Virtual Displacement: Berenang di Ruang Maya
(Mengantar Rusnoto)
oleh Suwarno Wisetrotomo
Karya-karya yang dipajang dalam ruang pameran Taman Budaya Yogyakarta ini, diikat oleh satu tema cukup seksi, “Virtual Displacement”, yang kira-kira berarti “ruang maya salah tempat”. Tema ini cukup mengundang pemaknaan, atau setidaknya memancing hasrat untuk melakukan konfirmasi-konfirmasi. Rusnoto adalah sipemilik Proyek Pameran ini, sekaligus digunakan sebagai Tugas Akhir, salah satu syarat untuk mengakhiri studinya di Program Pascasarjana ISI Yogyakarta. Dunia maya (virtual) merupakan keniscayaan realitas kehidupan hari ini. Ia menjadi keharusan untuk atas nama apapun; entah sekadar gaya hidup, hingga suatu kebutuhan yang tak terelakkan. Fenomena menjamurnya jaringan wi-fi, hotspot, atau blackberry misalnya, menunjukkan tegangan antara gaya hidup dan tuntutan fungsi (pekerjaan) yang niscaya itu. Dalam dunia imajinasi, bisa dibayangkan, betapa silang sengkarutntya ruang di sekitar kita, karena demikian riuh dengan seliweran lalu lintas komunikasi dan informasi nirkabel.
Terkait dengan tema “Virtual Displacement”, apakah yang sesungguhnya salah tempat, yang tidak sesuai dengan posisinya? Apakah tema ini dijadikan pisau bedah untuk membongkar pertanyaan-pertanyaan, seperti; apakah yang sesungguhnya terjadi adalah – terkait dengan “displacement” itu – suatu kekacauan (disorder), ataukah ketertiban (order) dalam ruang maya? Jika terjadi kekacauan, karena apa, mengapa, dan untuk apa; sebaliknya jika yang terjadi adalah ketertiban, juga karena apa, mengapa, dan bisa digunakan untuk apa?
Catatan ini tentu tak hendak mengurai, atau membaca apa yang sudah dikerjakan Rusnoto, dan sekarang dipresentasikan dalam ruang pameran ini. Karya-karya dalam ruang pameran ini, secara sederhana dapat dikatakan merepresentasikan pengalaman personal Rusnoto dalam aktivitas berenang di ruang maya (virtual). Dari area itu, ia menemukan sejumlah realitas dengan segenap paradoksnya.
Bagi saya, akan lebih menarik untuk menyusuri pemikiran Rusnoto, kemudian memamahi tegangan kreatifnya ketika menggubah karya-karyanya berdasarkan konsep pemikirannya itu. Keduanya merupakan persoalan bagaimana mengartikulasikan gagasan melalui bahasa kata dan rupa. Tantangannya adalah; sejernih apa artikulasinya melalui kata-kata/bahasa, dan sekuat (serta seambigu) apa artikulasinya dalam bahasa rupa/bentuk. Pada yang pertama dituntut untuk sejernih-jernihnya, seterang-terangnya, agar tidak mengundang pemaknaan ganda. Sementara pada yang kedua sebaliknya dituntut untuk sesamar-samarnya, seambigu mungkin, agar mengundang atau membuka ruang dan peluang pemaknaan yang berlapis.
Kita semua paham, betapa rumit dan tidak mudahnya mengerjakan keduanya –dengan watak dan capaian yang berbeda secara diametral– dalam waktu yang bersamaan. Akan tetapi, inilah konsekuensi logis dari proses kreatif berkesenian di ruang akademi. Nalar dan intuisi, kejernihan yang tertata dan ekspresi, harus diasah bersamaan. Apakah Rusnoto berhasil? Saya bersama Tim Penguji yang lain tengah mencermati dan akan melakukan konfirmasi-konfirmasi untuk melakukan penilaian. Sementara anda sekalian, para penonton, memiliki ruang dan kesempatan yang luas untuk melakukan penilaian pula.
Selamat berpresentasi bagi Rusnoto, dan selamat mengapresiasi dengan kritis bagi para penonton.
Suwarno Wisetrotomo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar