malah manusia ada untuk informasi. Ketika manusia sampai pada titik pencapaian tertentu maka manusia sejatinya berada pada tataran krisis eksistensial.
Persoalanya adalah bagaimana manusia tergugah kembali dan tetap memiliki kesadaran eksistensi humanistiknya meskipun berada dalam arus informasi global namun dapat tetap melambungkan impian-impiannya. Bagi saya sederhana, perkembangan wacana maupun praksis cybercultures mencuat karena pencapaian puncak-puncak ilmu pengetahuan,gaya hidup dan kebutuhan akan teknologi informasi serta disiplin ilmu-ilmu lainnya. Alasan ini kemudian menempatkannya pada ranah keilmuan yang serba canggih serta melampaui kemampuan manusia. Kapasitas pengetahuan dan pencapain yang melampaui ’dunia realita’ inilah menjadikannya sebuah pemandangan baru yang berlapis sekaligus menakjubkan, pemandangan virtual tersebut bagi saya adalah paket-paket dunia baru ’soulscape’ yang multi interpretasi dan begitu luas ’dalam’ kemungkinan dalam menjelajahi tiap ruang dan dimensinya.
Tentu Soulscape dapat memicu perumusan-perumusan estetika tertentu ketika diterjemahkan dalam teks-teks visual yang terbangun dalam berbagai konteks budaya sebagai referensi pokok. Diluar alasan kepekaan psikis dan kegalauan tertentu yang melintas sebagai ’nilai moral’ yang dipresentasikan dalam produk budaya visual seorang perupa tentu memiliki ketajaman memaknai ruang dan dimensi sesederhana apapun yang mensyaratkan keterlibatan jiwa di dalamnya baik sebagai upaya perenungan atas sesuatu yang nyata dipahami atau sesuatu yang justru tak terpahami maupun kehendak yang menjembatani persoalan yang tumbuh di luar dirinya dengan kesadaran merumuskan sintesa baru dalam ruang-ruang spiritualitasnya.[15]
Peradaban kita sedang terancam runtuh menjadi debu-debu digital dan kita tidak akan pernah bisa kembali pada titik dimana dulu kita memulai.
Rusnoto Susanto memberikan kita citra, gambar, dan simbol untuk direnungkan – hubungan antara seni, kepalsuan, kenyataan, dan ilusi. Dia sering menggunakan istilah-istilah seperti the “world of Maya” (dunia maya) – the world of Illusion (dunia ilusi) atau istilah yang banyak dikenal dalam Hinduisme, “dream of reality” (impian akan kenyataan). Sebagai sebuah manifestasi, karya-karya Rusnoto ini mencerminkan sebuah kenyataan mengambang, tetapi bukan “kebenaran” akhir. Namun demikian, penggambarannya yang penuh warna memiliki perspektif optimis yang di satu sisi mengingatkan kita tentang kondisi dalam hidup kita yang sedang berubah—mungkin nyata, mungkin juga tidak—, dan di sisi lain menguatkan peran seni sebagai alat penting untuk mempengaruhi persepsi dengan menajamkan pikiran kita dan menggiring perhatian kita kepada masalah-masalah penting dunia—meski masalah tersebut adalah “Maya” kita tidak bisa mengabaikan dampaknya pada yang “Nyata.” As a critical instrument of perception by sharpening our minds and leading our attention to the important issues in the world – even if it is a “world o Maya”, we cannot ignore its effects in “reality”.
4. A Spiritual Journey: Memindai Spiritualitas Estetika Warna dan Dimensi NUNUNG WS
Perkembangan seni lukis abstrak dalam Concerning the Spiritual in Art, Wassily Kandinsky dengan pemahaman kebenaran fundamental, sebuah inner feeling menciptakan mata rantai yang kokoh dalam mengusung dan melakukan pergulatan dan pendalaman spiritual sebagai proses penciptaan seninya. Proses pendalaman spiritualnya lebih kepada presentasi –bukan sekadar deskripsi ‘simbolisme’ logis, tetapi representasi simbolik tidak mengemukakan sebuah konsep langsung. Simbolisme local –personal- dari pemikiran memberikan pada apa yang kurang dalam jiwa (penampakan alamiah dan fenomenal) jiwa dan makna. Ketika kesadaran estetik bertentangan dengan berbagai hal religi-mistik- simbolisme bebas, maka kualitas tertentu dari perlawanan konsep simbol muncul secara organis, rasional, menjadi kurang pasti ketika kita melihat hubungannya denan estetika jenius dan empirik.
Pada 2-3 tahun terakhir pengamatan saya secara intensif menunjukkan bagian ini, suatu perubahan besar dalam karya seni Nunung WS dalam merasakan sesuatu yang memberitakan tentang penyangkalan terhadap bahan dan karya yang mencolok. Dalam karya-karya ini masih ada gaung dari guru-seninya, Nashar dan Mondrian. Mengingat proses kreatif periode sebelumnya, Nunung melukis bidang-bidang warna bukan bentuk. Pada mulanya kanvas-kanvasnya didominasi oleh bidang warna yang luas dan gelap, biasanya mengisi dua pertiga bidang kanvas keseluruhan dengan sebuah bidang warna yang berbeda melengkapi bagian dasar sepertiganya. Dua bidang warna ini umumnya menjadi berisi karena sebuah bidang batas dengan warna yang lebih terang mengelilinginya. Warna terakhir akan muncul melalui sapuan-sapuan tipis yang disapukan berulang kali sampai tercapai suatu nada yang tepat. Sentuhan terakhir akan berupa satu atau beberapa garis halus yang tegas hadir di atas kanvas atau disepanjang batas, selalu berawal dari arah kanan menuju ke kiri, seperti cara menulis tulisan Arab yang Nunung pelajari sewaktu ia masih kecil dulu.
Kecenderungan proses penciptaan seni seorang Nunung WS. Tidak saja piawai mengolah maupun mengeksplorasi dan upaya penitikberatan pada bagaimana sebuah representasi elemen-elemen visual dalam penggalian nilai estetik pada proses kreatif, tetapi ia berangkat lebih pada sebuah perenungan-perenungan spiritual. Nunung WS adalah pribadi yang matang secara pemikiran atas dasar rujukan filsafat estetik, ia lebih menekankan bagaimana mengendalikan sebagian aspek visual sebagai representasi dari gugusan perenungan dan pendalaman spiritualitasnya tentang berbagai pokok persoalan secara spesifik dan personal.
Baginya warna sejatinya sebuah representasi pendalaman spiritual. Proses kreatifnya merupakan sebuah interelasi yang cukup panjang dengan dunia seni lukis dan multidisiplin, artinya di dalam perjalanan proses kreatif seorang Nunung WS secara bersamaan membentuk pertalian sejarah diakronik kebudayaan kita. Kemudian yang menjadi pokok masalah adalah mengungkap sebuah simulasi sejarah secara menyeluruh atau bagian perbagian, apakah fakta estetika warna menjadi media spiritualitas seorang Nunung WS? Lintasan budaya Banjar yang diwariskan langsung oleh ayahandanya yang dalam keseharian mengenakan sarung Banjar dengan tenun menganyam rangkaian vibrasi spirirualitas yang tumbuh melembaga dalam jiwanya. Kemunculan warna dan bentuk geometrik dalam motif tenun tersebut begitu kaya dan inspiratif sehingga moment estetik selalu saja dapat di tangkap dalam kepekaan estetisnya.
Tampaknya seorang Nunung WS, murid kesayangan Nashar semakin menarik ditelusuri jejak kreatifnya sejak awal mengenalnya hingga akhir-akhir ini. Perjalanan proses kreatifnya yang sudah begitu panjang adalah sebuah kontribusi bagi sejarah kesenian kita yang militan –seorang pelukis perempuan yang berangkat dari pemberontakan pribadinya dalam keluarga pesantren dan ia keluar dari pesantren untuk segera memutuskan hidup dan masa depannya untuk mengabdi pada kegelisahan kreatif seorang seniman- dan ia memperjuangkan obsesinya secara soliter. Semenjak remaja Nunung WS telah dengan jelas memastikan langkah hidupnya untuk memenuhi panggilan hatinya menjadi seniman adalah pilihan penting yang luar biasa digenggamnya, kendati kemudian ia menyadari bahwa ambisinya harus dibayar mahal dengan perjuangan budaya yang secara tidak langsung memiliki kontradiksi dalam pengertian akan menghadapkannya dengan tantangan-tantangan terberat sekalipun.
Perempuan sebagai subyek telah mampu bernegosiasi dengan kulturasinya melalui pembatasan-pembatasan ideologi konvensi laki-laki malah melampaui dan melanggarnya dalam konteks sejarah kebudayaan. Ini bagian dari manifestasi perempuan Indonesia secara tidak langsung khususnya dalam batas-batas terjangkau dapat memberi energi bagi cita-cita mereka yang berseberangan dengan pandangan umum. Karenanya, tak mustakhil bagi Nunung WS dan beberapa tokoh seniman perempuan lainnya seperti Farida Srihadi, Kartika Affandi, Umi Dahlan, Ida Hajar, Lucia Hartini, Mella Jaarsma, Heyi Ma’mun dan Rita Widagdo mencuat sebagai seniman yang memiliki karakteristik estetika yang berbeda.
Lukisan-lukisannya penuh dengan warna-warna memberikan sugesti upaya pencarian yang dalam akan jiwa dari subjeknya. Kekagumannya akan warna sudah demikian terlekat dengan pengalamannya sewaktu di gunung kapur dulu dan dengan bebasnya diwujudkan sekarang ini di atas kanvas.
Kadang saya mencermati pada karya-karya sebelumnya, brush stroke dari layer-layer warnanya mencitrakan getar magi yang terstruktur dari ledakan emosi yang begitu terjaga, namun garis maupun ‘gesture’ imajinernya memberi impresi yang multi tafsir. Berbeda ketika membaca teks visual ‘hitam’ dan ‘putih’ sebagai metafora mungkin merupakan kontruksi spiritual, namun dalam pengertian tertentu spektrum warna melampaui konseptualisasi tentangnya karena bebagai aspek intrinsik yang dikenali oleh kepekaan inderawi atau perluasannya. Jadi, semacam membangun realitas baru yang objektif, bukan sekadar umbaran konsep spiritual. Warna bagi Nunung WS dapat diidentifikasikan sebagai belahan jiwa (soul mates), maka baginya warna didedah sebagai representasi dunia dalam sebagai impresi spiritualitas dan kepekaan konstruksi sosial dengan asumsi dan epistemologi lain (dengan penajaman mata batin). Baginya warna memberi sensasi personal yang memiliki makna objektif-spiritual.
Konsep garis baginya ditafsir sebagai outline atau garis dihargai nilai dan fungsinya sebagaimana mestinya, kesementaraan ekspresi diabadikan dengan garis yang begitu bernilai kapasitasnya kemudian terkelola secara optimal. Interpretasi tentang garis yang mampu menempatkannya pada ruang-ruang spirit sebagai tebaran jiwa dari pemikirannya, hal ini dapat diinterpretasikan pada fungsi yang lebih luas dari sebuah dimensi keruangan yang lebih subtil. Citra-citra yang muncul dalam keruangan pada tiap karya lukisnya menciptakan keruangan dari kausal garis yang tercipta. Jika kita amati esensi garis pada citra kaligrafi yang diterjemahkan secara inter-subyektif tidak menggali menampakan citra verbal tetapi lebih ke persoalan religi yang paling personal.
Proses dematerialisasi telah dimuali, dimana kekosongan dari tidak ada apa-apa sesuatu dapat diekspresikan melalui garis dan warna yang paling pengaruh mempengaruhi. Dalam periode ini Nunung WS menemukan "ritme pengalaman kehidupan"-nya, sebuah irama dimana kehidupannya sendiri mengambil peran. Untuk hal ini ia memperoleh bahasa piktorialnya sendiri yang pada dua tahun kemudian memberi daya tarik yang begitu kuat kepada saya sewaktu untuk pertama kalinya saya melihat karyanya, yang kemudian mendorong saya untuk menulis biografi dan proses kreatifnya yang saya mulai 2-3 tahun ini meskipun sejak 1995an saya sudah merintis niat tersebut dengan mendokumentasi referensi dan sesi wawancara disela aktivitas bersamanya.
Informasi di atas merupakan referensi faktual bahwa Nunung WS sudah cukup lama melalukan proses kreatif semacam itu, namun pada 2-3 akhir ia melakukan terobosan proses kreatif yang signifikan. Proses penarikan data diperoleh dari penjelasannya penuh dengan daya hidup dan gerakan levitasinya dan dari irama hati dan tangannya: sesuatu akan lahir dan dikenal sendiri seperti sedang mengingat kembali perjalanan kehidupannya. Bidang-bidang warna yang kemudian tegas muncul saling silang dan saling himpit menciptakan kesan vertikal dan horizontal didalam ruang imaji kita. Setelah itu subyek-subyek di atas muncul berulang kali secara teratur didalam karyanya. Karyanya bagi Nunung adalah pintu masuk ke jalan pencarian ilmu melalui proses meditasi visual dan spiritual.[16]
Bentuk adalah suatu kesatuan lahir yang selesai, upaya eksplorasi lebih lanjut pada akhirnya akan kembali pada bentuk aslinya, geometrik. Warna di lain pihak adalah tidak berbentuk karena itu sangat terbuka untuk usaha pengeksplorasian yang tidak pernah ada akhirnya. Pencarian untuk suatu perwujudan yang sempurna dari emosi telah dilakukan melalui warna. Upaya pencarian yang gigih dan sungguh-sungguh guna memperoleh warna yang tepat ini adalah suatu metafora, kiasan baginya dalam mencari kebenaran batas akhir dari suatu penegasan akan kehendak spiritualnya.
Bidang-bidang warna ini adalah merupakan perkembangan paling akhir didalam sebuah proses dari beberapa tahun. la tidak selalu bekerja dalam bidang-bidang warna yang besar. Karya lukisan-lukisannya beberapa tahun akhir ini adalah penjajaran ceria dari bidang warna yang membangun dimensi spiritualitasnya.
Soulscape: Spiritualitas Warna dan Dimensi Estetika Nunung WS
Armahedi Mahzar menyampaikan pengantar editor Fritjof Capra (The Tao of Physics), 2000, bahwa filsafat Idealisme mengambil fakta ini dan bergerak ke arah yang spiritual: segala sesuatu adalah hasil proses pemikiran mendalam. Filsafat post-structuralisme mengambil gagasan serupa tetapi sedikit lebih liar dan jauh dari nuansa spiritual: realitas yang sampai pada kita bukanlah persepsi tetapi interpretasi. Meski mental imagery dari suatu objek sebagian memang merupakan spiritual dipandu secara signifikan oleh aspek-aspek intrinsik dari pengetahuan inderawi. Pada beberapa lukisan seorang Nunung WS, citra-citra ruang kontemplasi begitu sarat, membuka peluang interpretasi yang tidak bisa berjarak dengan kepahamannya dan kesadaranya tentang spiritualitas yang tergali menjadi subject matter.
Ia menjadikan warna sebagai bagian terpenting olah spiritual yang dikelolanya dengan persepsi inter-subjektif di tebar dengan kekuatan getar ekspresi yang tak ternilai. Aspek-aspek teks visualnya acap kali melampaui kendali konsepsi, artinya kepekaan estetik semakin menajam di tiap ritual proses penciptaan meskipum lazimnya teks visual selaras atau linier dengan pokok pikiran. Local genius tampaknya menjadi persoalan yang penting dalam transformasi olah renung –qualisign- dengan cermat mewujud –sinsign- dalam proses ikonisitas sebagai gejala awal meski tidak tunggal dalam persfektif proses tafsir semiosis.
Meski ia banyak berguru di negeri orang –eropa- namun sikap, cara pandang –falsafah- dan pemikiran serta citra-citra karyanya mencerminkan ketimurannya dengan pola-pola ’sulur’ sebagai pentafsir gesture sekaligus pengikat ruang-ruang imajiner yang dikelola dengan warna-warna tertentu (terakota, kuning, merah, hijau lumut dan berbagai padu-padan monokromatik kadang komplemen) dengan disadari atau tidak menjumput kecenderungan warna-warna lokal yang dapat kita amati pada seni tenun nusantara dengan sesekali mengadaptasi warna pada tenun. Gerak bebas yang dicitrakan pada setiap hasil proses penciptaannya dengan tegas intuisi seorang yang piawai dan terasah sensibilitas estetiknya. Baginya, warna memberi sensasi personal yang memiliki makna objektif-spiritual. Statement Nunung WS yang paling spektakuler adalah ketika ia dengan tegas menyampaikan obsesinya bagaimana seorang penikmat lukisannya kelak harus buka sepatu -jika perlu cuci kaki- sama ketika hendak masuk ke ruangan pamerannya, layaknya seseorang mau melakukan ritual suci. Menghadapi lukisannya, kita selayaknya masuk dalam sebuah ruang kontemplasi yang begitu hening. Ia mentransform getaran spiritual Borobudur ke dalam barik-barik kanvasnya, warnanya sejatinya membuka dimensi sebuah kekuatan telusur yang luar biasa.
Melukis baginya sebagai perjalanan spiritual. Berbagai aspek kehidupan yg dihantar dengan serangkaian ritual. Spiritual diperoleh dari keluarga terdekat dengan latar belakang spiritual. Berangkat pada pendekatan pengamatan saya mengenai pemahaman proses kreatif seorang Nunung WS, dalam sesi wawancara dan bedah karya yang dilakukan peserta pameran Soulscape beberapa waktu lalu. Paling tidak memperoleh ilustrasi dan penegasan mengenai berbagai aspek terkait dengan landasan proses kreatif.
Nunung WS berpandangan bahwa ‘Seni Abstrak yang dianutnya adalah suatu perjalanan yang transenden – A SPIRITUAL JOURNEY – begitulah aku menyebut lakuku dalam melukis’. Ada tiga poin yang mendasari perjalanan ini: magis, mistis, dan religius yang ketiga-tiganya selalu hadir dan acap kali dihadirkan karena konstruksi budaya tradisi yang sangat kental. Mungkin banyak orang yang berkeinginan untuk melupakan atau malah meninggalkannya, namun hatiku merasa terpanggil untuk masuk kedalamnya.
Pengalaman ‘penghayatan’ atau penajaman intuisi ia peroleh dari pelukis Nashar yang memicunya pada pencapaian sensitifitas yang tinggi. Sensitifitas estetiknya menjadi senjata menjelajah bentuk-bentuk abstrak yang selama ini diyakininya. Warna-warna tenun, sarun, topeng dan warna-warna pada sebuah upacara sangat menarik baginya, ketertarikan itu cenderung pada adanya unsur-unsur transenden misalnya adanya warna-warna tertentu yang hanya bisa dipakai untuk orang tua atau anak-anak dalam suatu upacara, seperti upacara di Pura kebanyakan warna kuning, putih sangat dominan seakan warna tersebut menghantar mereka untuk bertemu sang penciptanya. Memang Nunung WS memiliki rasa ketertarikan luar biasa untuk terlibat dalam upacara untuk mencari dan merasakan apa yang ia rasakan, dan rasa itulah yang ingin dicapai dalam penciptaan melalui warna. Jadi bukan kehiruk-pikukan upacara yang ingin dicapai tapi muatan spiritual disana esensi warna dimunculkan. Konsep garis baginya ditafsir sebagai outline atau garis dihargai sebagai nilai dan fungsinya sebagaimana mestinya, kesementaraan ekspresi diabadikan dengan garis yang begitu bernilai kapasitasnya kemudian terkelola secara optimal. Interpretasi tentang garis menempatkannya pada ruang-ruang spirit sebagai tebaran jiwa dari pemikirannya, hal ini dapat diinterpretasikan pada fungsi yang lebih luas dari sebuah dimensi keruangan yang lebih subtil.[17]
Citra-citra yang muncul dalam keruangan pada tiap karya lukisnya menciptakan keruangan dari kausal garis yang tercipta. Jika kita amati esensi garis pada citra kaligrafi yang diterjemahkan secara inter-subyektif tidak menggali dan menampakan citra verbal tetapi lebih ke persoalan religi yang paling personal. Penempatan elemen-elemen rupa sebagai kelengkapan kaligrafi berupa garis maupun titik dimaksud sebagai penciptaan-penciptaan ruang-ruang yang membangun dimensi spiritual. Dengan nuansa spiritual yang sama juga kita temukan sebuah pencapaian geometris pada suatu kondisi seorang Nunung WS memasuki ruang-ruang transenden, spiritual, dan citra magi kemudian digetarkan ke luar frame ke ruang perenungan di luar dirinya. Ini yang menjadikannya berbeda dengan kaligrafi yang mengabdi pada bunyi dan kertundukan pada kaidah-kaidah keindahan kaligrafi yang konvensi.
Penempatan elemen-elemen seni rupa sebagai kelengkapan kaligrafi berupa garis maupun titik dimaksud sebagai penciptaan-penciptaan ruang-ruang. Dengan nuansa spiritual yang sama juga kita temukan sebuah pencapaian geometris pada suatu kondisi seorang Nunung WS memasuki ruang-ruang transendent, spiritual, dan citra magi kemudian digetarkan ke luar frame ke ruang perenungan di luar dirinya. Ini yang menjadikannya berbeda dengan kaligrafi yang mengabdi pada bunyi dan kertundukan pada kaidah-kaidah kaligrafi yang konvensi. Terutama pada karya-karya mutakhirnya yang menjadikan sistem keruangannya merepresentasikan term itu. Sebuah terjemahan Alif (dapat dikaitkan dengan Alif Lam Mim sejajar dengan terminologi Yassin; hanya Allah yang mengetahui) mengenai perihal keIllahian melalui lintasan-lintasan bidang, ruang dengan warna-warna yang saling tindih membentuk karakter horizon dan vertikal mengingatkan saya pada pernyataan-pernyataannya mengenai keharmonisan hubungan alam dengan manusia, manusia dengan alam, alam dengan Tuhan, dan manusia dengan Tuhannya. Dan, di sanalah memunculkan lapis-lapis spiritual religi sekaligus implisit menegaskan kekuatan jalinan lapis-lapis spiritual humanistik.
5. Sulebar M Soekarman: Revitalisasi Spiritualitas KeIllahian
Sulebar M Soekarman, pelukis abstrak generasi 70-an yang sangat concern pada perkembangan wacana seni lukis abstrak diaktualisasikan pada aktivitas menulisnya pada 70an akhir hingga kini melahirkan ribuan pokok-pokok pikirannya mengenai kajian dan pemetaan seni rupa Indonesia dan beberapa waktu lalu meluncurkan tafsir buku Pendalaman Spiritual Dalam Seni (Concerning the Spiritual in Art) dari seorang pelopor seni lukis abstrak Wassily Kandinsky. Mengingatnya adalah mengingat sosok pemikir yang sahaja, organisatoris yang luar biasa, dosen IKJ yang berdedikasi tinggi dalam dunia pendidikan meski telah menghabiskan masa pensiunnya untuk tetap menyusun kembali pemikiran-pemikirannya yang tidak mustakhil menjadi -babon- penting dalam sederet rujukan ilmiah.
Perkembangan karyanya kian subtil ketika ia mengelana pada dimensi ruang perenungan yang kian simplicity. Jejak ini kentara pada penggarapan proyek mutakhirnya tentang Asmaul Husna, ini sebuah indikasi spiritual yang lain bagi Sulebar yang mulai mengeksploitasi warna-warna ‘alam’ sebagai pencitraan bahasa qolbu yang semakin arif. [18] Kearifan pada garis-gari ritmis mengaransment beberapa idiom formal lain sebagai gejala visual yang saling menjalin. Pada seri karya ini ia semakin mantap dengan keyakinan spiritualnya sekaligus impian-impian religi yang terpenggal-penggal oleh berbagai impian-impian lainnya. Karya persembahan kepada hal yang bersifat keIlahian sebagai muara proses spiritual yang senantiasa dituturkan. Auranya sinebar ke bagian-bagian terkecil yang keluar dari frame kesenilukisannya menyapa ruang-ruang kontemplatif yang lebih personal pada dirinya maupun penikmatnya.
Dengan pencitraan yang berbeda meskipun pendekatan spiritual yang berdekatan seorang Sulebar M Soekarman, melakukan proses revitalisasi-revitalisasi raga secara implisit adalah manifestasi revitalisasai spiritualitas keIllahian yang menjadi titik tolak proses kreatifnya. Kemudian merevitalisasi aspek spiritualitas sebagai subject matter yang tetap menganyam jejak proses kreatif puluhan tahun sebelumnya. Kompleksitas persoalan hidup dan pemikiran-pemikirannya menjadi rangkaian pola kreatif untuk selalu melakukan pendekatan pada mengolah raga (shape) dengan intens sebelum mewujud –terjadi- bentuk. Ia begitu menikmati dan menghargai proses meraga-nya ketimbang pencapaian hasil akhir, hal ini pernah kita diskusikan secara serius dan dengan tegas bahwa ia tidak lagi mementingkan teknik pencapaian artistik dalam proses meraga. Meraga-nya justru sebuah jejaring konsepsinya pada proses tumbuh berkembang yang sejatinya bergerak sendiri tanpa tekanan pencapaian-pencapain bentuk tertentu sebagai hasil akhir. Dalam gerak ada kekuatan Illahi yang membangun, bahwa keindahan yang muncul di alam memiliki keindahan sendiri. Estetika seni lukisnya pada hakikatnya mempunyai keindahan estetikanya. Pada titik transenden maka pencapaiannya pada penikmatan ruang kebahagiaan segera memasuki kasampurnan laku hidup kita pada posisi penghancuran dari sinilah ia menggilai Asmaul Husnah.
Prosesi-prosesi meraga pada kekaryaannya adalah ritual suci yang dinikmati dengan penghayatan kedalaman sejumput meaning yang dapat kita interpretasikan pada jejak tanda (ikon) yang bermunculan saling menguatkan. Keriuhannya pada beberapa karyanya terkesan problematik namun ia tepis dengan permainan layer-layer sebagai upayanya untuk menggali olah renung yang menenangkan, kerinduannya pada ruang-ruang kontemplasi begitu terasa pada bidak-bidak ruang ilusi yang secara tidak sadar terbentuk dari layer-layer warna maupun kolase kain batik dan tenun serta kertas daur ulang. Pemanfaatan media campuran menjadi persolan serius memang namun kesan yang muncul kemudian justru begitu sederhana dan mengalir secara intuitif mengikuti karsa lan rasa seolah tak bisa terhenti merekam lintasan-lintasan pemikiran menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi proses spiritualitasnya.
Ia adalah seorang yang berusaha melakukan revitalisasi perspektif estetika sekaligus spiritualitasnya untuk terus mengejar dan ‘merumuskan’ kembali kebenaran yang diyakininya sendiri dan berlari ke depan mengemukakan karya seninya sebagai penerang masyarakat. Dengan kepekaan estetis serta wawasan intelektualitasnya, ia melahirkan suatu karya yang ‘indah’ dan ‘keindahan’ yang terkandung di dalam karya itu harus dapat dirasakan oleh pengamat dengan kepekaan tertentu. Sulebar M Soekarman merasakan panggilan untuk menciptakan sebuah karya seni, dengan demikian adalah suatu kebutuhan yang fitri, suatu yang wajar, alami dan tidak dibuat-buat atau terlebih dipaksa-paksa. Karya seni adalah pancaran jiwa pribadi seorang seniman. Karenanya lukisan adalah cerminan atau refleksi kehidupan.
Baginya proses penciptaan adalah serangkaian perjalanan spiritualitas memasuki ruangan-ruangan yang penuh dengan pintu-pintu gerbang. Yang sering ia nyatakan bahwa, kesadaran untuk memilih, membuka, dan memasuki sebuah pintu gerbang adalah keharusan seorang seniman modern yang sadar bahwa karya seninya adalah seperti anak zaman. Seni Abstrak baginya lebih kepada proses pemikiran, keyakinan bersikap dan tanggungjawab perilaku dalam berkesenian untuk menghadapi situasi masa kini dan masa depan. Seni Abstrak bukan lagi dipandang sebatas sebagai gaya atau isme yang memberikan keterbatasan, batasan-batasan kaku ataupun kebebasan dari yang ditampilkan (secara visual), tentang permasalahan non-bentuk ataupun non-figuratif, tetapi lebih kepada esensi kehidupan itu sendiri. Sebuah wacana dalam menyikapi esensi kehidupan itu, sebuah semangat kemerdekaan yang dengan sadar dan akan dibawa kemana kehidupan itu sendiri.
Estetika menjadi cerminan laku Sulebar M Soekarman dalam mengarungi kehidupan ini, ia berupaya keras tidak kaku hanya menuruti satu atau dua gaya ataupun kaidah akademis. Pada setiap lukisan ia member perlakukan mereka masing-masing sebagai sesuatu yang otonom, yang memiliki kandungan dan estetika sendiri-sendiri. Menurutnya, kalau toh mereka itu saling berhubungan, karena ada tangan-tangan saya yang membantu menghadirkan mereka itu di dunia yang fana ini. Seorang seniman sebagai pencipta adalah pembawa nilai-nilai ‘baru’.[19]
Baginya proses pemahamannya mengenai Asma’ul Husna adalah Perbendaharan, Kekuatan, Sifat-sifat Bijak, dan Perilaku Bijak Allah. Menurutnya, makna dari Nama-nama tersebut sungguh tak terbatas dan tidak dapat digambarkan meskipun seluruh air di lautan dan pepohonan di dunia ini dijadikan pena untuk menulis, maka kita tidak dapat menuliskan dengan tuntas mengenai penjelasan-penjelasan dari atribut-atribut indah Tuhan tersebut. Nama-nama itu adalah kekuatan Allah: semua nama merupakan atribut-atribut-Nya yang dikenal sebagai kasih. Semua nama itu adalah tugas-tugas yang ditunaikan Tuhan; Nama-nama itu adalah Sifat-sifat-Nya.
Asma’ul Husna tidaklah dapat disingkap berdasarkan kearifan manusia. Namun disinilah yang menakjubkan: pada siapa saja yang bertanya, sebuah penjelasan akan diberikan sesuai dengan (keadaan) kearifannya, sesuai dengan ide-idenya dan sesuai dengan pikirannya. Karena kearifan dan kemurnian seseorang berkembang, maka makna-makna yang kian lama kian mendalam itu akan tersingkap. Disini tidak dapat menjadi sebuah jawaban yang tetap.
Makna utuh dari Asma’ul Husna tidak mempunyai batasan. Ini hanyalah suatu penjelasan yang diberikan sesuai dengan kapasitas mereka. Perbendaharaan Tuhan adalah seperti itu: ia akan jelas sesuai dengan kapasitas mereka yang mendengarkan. Semuanya itu merupakan penjelasan yang sangat ringkas; penjelasan-penjelsan itu tidaklah sangat panjang, tetapi penjelasan-penjelasan itu akan masuk dalam kalbu (hati yang paling dalam).
Untuk mencapai kesempurnaan yang dimaksud, orang Jawa akan menselaraskan hidupnya lahir dan batin, kepentingan dunia dan akherat. Kehidupan lahiriah diatur dengan tata-krama, etika moral sedang yang batiniah dengan menjalankan laku, suatu tindak dengan keyakinan tinggi agar mampu mengendalikan angkara, hawa nafsu dan egoisme yang ada di dalam diri manusia yang menjadi penghalang jalan ke arah kesempurnaan.
Mengamati proses kreatifnya tentu bukan sesuatu tindakan mudah sampai pada jarak terdekatnya dengan pemahaman berbagai aspek yang diyakininya sebagai kekuatan spiritualnya. Bagaimana ia melakukan pendekatan kulturalnya dengan dunia pewayangan, candi dan seni tradisi batik misalnya, ia tak tanggung-tanggung melakukan totalisasi pemikiran-pemikirannya. Tradisi yang diyakini sebagai cikal bakal seni lukis yang hingga saat ini diyakini sebagai mediasi dirinya dengan proses transenden dalam wacana spiritual religi sekaligus pembentukan karakteristiknya yang humanis.
Kita dapat mengamati sisi permukaan dalam karya-karyanya dengan sedikit membedah proses kreatif yang melatarbelakangi, khususnya karya spektakulernya dengan ukuran 1000 x 200 cm untuk pameran roadshow Soulscape di TBY Yogyajarta, Tonyraka Art gallery Ubud dan Galeri Nasional Jakarta. Ketika proses kreatifnya dilangsungkan maka proses kajian estetik pada tiap bidang karyanya di mulai, referensi dan pernyataan pribadinya berkaitan dengan proses perenungan dan pemikiran intelektualitasnya.[20]
Pada sesi bedah karya, saya dan Anton Larenz seorang Antropolog dan penulis seni rupa dari Germany berkesempatan melakukan berbagai konfirmasi berkaitan dengan teks-teks visual yang berserak pada bidang-bidang lukisannya. Banyak hal yang terungkap disana, mulai soal referensi, inspirasi, daya gugah, obsesi pemikiran dan picu spiritual yang paling mempengaruhi proses kreatifnya selama ini sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Islam dan banyak tulisan tentang Kejawen (Ki Ageng Suryamentaram, Sosrokartono, bermacam-macam serat Jawa). Kehidupan lahiriah dianggap sudah sewajarnya diatur dengan tatakrama, karena yang lahir adalah berupa cerminan kehidupan batiniah. Dari perbuatan, perilaku, tutur sapa seseorang akan tercermin keadaan jiwanya yang baik ataupun buruk. Kehidupan batiniah diupayakan kesempurnaannya dengan mengendalikan yang lahiriah, misalnya dengan laku berpuasa, menyepi, membersihkan hati untuk mencapai keheningan hati dan pikiran. Ikhlas apabila kehilangan, tidak marah kalau disakiti orang lain, menyesali kesalahan, murah hati dan senantiasa pasrah hanya kepada Tuhan. Puncak kesempurnaan ialah bersatu dengan tuhan, manunggaling kawula gusti, ketidakraguan lagi melepas hawa nafsu dan sampainya percampuran sukma.[21]
Pemahaman spiritualitasnya membukakan proses-proses perenungan berikutnya yang kian luas dan menajam, bagaimana perspektifnya tentang kehidupan dari dimensi metafisik dan dimensi religi. Ia paparkan sambil sesekali menunjukkan potensi-potensi iconic yang paling representatif untuk menggambarkan vibrasi spiritualnya. Konfirmasi dilakukan secara intensif untuk memperoleh data primer yang paling akurat sebagai upaya bahwa penulisan ini menjadi pokok-pokok pemikiran ilmiah.
Di area piktorialnya, ia membangun sistem tanda khusus seperti simbol representasi Asmaul Husna yang terstilasi dari muasal kaligrafi misalnya, barik-barik tenun dan batik yang hendak mencitrakan dimensi kepahamannya dengan Islam Kejawen. Penggunaan warna-warna dingin dan komplementer hijau-merah tampaknya mencitrakan persilangan berbagai dimensi spirirualitasnya yang ia temukan sebagai bentuk kesadaran spiritualitas tertentu yang personal. Warna dingin merepresentasikan penyikapannya terhadap aspek emotif di dalam dan di luar dirinya yang hendak ia tekan representasi fisiknya, kemudian ia mensarikan aspek emotif tersebut (kesombongan, konsumerisme, materi, kekuasaan dan evolutif radikal serta hedonisme) menjadi representasi psikisnya yang dingin dengan menyimpan kekuatan eksplosif secara spiritual.
Menikmati karyanya seolah tengah berhadapan dengan puzzle dimensi spiritual masa lalu dan spiritualitas baru yang tak terjemahkan, di dalamnya sarat pesan dan nilai tutur tanpa batas usia dan teritori. Bagi saya, Sulebar M Soekarman seorang tokoh yang komplit dan cair dalam berbagai hal termasuk keterbukaannya menerima fenomena kekinian dengan laju perkembangan dunia maya yang mendigitalisasi masyarakat dunia dewasa ini. Kehadiran kolase di sekujur karyanya menjadi kekhasan proses kreatifnya sejak lama meskipun di sana-sini terjadi perubahan yang signifikan muncul sebagai bentuk proses penyerapan spirit-jiwa jaman dengan perbagai persoalan kebudayaan kontemporer. Artinya, ia seorang yang consern dengan kajian-kajian budaya tradisi dan kajian kontemporer dengan menyerap berbagai referensi aktual yang memberikan jiwa bagi karya-karyanya, soulscape menjadikannya berada pada puncak pencapaian estetika dan spiritualitasnya.
6. Rasio Rasa, Metamorphology dan Gugus Spiritualitas Utoyo Hadi
Transsendence Square merupakan pemilihan jiwa yang paling representatif bagi Utoyo Hadi karena ia cukup tajam merasakan apa yang orang tidak rasakan dan orang lain ketahui. Pencitraan ruang transenaden begitu mengajak mata batin kita dalam menelusuri tahapan-tahapan untuk sampai pada ruang spiritual paling inti. Kedalaman lorong maya sungguh-sungguh sangat memukau dengan rona menebar pada layer-layer yang dapat diasumsikan sebagai tahapan olah spiritual. Pemilihan warnanya sepintas riang –segar- namun jika kita amati dengan seksama, spektrum warna hijau mengirim daya hipnosis menyentuh tataran lapis psikologi eksistensial. Dimana Utoyo Hadi mengajak kita semua untuk menggali potensi spiritulitas pada tahap perenungan dan penggalian sebuah identitas kemanusiaannya.
Proses pencapaian transendensi ini tidak saja muncul begitu saja; sejak tahun 60an Utoyo menyadari pilihannya untuk merambah seni abstrak sebagai tantangan kreatifitasnya. Studi karya-karya seni abstrak dari para seniman dunia dilakukan secara intens, terutama dari sisi inovasi visual maupun konsepsi pemikiran meraka. Seperti ditegaskan dalam salah satu pernyataannya:
Yang saya maksud dengan konsep awal adalah memposisikan diri atau memetakan diri di gelombang besar Seni Abstrak duna, sebelum konsep dasar penciptaan. Di tengah-tengah eskalasi dan instalasi seni abstrak dunia, seorang pelukis abstrak akan terombang-ambing kehilangan arah, atau berhenti pada prinsip individualnya. ....Bagaimanapun juga saya menyadari bahwa saya adalah pewaris dan penerus kelangsungan hidup seni abstrak dunia, sebagai pewaris dan pelukis abstrak saya harus mampu mencermati, mengritisi apa yang mereka pikirkan, rasakan dan capai pada proses dan final ciptaan pada era sebelum saya.
Kajian tentang ilmu bentuk (morphology) pada karya-karya Picasso era kubisme dicermatinya sebagai upaya inovasi dalam upaya memvisualkan gerak dan irama dalam idiom abstrak. Demikian juga impresi yang senada sewaktu mempelajari apa yang dimaksud dengan ‘suara dari dalam’ dari Kandinsky, yang baginya dapat disebut sebagai pengembangan ilmu bentuk dalam pemahaman dialog intersubyektif terhadap alam, garis dan bentuk formal. Penjelajahan spiritual dalam alam pemikiran abstrak ini tidak terhenti hanya pada pengamatan dan perenungan kepada kedua pelukis dunia di atas, tetapi juga berlanjut kepada Mondrian, George Braque, Marcel Duchamp, Juan Miro, Gris (di Eropa) dan pelukis Jasper John, Archile Gorky, Jackson Pollock, Mark Rothko, William de Koning, Frank Stella, Roberto Matta (di Amerika) serta banyak lagi lainnya.
Dari Roberto Matta, Utoyo Hadi menemukan mata rantai yang dapat menghubungkan prose kreatifitas abstraknya. Baginya bahwa “… Roberto Matta ibarat sebuah rumah yang cocok buat saya mengisi dan mengolah interiornya. Akan tetapi bolehkah saya mengisi? ....”
Sulebar M. Soekarman memaparkan tanggapan terhadap dasar pemikiran dan olah kreatif Utoyo Hadi secara terperinci, ia menyatakan; selain itu dengan tegas Utoyo Hadi bersikap bahwa sebagai seorang pelukis abstrak, ia harus berfikir rasional untuk memahami mana yang irrasional, disamping harus memperkuat sisi rasio untuk mengelola rasio-rasa. Olah rasio-rasa yang intensif ini bagi Utoyo Hadi tidak hanya dilakukan dengan petualangan daya pemikirannya melalui bacaan pustaka (buku, majalah dan sebagainya), tetapi juga diimbangi dengan petualangan fisik, menjelajah langsung alam Nusantara, mempelajari dan mengamati pelbagai kegiatan komunitas masyarakat tradisi dan modern yang sedang tumbuh berkembang di pelbagai desa dan kota. Pengembaraannya di pelbagai hutan primair (primary forest) dan rimba hujan (rain forest) di Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera telah menjadikannya semakin arif dalam menangkap vibrasi murni dari alam, lingkungan dan kehidupan itu sendiri.
Endapan-endapan pengalaman batin dari petualangan yang luar biasa yang menumpuk dalam dirinya ini menjadi sumber penciptaan Utoyo Hadi dalam berkarya yang tidak pernah terhenti dengan daya kerja yang luar biasa. Menurutnya, konsep berkarya mewakili 2 (dua) sisi: (1) Elemen manusia: Barik (texture), pola garis, warna, bentuk yang dibuat manusia. Dengan dimensi dan ruang yang komplek. Keluhuran budidayanya, kepandaiannya, kearifan dan kemanusiaannya maupun kepongahan, kesombongan, kegenitan dan sifat yang merusak alam; dan (2) Elemen alam: Daur murni atau daur emasnya, kesuburan, kekeringan maupun kerusakannya oleh manusia. Kedua sisi tersebut lebih jauh mencakup kehidupan spiritual, ritual, mistis, sosial dan religi, dalam segi perkembangan maupun kerusakannya. Transendensi maupun degradasinya.
Spiritual Metamorpologi
Yang perlu dicatat dari pengembaraan spiritual Utoyo Hadi dalam memaknai spiritual metamorpologi yang nantinya menjadi sumber penciptaan karya-karyanya adalah petualangan-petualangan yang dilakukan di:
1) Wilayah hutan primer (primary forest)
2) Wilayah manusia – modern.
Dengan kesadaran rasio dan rasio rasa sebagai seorang pelukis abstrak, ia mampu menangkap simbol-simbol yang dipancarkan dari kedua wilayah tersebut. Dari wilayah hutan primer, pertama yang ditemuinya adalah hutan belantara dengan struktur vertikal yang tersusun dari pohon-pohon dengan diameter lebih dari 10 m yang tegak, tinggi menjulang tidak terlihat puncak ujungnya. Akar-akarnya berbentuk sirip roket dengan tinggi 2-3 m, dan kontur tanahnya yang berbukit kelihatan seperti ratusan roket raksasa yang siap meluncur ke ruang angkasa. Kedua, setelah masuk lebih ke dalam dan lebih tinggi lagi, nampak pemandangan yang spektakuler: sisa-sisa sirip yang kelihatan hanya ujungnya saja dan menyerupai keris-keris raksasa, berdiri miring dengan ketinggian 3-5 m mengelilingi ruang kosong dengan diameter ± 3m membentuk struktur piramidal. Ketiga, struktur vertikal-horizontal. Pohon-pohon raksasa berjajar menjulang tidak nampak ujung-ujungnya, karena tumbuh di ceruk antara dua bukit, akar-akar sirip roket itu membentuk bulatan dan sebagian masuk ke tanah (humus). Didepannya melintang batang-batang pohon besar yang tumbang dalam posisi horizontal penuh dengan bagian akar dan bagian puncak pohon tidak nampak. Yang tertangkap adalah garis-garis lurus vetikal terpotong dibawahnya oleh garis horizontal. Keempat, suatu simbiose antara sejenis serangga (jumlahnya ribuan) dengan pohon-pohon. Kelihatan seperti setting sebuah panggung yang surealis. Utoyo berdiri di tengah-tengah kelompok pohon yang setiap pohonnya terbungkus seperti plastik tipis (membrane) dengan rapi sehingga tidak nampak sama sekali kulit pohonnya. Terkesan: di tengah hutan belantara nampak tumbuh beberapa kelompok pohon plastik. Padahal itu adalah simbol dari salah satu peristiwa simbiose yang terjadi di hutan primer pada musim dingin dimana ribuan sejenis serangga kecil berkembang biak dan bersarang pada permukaan batang sejenia pohon sehingga nyaris menyelimuti atau membungkus pohon tersebut. Simbiose ini terjadi karena pohon itu akan mati kalau tidak ada serangga tersebut karena sekaligus berfungsi sebagai penghangat di musim dingin. Dan serangga itupun akan mati atau putus perkembangannya bila pohon itu tidak ada, karena tidak ada habitat yang cocok untuk kelangsungan hidup serangga itu. Kelima, sebuah medan barik (texture) dengan aksen warna sebagai tanda atau simbol daur murni yang sempurna dari sebuah hutan primer. Simbol ini ada bila usia hutan tropis ini sudah ribuan tahun. Pada keremangan, cahaya yang sampai hanya sedikit karena terhalang kerimbunan tumbuhan, disela-sela batang dan kar pohon-pohon raksasa, terhampar lumut yang berwarna-warni, padat, matang, temaram disana-sini muncul bunga-bunga dengan warna primer: yellow lemon, cadmiun red dan orange.
Beberapa catatan menarik dari Sulebar M. Soekarman di atas dipaparkan ketika saya begitu sulit mencerap dan menanggapi poin-poin pemikiran seorang Utoyo Hadi, namun ia mampu menterjemahkan misteri pemikiran-pemikirannya untuk melengkapi catatan saya. Sejujurnya saya tergugah mencermati karya-karya Utoyo Hadi namun keterbatasan empaty dan rasa kritis saya sehingga kebuntuan-kebuntuan acapkali muncul ketika poin koma terhenti ketika hendak bergegas merangkai pencermatan selanjutnya.
Dari pengembaraan Utoyo Hadi di wilayah komunitas manusia, ia menjelajahi daerah atau lokasi masyarakat tradisional, suku terasing, daerah kumuh, urban ataupun wilayah elit di perkotaan dan metropolitan. Ini semacam bentuk kecermatan dan kesadaran emosional dan intelektualnya untuk mendokumentasi kepekaan demi kepekaannya terhadap fenomena alam yang berada di hadapannya sekaligus melakukan proses edukasi pada diri dan lingkungannya. Kesadaran yang tumbuh secara alami karena kedekatannya dengan subject matter tersebut selama kurun 30-40 tahun terakhir ia melakukan proses eksplorasi penciptaan seninya. Ia menjumput potensi kekayaan alam dalam sebuah pendekatan metamorphology yang memposisikannya secara strategis berada pada inti subjek untuk merangkul alam serta kapasitas misterinda yang terintegrasi dalam keliaran ekspresinya dalam aktivitas kreatif.
7. Soulscape: Sebuah Pendalaman Materi dan Kesadaran Tertinggi Yusron Mudhakir
Selama hampir tiga tahun terakhir saya mengamati perkembangan proses kreatifnya dan terlibat perbincangan di wilayah wacana yang lebih umum kemudian mendorong saya untuk lebih mendekatinya secara konseptual. Alasannya sederhana karena Yusron bagi saya pribadi yang simpatik, cerdas, kritis dan visioner. Apa-apa yang dikerjakan hampir tak lepas dari apa-pa yang dia gelisahkan dan dia pikirkan, dia cenderung pribadi yang tenang dan sangat berhati-hati dalam menentukan pilihan olah kreatifnya. Yusron pemuja Malevich dan Victor Vasarelly tampaknya memiliki alasan yang kuat karena ada banyak hal ia memiliki kecenderungan pemikiran dan proses kreatif yang secara tidak langsung menginfluence pada kapasitas tertentu serangkaian proses penciptaannya. Pola kerja perfeksi seorang Yusron meyakinkan saya bahwa ia seorang yang bekerja penuh pertimbangan dan kecenderungan semacam ini yang melekat pada karakteristik kedua inspiratornya.
Eksperimentasinya senantiasa merujuk pada referensi-referensi Timur meski dalam representasi visualnya ia mampu merepresentasikan citra-citra visual seni rupa kontemporer yang memiliki kekuatan spiritual lokal termasuk referensi-referensi Asia lainnya.[22] Ia melahap referensi-referensi W. Kandinsky, Malevich, Victor Vasarelly dan Mondrian secagai picu kreatifnya. Ia juga penggila pemikiran-pemikiran Malevich yang disandingkan dengan referensi-referensi spiritual religi Islam dalam berbagai pandangan.
Ia meyakinkan kita semua bahwa soulscape sebagai jalan menuju pada kesadaran tertinggi yang berusaha untuk mencapai pembahasan mengenai bagaimana nilai-nilai spritual mempengaruhi seluruh proses penciptaan karya seni. Sikap semacam inilah yang menjadikan masing-masing seniman yang terlibat segera menyamakan visi ke depan bahwa pameran ini berangkat dari sebuah kesadaran bahwa setiap proses penciptaan tak sekadar melalui tahapan praktik artifisial lebih dari itu proses penciptaan juga harus melalaui tahapan spiritual. Yusron juga mengasumsikan pandangannya bahwa jika esensi dari sebuah penciptaan adalah perihal eksistensi maka ketika ia kita tarik pada garis kesadaran tertinggi, esensi sejatinya sebuah karya seni adalah mutlak bersifat spiritual. Dan, kita tengah berupaya keras untuk menggalinya dalam-dalam.
Pandangan ini tak sekadar konfrontatif dengan perspektif dan logika barat, karena pada prinsipnya budaya kita berkeinginan keras menyempurnakan rasionalitas dengan melewati proses berabad-abad apa yang dinamakan perspektif intuitif spiritual. Budaya kita menggalinya dalam persiapan bagaimana manusia tidak hanya meletakan dasar kemanusiaannya dengan landscape pemikiran dan kecerdasan logika namun tetap dikukuhkan dengan kecerdasan emosional dan spiritualitasnya. Pada konteks ini kita tidak tengah menggunjingkan Barat-Timur namun melakukan proses kesadaran intelektual yang mengacu pada dimensi kesadaran emosional yang lebih bersifat spiritual.[23]
Menatap karya Yusron Mudhakir bagi saya merupakan kesempatan terbaik meletakkan kesadaran diri manusia berada dihadapan cermin besar yang merefleksikan berbagai realitas di dalam realitas-realitas baru yang dihadirkan. Pemilahan bagian-bagian bidang olah kreatifnya membentuk permainan ruang-ruang illutif yang mampu menggugah tanggapan intersubyektif dalam menelusuri tiap square elemen visualnya. Bidang-bidang square yang ditebar ke segala penjuru mendesak ruang imajiner kita mengenai puzzle spectrum warna yang begitu kaya terumbar di atas aksentuasi tekstur yang mengisyaratkan brushstroke-brushstroke bercitra oriental yang tengah di torehkan atas dorongan hasrat spirirualnya dalam dzikir.
Soulscape, Sebuah Konsep Tentang Kembali ke Timur
Pemahaman kita tentang soulscape sebagai terbukanya jalan menuju kesadaran nilai-nilai spritual yang mampu mempengaruhi seluruh proses penciptaan karya seni, sebuah kesadaran bahwa setiap proses penciptaan tak hanya melalui tahapan praktik artifisial juga melalaui tahapan spiritual.
Dalam pemahaman yang sederhana, pengertian soulscape itu sendiri banyak mengambil apa yang diwariskan oleh Sudjojono dengan "jiwa Ketok"nya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa jiwa ketok itu sendiri diadopsi dari tradisi filsafat barat hingga kita tidak bisa begitu saja menafikannya. Bahwa dalam pandangan saya, menemukan kebaruan dalam aspek visual -terutama seni lukis- adalah praktik yang nyaris mustahil, maka sudah sewajarnya saya secara pribadi memindahkan medan permasalahan pada wilayah spiritualitas penciptaan. Sebab dalam medan inilah kesenian kita dapat merebut eksistensi dengan menemukan identitasnya sendiri. Soulscape adalah sebuah kemungkinan bagi kita untuk mensejajarkan kesenian kita dengan pencapaian-pencapaian kesenian barat pada umumnya.
Pada mulanya, seperti yang saya yakini, jiwa tidak mengenal Barat dan Timur. Ia adalah pusat, sebuah kutub dari kesadaran tertinggi spesies kita, manusia. Kesadaran duniawi kitalah yang membelah peta besar yang tadinya menyatu menjadi serpihan-serpihan kecil, kesadaran terendah kita yang memisahkan antara aku dan kamu, kita dengan mereka, barat dan timur dan lain sebagainya. Kesadaran duniawi ini tumbuh subur dan berkembang pesat di barat, bahkan harus di akui bahwa pencapaian peradaban manusia saat ini berhutang pada filsuf-filsuf Yunani yang memulai tradisi pemikiran di barat sejak 6 abad sebelum masehi. Fakta tersebut tentu bukan merupakan anjuran bagi kita untuk merasa inferior, sebab bagaimanapun, pada kenyataannya agama-agama besar di dunia lahir dari timur. Pada rentang perjalananannya kita juga dapat menyaksikan bahwa kedua hal tersebut, teologi dan filsafat saling mendekat dan secara alamiah saling hidup berdampingan. Ibn Rusyd atau Averoes, mendapatkan kerajaannya di barat dengan mentafsir filsafat Aristoteles. Ibn Sina atau Avicenna beroleh kejayaannya dengan menjadi komentator dari filsafat Plato. Bahkan seorang kritikusnya yang cemerlang, Ibn Arabi, mendapat julukan Ibn Al Flatun atau putra Plato dari pengagumnya di barat dewasa ini.
(Yusron Mudhakir, pada teks sesi bedah karya, Yogyakarta, Nopember 2009)
Jika benar bahwa esensi dari sebuah penciptaan adalah perihal eksistensi, maka ketika ia kita tarik pada garis kesadaran tertinggi, esensi sebuah karya seni adalah mutlak bersifat spiritual. Pandangan ini tentu berhadapan langsung dengan pesrpektif Barat yang mendepankan aspek logika dan rasionalitas sedang Timur aspek ini dikukuhkan kembali dengan muatan aspek-aspek emosional dan spiritualitas, sebuah upaya yang berlangsung intensif dan kontinu dalam menyempurnakan rasionalitas atas spiritualitas yang kemudian menjadi referensi penting dalam proses kreatif maupun pembacaan kembali nilai-nilai tersebut atas karya seni dihadapan kita.
Bagi Yusron Mudhakir melukis adalah proses yang bertujuan mencari dan mengurai kembali bentuk-bentuk atau kaidah-kaidah formal yang telah baku. Sebuah proses yang didalamnya terbuka kemungkinan-kemungkinan pada temuan-temuan baru, nilai-nilai yang terbarukan yang melampui tataran ideal sebelumnya. Estetika adalah selera dan selera itu membutuhkan pemahaman empirik dan reflektif, maka saya meyakini bahwa penciptaan itu adalah kerja intelektual dan emosional.
Penggabungan dari kedua hal tersebut akan melahirkan bentuk-bentuk estetis yang terbebas dari gejala Sofistikasi, sebuah penyakit dalam dunia seni yang terlalu mendewakan unsur-unsur formal (teknis) tanpa menimbang faktor nilai (isi). Yusron Mudhakir dalam marepresentasikan pemikirannya ke dalam karya yang kaya warna dan ekstra hati-hati sepintas memiliki pola kerja yang dianut Malevich dan Mondrian memperlakukan teknik pencapaian artistiknya dengan presisius yang tinggi, liris dan seharmonis mungkin. Keteraturan garis dalam komposisi warna jelas mencermati aspek estetika yang tidak semata-mata indah. Bukan toh menisbih indah tetapi ia mencoba melakuakan-menemukan keyakinan estetikanya dari ekplorasi estetik yang pada akhirnya berada pada tingkat penikmatan tertentu kita temukan estetika baru.
Ia juga membuktikan keyakinannya bahwa melukis adalah kerja intelektual dan emosional, dimana ia mampu memformulasikan keduanya pada setiap karya dengan penekanan pada aspek spiritual yang cenderung orang pahami spiritual yang berbasis pada dogma religiusitasnya.[24] Lukisannya yang steril dari konteks tersebut tetapi tetap menyiratkan spirit kebaruan-kebaruan ‘intuitif’ tertentu sebagai sebuah lompatan besar dalam perkembangan seni lukisnya akhir-akhir ini.
Paling tidak ini menjadi pengantar teks yang cukup untuk mengail gejala maupun nilai pada karyanya karena konsep sebagai artikulasi pada proses kreatifnya sungguh sarat dengan ideologi estetika. Dua tahun lalu ketika pameran di galeri Nasional saya memprovokasi Yusron pada titik kesadarannya sehingga semenjak itu kami lebih terbuka memperbincangkan dasar-dasar filosofis karyanya. Saya melontarkan pernyataan yang kurang lebih begini; ‘kadang saya lebih tertarik pada pendalaman wacana estetikanya ketimbang harus dibentur-benturkan pada citraan estetikanya yang cenderung liris, harmonis, ekspresinya yang lembut sungguh sulit saya mempertemukan kutub yang saling tarik menarik (mudah-mudahan saya keliru)’. Pernyataan inilah yang membuat Yusron menyampaikan minatnya untuk mengajak diskusi serius dan intens dengan saya yang ia sampaikan pada Sulebar M Soekarman, dimana beliau salah seorang penulis pada buku Seni Abstrak Indonesia. Yusron penggila sumber bacaan atau referensi yang luar biasa kian membangun kecintaannya pada kepustakaan dan beberapa tahun ini ketertariaknnya pada buku-buku filsafat, agama dan referensi-referensi lainnya menjadi sangat menggebu. Dan ia membuktikan bahwa pernyataan saya yang dianggap provokatif dan spekulatif terpatahkan, ia sejatinya seorang seniman yang memiliki kedalaman spiritual dan proses kreatifnya progresif dengan pencapaian-pencapaian nilai terbaiknya.
Hal ini dapat dikonfirmasi pada kepahamannya merumuskan estetika, estetika adalah selera dan selera itu membutuhkan pemahaman empirik dan reflektif, maka saya meyakini bahwa penciptaan itu adalah kerja intelektual dan emosional. Penggabungan dari kedua hal tersebut akan melahirkan bentuk-bentuk estetis yang terbebas dari gejala sofistikasi, sebuah penyakit dalam dunia seni yang terlalu mendewakan unsur-unsur formal (teknis) tanpa menimbang faktor nilai (isi). Pada kajian teks visual membutuhkan relasi yang komprehensif dengan konteks konsepsi yang terbangun secara holistik.
Square dan Manifestasi Psiko–Spiritual
Jujur saya terkejut ketika salah seorang penulis Sulebar M Soekarman memperlihatkan sketsa dan perancangan konsepsi Yusron Mudhakir ikhwal square dalam perspektif Tasawuf.[25] Bagaimana ia memaparkan dengan detail perihal square yang dikemukakan Malevich diadaptasi dengan perspektif spiritual religi. Referensi religius baginya sebuah mata rantai tak terputus ketika manusia hendak menemukan dirinya dalam dirinya, menemukan Tuhan dalam dirinya dan menemukan dirinya dalam tanganNya.
Yusron pada sesi bedah karya, Yogyakarta, Nopember 2009 dengan sangat lugas dan menarik memaparkan bahwa inti dari square adalah pada bilangan 4x4 sisi yang jika ditarik garis menyilang akan melahirkan satu titik temu. Square adalah rumah dan kita adalah titik persinggungan di dalamnya. Square adalah raga dan raga mempunyai pusat atau kutub yakni hati dan ruh, ia bersemayam dalam inti hati. Empat unsur yang menyusun square adalah 4 unsur dasar pembentuk kehidupan dan keempatnya masing-masing menyimpan rahasia yang dijaga oleh malaikat-malaikat tertinggi dan hanya orang-orang terpilih yang bisa memasuki.
Tentang hitam: Ia adalah letak terjangkauan. Semua warna lenyap tercerap. Semua bentuk sirna. Ia rahasia yang menyimpan rahasia. Dialah yang paling mengenal dirinya. Hitam adalah yang tersembunyi yang begitu rindu untuk dikenali. NafasNya adalah cinta. Dari sanalah segala sesuatu mengada. Hitam adalah kekuasaan, kemuliaan, kesombongan, bentuk mutlak yang tak tertangkap indra. Hitam adalah misteri abadi, semua bentuk temporal tunduk dan sujud padaNya disini.
Tentang warna: warna dalah perumpamaan. Kondisinya bergantung pada cahaya yang mencahayainya, sebuah simbol keterungkapan yang hanya terjadi jika yang tak terungkapan berkehendak untuk mengungkapkan. Perbeedaan-perbedaan kualitas-kualitas warna adalah kekayaan. Itu menyerupai perbedaan kedudukan spiritual yang dapat dicapai oleh tiap-tiap manusia. Segalanya bergantung hanya pada Nya.
Tentang putih: dia adalah bentuk yang wajib ada. Menampak, begitu dekat dan nyata. Nafasnya adalah bersih. Dia lebih pengasih dari ibu yang paling pengasih terhadap anaknya. Putih adalah keindahan, kelembutan, kedermawanan dan rindu yang terungkapkan. Hati yang dipilih meliputi-Nya dan akan kembali pada Nya. Segala sesuatu memuji Nya dan Dia mengucap ‘salam’ bagi yang mengenali-Nya. Mereka rela pada-Nya dan Dia pun rela pada mereka.
Tentang kekosongan warna: Inilah puncak keindahan warna. Ketika kualitas warna fana, atau sirnanya bukanlah ketiadaan mutlak dari entitas warna tersebut. Ketiadaannya adalah karena kondisinya terungkap oleh cahaya dan menyatu dengannya. Ia akan kembali pada kualitasnya yang semula ketika proses kebersatuan itu meninggalkannya. Kasus ini juga lazim dialami oleh orang-orang terpilih yang mempunyai derajad spiritual yang sangat tinggi.
Tentang ilmu: letak pemuliaan ilmu adalah pada obyeknya, makin mulia sebuah obyek, makin mulialah kedudukan ilmu tersebut. Apakah yang paling mendesak untuk diketahui oleh akal, tentu pengetahuan akan Tuhan! Sebab Dia-lah pemilik kemuliaan. Adakah yang lebih mulia dari Sang pemilik kemuliaan? Adakah yang diberi ilmu melampaui sumber ilmu.
Tentang akal: bahwa tabiat akal adalah lemah. Ia hanya berfungsi ketika telah diberi celak (rahmat) oleh Nya. Tanpa itu semua pengetahuan hanya akan menjadi perbendaharaan yang tak terungkap. Kedudukan akal itu sebagai pembantu bagi ruh, sang penjaga cermin hati. Tugas utama akal adalah membawa jiwa kepada awal takdirnya untuk tunduk kepada pemiliknya.
Tentang kasih sayang: sesungguhnya Dia mempunyai seratus rahmat. Salah satunya Dia tebarkan di bumi, yang dengan Nya kita dan semua makhluk dapat saling berkasih sayang. Rahmat itu meliputi segala sesuatu hingga gunung-gunung sembahyang, matahari, bulan dan bintang semuanya memuji Nya. Dimanakah yang 99 lainnya? Syahdan Dia menyimpannya untuk hamba-hamba Nya kelak.
Tentang cinta: Ketahuilah ... bahwa Dia sangat pencemburu. Cukuplah riwayat berakhir dan kaum sebagai pelajaran. Cinta ada karena ada yang berhak untuk di cintai, siapa yang paling berhak untuk cinta yang paling sejati? Sadarilah bahwa harta benda, anak isteri adalah fitnah bagimu. “Duhai Robbi! Ajarilah aku cara mencintai-Mu seturut kemampuanku!”
Persoalan selanjutnya adalah ketika ia mengetengahkan psiko-spiritual sebagai tesis untuk menjawab kegelisahan spitiualitasnya?[26] Yusron mengakui secara tegas minatnya terhadap referensi-referensi seni rupa berkurang dan hampir tak pernah lagi menelisik ilmu di dalamnya lagi seperti dahulu. Bahkan buku-buku seni rupa koleksi terbaiknya dihibahkan pada seorang teman dekatnya. Alasannya adalah bahwa; ‘Saya tidak sedang mengatakan bahwa ilmu-ilmu yang pernah dengan sangat intensif saya pelajari itu tidak lagi penting bagi saya, saya hanya ingin mengatakan bahwa sesuatu berteriak dalam diri saya, ketika saya mencoba kembali kepada mereka. “Kedunguan macam apa yang membuat seseorang menjadi batu-batu kali, sedang di tangannya telah tergenggam batu permata?”. Bukankah kebaikan kesenian itu jika karya seni tersebut berhasil menampakkan jiwa senimannya, dan bukankah kebaikan entitas yang disebut jiwa itu terletak pada sejauh mana ia mengenali dirinya, dan bukankah yang mengenali dirinya akan mengenali TuhanNya, dan bukankah hanya yang mengenalNya yang dapat melihatNya? Adakah keindahan yang melebihi keindahan wajahNya. Keindahan macam apa yang sanggup melelbihi Sang pemilikNya? Inilah kesadaran tertinggi yang merupakan puncak kerya seni, adakah karya seni macam ini?. Tuhan telah menciptakan Yusuf hingga Zulaecha jatuh bangkrut sebab tergila-gila oleh ‘ketampanannya’, pada saat cinta Yusuf telah didapatnya. Cinta Zulaecha bergerak meninggalkan Yusuf menujun keindahan yang menghadiahkan ketampanan pada kekasihnya. Ini cinta Zulaecha hanyalah untuk Tuhannya. Adakah sebuah bentuk karya seni yang menyajikan efek psiko-spiritual bagi yang melihatnya?
Bagi Yusron Mudhakir, keragaman warna melimpah didalam karya-karyanya adalah kualitas-kualitas pemahaman diri kita akan Dia. Ia melakukan pemilihan bahasa ekspresi sebagian besar periode akhir merupakan hasil dari perjalanan spiritual yang penuh goncangan. Tampaknya ia memiliki ketertarikan yang besar tehadap teologi yang membuat perjalanan spiritualnya melintasi berbagai macam mashab dan agama. Semenjak itu ia mulai mengurangi intensitas menelusuri referensi-referensi lainnya secara drastis dan minatnya terhadap filsafat kontan berhenti. Alasannya tentu menjadi pilihan paling bijak untuk menyikapi problematiknya dengan rasa frustasi dari wilayah terkecil jauh dalam jiwanya. Dan, Yusron berkepentingan sekali untuk menterjemahkan perihal psiko-spiritualnya (altar ruang virtualnya) ke dalam artikulasi visual soulscape.
Saya menangkap esensi dalam tataran yang paling sederhana dari pemikiran-pemikiran maupun karya-karyanya, bahwa ia hendak menyajikan sebuah narasi besar yang berkecamuk di dalam jiwanya untuk menemukan berbagai hal psikis dan spiritual. Warna-warna yang diuntai gemerlap di tiap square seolah menggambarkan dunia-dunia kecil manusia yang sebagian besar sophisticated, glamour, consume-materialisme (emosi-kebendaan), ugal-ugalan (emosi-hasrat ruhani keduniawian), dan fana. Ia hendak bertutur square-square tersebut merefleksikan warna, cahaya, gelap-terang, cinta, akal, ilmu, kasih sayang dan kekosongan/kehampaan yang sesungguhnya melekat pada diri manusia. Manusia sebagai pribadi-pribadi pemuja keduniawian membuka peluang bagi dirinya untuk berada pada ruang terendahnya atau gigih menggapai peluang terbaiknya pada derajat kemuliaan di hadapanNya, bukan lagi berada di sisiNya semata.
Penutup
Ketika kita menitik beratkan pada aspek proses edukasi melalui bingkai soulscape yang begitu potensial sebagai upaya penggalian dimensi-ruang spiritualitas untuk melakukan pendalaman nilai estetika dan pemaknaan-pemaknaan secara inheren. Saling anyam dalam proses pematangan itu sendiri. Masing-masing perupa mengusung subject matter, penggalian ruang spiritual dan memanifestasikan olah kreatifnya sangatlah berbeda. Pandangan-pandangan indivudualnya mengenai proses penciptaan dengan landasan filosofis yang saling melengkapi satu sama lain menjadikannya kekayaan emosional, intelektual dan spiritual. Begitupun perspektif spiritualitasnya yang saling menopang dan mempertajam proses penciptaan seninya. Berbeda pula perspektif dan cara mengatasi problem teknik artistik dan pencapaian estetikanya. Kita dapat melakukan konfirmasi-konfirmasi teks detail pada setiap poin-poin pemikiran sekaligus melakukan konfirmasi pada kapasitas olah visualnya. Untuk kemudian memasuki ruang perenungannya dalam tiap square karya-karyanya.
Sebuah interpretasi ruang maya dari interelasi dunia dalam (psikis) dan dunia luar (responsibilitas fisik) yang menjembatani proses perenungan atas aktivitas-aktivitas imajiner pada ruang virtual, kemudian menjadikanya media untuk mentransform perenungan maupun pemikiran kreatif ke dalam bahasa visual. Upaya reinterpretasi kesejatian seorang seniman bukan sekadar menjumput inti namun lebih kepada pemaknaan aktivitas ruhani sebagai referensi kecerdasannya untuk mengolah sekaligus merumuskan pesan terdalam dari soul-scape. Mengenai bagaimana seorang seniman dengan kesadaran dan sensibilitas tertentu mampu menangkap gejala-gejala psikis –pengembaraan spiritualitas- dan menterjemahkan secara personal untuk menghubungkan berbagai aspek baik secara humanistik maupun keIllahian pada satu titik temu yang dikait dengan keluasan horizon virtual dalam bentangan landscape sebagai interpretasi inter-subyektif yang paling personal.
Seacara keseluruhan mereka menuturkan dalam paparan visual mengenai esensi-esensi jiwa dalam kesadaran spiritual. Kesadaran spiritualitasnya melakukan temuan-temuan individual dari serangkaian proses pemahaman dan kesadaran tertetu dalam menelusuri ruang dalam ‘soul’ sebagai bentuk kristalisasi atas referensi hidup yang mendasarinya.
Coba cermati persoanalitas dan konsep kreatif masing-masing peserta pameran dengan menjumput spesifikasi kajian yang mendasari proses penciptaannya. Misalnya, Garis bagi AT. Sitompul adalah representasi citra visual yang mencuatkan efek artistik pada karya grafis AT. Sitompul tak sekedar olah emosinya yang kemudian mengecamuk emosi penikmat seni dengan ilusi optikal yang kemudian ia nyatakan sebagai psycho-visual. Sensasi-sensasi tersebut distimulus melalui berbagai pengkondisian psikis yang kini memunculkan simulakra mistisisme berupa titik balik, ketika spiritualitas sekadar terapi untuk mereparasi dan mengembalikan lagi manusia ke pola hidup hedonis dan hasrat fisiknya. Disini terdapat fenomena yang menyerupai ‘ekstase’ namun dialami atau dialami justru berjarak dari esensi spiritualitas itu sendiri.
Tampaknya AT. Sitompul segera ingin menyatakan berbagai hal, bukankah sejatinya spiritualitas memvibrasi sekelilingnya dengan kelembutan dan kesahajaan? Bukankah spiritualitas makin kuat dan mendalam makin melesak ke bumi nyaris tak terjejaki oleh tangkapan indera kebanyakan orang? Kita layak mempertanyakan esensi atas spiritualitas diri kita sendiri. Dalam karya-karya seorang AT. Sitompul tampaknya mengusung semangat humanisme diletakkan pada ruang personal dan ruang sosial namun sekaligus melesak-lesakan ‘daya gugat‘ daya ganggunya’ dengan memainkan emosi publik dalam pembacaan karyanya untuk mengaduk-aduk ruang sosial dan ruang kulturalnya untuk mendedah banyak persoalan kehakikatan atas eksistensi humanistiknya. Ruang-ruang kritis yang tak tersentuh tampaknya menjadi gejala umum pada karyanya yang cenderung meruntuhkan kelarutan masyarakat kita secara psikologi tampak makin rentan. Ia makin luruh dan senyawa dalam permainan bahasa tanda dan memainkan relasi-relasi atas tanda sebagai pisau bedah penajaman proses kreatifnya.
Dedy Sufriadi hampir sepenuhnya karya-karyanya mengisyaratkan Dunia yang dibungkus dengan teks atau dunia terbungkus teks, inilah sebuah istilah yang paling tidak menjadi sebuah analogi sederhana yang dapat mendekatkan persepsi kita pada pemahaman karya-karya Dedy Sufriadi, dengan jelas dalam olahan visual dan imaji-imaji yang digelandangnya merepresentasikan kekuatan teks untuk menguasai ruang dan menebar makna intersubjektif di dalamnya. Dengan intensi tertentu mampu mengisyaratkan getaran jiwanya yang kian mendidih. Ini semacam representasi riil dari aktivitas hidup yang sejatinya saling silang, saling salip, saling tindih, saling melengkapi dan saling mengikat dalam sebuah relasi-relasi yang tak terputus sekalipun terjadi benturan keterdesakan manusia pada kapasitas kemanusiaan.
Teks menjelma menjadi sebuah wujud narasi seolah-olah memicu munculnya inspirasi baru pada proses penciptaan karya-karya berikutnya, dan ketika inspirasi tergali begitu jauh sekonyong-konyong menyelinap sebuah misteri pada tiap bilah-bilah teks menjadi sebuah pembentukan narasi besar yang menjadikannya objek pembacaan ulang atas gejala sosiokultural, psikis, atau ia muncul justru menjadi subjek. Artinya, antara narasi, inspirasi, dan misteri menjadi bagian yang terintegrasi secara otomatis dalam perspektif eksistensialisme. Sensiblitas estetiknya memberi peluang bagi kelahiran inspirasi baginya juga bagi orang lain. Namun justru yang terpenting baginya adalah sebuah sintesa yang kemudian dipahaminya sebagai ruang-ruang spiritual.
Nah, pada karya mutakhir Dedy dalam soulscape kehadiran teks secara sporadik digelontorkan dalam tiap ruang pada bidang kanvasnya, namun ia tak sekadar bertutur persoalan artistik semata. Teks hadir berdampingan sejajar dengan unsur artistik lainnya, bahkan teks dapat secara tegas mengambil peran strategis dan vital mampu menerjemahkan segenap pikiran, obsesi, opini, dan kegelisahannya mengenai berbagai hal yang tak terjemahkan oleh bahasa visual. Bermula dari kepahamannya mengenai peran teks dan relasinya ‘interteks’ saya menduga kuat di sinilah titik pijak konsepsual seorang Deddy Sufriadi mengusung subject matter Intertextual yang beberapa kali saya tawarkan menjadi tema penting dalam project soulscape.
Hal yang paling menarik ketika Dedy berminat unyuk tidak menghadirkan teks dalam proyek karya soulscape, justru menurut saya Dedy tengah memainkan persepsi intersubyektifnya mengenai representasi teks dalam bentuk visual yang berbeda. Tampak pada torehan dan gerusan pisau pale serta kerokan-kerokan yang membangun imaji baru bermunculan dalam artikulasi non teks meski hal tersebut di gagas dan dibangunnya melalui serangkaian proses pemahamannya dengan teks bukan dalam pengertian harafiah. Teks menjadi akumulasi tanda terbaiknya yang hadir pada gugus-gugus olah kreatifnya.
Anton Larenz, seorang antropolog dan kurator seni rupa mengelaborasi proses kreatif seorang Netok Sawiji_Rusnoto Susanto bahwa, karya-karya barunya memberikan visi tentang dunia yang didominasi oleh teknologi modern yang disimbolkan melalui modul-modul dan tabung-tabung komputer. Dunia yang diangankannya ini tidak berpenghuni dan tidak ramah. Struktur metaliknya membuatnya kelihatan sebagai tempat yang tidak nyaman untuk ditinggali. Meskipun awalnya diciptakan oleh manusia, pada akhirnya manusia tidak lagi dibutuhkan karena sistem yang berkuasa telah mampu beroperasi sendiri. Lukisan-lukisan Rusnoto Susanto ini menggambarkan lanskap perkotaan pada situasi postmodern bahkan posthuman. Manusia modern telah membuat dirinya tak berumah. Mereka telah menggusur diri sendiri sementara karakteristik arsitektur kota yang dulunya sedemikian khas telah menghilang secara simultan. Teknologi tinggi dengan dorongan-dorongan fungsionalnya telah menciptakan keseragaman absolut. Alam telah sama sekali dihilangkan oleh pertumbuhan tekstur asing dari unit-unit yang digerakkan oleh informasi digital. Keserba sempurnaan peralatan teknologi kemudian dirusak oleh goresan dan karat. Rusnoto menyampaikan kepada kita bahwa bahkan kota-kota masa depan pun tak akan bisa lolos dari kehancuran. Kepingan-kepingan mesin lapuk dalam pembusukan.
Meminjam tanggapan Sulebar M Soekarman bahwa ada suatu ideologi yang menarik yang melibatkan pola pemikiran serta perenungan Netok Sawiji_Rusnoto Susanto yang tentunya secara konseptual dapat digali lebih mendalam lagi. Kerinduannya akan keharmonisan dua dunia serta kembalinya hakikat kemanusiaan yang semakin kabur itulah yang nampaknya menjadi sumber penggalian ’rasa’ yang dieksplorasi habis-habisan dan ditampilkan dalam lukisan-lukisan bertemakan ’virtual displacement’ kali ini. Keterlibatan semua unsur di atas permukaan kanvas menjadi suatu keserentakan penampakan yang menimbulkan impresi dan spirit yang mampu mengajak pengamat memasuki momentum pencerapan dengan pemahaman yang inspiratif.
Dan, catatan yang tak kalah menariknya adalah ia segera meyakinkan tesisnya mengenai bergesernya ruang maya ke ruang nyata bukan pada tataran imajiner namun kenyataan dunia hari ini. Pergeseran ini menyeret asumsi berikut realitasnya bahwa ruang spiritual berubah sedemikian sporadik ke arah spiritualitas baru dalam ruang jelajah dunia cyber. Penjelajahan dan temuan katarsisnya setara dengan ruang jelajah ruang spiritual sebelumnya dalam konteks sosial, budaya dan religi masyarakat Timur atau mungkin masyarakat dunia. Kajian-kajian cybercultures menjadi pokok untuk mengasah ketajaman pemikiran-pemikiran kritis dan membangun gagasan-gasan kreatifnya.
Nunung WS meyakini bahwa a Spiritual Journey merupakan garis linier yang mengantarkannya ke dimensi spiritual yang ditempuh selama ini. Ada tiga poin yang mendasari perjalanan ini: magis, mistis, dan religius yang ketiga-tiganya selalu hadir dan acap kali dihadirkan karena konstruksi budaya tradisi yang sangat kental. Penghayatan atau penajaman intuisi ia peroleh dari pelukis Nashar yang memicunya pada pencapaian sensitifitas yang tinggi. Sensitifitas estetiknya kemudian menjadi senjata menjelajah bentuk-bentuk abstrak yang selama ini diyakininya. Warna-warna tenun, sarun, topeng dan warna-warna pada sebuah upacara sangat menarik baginya, ketertarikan itu cenderung pada adanya unsur-unsur transenden misalnya adanya warna-warna tertentu yang hanya bisa dipakai untuk orang tua atau anak-anak dalam suatu upacara, seperti upacara di Pura kebanyakan warna kuning, putih sangat dominan seakan warna tersebut menghantar mereka untuk bertemu sang penciptanya.
Nunung WS hendak bergegas dari keterjebakan imajinasinya pada bentuk visual riil sehingga ia begitu memberdayakan kekuatan intuisinya untuk menghilangkan sama sekali citra visual yang demikian dengan meletakkan aspek spiritualitasnya dalam mencerap semua ke dalam kesadarannya dalam pelenyapan bentuk-bentuk alami ke dimensi imateriil mewujud pada permukaan kanvasnya. Paling tidak ini langkah konsistensi seorang Nunung WS dalam menjejakkan pijakan kreativitasnya dalam langgam seni non-representasi ojek (abstrak), dalam pengertian bahwa ia berkewajiban memberikan ruh pada apa-apa yang menggelisahkannya.
Ia membangun dimensi spiritualitasnya dengan bilah-bilah warna saling silang dengan menghadirkan garis-garis imajiner mencitrakan sebuah konstruksi vertikal horizontal sebagai representasi dorongan spiritualnya terhadap hakikat dirinya sebagai manusia. Konsep garis baginya ditafsir sebagai outline atau garis dihargai sebagai nilai dan fungsinya sebagaimana mestinya, kesementaraan ekspresi diabadikan dengan garis yang begitu bernilai kapasitasnya kemudian terkelola secara optimal. Interpretasi tentang garis menempatkannya pada ruang-ruang spirit sebagai tebaran jiwa dari pemikirannya, hal ini dapat diinterpretasikan pada fungsi yang lebih luas dari sebuah dimensi keruangan yang lebih subtil.
Sulebar M Soekarman, baginya proses pemahaman mengenai soulscape menhubungkan secara langsung dengan Asma’ul Husna yang diyakini merupakan Perbendaharan, Kekuatan, Sifat-sifat Bijak, dan Perilaku Bijak Allah. Menurutnya, makna dari Nama-nama tersebut sungguh tak terbatas dan tidak dapat digambarkan meskipun seluruh air di lautan dan pepohonan di dunia ini dijadikan pena untuk menulis, maka kita tidak dapat menuliskan dengan tuntas mengenai penjelasan-penjelasan dari atribut-atribut indah Tuhan tersebut. Nama-nama itu adalah kekuatan Allah: semua nama merupakan atribut-atribut-Nya yang dikenal sebagai kasih. Asma’ul Husna tidaklah dapat disingkap berdasarkan kearifan manusia. Namun disinilah yang menakjubkan: pada siapa saja yang bertanya, sebuah penjelasan akan diberikan sesuai dengan (keadaan) kearifannya, sesuai dengan ide-idenya dan sesuai dengan pikirannya. Karena kearifan dan kemurnian seseorang berkembang, maka makna-makna yang kian lama kian mendalam itu akan tersingkap. Disini tidak dapat menjadi sebuah jawaban yang tetap.
Utoyo Hadi mencoba menelusuri biomorfis di wilayah komunitas manusia, ia menjelajahi daerah atau lokasi masyarakat tradisional, suku terasing, daerah kumuh, urban ataupun hutan rimba di pedalaman, wilayah elit di perkotaan dan metropolitan. Ini semacam bentuk kecermatan dan kesadaran emosional dan intelektualnya untuk mendokumentasi kepekaan demi kepekaannya terhadap fenomena alam yang berada di hadapannya sekaligus melakukan proses edukasi pada diri dan lingkungannya. Kesadaran semacam ini tumbuh secara alami karena kedekatannya dengan subject matter tersebut selama kurun 30-40 tahun terakhir ia melakukan proses eksplorasi penciptaan seninya. Ia menjumput berbagai potensi kekayaan alam dalam sebuah pendekatan metamorphology yang memposisikannya secara strategis berada pada inti subjek untuk merangkul alam serta kapasitas misteri yang terintegrasi dalam keliaran ekspresinya dalam aktivitas kreatif.
Yusron Mudhakir dengan sangat lugas, cermat dan menarik memaparkan bahwa inti dari square adalah pada bilangan 4x4 sisi yang jika ditarik garis menyilang akan melahirkan satu titik temu. Square diyaikininya sebagai metafora rumah dan kita adalah titik persinggungan di dalamnya. Square adalah raga dan raga mempunyai pusat atau kutub yakni hati dan ruh, ia bersemayam dalam inti hati. Empat unsur yang menyusun square adalah 4 unsur dasar pembentuk kehidupan dan keempatnya masing-masing menyimpan rahasia yang dijaga oleh malaikat-malaikat tertinggi dan hanya orang-orang terpilih yang bisa memasuki.
Saya menangkap esensi dalam tataran yang paling sederhana dari pemikiran-pemikiran maupun karya-karyanya, bahwa ia hendak menyajikan sebuah narasi besar yang berkecamuk di dalam jiwanya untuk menemukan berbagai hal psikis dan spiritual. Warna-warna yang diuntai gemerlap di tiap square seolah menggambarkan dunia-dunia kecil manusia yang sebagian besar sophisticated, glamour, consume-materialisme (emosi-kebendaan), ugal-ugalan (emosi-hasrat ruhani keduniawian), dan fana. Ia hendak bertutur square-square tersebut merefleksikan warna, cahaya, gelap-terang, cinta, akal, ilmu, kasih sayang dan kekosongan/kehampaan yang sesungguhnya melekat pada diri manusia.
Menatap karya Yusron Mudhakir bagi saya merupakan kesempatan terbaik meletakkan kesadaran diri manusia berada dihadapan cermin besar yang merefleksikan berbagai realitas di dalam realitas-realitas baru yang dihadirkan. Pemilahan bagian-bagian bidang olah kreatifnya membentuk permainan ruang-ruang illutif yang mampu menggugah tanggapan intersubyektif dalam menelusuri tiap square elemen visualnya. Bidang-bidang square yang ditebar ke segala penjuru mendesak ruang imajiner kita mengenai puzzle spectrum warna yang begitu kaya terumbar di atas aksentuasi tekstur yang mengisyaratkan brushstroke-brushstroke bercitra oriental yang tengah di torehkan atas dorongan hasrat spirirualnya dalam dzikir.
Akhirnya paparan ini terasa sangat sederhana dan tak sebanding dengan materi-materi luar biasa tersebut yang tak sanggup terjemahkan secara rinci. Namun sedikit memberi sedikit celah untuk mengintip sedikit dari begitu banyak hal yang dapat terurai dengan perspektif yang berbeda dari pembaca dan pada proses konfirmasi visual berhadapan langsung dengan karya-karya ke tujuh perupa ini. Paparan ini sebagai titik awal untuk mendedah tuntas pada paparan-paparan berikutnya lebih-lebih jika terjadi pengayaan, keluasan dan penajaman dari para penulis lainnya dengan sudut pandang yang lebih strategis dan lebih menarik. Saya yakin soulscape menjadi picu spiritual bagi perupanya secara langsung dan picu ‘gangguan’ dalam pembacaan karya-karyanya yang sanggup membangun wacana seni rupa kita lebih luas.
Yogyakarta, 2 Februari 2010
Pustaka Kajian
Alfathri Adlin, ‘Realitas Spiritual dan Hierarki Realitas’, Ed., dalam buku Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer, Jalasutra: Yogyakarta, 2006
Chris Barker, Cultural Studies, Kreasi Warna, Yogyakarta, 2006
Clement Greenberg, ‘Pembelaan Terhadap Seni Abstrak’ (artikel terjemahan: Sapardi Djoko Damono), 1984
Bambang Sugiharto, ‘Posisi Ruh Dalam Peradaban Kontemporer’, dalam Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer, Jalasutra: Yogyakarta, 2006
Bianpoen, Carla dan Jaarsma, Mella, Perempuan Perupa: Antara Visi dan Ilusi, Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini, Gradmedia Pustaka, 1996
Frijof Capra, ‘The Tao of Physics’ Menyingkap Kesejajaran Fisika Modern dan
Mistisisme Timur, Jalasutra, Yogyakarta, 2000.
Hans-Georg Gadamer, ‘Truth and Method’ Kebenaran dan Metode (Pengantar Filsafat
Hermeneutika), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
Hasyim Darif, ‘Pembelaan Terhadap Lukisan Abstrak’, Berita Buana, Jakarta,
7 Agustus 1984.
Jim Supangkat, ‘Seni Rupa Abstrak Dimusuhi Masyarakat’, Kedaulatan Rakyat,
Yogyakarta, 15 januari 2007.
Junaedi, Deni, ‘Penampakan versus Penggaiban’ dalam ‘Seni Abstrak Indonesia’, vol.1. Yogyakarta: Yayasan Seni visual Indonesia, 2008.
Madan Sarup, ‘Post-Structuralism and Postmodernism’ Sebuah Pengantar Kritis,
Jendela, Yogyakarta, 1993.
Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat (Kaitannya Dengan Kondisi Sosio Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang), Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2007.
Sapardi Djoko Damono, ‘Pembelaan Bagi Seni Abstrak’ Clement Grennberg, tafsir
Dalam buku ‘Reading for Liberal Education’.
Sudjojono,S., ’Seni Loekis, Kesenian dan Seniman’, Yogyakarta : Penerbit Indonesia Sekarang, 1946
Sulebar M. Soekarman, ‘Pendalaman Spiritual dalam Seni’ tafsir ‘Concerning the Spiritual in Art’ Wassilly Kandinsky, Yayasan Seni Visual Indonesia, Jakarta, 2007.
Sylvester, David, Interviews with American Artists, Yale University Press, New Haven and London, 2001.
Yuliman, Sanento, ‘Seni Lukis di Indonesia: Persoalan-Persoalannya Dulu dan Sekarang’ , Lampiran Indonesia Raya ‘Wanita dan Seni Rupa di Indonesia’, Nuansa Indonesia III Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta, 1988
Sumber Referensi Lainnya:
Netok Sawiji_Rusnoto Susanto, Kuratorial Pameran Tunggal Dedi Sufriadi ‘Hypertext: Surfing Teks dalam Narasi Besar’ di Tembi Contemporary, Yogyakarta, 2-20 Juni 2009
‘Virual Displacement’, Katalogus Pameran Tunggal Netok Sawiji_Rusnoto Susanto, Yogyakarta: TBY dan Tujuh Bintang Art Space, 2009
Sesi wawancara dengan seniman yang terlibat dalam proyek Soulscape pada bulan November-Desember 2009
1. AT. Sitompul, pada sesi bedah karya, Yogyakarta, 27 November 2009
2. Dedy Sufriadi, pada sesi bedah karya, Yogyakarta, 27 November 2009
3. Netok Sawiji_Rusnoto Susanto, pada sesi bedah karya, Yogyakarta, 10 November 2009
4. Nunung WS, pada sesi bedah karya, Yogyakarta, 10 Desember 2009
5. Sulebar M Soekarman pada sesi bedah karya, Yogyakarta, 10 Desember 2009
6. Utoyo Hadi, pada sesi bedah karya, Yogyakarta, 27 November 2009
7. Yusron Mudhakir, teks sesi bedah karya, Yogyakarta, 27 Nopember 2009
Dan, beberapa data penelitian yang saya lakukan pada tahun-tahun sebelumnya dengan intensi tertentu pada sumber primer yang saya kemukakan pada paparan singkat ini.
[1]Kita tak lazim menyatakan bahwa formalah yang menjadi dasar substansialitasnya, namun ketidaklazimannya tersebut disebabkan hipotesis tentang atom yang telah terlanjur tertanam dalam ruang imajiner kita. Bagaimanapun setiap atom jika dipersepsikan sebagai sesuatu lebih disebabkan dibedakannya dengan atom-atom lain dan dalam arti tertentu yang memiliki forma. Dikatakan bahwa jiwa adalah forma dari tubuh, hal ini jelas bahwa forma bukan berarti bentuk. Ini berarti bahwa jiwa adalah keapaan esensial suatu tubuh yang memiliki ciri-ciri yang telah disebut tadi. Sebut saja forma yang dimaksudkan oleh Aristoteles sebagai sesuatu yang amatlah berbeda dengan universalitas, forma dianggap lebih riil ketimbang materi; mengingatkan kita pada realitas ide-ide yang berdiri sendiri. Perubahan yang dilakukan Aristoteles terhadap metafisika Plato tampaknya tak lebih dari menapilkan sesuatu dengan wujud.
Penilaian semacam ini dapat ditemukan pada acuan Zaller dalam Bertrand Russell (2007: 225) bahwa keterangan terakhir Aristoteles masih memerlukan kejelasan tentang masalah ini, bagaimanapun, dapat ditemukan pada fakta bahwa ia baru mencapai separuh dari upaya pembebasan dirinya, sebagaimana akan kita lihat dari kecenderungan Plato untuk menanggapi ide-ide sebagai substansi dasar. ‘Forma’ dalam filsafat Aristoteles, seperti halnya ‘ide’ dalam filsafat Plato, memiliki eksistensi metafisik tersendiri, dan mempengaruhi semua benda individual. Dan ketika dengan cermat dia menelusuri perkembangan ide-ide dari pengalaman. Bagaimanapun memang benar bahwa ide-ide itu terutama pada saat dimana mereka paling terjauh dari pengalaman dan persepsi langsung, lantas pada akhirnya mengalami metamorphosis dari produk logis pemikiran manusia menjadi perwujudan langsung dalam dunia suprainderawi, dan dengan demikian menjadi objek intuisi intelektual.
[2] Di dalam dunia citra tersebut, hasrat memperoleh dua keuntungan sekaligus. Disatu pihak, ia memperoleh ruang bagi perluasan saluran pelepasan arusnya yaitu pelepasan hasrat melalui dunia simulasi (virtual); di pihak lain, memperluang ruang bagi perlawanannya terhadap kekuatan-kekuatan transcendental yang membatasinya (Tuhan), dengan menciptakan substitusi-substitusi berupa simulasi yang suci itu sendiri.
[3]Deni Junaedi, ‘Penampakan versus Penggaiban’ dalam ‘Seni Abstrak Indonesia’, vol.1. Yogyakarta: Yayasan Seni visual Indonesia, 2008, p. 43
[4]Kali pertama saya berkesempatan mengunjungi studionya (2007) pada hari kedua perkenalan saya dengannya setelah semalam berjabat diperkenalkan seorang pelukis dan pemikir Sulebar M. Soekarman dan Nunung WS di kediamannya saat itu saya singgah disana untuk beberapa lama. Saat itu tiba-tiba saya terbawa ke sebuah studio yang dikelilingi hutan jati, memencil dan lengang tampaknya ia melakukan tapa disana. Pada saat itu saya banyak dikagetkan eksperimentasi-eksperimentasi proses kreatifnya yang menggilai mixed media, beberapa puluh lukisan terbaru tahun itu dikerjakan dan sudah melakukan eksplorasi subject matter teks sebagai kata kuncinya. Jika awalnya teks diumbar sebagai media artikulasi untuk menyampaikan sebuah narasi, tetapi pada karya-karya ini teks telah dikemas sebagai sebuah pola baru yaitu teks dikelola menjadi elemen visual.
Pada perspektif ini, teks bagi seorang Dedy tampaknya sebuah persoalan yang menarik ketika menjadikanya sebagai subject matter, semenjak 1996 ia telah memulai ketertarikan untuk mengekspose teks dari rangkaian eksplorasi teks sebagai ikon penting dalam tiap karyanya. Ia mengenali sekaligus mengendalikan makna di dalamnya sama ketika ia mengartikulasikan kehendaknya secara verbal, meskipun kebanyakan pandangan seringkali terjadi pendiskwalifikasian antara muatan teks itu sendiri yang berjarak dengan ruang artikulasi verbal. Meski awalnya ia menggunakan teks sebagai media penuturkan pesan dan menyampaikan kesan tertentu dari lapis terdalam jiwanya kemudian dalam perkembangannya ia justru merasa terganggu dengan beban makna ketika teks kemudian harus mengemuka. Namun justru ia dengan bebas mengartikulasikan impulse apapun mulai kepatutan kaidah, distorsi nilai hingga kegalauan jiwanya ketika menyadari bagaimana ia menelusuri muasal teks, pemaknaan, serta sampai pada eksploitasi –pada pengertian teks dipergunakan sebagai stimulasi psikisnya dan mereinterpretasikan teks- dalam bahasa visual yang personal lepas dari beban makna. Disinilah ia mulai menemui kebuntuan perihal epistemologi teks yang kemudian hadir pada ruang-ruang pikir manusia untuk menandai sesuatu, menterjemahkan atau memaknainya dalam ruang nilai tertentu.
[5]Ada hal menarik yang dapat saya kutip dari pandangan seorang Dedy; seorang ilmuan dianugerahi kecerdasan ‘logical’ sedangkan seorang seniman dianugerahi kecerdasan ‘intuisi dan spiritual’. Kedua kecerdasan inilah menjadi bagian terpenting bagi produktivitas kreatifnya. Bukankah seorang bayi merasa begitu nyaman dalam pelukan ibunya ketika baru lahir? Disitulah intuisi mengambil peran, juga pada aspek kehidupan kita sehari-hari. Kecerdasan logika bisa dimanipulasi sedangkan kecerdasan intuisi lebih cenderung murni dan menurutnya ketakterbatasan intuisi inilah yang member peluang, keleluasan dan keluasan baginya untuk tetap melakukan eksplorasi secara intensif. Baginya, dalam konteks hypertext hal ini merupakan interelasi yang lumat dengan persoalan interteks secara implisit. Pada dasarnya teks adalah upaya penulisan kembali atas teks-teks lain sebelumnya, artinya tak ada teks yang terbentuk tanpa memiliki muatan interteksnya, semisal sebuah relasi intertekstual seni rupa dan satra akan membentuk ‘teks baru’ yakni sastra rupa/rupa sastra, mungkin saja perspektif baru mengemuka ketika kehadiran visual form yang puitik bisa saja memiliki referensi sastra.
(Netok Sawiji_Rusnoto Susanto,
Petikan Kuratorial Pameran Tunggal Dedi Sufriadi ‘Hypertext: Surfing Teks dalam Narasi Besar’ di Tembi Contemporary, Yogyakarta, 2-20 Juni 2009, p. 25)
[6]Banyak orang selalu memposisikan, penulisan adalah bagian terpenting dari seni grafis, sehingga hal itu tidak memungkinkan untuk ditarik keluar terlebih kalau dihubungkan dengan seni lain seperti gambar/drawing, lukisan dan arsitektur. Mereka bertemu pada suatu landasan yang umum: konstruksi raga-raga dan pengembangannya di dalam bentuk grafis. Seseorang dengan hanya studi mengenai sebuah bangunan mesjid, gereja atau pura yang bagus -dalam suatu spirit meditasi yang tepat- akan mampu meyakinkan dirinya adanya pertalian yang lekat antar seni ini. Saya memilih untuk mengatakan 'pertalian yang lekat' bukannya 'kesatuan', sebab kesatuan adalah suatu konsep, suatu idealisasi kesempurnaan, sedangkan seniman berdiri selalu mendekati kegagalan untuk mencapai apa yang ia telah persiapkan dalam laku pencapaian kesempurnaan.
Berhadapan dengan lukisan abstrak, pada awalnya selalu disikapi dengan suatu distansi: saya tidak mengerti, saya tidak paham atau lukisan seperti itu seorang anak kecil pun mampu membuatnya! Setiap seniman pada dasarnya berkarya untuk menampilkan keindahan dan keindahan yang paling awal yang dilakukan manusia adalah tindakan menghias. Karena itu, apakah realis atau abstrak, lukisan selalu tetap bagaimanapun juga di dalam suasana seni ornamental, oleh karena itu akan tergantung pada suatu hubungan timbal balik integral antar materi, warna dan simbol. Pembacaan karya-karya seni, terutama lukisan abstrak ialah dengan mengenali lebih dalam hubungan timbal balik integral tadi dan mencari secara terus menerus suatu irama emosional dan persepsional dari struktur yang dipresentasikan sang seniman untuk bekal ia bekerja keras dalam penciptaan. Termasuk di dalamnya seluruh sintaksis dari suatu gaya yang setiap orang merasakan sebagai keinginan untuk mendapatkan irama serta menciptakan keragaman: antara lain variasi penampilan ataupun penyajian.
(Tanggapan Sulebar M Soekarman pada sambutan pembukaan Pameran Tunggal Dedi Sufriadi ‘Hypertext: Surfing Teks dalam Narasi Besar’ di Tembi Contemporary, Yogyakarta, 2-20 Juni 2009)
[7] Menarik ketika mengamati periodisasi proses kreatif Dedy Sufriadi dengan subject matter teks –intertext’ yang kemudian menjadi signifier karya-karya mutakhirnya sebut saja jejak tersebut pada karya Childis, 180x300cm, oil bar, acrylic, charcoal on canvas, 2009, ia mengeksplorasi sekaligus mengeksploitasi pengalaman kanak-kanaknya untuk memunculkan kembali goresan-goresan citra kanak-kanak seperti yang muncul pada karya Paul Klee dimana Klee larut dalam memahami psikologis kanak-kanak karena kedekatan dan kecintaannya pada anak-anaknya setelah ia panik dengan pengalaman pahit dengan kekejaman Perang Dunia II kemudian menyentuh batas kesadarannya sehingga Klee memutuskan lari dari barak kesatuannya. Pemahamannya paling mencuat ketika ia memindai fase perkembangan motorik anak; periodisasi coreng-moreng pra bagan, bagan dan pra natural.
[8]Berusaha untuk tidak meleburkan diri kedalam massa, menjadi tugas utama bagi setiap individu yang mendambakan eksisitensi sejati. Eksistensi sejati memungkinkan individu memilih dan mengambil keputusan serta bertindak atas tanggungjawabnya sendiri. Berdasarkan uraian di atas, saya tertarik mengangkat eksistensialisme sebagai ide penciptaan tugas akhir, dikarenakan pemikiran yang terdapat dalam filsafat eksistensialisme selalu bertolak dan mempertahankan antitesis antara subjek dan objek. Manusia sebagai subjek tidak menjadi objek penyelidikan dan manipulasi praktis seperti yang dibuat olah kaum rasionalis. Dalam filsafat eksistensialisme dibedakan antara esensia dan eksistensia. Oleh esensia sosok segala yang ada mendapatkan bentuknya. Oleh esensia kursi menjadi kursi, pohon menjadi pohon, manusia menjadi manusia. Dengan esensia saja segala yang ada belum tentu berada, kita dapat membayangkan kursi, pohon, manusia, dan benda-benda lain, namun belum pasti apakah semua itu sungguh ada, sungguh tampil, sungguh hadir?. Eksistensia membuat sesuatu menjadi ada, bersosok dan jelas bentuknya. Oleh esksitensia kursi dapat berada di tempat, pohon dapat tertanam, tumbuh dan berkembang, manusia dapat hidup, bekerja, membentuk kelompok bersama manusia lain. Dengan kata lain, selama masih bereksistensia segala sesuatu itu menjadi ada. Ketika eksistensia meninggalkannya maka sesuatu yang nampak akan menjadi kabur, tanpa eksistensia sesuatu tidak nyata ada, apa lagi berperan.
(Dedi Sufriadi, dipetik pada bedah karya di Yogyakarta, 25 Nopember 2009)
[9] Namun, menjadi seorang eksistensialis, tidak melulu harus menjadi seorang yang lain-daripada-yang-lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme.
[10]Entah secara nyata-nyata berada pada area ‘hujan’ atau pada area yang baru pada tahap ‘gerimis’. Digital Rain menjadi tema paling sederhana yang mampu mendekatkan pada persoalan tersebut. Hampir sebagian besar mini market, supermarket hingga hypermarket semua ruang-ruang publik berubah menjadi etalase-etalase digital, baik yang diperdagangkan maupun menjamurnya ruang-ruang publik bercitra digitalys. Trend ruang terbuka serba hotspot sampai pada warung-warung makan (kantin) bercitra digital dengan menawarkan branded kantin hotspot. Pada konteks masyarakat posmodern, urbanisasi tak lagi berarti perpindahan manusia ke kota di dalam ruang nyata, namun berkembang ke arah urbanisasi virtual yaitu perpindahan manusia secara besar-besaran ke dalam pusat kota digital ‘cyberspace’. Kemudian manusia mencoba melawan batas kecepatan dan keperkasaannya dengan cara menaklukan batas-batas ruang lewat waktu dan memang manusia kini dapat merobohkan segala batas-batas ruang virtual, namun tak disadari bahwa batas tersebut sesungguhnya bukan pada ruang, bukan juga pada waktu melainkan batas-batasnya berada dalam otak kita.
(Catatan Netok Sawiji_Rusnoto Susanto, email pada Sulebar M Soekarman, 15 Juni 2009)
Obyek-obyek bentukannya mampu menjadi ’avatar’ sebagai wujud maya dan sekaligus wujud nyata yang bagi si pengamat dapat merangsang dorongan-dorongan subtil untuk masuk, meresapi makna setiap lukisannya yang tersaji. Kalaulah terjadi jalinan ’cerita’ yang runut atau kenampakan ’ruang’ yang ber dimensi, pastilah ada kaitannya dengan perhubungan waktu. Waktu disini adalah penanda ruang nyata dimana NS_RS sekarang ini berada, hidup dengan persoalan sehari-hari dan pengamatan serta perenungannya terhadap situasi dunia nyata dan sekaligus dunia maya yang saling ’bertabrakan’.
(Sulebar M Soekarman, Text Contributor pada Pameran Tunggal ‘Virtual Displacement’
Netok Sawiji_Rusnoto Susanto, 15-21 Juli 2009 di TBY, Yogyakarta)
[11]Menemukan kesadaran tertentu atas kesenjangan realitas sosial hari ini yang berkaitan lansung dengan kemanusiaan dan hubungan keIllahiannya adalah serangkaian aktivitas yang bagi saya sebuah ’pengembaraan spiritualitas’. Proses penciptaan atas itu juga jelas sebuah artikulasi dan manifestasi sebuah pengembaraan spritualitas dimana setiap centimeter merupakan penjelajahan dalam banyak aspek yang terakumulasi dalam setiap barik yang digelandang, warna yang ditebar, sengkarut garis yang dipilin maupun diluruskan dan pesan yang hidupkan dalam representasi tanda. Ini adalah sebentuk ’pengembaraan spiritualitas’ yang dapat menghubungkan berbagai aspek baik secara humanistik maupun keIllahian sebagai interpretasi inter-subyektif yang paling personal? Karena dalam proses tersebut mengelola aspek humanistik maupun penjembatan tutur keIllahian secara inter-subjektif dimanifestasikan dalam bahasa visual yang pasti personal.
(Netok Sawiji_Rusnoto Susanto, dipetik pada bedah karya di Yogyakarta, 25 Nopember 2009)
[12]Pada yang pertama dituntut untuk sejernih-jernihnya, seterang-terangnya, agar tidak mengundang pemaknaan ganda. Sementara pada yang kedua sebaliknya dituntut untuk sesamar-samarnya, seambigu mungkin, agar mengundang atau membuka ruang dan peluang pemaknaan yang berlapis. Kita semua paham, betapa rumit dan tidak mudahnya mengerjakan keduanya –dengan watak dan capaian yang berbeda secara diametral– dalam waktu yang bersamaan. Akan tetapi, inilah konsekuensi logis dari proses kreatif berkesenian di ruang akademi. Nalar dan intuisi, kejernihan yang tertata dan ekspresi, harus diasah bersamaan.
[13] Kalau kita kembalikan pada hal yang lebih mendasar terhadap kemajuan teknologi ini, masyarakat telah mengalami bersama-sama sekaligus bersikap dalam tiga kemungkinan, seperti dipaparkan oleh Yasraf A. Piliang (2007). Pertama, utopianisme (utopianism), sebagai pandangan optimis tentang peran positif sains dan teknologi. Utopianisme ini sebagai merupakan kecenderungan pemikiran tentang sebuah 'masyarakat tanpa cela' (perfect society) di masa depan. 'Utopia' dalam bahasa Yunani berarti 'tak-bertempat'. Istilah 'utopia' ini bisa diterapkan untuk menggambarkan sebuah masyarakat imajiner yang berada di sebuah tempat yang jauh, sebagai model kehidupan masyarakat masa depan yang demokratis dan tanpa kelas, dengan orang-orang yang bijak. 'Utopia' menjadi sebuah istilah generik untuk melukiskan segala bentuk narasi yang menceritakan sebuah komunitas di masa depan di mana segala sesuatu berlangsung indah, menyenangkan dan tanpa cela.
(Kuss Indarto, kuratorial Pameran Tunggal ‘Virtual Displacement’ Netok Sawiji_Rusnoto Susanto,
15-21 Juli 2009 di TBY, Yogyakarta)
[14]Rusnoto menyadarkan kita akan kecepatan perubahan teknologi yang memusingkan sementara di beberapa bagian dunia khususnya di negara-negara berkembang di Asia Tenggara, kepercayaan terhadap kemajuan masih teramat kuat dan lanskap futuristik kota terus menerus dikembangkan dan dibangun. Karya Rusnoto Susanto secara bentuk mengingatkan kita pada film Matrix yang terkenal dengan kejelian menghubungkan rangkaian peristiwa di dalam Virtual Reality atau Simulacrum seperti gagasan yang diungkapkan filosof postmodern, Jean Baudrillard. Baudrillard sendiri menyangkal keterlibatannya dengan produser film ini, namun ia mengakui bahwa memang ada keterkaitan antara film ini dan beberapa pemikirannya.
(Anton Larenz, Text Contributor pada Pameran Tunggal ‘Virtual Displacement’ Netok Sawiji_Rusnoto Susanto,
15-21 Juli 2009 di TBY, Yogyakarta)
[15]Soulscape merupakan sebuah interelasi dunia dalam (psikis) dengan dunia luar (responsibilitas fisik) yang menjembatani proses perenungan atas aktivitas-aktivitas imajiner pada ruang virtual, kemudian menjadikannya media unrk mentransform perenungan maupun pemikiran kreatif ke dalam bahasa visual. Upaya reinterpretasi kesejatian seorang seniman bukan sekadar menjumput inti dari pergeseran maya –virtual displacement- namun lebih kepada pemaknaan aktivitas ruhani sebagai referensi kecerdasannya untuk mengolah sekaligus merumuskan pesan terdalam dari soulscape.
(Netok Sawiji_Rusnoto Susanto, dipetik pada bedah karya di Yogyakarta, 25 Nopember 2009)
[16]Memetik pernyataan-pernyataan Nunung WS dalan prosesi bedah karya, bahwa karya yang aku buat secara wujud sangatlah sederhana, mungkin muatan yang ingin aku sampaikan sangat tidak mudah, yaitu: “karyaku adalah menghantar masuk kedalam dunia spiritualku”. Dan jelaslah apa yang ingin aku sampaikan lewat bentuk-bentuk maupun warna yang aku buat ada semacam pertimbangan-pertimbangan estetika yang harus aku perhitungkan. Secara wujud visual hanyalah bentuk-bentuk segi empat dan warna yang sangatlah minim, karena dalam/dengan kesederhanaan serta keminiman tersebut akan tercapai apa yang aku inginkan. Pertanyaan muncul: “mengapa bentuk geometri?”. Adalah bentuk yang aku sangat dekat dengan diriku saat “ini”. Bentuk ini mengacu kepada bentuk arsitektural yang berkaitan dengan “keruangan/space”. Bagiku dunia spiritual adalah dunia ruang. Karenanya bentuk geometri yang aku buat adalah sangat memperhitungkan sudut demi sudut untuk pencapaian esetetika yang aku maksud, serta ruang spiritual yang sebagai penghantar “masuk”.
Seni abstrak adalah seni yang sangat personal atau pribadi, mengapa karena yang diwujudkan kedalam kanvas hanyalah garis dan warna yang keduanya adalah hasil dari olah pikir, suatu pengalaman, perenungan dan laku. Tentunya akan menyulitkan bagi audience untuk mengerti dan memahami seni ini Untuk menjebatani masalah ini saya munculkan suatu pertanyaan: adakah sesuatu yang ingin disampaikan dalam seni ini tentunya ada yaitu rasa yang di rasakan . Pada karya Borobudur misalnya; saya menangkap Borobudur bukan bentuknya, yang pertama saya tangkap adalah bahwa Borobudur adalah tempat suci seperti halnya masjid atau kelenteng, jadi yang muncul adalah rasa suci ,hening seakan berhubungan langsung dengan sang pencipta, dan rasa itulah yang saya rasakan sehingga menjadi proses penciptaan dalam karya dalam proses penciptaan hadirnya warna amatlah penting dan bentuk visual yang bagaimana , dua hal itu merupakan tantangan dalan seni ini. Yaitu ketajaman intuisi dan intelektualitas dalam berpikir.Dalam hal ini tidak hanya warna dan garis saja melainkan ada yang lebih utama yaitu dimensi spiritual atau transenden itu saya katakan sebagai muatan yang harus tersampaikan dalam karya saya. Karena itulah seyogyanya pengamat menggunakan mata hatinya disamping menggukan indera saja.
(Petikan pernyataan Nunung WS pada sesi bedah karya, Yogyakarta, 10 Desember 2009)
[17]Kalau kita menyadari akan adanya makro dan mikro kosmos tentunya sadar atau tidak kita berada di wilayah ketiganya. Namun dalam karya saya tidak mencoba menghadirkan poin magis, poin ini hanya cukup tubuhku saja yang merasakan tidak untuk penciptaan ,yang sangat mempengaruhi karya saya hanya mistis dan relijius karena saya hidup diantara keduanya. Pada karya 10m ini secara ide merupakan kelanjutan dari karya Borobudur 2007, dan ide dari kaligrafi yang dari keduanya saya temukan ide vertikal dan horizontal. Poin itu tercermin pada warna hitam yang sangat dominan seta warna putih yang menjadi penghantar kedalam dimensi transenden. Karya 10m ini dalam prosesnya saya seakan menulis kaligrafi yang dimulai dari kanan kekiri yang berakhir di warna merah . Tarikan bidang2 warna bisa dirasakan sebagai tarikan garis sebuah kaligrafi arab, memang bentuk atau garis seperti ini saya dapatkan pada kaligrafi, bentuk-bentuk seperti ini sengaja saya hadirkan untuk mendapatkan keindahan atau estetika baru dalam karya ini. Jadi ketiga poin tsb merupakan muatan spiritual bagi saya dalam penciptaan. Sebetulnya melukis itu sendiri sudak merupakan perjalanan spiritual. Dari awal penciptaan katakanlah dari ide samapi karya itu selesai dibuat diri kita terfokus pada dunia itu ,dan untuk mewujutkan gagasan tsb hanya dapat dicapai dengan seni abstrak karena ada semacam kemerdekaan berekspresi dari bentuk sampai pada warna yang muncul dipermukaan kanvas. Nilai spiritual itu sudah melebur pada muatan nilai pada karya yang diciptakan, karena apa yang ingin saya capai adalah sebuah kesubtilan/transenden.
(Petikan pernyataan Nunung WS pada sesi bedah karya, Yogyakarta, 10 Desember 2009)
[18]Subject-matter bagi saya adalah merupakan pokok gagasan, tema karya atau sumber ide atau sesuatu yang menjadikan rangsangan kreativitas dari seorang seniman dalam berkarya. Kalau kita sudah sampai pada rasa lapar atau haus tadi, tentunya perlu kita renungkan, untuk apa kita minum atau makan, kenapa kita minum atau makan, bagaimana kita minum atau makan. Subject-matter disini adalah sesuatu baik bermuara dari ‘dalam’ diri kita ataupun dari ‘luar’ yang ada di alam semesta, yang membawa, menyampaikan rasa itu ke semua pihak. Kalau kandungan (content, meaning) lebih kepada ‘isi, pesan’ yang ingin kita sampaikan atau sesuatu atau rasa itu sendiri, sebuah getar yang diharapkan dapat menyentuh indera yang dimiliki kita semua. Dengan demikian bisa saja beberapa lukisan mempunyai subject-matter yang sama, tetapi bisa juga masing-masing memilki kandungan isi yang berbeda-beda. Lukisan sebagai karya seni tercipta untuk mengatakan dimana kita berada dan ia hadir juga untuk menceriterakan siapa diri kita. Karya seni yang baru, yang modern, adalah suatu ungkapan total dari esensi pengalaman kehidupan suatu generasi sebagai tanggung jawab berbagai pengalaman dalam menjalani kehidupan itu sendiri. Sebuah pengalaman yang melibatkan seluruh aspek nilai-nilai kemanusiaan, bahkan tidak disadari ataupun tidak masuk akal bagi mereka sendiri. Seni Abstrak bukanlah semata ekspresi dunia dalam, tetapi juga buah aktivitas intelektual seorang seniman dalam mewujudkan harkat dan martabat kemanusiaannya. Ia adalah pintu gerbang menuju jalan spiritual sejati.
(wawancara dengan Sulebar M Soekarman, 10 Desember 2009 di Yogyakarta)
[19] Mengutip petikan pada sesi bedah karya ia nyatakan bahwa, dalam karya-karya terakhir saya lebih sering melakukan teknik kolase, teknik menempel dan mencampur pelbagai media di atas kanvas, kertas atau plywood. Dari karya-karya itu unsur visual yang paling dominan yang saya rasakan adalah unsur raga (shape), dibantu kehadiran unsur warna dan garis. Bentuk memang menjadi tidak penting, karena dalam raga saya merasakan lebih memiliki kemampuan untuk menyampaikan rasa serta saling interaksi antara mereka dalam membangun suatu keharmonisan spiritual. Sementara ini, teknik kolase masih mampu untuk mewujudkan laku saya dalam menekuni, menghayati dan memaknai Asmaul Husna, 99 asma Allah Yang Maha Akbar.
Dalam setiap karya seni, ada tiga unsur utama yang selalu terkait. Kesatu: Pemikiran dan intelektualitas yang mendorong untuk lahirnya karya-karya yang ‘baru’; Kedua: Perasaan dan ‘kekuatan dari dalam’ yang memberikan akar kemanusiaan guna menampilkan nilai-nilai kebenaran yang hakiki, serta ketiga: Ketrampilan dan kecekatan si seniman dalam menguasai pelbagai teknis/media penyampaian untuk mewujudkan karya seni yang diidamkan. Karya seni dapat dibedakan dengan hasil produksi karena sifatnya yang memperlihatkan ‘kebaruan’ tadi, sesuatu yang unik dan memiliki kandungan nilai-nilai tertentu. Sebuah karya seni adalah pembaharuan tersendiri. Ia membutuhkan suatu perjoangan tersendiri, dari sejak awal sampai terwujudnya karya itu, suatu proses kreatifitas yang membedakannya secara langsung dengan produksi barang sehari-hari, sebuah mobil, jam tangan ataupun pesawal luar angkasa. Dapat dikatakan bahwa sebuah karya seni adalah buah budi daya, olah pikir serta olah rasa dari seorang seniman yang kreatif.
Bagi saya keindahan atau beauty adalah cerminan bagi seseorang dalam mewujudkan keselarasan spiritual. Ini sangat berkait dengan tingkat kematangan jiwa, wawasan serta pengalaman estetis yang diupayakan terus menerus selama hidupnya. Dengan demikian keindahan juga tidak kaku dan berhenti. Estetika adalah segudang teori yang melatar belakangi kemunculan keindahan itu. Pemahaman estetika berarti juga tidak kaku dan berhenti. Dalam lukisan-lukisan yang saya ciptakan, keindahan merupakan hasil kesatuan terakhir dari segala upaya pengorganisasian unsur-unsur visual yang saya manfaatkan serta kontrol rasa yang paling dalam dari hasil dialog (baik visual maupun spiritual) dengan karya-karya saya itu. Setiap kesenian memiliki citra keindahan tersendiri, tetapi kalau direnungkan lebih luas lagi, kesenian yang mendunia pasti memiliki kandungan nilai-nilai keindahan universal. Nilai-nilai inilah yang sampai sekarang ini terus saya kaji dan coba untuk mengakrabi.
(Petikan Sulebar M Soekarman pada sesi bedah karya, Yogyakarta, 10 Desember 2009)
[20]Pelbagai macam potongan kain tenun, songket, sarung dan batik dipadu dengan anyaman untuk membuat tas sertaselendang tetap saya pergunakan dalam teknik kolase untuk pengerjaan karya sepanjang 10m ini. Pada potongan-potongan tersebut ada rasa ‘kemelakatan’ dengan diri saya, ada ikatan spiritual dengan pengalaman-pengalaman batin pada saat-saat mengkaji dan mendalami kearifan lokal yang menjadi obsesi saya selama ini. Ada perasaan yang lebih total pada waktu saling ditempelkan di atas permukaan kanvas. Ada suasana baru tanpa suatu ikatan dengan bentuk-bentuk tertentu serta rasa merdeka untuk saling berinteraksi satu sama lain. Disitulah eksistensi pemahaman saya tentang seni abstrak.
Potongan-potongan yang saya tempel ada yang ‘masuk’ bersatu dengan latar belakang, ada yang berdiri sejajar dan bahkan ada yang tampil sendiri. Mereka menjadi raga-raga yang sedang ‘bermain’ di atas panggung seluas 10m x 2m itu! Ada kesan biomorfis yang mengundang untuk diwarnai atau disorot dengan kemilau cahaya. Kehadiran mereka kemudian ada yang perlu diketengahkan karena menjadi pemain utama, tanpa harus mengurangi penampilan bersama dengan para pemain pembantu ataupun terkadang hanya sebagai pemain latar belaka. Esensi kehidupan pada kondisi saya sekarang ini lebih pada intisari pengalaman spiritual dari pada pengalaman fisik. Pemaknaan cinta, kesabaran, kebencian, waktu, ruang, keIllahian, malaekat, rasa syukur dan banyak lagi tidak lagi menjadi ‘sesuatu yang kebetulan’, tetapi lebih kepada rasa syukur dan terima kasih karena masih diberikan nikmat islam, iman dan seterusnya. Pengalaman-pengalaman ini begitu saja muncul pada saat-saat saya berkarya, seperti menyatu dalam dzikir satu tarikan nafas. Dan pada suatu yang bergerak dalam rasa diam, seperti membantu mengontrol jalannya simfoni yang berlangsung dalam sebuah pertunjukan di atas kanvas. Ia ada dalam kesendirian kita. Bersama tarikan nafas, kegalauan pemikiran, keheningan kontemplasi membangun suatu keharmonisan visual. Sudah sejak awal studi di LPKJ, Jakarta, Sulebar M Soekarman oleh guru-guru saya seperti Nashar, Oesman Effendi, Popo Iskandar, Affandi dan Rusli, ia menangkap esensi yang keras, bahwa mencipta dalam berkarya seni bukanlah semata-mata emosi belaka, tetapi dibutuhkan kerja keras disiplin tinggi serta peningkatan intelektual dengan wawasan yang luas. Selain itu pengelolaan yang canggih terutama di dalam melakukan eksperimen dan eksplorasi material, media taupun pemilihan teknik penciptaan.
(Petikan Sulebar M Soekarman pada sesi bedah karya, Yogyakarta, 10 Desember 2009)
[21] Dalam sepuluh tahun terakhir ini, terutama dalam pengkajian dan olah kreatif yang intens dalam melukis abstrak, ada beberapa nama yang dapat saya sampaikan. Untuk alam pemikiran dan perenungan, saya sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Islam dan banyak tulisan tentang Kejawen (Ki Ageng Suryamentaram, Sosrokartono, bermacam serat Jawa). Pemasrahan diri dalam olah laku yang saya lakukan sampai saat ini, sangat besar didasari oleh pemahaman, perenungan dan keyakinan saya dalam mempelajari kedua ajaran itu walaupun saya rasakan saya harus masih banyak belajar lagi. Untuk penguatan sikap, perilaku dan tindak saya sebagai seorang pelukis abstrak, pertama yang perlu saya sebutkan adalah para guru saya seperti Nashar, Oesman Effendi, Popo Iskandar, Affandi, Rusli, Dan Suwarjono, Oemar Kayam dll. Kemudian guru-guru saya di alam maya seperti, Vincent van Gogh, Mondrian, Kandinsky, Paul Klee, Juan Miro, Ozenfant dan Hundertwasser. Dan tentu saja para guru saya yang terus menerus selalu langsung menjadi sparring partner dalam menumbuh kembangkan seni lukis abstrak Indonesia selama ini: Nunung WS, UtoyoHadi, Rusnoto Susanto, Dedy Sufriadi, Yusron, AT Sitompul, Andi, Gotot, AA Nurjaman, Mamamnoor, Anton Lorenz dan semuanya dalam Buku Hitam Seni Abstrak Indonesia! Dari merekalah spirit hidup abstrak selalu muncul dengan kesegaran dan tantangan yang menimbulkan daya juang yang luar biasa!
(Petikan Sulebar M Soekarman pada sesi bedah karya, Yogyakarta, 10 Desember 2009)
[22]Sekedar ilustrasi, Shimen Miyamoto Musashi -seorang ronin dari Mimasaka, Jepang- pada paruh abad XVI, mulai melakukan perjalanan spiritualnya melalui jalan pedang. Perjuangannya untuk menemukan kesejatian hidup membawanya melewati enam puluhan kali pertarungan hidup-mati, yang semua dimenangkan olehnya. Jalan Pedang menuntunnya melewati fase-fase krisis identitas yang gelap yang bahkan oleh Takuan, seorang biksu Zen dan pembimbing spiritualnya seperti menemukan jalan buntu. Ia berhasil melalui jalan berliku dalam hidupnya dengan menyatukan pedang sebagai jiwanya.Dari sanalah ia mulai perburuan pencerahan spiritual dan meninggalkan pengejaran kesempurnaan teknik permainan pedang. Tokoh ini meninggal dengan damai dan jejaknya dikenang tidak hanya sebagai pemain pedang terbesar yang pernah di miliki Jepang, tetapi juga sebagai seorang seniman lukis dan kaligrafi yang handal. Ilustrasi di atas memberi pelajaran menarik pada kita, bahwa dengan jiwalah kita dapat mencapai tujuan kita, seperti ketika Musashi mengalahkan rival terkuatnya, Sasaki Kojiro, dalam pertarungannya yang paling melegenda. Apakah dengan demikian teknik lebih inferior posisinya dibandingkan konseptualitas dalam ranah senirupa kita dewasa ini? Tentu akan melelahkan jika kita mengkonfrontasikan kedua hal tersebut, sebab bagaimanapun Musashi adalah seorang pemain pedang dengan teknik yang baik. Poin terpenting dari contoh kasus tersebut mungkin adalah bahwa, teknik tanpa jiwa akan berakhir seperti Sasaki Kojiro. Dari situlah kesadaran penciptaan seni yang meninggalkan aspek-aspek spiritual mempunyai dampak lanjutan pada karya seni yang diciptakan. Kita boleh memilih karya kita mati terlalu dini seperti Kojiro atau mati dengan wajar seperti Musashi.
(Yusron Mudhakir, pada teks sesi bedah karya, Yogyakarta, Nopember 2009)
[23]Sebab hanya dengan menghadirkan kesadaran tertinggi dalam setiap proses berkesenian, identitas kesenian kita tidak akan menjadi sebutir debu yang menghilang tersapu oleh deru angin. Dengan tradisi spriritual timur yang kita miliki, kita berharap bahwa karya yang kita sajikan dalam pameran ini akan beringsut membuka kesadaran bahwa esensi penciptaan tidak terletak di Barat atau di Timur sesuatu, bahwa ia merupakan kutub-kutub spiritual yang mengelilingi kutub rahasia alam semesta. Sebuah kutub cahaya yang berpendar dan membuat seni kita menjadi lebih berarti. Harus kita akui bahwa pembahasan kita pada saat ini adalah pada kisaran identitas seni kita yang baur ketika dihadapkan pada wacana seni rupa barat. Tentu hal tersebut sudah tidak lagi relevan mengingat kondisi senirupa, khususnya abstrak, di barat sendiri tengah mengalami fase kemunduran atau malah mulai ditinggalkan dalam konteks pewacanaan senirupa dunia. Kondisi seperti itu tidak hanya terjadi pada wilayah seni saja, tetapi merambat pada bidang-bidang lain dari berbagai disiplin ilmu, dengan lain kata, ini adalah sebuah jalan buntu bagi peradaban manusia.
[24]Dalam kasus ini, kita harus sadari bahwa keberadaan kita dengan nilai-nilai spiritualnya adalah sebagai penyempurna dari apa yang telah dicapai oleh logika barat. Seperti ungkapan yang populer di kalangan ahli tasawuf, bahwa filsafat tanpa agama adalah sia-sia, sedangkan agama tanpa filsafat adalah semacam takhayul yang ketinggalan jaman. Belajar dari kasus tersebut, dalam konteks senirupa, apa yang dicapai oleh barat dari segi visual mempunyai pengaruh yang teramat besar pada perkembangan senirupa kita dewasa ini. Kembali saya tekankan, bahwa saya mungkin adalah seorang pesimis jika itu menyangkut perihal kebaruan dalam aspek-aspek visual kita. Semua telah ada dan segala kemungkinan yang tersembunyi telah dijelajahi, keberadaan kita hanyalah sebagai penerus tradisi seni yang telah di bangun berabad-abad lampau. Sebagai bahan rujukan, bahwa seni kontemporer adalah modernitas yang berbicara pada dan mengenai dirinya sendiri, tentu merupakan tamparan keras yang harus kita sikapi dengan hati-hati. Sebab bagaimanapun selama ini kita hanya menyaksikan pengulangan, modifikasi kecil-kecilan dan inovasi setengah hati dalam kapasitas keputus-asaan yang tragis ketika kita menoleh pada masa lalu. Apa yang kita tawarkan dari pameran ini setidaknya membuat diri kita sendiri menyadari bahwa jalan yang kita tempuh seperti tanpa ujung.
(Yusron Mudhakir, pada teks sesi bedah karya, Yogyakarta, Nopember 2009)
[25]Pada abad lampau Malevich menyatakan bahwa square adalah sesuatu yang ‘hidup’, dan inilah jawabanku, dan untuk ini alam berhutang pada ‘sang arif’ yang telah membuka pemahaman dalam masalah ini. Juga atas limpahan cahaya al-Haq yang menjernihkan otak (akal). Inti dari square adalah pada bilangan 4.4 sisi yang jika ditarik garis menyilang akan melahirkan satu titik temu. Square adalah rumah dan kita adalah titik persinggungan di dalamnya. Square adalah raga dan raga mempunyai pusat atau kutub yakni hati dan ruh, ia bersemayam dalam inti hati. Empat unsur yang menyusun square adalah 4 unsur dasar pembentuk kehidupan dan keempatnya masing-masing menyimpan rahasia yang dijaga oleh malaekat-malaekat tertinggi dan hanya orang-orang terpilih yang bisa memasuki. Empat adalah bilangan ‘sempurna’, sebab anagka 10 ada di dalamnya. Empat adalah manusia (yang mikro) sedangkan sepuluh adalah semesta ciptaan (yang makro). Wujud manusia adalah mikro sedang esensinya makro.
[26]Ada dua kemungkinan yang bisa mendekatkan pada pencapaian macam ini dalam wilayah seni rupa. Pertama, keterhubungan sebuah karya seni dengan keindahan-keindahan supernal, ini terkait erat dengan kualitas pengalaman spiritual transendental si pencipta karya. Kedua, terkait dengan aspek modalitas pemahaman sia apresian akan wilayah-wilayah dunia supernal tersebut. Kemungkinan terburuk pada poin pertama adalah kegagalan apresian mendekati karya seni, karena memang tidak ada kelayakan yang menjadi modal awal sebuah karya seni untuk didekati dari sudut pandang yang adi inderawi. Sedang kemungkinan yang terburuk pada poin yang kedua adalah terhentinya penglihatan pada wujud karya seni yang merupakan pendangkalan pemaknaan pada sebuah karya seni. Diluar ini berbagai kemungkinan menjadi bersifat relatif dan tentatif. Inilah seni yang menjadi sebagai jalan kebenaran, diluar ini seni hanya menjadi kedok dari dunia rendahan.
Kesenian menjadi budak hawa nafsu dan sebuah karya yang tercipta adalah simbol ketidak mampuan seniman alam menggapai keberadaan Tuhan dan ketahuilah bahwa kesanggupan seseorang terhadap keberadaan Tuhannya adalah bentuk terrendah dari ketidak mampuannya untuk membuktikan eksistensi Tuhan. Sedangkan kemampuan seseorang untuk membuktikan eksistensi Tuhan adalah titik tolak perjalanan para pencari Tuhan, dan keberhasilan seorang ‘pencari’ berada di telapak kaki para ‘pencinta’ Tuhan, dan wilayah terrendah dari para ‘pencinta’ ada pada kerinduannya untuk melihat keindahan ‘wajah’ Tuhan!
(Yusron Mudhakir, pada teks sesi bedah karya, Yogyakarta, Nopember 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar