Representasi Saparan dan Revitalisasi Spirit Bekakak
Karya-karya besar memang terasa bersumber dari mata air yang jernih, segar dan menyejukkan. Kemanfaatannya tak kunjung berhenti, nilainya padat, merupakan kesatuan dari kebenaran, keindahan dan kebaikan. (Damardjati Supadjar, 1978: 81)
Menjumput poin pemikiran Damardjati Supadjar di atas, tentu menemukan esensi bahwa sebuah pemikiran, renungan, eksplorasi pada hasil penciptaan seni yang memiliki akar dimana sebuah oase kebudayaan menghidupi proses kesenian itu sendiri di sebuah daerah. Proses penciptaan seni yang melekat pada konteks budayanya. Sebuah sumber mata air yang jernih muncul pada proses penggalian yang tentu akan melahirkan sesuatu yang segar, unik, original dan mengandung kedalaman-kedalaman nilai, kebebaran, keindahan yang khusus serta menebarkan kebaikan. Kesadaran penggalian nilai-nilai lokal tampaknya melekat pada proses kesenian Bayu Wardhana dengan mempresentasikan pemikiran, perenungan-perenungannya dan upaya kerasnya melakukan revitalisasi Spirit dari sebuah ritus Saparan Bekakak Gunung Gamping.
Nampak pada diri seorang Bayu Wardhana tak mampu lagi merahasiakan sejumlah mitos yang berelasi secara langsung pada figur Ki Wirosuto dan ada kehendak meluap untuk membaginya pada publik senisecara luas. Ia mampu memahami sekaligus menghayati detail-detail Upacara Adat Saparan yang melegenda bagi masyarakat Ambarketawang. Ia memiliki obsesi dan kesadaran spiritual yang tidak sederhana mengenai jalinan ceritera rakyat yang sangat berhubungan dengan garis leluhurnya ini. Faktanya pada setiap detail proses penciptaan seninya menyiratkan begitu kuat legenda Ki Wirosuto, Saparan Bekakak dan kemelekatannya dengan ritus sebuah gua di Gunung Gamping yang misteri itu. Situs Gunung Gamping bukti adanya penggerusan sporadik sebuah gunung batu dan budaya yang berkembang di sana. Kemudian dijadikan cagar alam ‘budaya’ oleh Departemen Kehutanan dengan area sekitar 1 Hektar dibagian depan menjulang batu besar setinggi 12 meter ‘gunung gamping yang tersisa’ yang digunakan masyarakat Ambarketawang untuk melakukan Upacara Adat Saparan Bekakak. Nah, di area inilah acapkali Bayu Wardhana melakukan perenungan dengan melukis on the spot untuk dapat terlibat secara emosional dan merasakan vibrasinya. Dengan begitu Bayu Wardhana yang menjadi bagian yang melekat pada kebudayaan yang masih hidup ini menggerakan daya persepsi untuk menangkap spirit melalui penanda yang tetap hidup saat ini untuk menemukan nilai dan kebenaran seperti dalam teori persepsi, seratus penafsir sama halnya seratus argumentasi yang sah dan memiliki nilai sebuah kebenaran.
Persepsi, Representasi dan Revitalisasi Saparan Bekakak
Tradisi yang dihelat setahun sekali pada Jumat antara tanggal 10-20 bulan Sapar sesungguhnya menjadi asset penting bagi Yogyakarta untuk memperkaya khasanah seni tradisi sebagai bentuk penghormatan terhadap kesetiaan Ki Wirosuto yang layak diteladani masyarakat secara luas. Upacara yang semula sebagai penghormatan dan penghargaan atas jasa Ki Wirosuto sebagai seorang kepercayaan Pangeran Mangkubumi yang tertimpa reruntuhan di sebuah gua gunung Gamping beserta keluarganya. Atas perintah Pangeran Mangkubumi dihelatlah sebuah upacara persembahan Saparan Bekakak yang dimaksudkan untuk menolak bala agar tidak terjadi peristiwa yang dialami Ki Wirosuto, memberi keselamatan dan masyarakat di sekitar gunung Gamping. Sebagai abdi dalem Sri Sultan Hamengku Buwono I kemudian berkembang penghayatannya menjadi semacam ritual ‘penolak bala’ bagi masyarakat pencari batu di Gunung Gamping yang berkembang dalam bentuk persembahan Saparan Bekakak dengan representasi dan penghayatannya sebagai aktivitas kebudayaan yang tidak mustakhil menjadi asset nasional untuk daya tarik wisatan domistik maupun internasional. Poinnya adalah upaya merepresentasikan Saparan Bekakak sebagai bentuk revitalisasi spirit kultural dan menumbuhkan nilai-nilai kesetiaan yang diwariskan Ki Wirosuto. Kesetiaan yang kian menipis pada realitas kehidupan kontemporer dewasa ini. Jelas bahwa esensi spiritual Saparan Bekakak sangat mendesak untuk ditumbuhkan sebagai bentuk kesadaran bersama.
Keterlibatan Bayu Wardhana pada perhelatan kebudayaan lokal semacam ini bukan kali pertama, dan pada Biennale Jogja X ia dengan sangat sempurna mempresentasikan karya pertunujukan dan pelibatan aktivitas seni lainnya (musik, karawitan, patung dan performance art) pada publik seni di Yogyakarta. Sebuah patung kepala terbuat dari kertas ‘Bekakak’ berukuran kurang lebih setinggi 6 meter di display di pinggir jalan-jalan strategis di jalan Brantan perempatan Ngampilan Yogyakarta. Patung kepala tepat berada di empat penjuru arah angin dengan gagah dan menatap dalam. Patung bekakak terbuat dari kertas yang dibagian dahi dan ubun-ubun menancap bentuk menyerupai cabe merah besar-besar yang menandai bahwa layaknya sebuah persembahan ‘sesaji gigantic’ yang siap dihantar. Presentasinya mengingatkan kita pada tumpengan yang ditanjapkan sejumlah cabe dan bawang merah pada bagian setiap sisi gunungan tumpeng tersebut. Saking besarnya suatu hari yang terik seorang polisi lalu lintas berteduh di samping patung sambil mengendalikan radio amatir dan situasi ini sempat didokumentasi seorang wartawan surat kabar nasional.
Kemudian pada puncak acara Biennale Jogja X patung itu diarak keliling jalan protokol dan berakhir di halaman depan Jogja National Museum. Disinilah Bayu Wardhana melakukan happening art dengan melantunkan tembang-tembang yang biasa ditembangkan Ki Wirosuto dengan aksi teatrikal dengan beberapa pasukan khusus khas Gamping membakar patung kepala ‘Bekakak’. Ini semacam puncak acara Biennale Jogja X saat itu karena menyedot pengunjung hampir 400-an orang yang menyaksikan performance art itu dengan banyak camera video yang meliput pada berbagai penjuru dan pencari berita media cetak regional serta nasional meliput dengan antusias. Publik seni Jogja menyimak adegan peradegan dan bait perbait syair tetembangan dengan penghayatan yang utuh.
Pada karya-karya Bayu Wardhana kita temui berbagai ikon yang melekat pada figur Ki Wirosuto, baik pada karya lukis maupun karya tiga dimensi (kencroeng) yang menggambarkan landak peliharaan Ki Wirosuto. Kita temui pada karya seni lukisnya diantaranya Hewan Landak, Burung Gemak, Kidung-Kidung (semacan partitur tetembangan), Kidung Sekar Catur, Kinanti Kasilir, Kidung Roncening Tresna, penggambaran patung kepala ketan yang di tancapkan 5 buah cabe merah pada dahinya, dan beberapa persembahan yang sering kita jumpai pada upacara tradisi Saparan Bekakak. Terasa bahwa Bayu Wardhana tengah merekam keseharian Ki Wirosuto dengan detail-detailnya. Merekan sesuatu yang intangible yang awalnya dikonstruksi oleh tradisi budaya lisan secara turun-temurun.
Cermati karya ‘Kidung Roncening Tresna’ yang menggambarkan seekor Gemak yang ‘mendekam’ di atas kepala Ki Wirosuto dengan latar belakang teks tembang Kidung Roncening Tresna lengkap dengan teks solmisasi yang dibaca khas karawitan Jawa. Konteks ini menggambarkan bagaimana lemah lembutnya Ki Wirosuto dalam memanjakan Gemak yang diperkenankan ‘mendekam dengan nyaman’ di blangkonnya. Ini menegaskan sikap kerendah hatian seorang Ki Wirosuto yang meninggikan derajat Gemak di atas derajat dirinya juga manusia Jawa lainnya yang disimbolkan dengan dimahkotainya dengan ‘blangkon’. Nilai kesederhanaan, pengabdian dan down to earth itulah yang membangun spirit karya Bayu sebagai presentasi estetik untuk merevitalisasi spirit Bekakak. Sebuah persembahan dituturkan secara visual pada karya ‘Kidung Sekar Catur’, ada beberapa tanda yang dapat diamati misalnya sebuah gelas berisi air putih yang penuh dengan bunga dan latar belakang solmisasi Jawa Kidung Sekar Catur. Karya ini segera menuturkan bagian kecil dari pelengkap ritual persembahan khas masyarakat Jawa yang mecitrakan ‘tirta amarta’, kehidupan, kesuburan, kebahagiaan, dan kesucian. Kidung Sekar Catur juga sebuah harapan, do’a dan impian yang dimunculkan sebagai elemen penunjang meski cukup vital.
Tradisi Saparan Bekakak baginya sebuah representasi spiritual dan sebuah kesadaran masyarakat Gunung Gamping dalam menggali nilai-nilai yang diwariskan Ki Wirosuto sebagai leluhurnya. Nilai sebuah pengabdian, dedikasi dan kesetiaan serta meletakkan kembali dasar-dasar fundamental bagi sebuah komitmen pengabdian. Paling tidak hal semacam ini yang diwariskan secara lisan dan tindakan nyata oleh Eyang Sindhu Wirogo, eyang Bayu Wardhana pada ibunya karena Bayu Wardhana tidak sempat bertemu dengan Eyang Kakung Sindhu Wirogo. Meski tak bertatapan langsung dengan Eyang Kakung pada saat menyampaikan ceritera mengenai Ki Wirosuto (Mbah Canggah) namun Bayu Wardhana seolah merasakan bahwa apa-apa yang dilakukan Ki Wirosuto secara langsung diyakini sebagai sebuah sikap yang harus diteladani. Mengenai ceritera hewan landak dan gemak peliharaan kesayangan Ki Wirosuto, sepintas ganjil namun unik. Hewan landak dan gemak yang tak lazim dijadikan hewan peliharaan mungkin memiliki hubungan luar biasa secara spiritual dengan Ki Wirosuto. Ada nilai filosofis yang yang bisa ditelusi lebih dalam.
Saya menduga kuat saat ini Bayu Wardhana tengah gelisah untuk menggali spirit ‘Bekakak’ melalui eksplorasi-eksplorasi estetik yang dipresentasikan secara spektakuler dan holistik. Eksplorasinya yang seolah menarik relasi kegelisahan, obsesi, dan pemikiran-pemikirannya pada konteks tradisi. Ia membangun gagasan dari interelasi budaya leluhurnya dan konteks-konteks kekinian. Dan, pada artefak-artefak penciptaan seni inilah sesungguhnya kita semua dapat menjumput sejumlah esensi sublim dari penggalian kesadaran local genius yang menjadi ellant vital bagi gereget tiap-tiap manifestasi estetika perenungannya. Pameran ini sebagai langkah besar baginya untuk menjawab atas ketegasannya memilih penciptaan seni sebagai jalan hidup.
Netok Sawiji_Rusnoto Susanto
Perupa, Penulis dan Mahasiswa Program Doktor PPs ISI Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar