Minggu, 05 Februari 2012

‘THE DREAM’ Reinterpretasi Impian dalam Perspektif Seorang Perupa

‘THE DREAM’

Reinterpretasi Impian dalam Perspektif Seorang Perupa

Proses ini hendak menunjukkan pada publik secara luas bagaimana prosedur dan proses kompetisi dilangsungkan secara terbuka sebagai upaya pewacanaan bahwa kompetisi ini tidak sekadar menjaring karya-karya terbaik perupa muda kita namun juga hendak menjumput berbagai pemikiran-pemikiran yang berserak ketika proses kreatif berlangsung.

Netok Sawiji_Rusnoto Susanto, Kurator

Inspirasi terbesar bagi seorang genius adalah impian. Seorang geniuslah yang kemudian mampu mengeksplorasi letupan-letupan impiannya dan sanggup mengubah dunia. Bagaimana seseorang dapat bertahan sekaligus melangsungkan kehidupannya tanpa bertumpu pada kekuatan visi dan kekuatan impian? Bagaimana impian-impian mampu menciptakan budaya dan membangun sebuah ilmu pengetahuan yang melampaui batas kapasitas logika. Dasar sederhananya, kekuatan impian membentuk kuatnya karakteristik pribadi dengan kekuatan eksistensi seseorang sehingga dapat survival, dihargai dalam kelompok sosial tertentu, dan lebih bermartabat. Impian menuntut sekaligus membentuk perspektif berpikir menjadi manusia visioner dan berkarakter. Nah, berpijak atas dasar inilah tema ‘THE DREAM’ The Power of Dream di usung sebagai tema yang membingkai penyelenggarakan kompetisi Tujuh Bintang Art Award 2009 yang diharapkan dapat memicu berbagai perspektif para perupa muda Indonesia dalam menggali sekaligus menjumput inspirasi atas impian-impian yang selama ini menggelisahkan ruang-ruang virtual kita hari ini.

Tujuh Bintang Art Awards 2009

Tujuh Bintang Art Award 2009 merupakan paket program yang didedikasikan pada bagian penting perjalanan dan perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia. Sebagai bentuk apresiasi terhadap pemikiran dan karya terbaik perupa muda Indonesia yang telah mendedikasikan segenap kehidupan kreatifnya untuk melahirkan karya-karya terbaik. Penghargaan ini disampaikan sebagai bentuk kemelekatan relationship yang harmonis antara pihak penyelenggara dengan para perupa muda Indonesia selama kurun setahun semenjak Tujuh bintang Art Space dilaunching tentunya atas dasar pada kwalifikasi karya yang diajukan pada kesempatan kompetisi berwibawa ini.

Tujuh Bintang Art Award 2009 merupakan kompetisi yang semata-mata digelar sebagai bentuk penghargaan yang menandai sebuah pencapaian puncak prestasi para perupa muda dalam proses seleksi yang sangat ketat dilakukan tim juri yang terdiri dari kurator, penulis kritik seni rupa dan akademisi. Melibatkan dewan juri yang memiliki kapabilitas terbaik diantaranya Suwarno Wisetrotomo (Kurator, Penulis Kritik Seni Rupa dan Dosen Program Pascasrjana ISI Yogyakarta), Kuss Indarto (Kurator Independen), Sujud Dartanto (Kurator Independen), Mikke Susanto (Kurator Independen & Staf Pengajar FSR ISI Yogyakarta), Netok Sawiji_Rusnoto Susanto (Kurator Independen, Dosen Luar Biasa FBS Seni Rupa UNJ, Jakarta).

Satu hal penting yang perlu kita ketahui bahwa proses seleksi melalui dua tahap yakni; tahap pertama (sistem seleksi tertutup), seleksi portofolio karya dengan materi seleksi foto karya dan konsep dasar penciptaan karya. Tahap ini diselenggarakan di meeting room Santika Hotel pada 7 Juli 2009, dengan menyeleksi 623 perupa dengan 1508 karya dari berbagai daerah dan latar belakang pendidikan seni yang beragam serta tidak sedikit peserta yang masih menempuh studi di berbagai perguruan tinggi seni di Indonesia. Jumlah peserta dan karya pada proposal yang masuk mengindikasikan sebuah upaya maksimal pihak penyelenggara yang menyiapkan waktu hanya sekitar satu bulan semenjak awards ini dipublish adalah kerja terbaik tim Tujuh Bintang Art Awards 2009 bekerjasama dengan Tean Organizer (Hanif ZR, cs) yang luar biasa kinerjanya. Response para perupa muda Indonesia juga sangat membanggakan semangat kompetitifnya.

Berbagai prosedur teknis telah dipublish dan disepakati para peserta ketika peserta yang telah mengirimkan portofolio kepada pihak penyelenggara. Proses seleksi awalnya memilih 170 karya kemudiam diperketat untuk menentukan 62 karya nominator yang pada akhirnya tim juri menentukan 20 nominator yang wajib mengikuti proses seleksi tahap dua dengan pola presentasi terbuka. Nominator tersebut memperoleh kesempatan dipamerkan oleh pihak penyelenggara kompetisi. Kemudian tahap kedua (sistem seleksi terbuka), seleksi terbuka berdasarkan presentasi karya terpilih (20 nominator) pada 21 Juli 2009 di ruang seminar Taman Budaya Yogyakarta, peserta mengirim karya secara langsung dengan ke pihak Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta dan diwajibkan melakukan presentasi karya oleh seniman di hadapan tim juri dan audiens yang terdiri dari pers, perupa senior dan pengamat seni.

Dalam pelaksanaan presentasi terbuka melibatkan partisipasi audiens untuk menyampaikan pandangan dan berbagai konfirmasi keterkaitan langsung antara konsepsi dengan karya. Proses ini hendak menunjukkan pada publik secara luas bagaimana prosedur dan proses kompetisi dilangsungkan secara terbuka sebagai upaya pewacanaan bahwa kompetisi ini tidak sekadar menjaring karya-karya terbaik perupa muda kita namun juga hendak menjumput berbagai pemikiran-pemikiran yang berserak ketika proses kreatif berlangsung. Pola semacam ini setidaknya menjadikan setiap perupa melakukan persiapan dan pembenahan diri secara lebih matang dalam mengikuti kompetisi ini maupun kompetisi sejenis serta senantiasa siaga dalam olah kreatifnya. Disinilah kita dapat melakukan konfirmasi-konfirmasi dasar filosofis dan artikulasi pemahamannya secara intelektual, tidaklah berlebihan karena pada dasarnya kelahiran karya seni itu sendiri berdasar aspek emosional dan intelektual.

Kemunculan Berbagai Kecenderungan Visual

Ketika perupa dihadapkan atau tidak berhadapan sama sekali dengan tema tertentu acapkali tergagap-gagap lantas berupaya mengais-ngais berbagai referensi visual maupun menarik subyek-subyek tertentu yang sekiranya dapat mempresentasikan kegelisahan sesaatnya dalam serangkaian proses kreatif. Dari subyek-subyek paling sederhana hingga terumit atau sebaliknya. Ada pula kecenderungan yang melegakan (meski sedikit) seorang perupa dengan kesadaran mendasar melakukan kajian-kajian spesifik pada subject matter yang mewakili obesesi kreatifnya. Kemudian dijadikan dasar acuan untuk membangun kerja kreatifnya dengan kesiapan teknis serta penguasaan menaklukan media ekspresi.

Kecenderungan perupa yang terakhir inilah setidaknya menjadi kekhawatiran kita semua karena minimnya populasi dan rendahnya minat perupa untuk mengetahui, memahami dan mendalami lebih jauh mengenai berbagai hal yang menyangkut konsepsi dan menangkap dengan cermat pemikirannya yang meletup-letup yang tak lagi mampu tersarikan dengan baik. Sehingga perupa nampak ketaksiapannya untuk memaparkan perihal proses perenungan, pemikiran serta tesisnya yang digeluti bertahun-tahun. Sebuah kesadaran pemikiran yang dibangun berdasarkan dorongan kepekaan intelektual dan kepekaan emosionalnya tidak semata merayakan banalisasi-banalisasi ke arah perubahan yang mengatasnamakan perkembangan seni rupa kontemporer yang senantiasa membuka peluang keniscayaan representasinya. Tak dapat dipungkiri para pelaku seni rupa kontemporer bukan pada upaya perayaan tersebbut namun lebih pada perayaan pemikiran-pemikran ganjilnya yang dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual. Nah, kecenderungan perupa yang mendasari proses kreatifnya dengan sebuah kesadaran emosional, intelektual dan perseptual menjadi materi penting bagi ruh karyanya. Proses kekaryaan semacan inilah yang berpotensi melahirkan karya-karya terbaiknya mendatang.

The Dream Dalam Kerangka Tafsir Interpretatif dan Kwalifikasi Artistik

Ada beberapa catatan penting dalam proses penjurian yang berlangsung lancar dan sangat memuaskan tentunya untuk semua pihak. Terutama pada materi kompetisi yang cenderung memunculkan citra visual yang seragam dalam memilih bahasa ungkap meskipun dengan kekuatan estetik dan pencapaian teknik yang sangat beragam serta inovasi media yang menarik untuk dicermati. Dari 1500an karya tersaring menjadi 60 peserta nominator pada tahap pertama diantaranya muncul 20 nama nominator yang berkeawjiban menempuh proses seleksi tahap kedua tentu denga berbagai pertimbangan hanya menentukan sekitar 10% dari peserta kompetisi yang berjumlah 623 perupa tersebut. Namun dalam perkembangan terakhir yang dapat memenuhi syarat hanya 59 peserta nominator yang dapat dipamerkan karena beberapa hal teknis.

Kemudian catatan yang tak kalah pentingnya ketika mencermati satu persatu karya yang muncul sebagai 59 nominator dan 20 nominator yang diwajibkan presentasi karya pada seleksi tahap kedua, dalam kesempatan ini saya sedikit memapaparkan detail dari proses seleksi Tujuh Bintang Art Awards 2009. Kompetisi ini memberi peluang pada upaya pembacaan ulang mengenai The Dream dalam kerangka tafsir interpretatif secara konseptual yang dibangun dengan dedikasi tertinggi para perupa untuk menggali sekaligus mempresentasikan nilai estetik dan pencermatan pada kwalifikasi artistik. Berbagai alasan yang menarik tentu dapat kita lacak pada saat melakukan konfirmasi-konfirmasi pada tahap ini. Misalnya presentasi Desrat Fianda, Made Wiguna Valasara, Syaiful A. Rachman, Rudi Hendriatno, Cipto Purnomo, I Wayan Upadana, Muhammad Yusuf Siregar, Suparyanto, Erianto, I Kadek Agus Ardika, Deden FG, Kadafi Gandi, Kusuma, Edi Maesar, Purwanto, Khusna Hardiyanto, Wibowo Adi Utama, Dedy Maryadi, Hasto, Edi Setiawan a.k.a Iwan Hasto, Angga Aditya Atmadilaga, dan Rocka Radipa (meskipun Rocka Radipa terpaksa tidak disertakan dalam pameran ini karena alasan teknis tertentu sesuai keputusan pihak penyelenggara kompetisi).

Banyak hal yang dapat disampaikan secara argumentatif ketika keputusan dewan juri di publish, tentu serta merta kita akan merujuk pada berbagai aspek-aspek tertentu yang dijadikan pedoman penjurian. Namun dalam konteks tulisan kuratorial ini saya tidak bermaksud melakukan tinjauan komperehensif tetapi mencoba menyampaikan sebuah gambaran kenapa karya-karya terbaik para perupa ini menarik untuk dihadirkan di hadapan kita.

Menarik ketika menyimak karya Desrat Fianda (‘Bingkai Istimewa #2, Take Wood, car paint, Acrylic on canvas, Lukisan Semi 3D, 154cm x 154cm x 12cm, 2009) terlebih ketika ia mempresentasikan pemikiran-pemikiran seputar dasar proses kreatifnya yang telah dikonfirmasi secara komperehensif. Konsepnya inovasinya sungguh menarik untuk disimak ketika ia mampu menciptakan lukisan dengan menyatukan obyek tiga dimensional ke dalam bidang dua dimensional dengan mengalihfungsikan peran bingkai pada lukisan. Dengan kesadaran intelektualitas sehingga menghasilkan olah kreativitasnya berupa karya seni lukis yang kreatif dan non konvensional.

Paparannya yang lugas lagi tegas menunjukkan idealismenya mengenai peran bingkai sebagai obyek pertama tepatnya sebagai pita kado. Sesuatu yang menarik dan spesifiknya ketika keberadaan kanvas yang tidak menuntut banyak permintaan olah artistik (tidak cerewet, ia hening) karena kanvasnya berperan sebagai mediasi yang mempresentasikan imaji tertentu kado/bingkisan. Seperti penuturannya pada saat presentasi karya bahwa peran bingkai pada lukisan dan peran pita pada kado pada dasarnya memiliki kesamaan yaitu sebagai hal yang dipasang paling luar, sebagai pengikat, penghias dan sebagainya, jadi pergeseran bentuk ini (frame menjadi pita kado) merupakan sebuah pengungkapan sesuatu yang seakan-akan mustahil untuk dilakukan namun semuanya mungkin terjadi. Lantas inilah yang ia tafsir sebagai sebuah kekuatan mimpi atau the power of dream. Membalikan sebuah kemustahilan menjadi sebuah keniscayaan. Disini peran wacana menjadi sangat penting untuk memaparkan sesuatu yang menggelisahkannya secara argumentatif. Presentasinya menjadi sangat berhasil karena ia memenuhi aspek-aspek yang diacu baik secara umum maupun secara khusus.

Bagian terpenting dari kelompok Sentak yang tengah diperhitungkan yakni Made Wiguna Valasara yang menyikapi kesadaran dirinya mengenai fenomena bumi menjadi sangat menarik dan spesifik bukan sekadar representasi visualnya semata namun bagaimana ia menyelami pemahamannya perihal bumi (dunia) yang disidiknya dalam kemasan tajuk ‘Menyudut’, Diameter 150 cm, Acrylic, rattan on canvas, 2009. Valasara melihat kondisi dunia yang semakin sengkarut dan tingginya populasi masyarakat dunia sehingga memicu habisnya lahan kosong, dunia kian terpiuh dan bentuk bulatnya kian hilang karena makin dipenuhi lansdscape kota. Kondisi ini mengepung keberadaan alam dengan sifat organiknya yang berubah fungsi dan peran bumi itu sendiri sehingga tampak disesaki bentuk-bentuk rigid. Artinya bahwa hampir semua keadaan semacam ini menicu pesimistis secara tak langsung mengancam eksistensi alam dan manusia itu sendiri. Sikap optimistis juga muncul ketika masyarakat dunia memiliki kesadaran yang cukup mengenai eksistensi bumi dan kelangsungan hidup kita.

Hal menarik dari paparan konseptual tertulis Valasara ketika dikonfirmasi adalah seorang perupa mampu berempati dan menangkap pesan-pesan tersirat yang terjadi di sekitar kehidupannya maka dengan sendirinya ia mempunyai kekuatan imajinasi dan kepekaan rasa yang hadir melalui daya interaksi dan impian-impian dalam menjalani hidup ini. Visualisasi tumpang tindih garis-garis yang seolah berebut lahan dan memburu lahan kosong yang tersisa kemudian merubah bentuk lingkaran tersebut membentuk sudut-sudut dengan sisi-sisi yang hampir dipenuhi tumpukan garis-garis sebagai gambaran sebuah keadaan yang sangat terbatas dan dilematis bagi kita mengenai keberadaan bumi saat ini. Lantas Valasara beranggapan bahwa dengan dua sisi kanvas yang membentuk setengah lingkaran menggunakan kolase rotan untuk mengungkapkan keadaan yang terus bergerak, mengalir ataupun berkurang seperti halnya yang terjadi di bumi ini.

Mencermati beberapa kalimat yang dinyatakan Valasara di atas maka menegaskan kembali bahwa ia hendak mengartikulaskan kegalauannya dengan kondisi bumi yang kian memprihatinkan dan ia tidak sekadar berkeinginan secara konseptual namun dalam kesehariannya ia telah berupaya meminimalisir penggunaan sampah plastik yang sehari-hari dekat dengan ruang-ruang aktivitas kita. Karena menurutnya penggunaan sampah plastik dan bahan kemasan anorganik lainnya memicu persoalan kerusakan alam yang hingga saat ini kita perebutkan keberadaannya dan maksimalisasi fungsinya. Kesadaran semacam inilah yang memberi peluang manusia untuk tetap dapat melambungkan impian-impiannya.

Syaiful A. Rachman, karyanya yang memukau sensasi mata kita dengan detail-detail ratusan objek-objek yang bercitra pemain sepak bola dengan atribut kesebelasan-kesebelasan imajinernya dalam bungkus 11:11, Acrylic on Canvas, 153x210 cm, 2009. Tampilan visual yang serba superfisial tentu sudah menggedor nyali kita dengan menempatkan mata kita pada perspektif mata elang yang luar biasa cermat. Kemudian keterampilan/kepiawaian teknis memainkan ilusi optiknya justru mengisyaratkan karya itu sebagai karya yang layak diperhitungkan. Lebih-lebih keunikan pencapaian teknik artistiknya memang luar biasa hampir tak sebanding dengan kemampuan presentasinya. Segala aspek visualnya sungguh menggugah dan ditinjau dari kemampuan teknik dan penundukannya terhadap media meyakinkan kita semua bahwa karya ini sangatlah layak dipresentasikan pada kompetisi Tujuh Bintang Art Awards 2009. Sekadar kritik kecil dari semua juri ketika ia presentasi bahwa karya ini sudah sangat menarik secara visual namun beberapa bagian konsepsinya terjadi pelampauan pemikiran yang justru tidak signifikan atau malah cenderung berpotensi melemahkan. Hemat kami, inilah pentingnya proses seleksi terbuka dengan presentasi verbal dimana seorang perupa dituntut kemampuan intelektualnya memaparkan dasar pemikiran secara logis, ilmiah dan bertanggung jawab. Paling tidak ini yang hendak diwacanakan kembali dalam kompetisi semacam ini.

Tampaknya Syaiful A, Rachman hendak bertutur perihal akselarasi budaya masa yang berkembang pada wilayah masyarakat liberalis dan kapitalistik. Jika merujuk dasar pemikirannya mengenai 11:11 lebih merupakan sebuah kesadaran mendasar bahwa alam semesta terdependen pada sebuah sistem yang mengedepankan aspek kwantitatif bukan pada aspek kwalitatif sehingga masyarakat yang lagi-lagi terjebak pada arus budaya konsumerisme.

Rujukan lainnya bahwa 11:11 sejatinya mencerminkan sebuah keteraturan layaknya alam semesta memiliki kemampuan mengatur dan memelihara dirinya dalam kapasitas dan ketundukannya pada ruang-waktu yang telah diatur dalam sistem kehendak absolud. Intinya Syaiful hendak merepresentasikan pemikirannya kemudian meletakan pada jenjang dan kontekstual dengan pemahamannya mengenai budaya masa yang begitu sangat mempengaruhi karakteristik masyarakat dalam konfigurasi-konfigurasi kekuatan budaya populer di dalamnya.

Rudi Hendriatno, Take Off’, Teak Wood (kayu jati), 240x160x130cm, 2009, bertutur bahwa setiap manusia memiliki impian dan mereka hidup untuk itu, dalam memulai perjalanan tersebut maka di butuhkan mobilisasi dengan bentuk kendaraan. Kendaraan inilah yang mampu menghantarkannya ke gerbang impian. Peniruan bentuk skateboard dengan ukuran sebenarnya sebagaimana fungsi asli menjadi titik tolak proses penciptaan karya seninya yang dipahami memiliki berbagai aspek artistik maupun nilai estetik yang tak terbantahkan.

Kehadiran skateboard lebih diutamakan sebagai sebuah metaphor. Penggambaran karakteristik sesuatu yang gesit, lincah, ringan, atraktif, dan mampu meluncur dengan kecepatan tertentu. Papan luncur ini menawarkan visual form artistik dan aerodynamics yang langsung menuju pada kata aeronautics. Skateboard lazim dipergunakan kaum muda usia sebagai alat olah raga hobi meski dalam praktiknya tergolong memiliki tingkat kesulitan tinggi dengan tingkat kerawanan kecelakaan tinggi. Disisi lain permainan ini memiliki daya gugah dengan picu adrenalin yang tinggi. Ditangan seorang perupa seperti Rudi Hendriatno, skateboard dapat dimodifikasi dengan penambahan sayap di kedua sisinya sehingga memunculkan imaji baru yang dapat menggiring imajinasi kita dalam menemukan totaitas gagasan dengan membidik kata terbang, kebebasan, dan kecepatan serta keniscayaan impian dapat tergapai.

Cipto Purnomo, Mengendalikan Diri’, Batu Andesit, 100cm x 60cm x 40cm, 2009, Cipto hendak menuturkan sesuatu yang paling fundamental dan perihal sesuatu yang substansial. Pernyataan yang paling populer dikalangan kaum santri abangan bahwa ‘musuh yang paling sulit ditaklukan adalah diri sendiri’. Meski demikian ia segera ingin memaparkan sebuah relasi tanpa batas mengenai impian yang dianggap sebagai sesuatu yang kita inginkan atau dicita-citakan. Kadang impian itu sulit untuk diraih atau didapatkan namun manusia selalu mempunyai cara terbaik mewujudkan impian. Maka ia secara implisit berargumentasi perlunya manusia itu mengendalikan diri supaya tidak lepas kontrol. Objek gajah menjadi metaphor kekuatan yang merepresentasikan bagaimanapun besarnya kekuatan superior manusia hendaknya dapat menundukan diri dan kekuatannya. Yang menarik dari hasil proses kreatifnya adalah pada keunikan visualnya yang mengetengahkan aspek lokal dengan pencitraan kepurbakalaan dan sentuhan pemikiran kontemporer, dua aspek inilah yang tengah dikawin-silangkan sekaligus dipertentangkannya.

Teks Visual Dalam Berbagai Konteks Representasi

Kemudian sederet nominator yang karya-karya terbaiknya masuk dalam 59 nominator diantaranya: Dedy Sufriadi, Yudi Irawan, Rokhim Maosart, Miranti Minggar Triliani, Danny Irawan, Nawir Mc Pitt, M. Wira Purnama, Agung Santosa, Baswara Indrajati, Handry L.S, Pande Nyoman Alit Wijaya Suta, RB. Setiawanta, Hilmi Fabeta, I Gede Arya Sucitra, Nugroho Wijayatmo, Dani ‘King’ Heriyanto, I Made Ngurah Sadnyana, Afdhal , Nugroho Heri Cahyono, Dhomas Yudhistira (Kampret), Achmad Basuki, Mulyo Gunarso, Untung Yuli Prastiawan, Widhi Kertiya Semadi, Ferry Gabriel, I Wayan Legianta, Tri Wahyudi, Kadek Agus Mediana (Cupruk), I Made Adinata Mahendra, Roni Ammer, Bambang Supriyadi, Budi Agung Kuswara a.k.a Kabul, Jouhan Jauhari, Baskoro latu, Nur Fitriyah , Agus Triono, Dwi Rustanto, Ivan Yulianto, Imam Abdillah, dan Andi Riyanto (Laghost). Secara umum mereka menggunakan media dua dimensi, tiga dimensi, variable media, dan hanya dua karya multi media dengan tingkat eksplorasi yang luar biasa.

Mengamati kecenderungan-kecenderungan (dari sekitar 1500an karya yang masuk) munculnya bahasa visual dalam kompetisi Tujuh Bintang Art Awards 2009 ini mengingatkan kita kembali mengenai dinamika seni lukis modern yang dipaparkan Greenberg ketika itu yang bergerak melakukan pembersihan-pembersihan berurutan melampaui figurasi, kedalaman, pelampauan hingga berakhir pada upaya pencitraan datar dan warna belaka. Yang dianggap Danto sebagai the end of art dan dinyatakan secara filosofis sebagai keruntuhan dari semua narasi ahli. Kemudian Pop Art sebagai ruang pemakamnannya sekaligus penanda kebaruan seni lukis ke dalam pola kebebasan ‘post-historis’ di mana segala sesuatu dapat diamati sebagai karya seni, Kotak Brillo dari Warhol (Warhol’s Brillo Box) misalnya yang berdiri sebagai epifani sebagai bentuk perayaan tiga raja dalam Kristen. Paling tidak Warhol dapat kita jadikan sampel kasus dalam upaya pembacaan yang simpatetis dan cerdik dari seorang Wollen yang mensituasikan ‘teatrikalisasi kehidupan sehari-hari’ (theatricalization of everyday life) sebagai tindak lanjut avant-garde historis yang mengangkat hambatan-hambatan antara seni dan kehidupan yang dimunculkan kembali.

Kecenderungan semacam ini tentu menjadi picu kaum muda untuk merayakan kebebasan artistik sempurna (perfect artistic freedom) di mana segala sesuatu diperbolehkan (everything is permitted) kendati berhadapan langsung dengan konsep-konsep estetika Hegel. Kemudian berakhir pada datangnya kesadaran sifat seni yang lebih filosofis, seni dapat masuk melalui celah filsafat pada momen yang hanya mengambil keputusan intelektual saja dan mampu menentukan antara seni dan bukan seni. Neo-avant-garde bergerak merealisasikan tujuan melakukan perubahan paradigma menuju praktik-praktik postmodernisme yang terus menerus dan sistemik akan diperluas hingga hari ini. Postmodern tidak pernah sepenuhnya bermaksud menghapus modern, dua wujud yang selalu dalam pengertian ‘paling dihormati’ karena begitu visioner melihat masa depan yang dibayangkan dan masa lalu yang dimanifestasikan kembali. Namun demikian postmodern dalam pemahaman yang berbeda memunculkan antithesis bukan sekadar manifestasi estetis tetapi politis. Sejarah ini masih dianggap terlalu baru untuk mampu merekonstruksi perciknya yang lepas lantas berpotensi memberikan nuansa kontradiksi suatu waktu. Misalkan, terjadinya berbagai perubahan pradigma dalam seni lukis (ruang-ruang eksperimentasi estetis) yang memiliki dasar kecenderungan lebih luas dengan olah konseptualisasi yang tampaknya kemudian menjadi ketegangan dalam wacana seni postmodernisme.

Pada kompetisi ini terdapat suasana yang saya paparkan di atas. Para perupa lebih dominan mempresentasikan gagasannya dengan penggunaan bahasa visual bercitra realistik meskipun hanya dalam prosentase kecil saja yang memposisikannya pada langgam non representasi objek. Citra-citra yang paling mudah diidentifikasi adalah upaya setiap perupa masuk ke ranah seni rupa kontemporer dengan citra representasi visual maupun kekuatan-kekuatan gagasan yang mendasari olah kreatifnya. Kompetisi ini telah mampu mengindikasi peta perkembangan seni rupa kontemporer hari ini, paling tidak ini cukup representatif untuk mengetahui laju perkembangan dan prediksi wacana seni rupa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar