Senin, 06 Februari 2012

SENI YANG GUYAH DAN DUNIA LABIRIN RUSNOTO*

SENI YANG GUYAH

DAN DUNIA LABIRIN RUSNOTO*

Bambang Asrini Widjanarko

Penulis seni rupa

Rusnoto, seakan bertutur tentang proses mental via self-knowledge, meminjam yang diyakini Husserl. Pokok pangkal kesadaran (consciousness) tak bisa digambarkan dengan kata-kata, selayaknya hanya dirasakan. Yakni, gerak laju persepsi dipikiran Rusnoto, dengan kekuatan kognitif sekaligus intuitif serta obyek-obyek yang disimbolkan disekitarnya sebagai realitas subyektif yang dipahami, bersetubuh dalam satu ketunggalan dengan jiwanya.

Hari ini, praktik dan wacana kesenian demikian menarik untuk diintip ulang jejak kehadirannya, diperolok dengan tawa atau justru dirayakan sebebas-bebasnya? Karena eksistensi seni (sudah) dianggap guyah. Karya seni menjadi sesuatu yang tak lagi memerlukan sebuah ritual ‘kepekaan khusus’ lagi untuk mencipta maupun meng ‘konsumsi’nya. Tak lagi sakral secara absolut, telah menanggalkan mimpi-mimpi malam tentang “kedalaman” sebagai syarat dimasa lalu yang dianggap kewajiban. Yang tertinggal, adalah upaya mati-matian untuk memprodusir sekaligus memberi makna yang bermuara pada: anything goes!

Seni hari ini, konon, ditengarai diproduksi oleh sebuah konstruksi besar (selera) secara masal, dengan bantuan tekhnologi plus strategi pencitraan dan marketing yang lihay, bak hendak mengkreasi tontonan di TV. Kita akan terhanyut untuk bersorak-mencemooh (melihat program TV debat politisi yang ‘lucu’) atau bahkan kegirangan memukul-mukul udara (jika yang ditonton program sepak bola dari kesebelasan kesayangan kita, misal: MU mencetak gol). Serba instan, tak ada endapan apapun di benak.

Satu saat, karena sedikit bosan, kemudian kita memindah channel TV untuk menikmati tontonan lain, yang sangat berlawanan, yakni: tontonan film drama yang bercerita soal nasib manusia yang tragik, begitu kontemplatif menggugah batin. Kita, tak lagi peduli, semua hal dilahap, cuek dengan tak mengkhawatirkan diri dengan perkara program TV tersebut. Apakah, akan memberi kontribusi secara esensial sebuah nilai tertentu, atau sekedar momen yang banal, melintas begitu saja dalam hidup kita. Namun, benarkah demikian? Setidaknya, begitulah menurut Arthur Coleman Danto, yang diuarkan dengan after the end of art, paras seni yang ‘adiluhung’ atau kekakuan ‘logika tunggal’ formalisme ala Greenberg dengan modernismenya memang telah terbujur kaku, tak berdaya dan berakhir riwayatnya.

Apa yang terjadi dengan Damien Hirst, pengusung seni kontemporer garda depan di Inggris adalah sebuah tesa baru yang menggugah seni hari ini. Jika kita melongok buku The $ 12 Million Stuffed Shark karya Don Thompson, disana bertutur bagaimana karya ‘mayat sang ikan Hiu’ (yang diberi judul The Physical Impossibility of Death in the Mind of Someone Living) yang digagas sebagai refleksi falsafah mati dan hidup, ternyata digantikan oleh ‘mayat hiu’ yang baru yang diinjeksi formalin banyak-banyak pada tahun 2005, agar lebih awet.

Dan, ihwal si Hiu ini, nyatanya punya sejarah panjang sebelum menjadi karya seni yang seterkenal sekarang. Apalagi, dengan harga yang sefantastis itu, untuk sebuah conceptual art! Artefak sebuah karya seni, telah dikonstruksi secara bersama, untuk meninggalkan otentisitas dan originalitas dengan sengaja dan menanggalkan seluruh hukum estetik apapun yang berlaku pada masa lalu. Pluralitas makna adalah mantra tersahih untuk setiap yang baru lahir.

Sejak tahun 1991, Charles Saatchi, sang art dealer terkemuka telah ‘melirik’ Damien, dengan memulai sebuah intensi: bahwa karya seni rupa dekat dengan praktik komodifikasi, sebuah panggung dari masyarakat tontonan (spectacles society) dan perayaan hiper banalitas pada masyarakat konsumsi. Semua dirayakan! Karya Seni menjadi bagian Art World-Hype. Seni kontemporer yang mengikuti gerak jaman, telah didengungkan dengan jalan panjang lewat berbagai cara mati-matian dari para The Dream Team, yakni: art dealer, balai lelang, galeri ternama, kritikus, kurator museum, organizer pameran dan seluruh infrastruktur seni rupa demi pemitosan diri dan karya Damien tersebut.

Pameran tunggal Rusnoto kali ini, dengan tajuk Virtual Displacement ini, sepertinya juga menggugah kesadaran kita, menafsir hasrat Danto, yang meyakini seni didalamnya terkandung sebuah autonomi dalam jalan yang dipengaruhi oleh relasi kesejarahan yang menuju ‘titik narasi akhir’. Seniman, bebas dengan semangat apapun, membangun sejarah dan menarasikan apa saja, sesuai intensi sang subyek-seniman. Bahkan, ‘konstruksi-sejarah-titipan’ dari ‘Public Relation Team ala Damien Hirst-Charles Saatchi dan konco-konco’ untuk mengkonstruksi sebuah Art World tersendiri, sebuah sejarah baru yang sangat khas. Kita bisa membacanya sebagai kumpulan fragmen-fragmen yang membentuk gejala dan gelagat sebuah dunia baru seni dan eksistensi anyar melekat padanya.

Dari sanalah, Rusnoto, sebagai seorang seniman, seorang subyek, menafsir dunia seni kita dengan membangun tanda-tanda dengan karyanya. Membuat kode-kode visual yang menyerupai sebuah Dunia Labirin Seni. Berlapis-lapis, tabir saling bersinggung, lorong-lorong mengelilingi, menyingkap, menutupi dan menghampiri sekaligus dihampiri. Rusnoto merasakan dunia kesenian demikian kompleks bak labirin.

Rusnoto, seakan bertutur tentang proses mental via self-knowledge, meminjam yang diyakini Husserl. Pokok pangkal kesadaran (consciousness) tak bisa digambarkan dengan kata-kata, selayaknya hanya dirasakan. Yakni, gerak laju persepsi dipikiran Rusnoto, dengan kekuatan kognitif sekaligus intuitif serta obyek-obyek yang disimbolkan disekitarnya sebagai realitas subyektif yang dipahami, bersetubuh dalam satu ketunggalan dengan jiwanya.

Bahwa sebuah perubahan karakter masyarakat kontemporer dipengaruhi secara signifikan atas percepatan dan pelipatan waktu yg dihadirkan dunia virtual [ruang maya], juga telah memepengaruhi dunia seni. Dunia senipun sekarang telah berubah. ‘Keberubahan ini’, dianggap juga sebagai sesuatu yang 'maya’. Masyarakat kontemporer, pada dasarnya memiliki sifat, tak mampu untuk memahami mana yang ‘riil’ mana yang ‘maya’ karena, tidak hanya karena tekhnologi yang menciptakan, karena proses mental - consciousness- mereka tak lagi bekerja dengan baik. Jadi, fenomen ‘maya’ atau ‘virtual’, telah terjadi, bahkan sejak jaman Plato. Ingat alegori Plato Cave bukan? Karena, seluruh realitas yang kita hadapi ini, adalah maya, palsu. Karena, Plato menginginkan yang ‘Ideal' diluar gua yang diibaratkan seluruh realitas inderawi kita. Kebenaran yang ideal ada pada ruh Absolut.

Lukisan-lukisannya penuh dengan isyarat, ditampakkan seolah sebuah lansekap kota, yang penuh bangunan persegi. Ada semacam kesan, seakan kita diajak menyelinap dalam sebuah sirkuit-sirkuit yang saling terhubung dengan kabel dan instalasi aneh (lempengan-lempengan dan bola-bola). Apakah ini, semacam imaji penghayatan Rusnoto dengan kepekaan spontanitasnya, sebagai wujud dari tindakan komunikasi antar subyek di dunia seni? Atau kepercayaanya, kehidupan kesenian adalah rangkaian konstruksi dan saling merekonstruksi.

Dari gambaran lain, tak lagi Rusnoto melukiskan gedung atau seolah cityscape sebuah kota antah berantah, tetapi seakan permukaan kanvasnya dilapis dinding, yang terdepan berperan sebagai gerbang utama, menyediakan lobang persegi, menyibak, semacam partisi baja berongga yang bisa kita intip kedalam. Ada realitas lain, didalam sana. Yang lain, yang membeda. Simbol ini, mungkin saja sebuah observasi mental Rusnoto, aktifitas pemahaman (verstehen). Bisa jadi, apa yang ingin ditemukan dalam dunia seni, adalah makna ganda semua: plural-tunggal, maya atau riil, komersial-non komersial, transenden-profan dan lain-lain, bukan hanya kausalitas yang niscaya.

Atau, simbol rongga dinding baja Rusnoto yang ‘keras dan berat’ itu, layak pula sebuah deskripsi atas sejarah seni dalam kehidupannya yang sekarang berlangsung. Untuk menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan yang ia pahami. Meski, pemahaman terhadap makna dimengerti secara intensionalitas (kesadaran) individu Rusnoto, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang ditemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan seni secara sosial, dimana banyak subyek terlibat bersama dan menghayati.

Sedang di lukisan lain, Rusnoto menggambarkan simbol-simbol bentuk-bentuk bulatan-bulatan biru yang menyerupai molekul-molekul saling berhubungan seperti dalam hukum fisika. Didalam bulatan yang kukuh tersebut, muncul lagi didalam masing-masing rongga molekulnya terdapat bangunan-bangunan berbagai sirkuit atau kabel baja yang saling terkait dan bertumpuk dan melintang. Tak ada yang dipastikan, relatifitas! Kita segera teringat: apakah ini penjabaran dualitas relatif yang saling mengada antara medan energy/gelombang atau materi di fisika kuantum?

Secara keseluruhan, kode-kode dan tanda visual yang dibangun Rusnoto, selain mengamini narasi model Danto, juga menegaskan konsep fenomonologis, yang menempatkan fenomena seni dan struktur sosialnya sebagai sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur kesenian yang membangunnya secara lebih luas. Artinya, Rusnoto, bagai sebuah elemen subyek (mikro), dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu dunia seni secara keseluruhan (makro) yang manunggal.

*Guyah dapat didefinisikan secara bebas sebuah fenomena yang amat dinamis dan membuka begitu luas probabilitas perubahannya yang sporadik. Perubahan tanpa kepastian yang terukur, kira-kira.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar