Minggu, 05 Februari 2012

INTELLECTUS SYNDICATE Melacak Insight dan Artikulasi Visual pada Perspektif [Syn]aesthetic

INTELLECTUS SYNDICATE

Melacak Insight dan Artikulasi Visual pada Perspektif [Syn]aesthetic

Netok Sawiji_Rusnoto Susanto

Kurator

Intellectus adalah sebuah pengetahuan intuitif dan merupakan partisipasi minimal dalam visi intelektual roh murni.

(Thomas Aquinas)

Prolog

Bingkai kuratorial Intellectus Syndicate ini semata untuk menandai bagaimana pentingnya sebuah visi intelektual ruhani yang sesungguhnya terlahir dari sebuah penetrasi kekuatan pengetahuan atau bahkan kesadaran intuitif dalam melangsungkan proses penciptaan seni. Kepekaan intuisi memberikan posisi penting yang secara emotif memicu kesadaran proses pencuatan berbagai sign yang paling personal. Intellectus dalam pandang sederhana Thomas Aquinas adalah sebuah pengetahuan intuitif dan merupakan partisipasi minimal dalam visi intelektual roh murni. Pernyataan Thomas Aquinas di atas mengisyaratkan bahwa seorang seniman yang sebagian besar wilayah kerjanya mengolah emosi sangat berpeluang menjadikan intellectus membangun visi kreatif intelektual ruhaninya dengan sublime. Berangkat dari konsep ini pameran Intellectus Syndicate dipresentasikan ke publik sebagai wacana inspiratif.

Pada dasarnya pemenuhan unsur-unsur visual jelas sangatlah penting, mengingat bahasa visual sejatinya merupakan bahasa estetik. Meminjam ungkapan Henry M. Sayre (1997: 151-157) dalam A World of Art, bahwa representasi nilai keindahan dalam sebuah karya seni lebih ditentukan pada kepekaan intuisi seseorang dalam mengelola aspek-aspek visual dengan menguasai berbagai prinsip desain, selebihnya adalah keunikan-keunikan yang dieksplorasi seseorang baik pada aspek teknis maupun konseptual dalam sebuah pencapaian tujuan estetika yang lebih personal. Di sini jelas bahwa aspek keindahan dalam konteks visual form ‘tangible’ memposisikan dirinya pada skala prioritas utama kemuadian disusul aspek keindahan ‘intangible’ yang tersembunyi dibalik karya seni tersebut. Dan, kaidah-kaidah keindahan lainnya yang membangun nilai estetik lainnya merupakan hal mutlak dalam sebuah tinjauan nilai estetika, termasuk berbagai aspek kemampuan dan kepiawaian teknik (kapasitas ekplorasinya) artistik seorang seniman dalam mewujudkan gagasan dasar yang daigali atas subjek matter yang direpresentasikan dalam ekspresi seninya. Muatan ekspresi yang lekat pada kepiawaian seorang seniman dapat terejawantah secara solid, ketika ia dengan segenap jiwanya menumpahkan aspirasi kreatifnya.

Dalam wacana lain, pandangan Wassilly Kandinsky (2007: 4) mecetuskan keyakinannya lebih dalam dari aspek visual form. Bagaimanapun juga, sebuah kebenaran seni yang fundamental merupakan suatu kesamaan kecenderungan dalam keseluruhan nilai moral dan nilai spiritual, suatu kesamaan dari cita-cita, pada awalnya kehilangan aspek tangible ke sebuah perasaan yang dalam (inner felling). Sebagai efek logis dari kebangkitan nilai bentuk visual yang merepresentasikan perasaan-perasaan intuitif dan sublim. Keselarasan semacam ini atau bahkan pertentangannya secara emotif bukanlah suatu kedangkalan atau ketakbernilaian, sesungguhnya justru ‘stimmung’ dari suatu lukisan tersebut dapat untuk memperdalam dan memurnikan perasaan dalam proses pengamatan dan pemaknaannya. Disinilah, pokok soal kenapa intellectus dijadikan sindikasi proses penciptaan seni dan membangun relasi-relasinya.

1. Intellectus, Ratio dan Daya Hidup

Intellectus, Ratio dan Daya Hidup sesungguhnya memiliki relasi yang saling terkait dan saling memperkuat kedudukan, fungsi dan esensinya. Jika Intellectus merupakan pengetahuan intuitif sedang ratio merupakan pengetahuan diskursif maka aliansi keduanya sejatinya daya hidup yang gestal dari sebuah proses penciptaan seni secara mendasar. Pengetahuan konseptual umumnya selalu dilawankan dengan gugusan intuisi, karena pengetahuan konseptual ditujukan kepada yang universal, berabstraksi dan mengangkat hanya ciri-ciri partikular dari seluruh yang konkret. Selain itu, pengetahuan konseptual tidak pernah merupakan pemahaman langsung tetapi ia selalu dijembatani intuisi inderawi atau refleksi. Kendati demikian, karena yang universal terutama diketahui sebagai terkandung seluruhnya di dalam cara-cara pemahaman intuitif ini, maka konsep yang memperoleh dominasi intuisi tertentu sehingga orang dapat berbicara tentang suatu pandangan hakiki (essential view).

Selain itu, pengetahuan konseptual disebut intuitif sejauh ia menangkap objeknya secara langsung yaitu tanpa melalui suatu proses pemikiran atau suatu kesimpulan, apakah ini menyangkut cirri-ciri atau hubungan-hubngan hakiki partikular. Dalam arti, Thomas Aquinas dalam Lorens Bagus, (1996 : 367) memaparkan bahwa intellectus principiorum (pengertian yang memahami prinsip-prinsip). Dan, ia membedakan intellectus dan ratio. Intellectus merupakan pengetahuan intuitif sedang ratio merupakan pengetahuan diskursif. Intellectus adalah partisipasi minimal dalam visi intelektual roh murni. Intuisi secara khusus merangkumi perspektif-perspektif lebih besar sekali pandang (tanpa mediasi diskursif) dilihat dari dikonkretkannya dalam bentuk-bentuk intuitif yang tampak secara visual. Perspektif ini membuka kemungkinan-kemungkinan yang tidak pernah diimpikan sebelumnya dan kalau ia muncul secara serentak, seolah ilham. Bahwa pengetahuan intuitif semacam ini tidak pernah benar-benar berbeda dari pemikiran diskursif terbukti dalam analisis yang dilakukan Aquinas mengenai fakta, bahwa intellectus dan ratio hanya merupakan dua fungsi dari satu daya pengetahuan rohani.

Kinerja intellectus memiliki kemampuan untuk membangun daya hidup dan memberikan sensasi yang memungkinkan sebuah pertemuan ide-ide dengan realitasnya. Dengan demikian memberikan ‘(syn) rasa estetika’ dalam konteks apresiasi, intuitif yang menyajikan gagasan yang hendak dipresentasikan, artikulasi visual ‘unarticulable’, melampaui teknik konvensional. (Syn)aesthetic jika dipersandingkan dengan terminologi intellectus syndicate yang memiliki koneksitas sangat baik dan memiliki peta makna strategik dalam responsi. Kedua term intellectus ini memiliki spirit sama yakni upaya memprovokasi melalui teks spirit menyeberangi atau melintasi dan term intellectus yang memprovokasi kinerja bersama antara artistik dan estetika secara simultan. Seperti yang ditegaskan Peter Brook (1986: 47) bahwa untuk mempresentasikan ide-ide yang berada di luar komunikasi konvensional, serta pikiran, pengalaman emosional, psikologis dan sebagainya.

Ketika intellectus dikaitkan secara berdekatan dengan (Syn)aesthetic merupakan gaya khas dalam praktik dan model apresiasi khusus karena mencakup kinerja yang terus-menerus melakukan penolakan konvensi sebelumnya, membongkar misteri bentuk visual dan merevitalisasi konsep penciptaan seni. Dengan cara seperti ini, intellectus syndicate dan (syn)aesthetic selalu terbuka untuk analisis, perubahan-perkembangan dalam praktik kontemporer. Intellectus syndicate (syn)aesthetic menggeser karya estetis ke dalam disiplin kinerja dan kepekaan pancaindra. Aspek disiplin kinerja dan kepekaan pancaindera memiliki morfologi tertentu ‘bentuk’ yang berkaitan dengan primordial, atau chthonic (istilah Yunani, bermakna dari atau di bawah ‘bumi’) sebuah kesadaran dan kekuatan yang mengisyaratkan kedalaman. Ini merupakan respons untuk melakukan proses penciptaan dan menerima kinerja mengkonstruksi persepsi tertentu dan memproduksi konstruksi-konstruksi konsep mental. Ketika karya seni mampu mengubah persepsi visual ke dalam persepsi konstruksi mental maka proses (Syn)aesthetic berlangsung sempurna.

2. Intellectus Syndicate: Melacak Insight dan Artikulasi Visual pada Perspektif [Syn]aesthetic

Menarik ketika mewacanakan intellectus syndicate dengan mencermati pendekatan Jung pada seni dalam perspektif psikologi yang sudah barang tentu melakukan spekulasi-spekulasi intellectus syndicate untuk kemudian mereproduksi daya hidup. Relasi psikologis dan Seni merangsang sekaligus memberikan tantangan bagi lahirnya ide-ide tentang hubungan antara pandangan G. Jung dengan seni yang menawarkan dimensi baru yang menarik untuk isu-isu penting tertentu; seperti pencitraan bahasa gambar dalam pop culture, pembagian wilayah psikologis dan materi-materi dalam seni visual. Dibagi menjadi tiga bagian -masuk ke seni, menantang ruang kritis dan menafsirkan seni di dunia- teks menunjukkan bagaimana gagasan Jung dapat bekerja dengan seni untuk memberikan enlightment bagi teori psikologis dan respon estetika. Jiwa dan Seni menawarkan visi kritis baru sastra, film, musik, arsitektur dan lukisan sebagai sesuatu yang hidup dalam pengalaman dari pencipta dan penikmatnya yang kemudian menantang kritik Jung sebelumnya. Pendekatan ini menunjukkan bahwa Jung sendiri menekankan keyakinan bahwa seni merupakan respon penyembuhan untuk budaya kolektif untuk mencari nilai pribadi dan budaya dalam seni dan akan menjadi penting untuk membaca analis Jung. (Rowland, Susan (Ed), 2008: 1) Nah, ketika karya seni menjadi media terapi penyembuhan maka yang bergerak adalah kinerja emosi, intuisi dan aspek-aspek spiritualitas melecutkan daya hidup dengan representasi produk kreativitas.

Intellectus Syndicate merupakan cara jitu penelusuran –temuan- insight dalam mempermainkan aspek mental seorang perupa yang bermula dari konstruksi semantic interpretation untuk memberikan kesadaran bahwa proses kreatif bukan sekedar memenuhi tujuan-tujuan tertentu di luar tujuan kreatif sebuah karya seni digagas. Kreativitas pada prinsipnya kemudian membangun habitus baru dan memunculkan semacam sikap untuk berani melakukan pembaruan habitus. Pierre Bourdieu dalam Audifax (2006 : 151) menegaskan bahwa dialektika antara internalisasi eksternalisasi dan eksternalisasi internalisasi terlembaga melalui habitus sebagai sistem-sistem disposisi yang bertahan namun dapat diubah. Dengan begitu Intellectus Syndicate merupakan potensi menciptakan habitus membangun –mempertajam- aspek intuitif dan menggerakan kekuatan kesadaran intuisi pada perspektif (syn)_aesthetic dalam relasi kinerjanya. Hal ini memungkinkan seorang perupa menandai proses kreativitasnya dengan melakukan berbagai eksplorasi dalam praktik Intellectus Syndicate. Karena sesungguhnya habitus merepresentasikan suatu kerangka konseptual intuisi dan menangkap chaos dalam batas kesadaran yang menggambarkan sebuah ‘prisma probabilitas persepsi’, yang meletakan bermacam-macam disposisi sosial menurut logika utamanya dengan memperhitungkan klasifikasi budaya dari dunia sosial. (Chaney, 2004 : 113). Namun bagaimana strategi seorang perupa melakukan lompatan, lentingan, keberanian menyeberang dari lintasan umum? Pertanyaan semacam ini yang kemudian dimunculkan dalam sistem korelasi antar term dalam bahasan ini.

Kemudian kemunculan Intellectus Syndicate menjadi tajuk penting mengusung pameran di AJBS Gallery Surabaya semata merujuk pada situasi proses kreatif dan situasi eksternal lain yang menyokongnya. Tajuk ini dipergunakan sebagai cemeti –cambuk- proses kreatif sekaligus proses interpretasi untuk menemukan relasinya. Mungkin ruang ini memiliki celah lemah bagi kita semua karena ketika melakukan proses kreatif dan upaya interpretasi mengolah gagasan sering luput dari ruang kesadaran kita bahwa untuk mempertemukannya adalah ruang sensasional yang dapat memicu intuisi dan kepekaan emosional ke bagian lainnya yang bergerak bersamaan mengkonstruksi aspek estetik secara inheren. (Syn) estetika berasal dari ‘synaesthesia’ bahasa Yunani (Syn) yang berarti ‘bersama’ dan responsif, yang berarti ‘sensasi’ atau ‘persepsi’. ‘Synaesthesia’ dan ‘synaesthetic’ kemudian dapat didefinisikan sebagai sebuah sensasi yang dihasilkan oleh stimulus yang terstruktur sebagai produksi impresi dari gambaran mental yang terkait. (Syn)estetika meliputi pengalaman sensorik dan potensi estetika, bahwa (syn)estetika merupakan potensi estetika yang mencakup pengalaman sensorik, baik aspek proses, media produksi, teknik pencapaian untuk menciptakan karya kreatif yang memiliki muatan interdisipliner, inter-tekstual dan multi-sensasional.

Banyak sekali wacana kerja intellectus dalam konteks [syn]aesthetic, yang kemudian menggejala sebagai strategi kreativitas seorang seniman mengambil posisi tawar dan menjadikannya sebagai prawacana. Prawacana yang bisa saja memberi kontribusi penting dalam pemetaan kreativitas selanjutnya dan memungkinkan aspek identitas personal dimunculkan. Ini mengingatkan saya pada ungkapan Barthes dalam St. Sunardi, memaparkan mengenai creative transgression secara semiotika, kreativitas dapat dijelaskan dari ’inovasi’ dalam sintagma dengan jalan memasukkan unsur paradigmatik dalam sintagma. Barthes meracik dengan menyebut tiga cara creative transgression yang masing-masing diambil dari J. Tubiana, Trnka, dan Jacobson: (a) opposition of arragement, (b) rhymed discourse dan (c) rhetoric. Tiga hal ini merupakan bentuk invasi paradigma ke dalam sintagma. Unsur paradigma yang biasanya berada dalam status ’kemungkinan’ dimasukan ke dalam status kenyataan. Creative transgression ini dapat dipakai untuk menilai kreativitas kultural yang terjadi pada jaman sekarang. (Sunardi, 2002: 79). Menarik jika kita sejenak mencermati fenomena musik campur sari berkolaburasi dengan musik dangdut dan seperangkat musik band, tentu tetap merujuk terma kisah namun kesan yang lahir menjadi baru. Proses perwujudannya menjadi materi yang paling strategis untuk mengantar gagasan ke dalam serangkaian panjang sebuah proses kreatif seperti yang telah dilakukan para perupa peserta pameran ini diantaranya; AT. Sitompul, Dedy Sufriadi, Diah Yulianti, Dias Prabu, Erianto, Mahdi Abdullah, Rio Sigit Baskoro, Rocka Radipa, Zaenal Arifin dan Yusron Mudhakir.

AT. Sitompul

Pengamatan saya pada karya-karya AT. Sitompul adalah pada kekhususan pola perspektif kreatifnya yang sangat dekat dengan kemustakhilan pencapaian artistik yang secara teknis dan daya juangnya untuk membongkar kebekuan paradigma seni grafis yang tak lagi dekat dengan publik dan kecenderungan para perupa grafis yang acapkali ambil jalan pintas menerobos pasar kapitalistik dengan menggeser bahkan meninggalkan seni grafis murni sebagai bahasa ungkap proses kreatifnya. Kecenderungan ini sudah menjadi rahasia umum, para perupa grafis segera beralih menjadi kurator, dosen, penulis, pelukis atau bahkan tak sedikit yang berprofesi menjadi teknisi cetak di perusahaan advertising atau malah buka usaha sablon. Dalam proses kreatif seorang AT. Sitompul justru mengindikasikan sebuah perlawanan atas itu sehingga bagi saya menarik untuk ditelusuri lebih jauh kedalaman esensi nilai seni dalam konteks muatan ekspresi dan estetikanya.

Tompul agaknya bersikap radikal dalam upaya kerasnya untuk menundukan kendala teknis yang buatnya layaknya ritual suci kian mendalam dan menajam sensibilitasnya. Ketika lagi-lagi diyakini sebagai ritual maka pola-pola penikmatannyapun kian tampak berjarak dari aspek-aspek permukaan-ansih namun tervibrasi muatan-muatan spiritualnya yang kian mengemuka sebagai sebuah kekuatan baru yang kelahirannya tak terduga sebelumnya. Keyakinan inilah yang ia segera tawarkan kedalaman tertentu mengenai berbagai hal ke hadapan kita untuk berbagi. Hal menarik lain, Tompul menepis stigma-stigma seni grafis mengenai sisi kerumitan teknis yang menjadi kendala terbesar pada olah ekspresi meski ia justru tunduk dan menundukan stigma tersebut, stigma mengenai keterbatasan medium ungkap yang dari jaman ke jaman seni grafis selalu dikait-kaitkan pada medium kertas yang dinilai menuai banyak kendala, maka ia pun terobos dengan kanvas yang berhasil ia tundukan secara teknis kendala proses cetak yang senantiasa dianggap masalah besar ‘gagal cetak’ di permukaan kanvas, stigma ‘tidak eksklusifnya’ grafis karena persoalan penggandaan ‘seri cetak’, kemudian ia sikapi justru masuk pada eksklusifitas itu sendiri. Kita bisa cek, upaya kreatif ‘seri cetak’ limited hand colouring. Paling tidak ia telah berupaya keras membuka kemampatan kran-kran dan membuka akses pada wacana pasar yang nyinyir terhadap seni grafis sekaligus menerobos pasar wacana untuk menilik lebih tuntas berbagai perspektif potensi semua itu.

Pada karya mutakhirnya, ia cenderung berupaya keras menghadirkan, mengolah dan mempermainkan sistem tanda (sign) yang belakangan menjadi kesadarannya untuk mengartikulasikan berbagai pesan motivasi-motivasinya. Tema-tema inner power menjadi bagian penting dari sistem tanda yang didalami sebagai subject matter. Lukisan ‘religi’ seorang AT. Sitompul menghadirkan tanda konektor USB yang menurutnya mampu mempresentasikan semua hal bisa masuk pada pusat konektor. Konektor USB digunakannya sebagai bahasa yang menggambarkan betapa bebasnya semua hal dapat masuk melalui agama atau aspek religi sehingga melalui pintu religi inilah banyak orang sembrono untuk memaksa masuk hanya untuk berlindung di balik kesakralan agama atau malah agama dijadikan media untuk kepentingan tertentu. Sekilas Tompul menangkap gejala ini tumbuh di masyarakat dunia.

‘Ada Kalanya Series’, 135x135 cm (3 psc), Harboard Cutt, Monoprint, Handcoloring, Oil and Acrylic on Canvas, 2009 (AT. Sitompul)

Karya-karya seni grafis AT. Sitompul, ‘Ada Kalanya Series’ menuturkan pada kita perihal kesesaatan waktu, temporary times, dan perihal yang berkaitan secara langsung pada sisitem waktu di muka bumi. Sesungguhnya 3 panel karya grafis yang digarap dengan pola cetak sama tetapi dengan finishing ‘hand colouring’ berbeda ini menunjukkan situasi-situasi confusing times tertentu yang selalu saja berada di setiap kesempatan. Uniknya Tompul tak sekadar mengolah idiom-idiom formal yang umumnya dijadikan senjata ampuh para perupa lain demi pemenuhan kepentingan gagasan atas estetika tertentu namun ia bergiat membongkar bilah demi bilah olah estetikanya sehingga kita segera mendapati vibrasi estetikanya yang lebih personal. Kita berhadapan dengan sistem waktu yang melintas cepat merubah berbagai sistem terkait dan memeinkan psikologis manusia untuk mendeteksi sesungguhnya ia sedang berada pada sisitem waktu, posisi dan situasi tertentu apa. Ia tak lagi menawarkan seni yang prerekuisit –yang berjenjang- namun ia bersikeras memahami kedalaman pemahamannya atas tangkapan moment estetik yang segera dijadikan dedahan sesederhana apapun dalam pola perwujudan yang spesifik, kendati pola konseptualnya melenting-lenting nyaris melampaui esensi visualnya. Ia membedah hirarki kesenian yang tampaknya liat. Ia pun menepis bahwa, seni umumnya cenderung untuk memulai dari awal, menyusur bagian tengah dan menuju ke bagian akhir.

Dedy Sufriadi

Sejak 5 tahun terakhir ini saya mencermati proses kreatif Dedy Sufriadi yang menggunakan hampir 90% totalitas kekuatan intuisinya untuk mengurai berbagai persoalan kreatif dan gagasan ganjilnya. Kurang dari 10 tahun ini ia menggilai dan fokus pada konsep-konsep besar eksistensialisme yang mengantarkannya pada dimensi kesadaran tertentu yang secara psikologis merefleksikan aspek-aspek pengalaman estetik dan pola pikirnya yang bertolak pada pola kerja intiuisinya yakni ketajaman berpikirnya yang bertumpu pada rasionalitas serba logik. Saya menduga bahwa ia tengah membiarkan dirinya dan potensi intelektualitasnya yang dianggap telah mereduksi potensi kesadaran ‘kekuatan’ intuitifnya dalam mencermati berbagai lapis humanistiknya. Berbagai periodisasi konseptualnya yang terangkai begitu terstruktur dari kegilaannya dengan eksistensialisme, dekonstruksi, kemudian mengolah kegelisahan pada term intertextual, hypertext hingga broken text. Dari upayanya menemukan kembali histoty of text, articulation of text, essential of text, dan existential of text serta bagaimana teks melakukan exodus pada ranah-ranah yang lebih luas. Ia bukan sekedar memburai teks-teks pada dimensi artificial, namun ia tengah meletakan kembali teks pada kedudukannya sebagai representasi diri manusia ditengah belantara teks dalam pengertian seluas-luasnya. Teks bergerak bebas seperti pergerakan ion dalam sistem atom atau sengkarutnya gelombang elektromagnetik dalam sistem quantum yang sesungguhnya sedang menggelar prosesi eksistensi dirinya mengemuka seperti ikonik pada periode cogito ergo sum. Ini semacam fakta dari spekulasi saya diatas. Ia mengumbar libido kreatifnya untuk menajamkan aspek intellectus yang secara sistemik sebagai proses sindikasi.

‘Cogito Ergo Sum’, 200x200cm, mixed media, 2011 (Dedy Sufriadi)

Kali ini Dedy Sufriadi tengah memainkan ungkapan Latin Cogito ergo sum ‘saya berpikir, maka saya ada’ yang sebelumnya diungkap Agustinus Si fallor, sum ‘jika saya tertipu, saya ada’ sebelum Decrates mendedah keniscayaan ungkapan cogito ergo sum, sebagai pernyataan satu-satunya kepastian yang kita miliki ialah kepastian eksistensi diri kita sendiri. Dedy tengah memindai pernyataan yang spektakuler seorang Decartes yang hendak menunjukkan suatu intuisi yang langsung, niscaya, dan tidak dapat terbantahkan. Bahwa seseorang mengenal dirinya secara jelas dan terpilah-pilah. Mengingatkan kita pada bagaimana chemistry berlangsung pada jaringan syaraf kita yang mampu mengendalikan potensi fisikal ketika kita berpikir positif maka secara langsung koneksitas ratusan syaraf di dalam tubuh kita seolah terkoneksi untuk membangun gugus imajinatif tentang apa saja yang saat itu kita pikirkan. Apa yang tengah kita pikirkan dan yakini kemudian melecutkan kinerja psikis dan fisik kita secara terpadu untuk merefleksikan dalam tindakan dan olah rasa ke dalam berbagai artikulasi. Cogito ergo sum kemudian dianggap sebagai kebenaran yang terbukti dengan sendirinya atau aksioma yang jelas dengan sendirinya dan dari dasar inilah Decartes mengembangkan sistem filsafatnya yang bersifat rasionalistis.

Dedy seolah tak acuh dengan apa-apa yang menyebabkan kemunculan gejala selanjutnya setelah proses kreatif yang awalnya hanya sebagai upaya penelusuran emotif atas sesuatu yang begitu saja mendorongnya muncul. Namun justru yang terpenting baginya adalah sebuah sintesa intuitif yang kemudian dipahaminya sebagai ruang-ruang spiritual. Hal lainya adalah bagaimana ia menyadari kegelisahan jiwanya untuk menelusuri lebih dalam kekuatan-kekuatan intuitifnya sebagai amunisi untuk meledakan gagasan-gagasan kreatifnya. Sensiblitas estetiknya memberi peluang bagi kelahiran inspirasi baginya juga bagi orang lain. Barik-barik ditorehkan sebagai jejak perenungannya meski kadang terjadi sebuah efek tak terduga muncul -sebagai hadiah kreatif- tidak sekadar sebagai aksen namun dicermati sebagai pengendali kekuatan karakteristik teknik untuk membangun gagasan yang berkembang ketika proses kreatif berlangsung. Kecermatan semacam inilah yang menjadikan seseorang kian menajam kepekaan estetiknya.

Tengok saja pada Cogito ergo sum, nampak keliaran brushstroke dan pemunculan teks dengan intensitas terjaga mengisyaratkan getaran jiwanya yang kian mendidih. Ini semacam representasi riil dari aktivitas hidup yang sejatinya saling silang, saling salip, saling tindih, saling melengkapi dan saling mengikat dalam sebuah relasi-relasi yang tak terputus sekalipun terjadi benturan keterdesakan manusia pada kapasitas kemanusiaan. Teks ketika menjelma menjadi sebuah narasi seolah-olah memicu munculnya inspirasi dan intuisi baru pada proses penciptaan karya-karya berikutnya, dan ketika inspirasi tergali begitu jauh sekonyong-konyong menyelinap sebuah misteri pada tiap bilah-bilah teks yang saling berkelebat. Dalam konteks semacam ini terjadi sebuah pembentukan narasi besar yang menjadikannya objek pembacaan ulang atas gejala sosiokultural, psikis, atau ia muncul justru menjadi subjek. Artinya, antara narasi, inspirasi, dan misteri menjadi bagian integral dalam perspektif eksistensialisme.

Diah Yulianti

Diah Yulianti merupakan sedikit dari masyarakat kita yang menganggap semua benda di muka bumi ini memiliki ruh. Nenek moyang kita mengajarkan bagaimana menghargai alam juga benda-benda di dalamnya yang dianggap memiliki daya hidup dan ruh. Mereka bergerak, berevolusi memberikan daya hidup bagi diri dan makhluk lainnya. Lahar gunung berapi mengonggok, berbenturan dengan benda lain, membelah diri ketika termakan waktu, meluncur terbawa arus hujan ke sungai, bergerak membelah lagi menjadi bebatuan kecil dan bisa berubah menjadi bulir-bulir pasir. Tidak mustakhil pada akhirnya menjadi debu diterpa asap knalpot traktor dan trailer. Sejak megalitikum hingga era kontemporer aspek ini bertahan dan tetap diyakini meskipun terkesan direduksi fokus masyarakat kontemporer dengan kecanggihan teknologinya, bahkan avatar justru muncul hari ini dengan representasi cyber namun tetap mengakar pada budaya leluhur penduduk bumi ribuan tahun silam. Bermula dari aspek kearifan semacam inilah ia mulai menelusuri berbagai metafora yang disediakan alam ke dalam serangkaian ikonik dalam karya-karyanya.

‘Deras Hujan Sunyi’, 200x200, Mixed Media, 2011 (Diah Yulianti)

Perupa perempuan penggila Sarah Brightman (Heaven is Here), Andrea Bocelli (Time to Say Goodbye) dan ‘Who Wants to Lineforever’ with The London Symphony Orchestra menunjukkan hubungan emosionalnya ketika melangsungkan proses penciptaan seni di studio ‘atas awan’ gejayan. Musik klasik yang diaransmen ke dalam format musik seriosa dengan ritmik dan sesekali melandai. Musik yang diacu seolah memberikan daya hidup yang luar biasa ketika gesekan violin menuntun sabetan kuas yang membangun garis-garin imajiner dan sesaat memunculkan stroke membangun gesture. Pada karya mutakhirnya hendak mengartikulasikan ihwal gejolak dan perenungan chaotic dengan pencitraan puitik. ‘Deras Hujan Sunyi’ merupakan manifestasi kejiwaannya yang tengah berada pada titik didih ‘ekspresif’ dan pada titik kesadaran inspiratif untuk menjumputi gagasan kreatifnya yang sering melintas-lintas cepat. Ia menangkap gejala kejiwaannya yang berada pada arus yang cukup mengguncang namun diresapinya dengan sangat nyaman, pada situasi inilah ia seakan berada pada subjek amatannya.

Pada karya ini Diah seolah mengingatkan kita pada pesan (alm) ayahanda kepadanya bahwa; Pergilah ke padang luas anakku sayang, ketika telah kau temukan padang luas itu kau harus menghumai ‘menyemai’ untuk melahirkan catatan-catatan sejarah hidup. Pada karya ‘Perempuan dan Ilalang’ ia sedang merepresentasikan dirinya sebagai perempuan tangguh dan mampu beradaptasi serta mampu bertahan pada situasi terburuk sekalipun untuk menaklukan rintangan hidup. Pertautan perempuan dan ilalang merupakan pertautan anti tesis dari garis kodrat alami perempuan yang didefinisikan secara stereotype. Diah segera memaparkan problem tubuh dan eksistensi perempuan yang menggejala sebagai problem gender kaum feminisme. Persoalan keras tersebut dibungkus dengan kemasan estetika yang tenang dan segar. Investasi emosionalnya menjadikan pribadi berkarakter dan tangguh. Tak kalah mencengangkan ketika kita mengamati lebih dekat proses kreatifnya bukan sekedar menikmati karyanya, maka segera menemui beberapa item periodisasi dan kecenderungan eksploratif yang inspiratif dari karya-karya sketsa, drawing, lukisan, patung dan paket-paket seni instalasinya sungguh mereresentasikan spirit ‘menghumai’ untuk melahirkan sjarah-sejarah hidup.

Diaz Prabu

Ter(K)(0)n(T)(A)minasi Peradaban’, 145x120, Mixed Media, 2010 (Diaz Prabu)

Problem urban culture menjadi isu menarik dan hangat untuk tetap diperbincangkan. Masyarakat metropolitan memiliki kecenderungan berada pada problem ruang dimana persoalan inilah yang berpotensi membentuk berbagai karakteristik urban culture. Dias pada karya-karyanya di fokuskan pada perekaman gejala psikologis sosiokultural masyarakat kota, cermati karya ‘Ter(K)(0)n(T)(A)minasi Peradaban’ dengan penekanan hurup capital pada kata Ter(K)(0)n(T)(A)minasi yang hendak memotret problem KOTA dan persoalan masyarakatnya tentu. Dias seolah merepresentasikan gejala masyarakat kota-kota besar yang mempertontonkan kekhususan individualistiknya dari cara berpakaian, selera makan, selera humor, gaya hidup konsumtif, serba praktis dan cara penyelesaian masalah dengan berbagai kecenderungan pilihannya. Hiruk pikuk kota besar dengan julangan konstruksi beton, kaca dan baja serta tingginya aktivitas masyarakat urban yang nyaris tak ada peluang untuk melakukan hubungan interaksi intesif.

Satu hal yang sering luput pada tatapan kita bahwa masyarakat kota yang sedemikian kerasnya mencari terobosan problem ruang melahirkan gejala seragam dalam efisiensi ruang dari mulai gaya hunian, gaya berlibur, gaya silaturahmi, gaya memelihara hewan piaraan (dari hewan yang di kerdilkan samapai representasi hewan plastik, hewan yang keringkan dan robot) hingga gaya bertaman yang memanfaatkan balkon, teras, garasi, pagar dan dak cor atap hunian. Bahkan seringkali kita jumpai di ruang-ruang publik (hotel, perkantoran, gedung pertemuan dan mall) membangun suasana alami dengan pepohonan plastik, kayu dan logam. Semua bergerak dan seolah terkesan organis dalam pencuatan eksistensi serba palsu.

Nampak ekstrem ketika Dias Prabu mengolah problem masyarakat urban dengan tajuk ‘All of You, I Love You’. Ia tak sekedar memberikan berbagai argumentasi artistik dengan pengolahan teknik yang eksploratif namun eksplorasi visual mampu mempresentasikan secara intuitif figur imajiner merangsang interpretasi kita atas pengembaraan tanda dan memiliki representasi nila sendiri-sendiri. Sepertinya Dias secara eksplisit menyajikan landscape baru untuk memberikan aspek kritis terhadap besarnya kemungkinan masyarakat urban yang sesungguhnya sangat terbuka. Terbuka untuk berada di zona apapun termasuk keterbukaan privasi. Gestur pada objek masing-masing panel menunjukkan figur transparan dengan karakteristik khusus memberikan pencitraan cyborg dan tubuh-tubuh mekanis.

Erianto

‘Kembali ke Dalam’, 100x150x15cm, Acrylic on Canvas, 2011 (Erianto)

Erianto mempersoalkan problem kemasan yang selama ini kurang diperhatikan di Indonesia. Padahal kemasan menjadi aspek paling menujang pada semua lini baik pada dunia pendidikan, kebudayaan, dunia industri dan dunia usaha lainnya. Kemasan yang diolah Erianto sebagai subject matter yang mengisyaratkan bahwa sesungguhnya kita seharusnya memiliki kesadaran untuk memperlakukan potensi budaya bangsa secara baik dan terhormat. Misalnya pada kasus beberapa problem produk budaya kita yang secara terang-terangan ‘dirampas’ negeri tetangga kita, ini sesungguhnya disebabkan lemahnya penghargaan terhadap budaya lokal sehingga dengan mudah dilegitimasi sebagai produk budaya negeri lain.

Kemasan memang bukan pada esensi pesan artistiknya namun begitu sangat berharganya nilai di dalam kemasan itu yang menjadi fokus. Bisa dibayangkan jika batik sutera terbaik Indonesia berharga miliaran dolar tetapi hanya dikemas dengan koran bekas atau dibungkus plastik kresek, maka baik nilai maupun penghargaan orang lain terhadap kemasan tersebut menjadi sepele. Bahkan mungkin ketika dipaketkan via DHL, FedEx dan Dakota misalnya makan bisa jadi ditolak atau dicampur dengan bahan pecah belah lainnya. Kita nyaris menjadi negeri yang hanya menjadi pewaris budaya nenek moyang tanpa mendedikasikan kesungguhan menjaga dan melestarikannya. Kita lemah dalam sistem pendokumentasian dan kesadaran untuk mematenkan produk budaya Indonesia. Kita tak lagi peduli bagaimana memupuk, melestarikan, pengembangkan dan mempresentasikan budaya leluhur kita yang pada akhirnya ketika budaya kita di klaim Negara lain kita baru sadar bahwa kita sedang merayakan pergeseran atau nyaris kehilanga akar. Erianto secara implisit bertutur soal itu.

Mahdi Abdullah

Karya-karya Mahdi Abdullah tidak sekedar mempertunjukkan kepiawaian teknik realistiknya namun lebih pada kehendak memperlihatkan ketajamannya mengolah gagasan kritisnya. Hal yang menarik untuk dilacak aspek pencermatannya dengan subject matter dan kedalaman pengalaman ‘batin’ estetiknya yang hidup ditengah daerah konflik Nangroe Aceh Darussalam. Pergulatannya terhadap momen estetik dalam pengertian khusus dimana memunculkan kecemasan, kegalauan, ketakmenentuan dan harapan dalam representasi perenungannya. Kekhasan ekspresinya hendak mengetengahkan perihal kekerasan yang dibungkus dengan kemasan semiotika yang cermat, Mahdi tampak ingin mengkarungi peristiwa kekerasan yang terjadi di daerah konflik ke dalam pencitraan aktivitas masyarakat keseharian seperti memikul kayu bakar, memanggul hasil pertanian dan aktivitas mengusung bahan makanan ‘material’ lainnya.

Pada karya Chronology #1 ‘Demi Masa Series’, menggambarkan seorang perempuan tua memanggul bekas-bekas senjata laras panjang dengan sederet unit-unit peluru dengan gesture tenang meski belati-belati militer berseliweran di sekelilingnya. Ini menunjukkan bahwa Mahdi tengah merepresentasikan sebagian besar kecenderungan masyarakat daerah konflik menganggap aktivitas konflik dan perang yang berlangsung puluhan tahun menjadi pemandangan sehari-hari tanpa gangguan berarti pada semua aktivitas kesehariannya. Kita bisa membayangkan secara psikologis ketika berada di tengah daerah konflik dimana pertikaian antara sipil militan dan militer yang berlangsung menahun dapat mengonstruksi aspek psikis masyarakat segala usia memaksanya untuk berada pada situasi ini. Disinilah Mahdi hendak mempertunjukkan anti tesis dari sesungguhnya situasi perang itu amat sangat mengkhawatirkan dan ketidakniscayaan sebuah harapan diraih. Justru ia tak segera beringsut dari realita tersebut. Mahdi mengolah subject matter ini karena pertalian emosinya terhadap realitas tanah leluhurnya dengan penggalian aspek nilai estetika yang mulai diyakininya. Ia tak menjumput persoalan yang berjarak dari dirinya karena landscape ini memberikan inspirasi dan menajamkan intuisi pada proses kreatifnya.

Rio Sigit Baskoro

Setengah tahun silam saya mengamati progress proses penciptaannya Rio Sigit Baskoro yang menurut saya ketika itu biasa-biasa saja karena Rio bertahan pada keutamaan teknik artistik dan belum beranjak pada penjelajahan konsepsi. Saya cukup waktu berkesempatan terlibat pada presentasi-presentasi karyanya yang semakin lama semakin fokus pada titik persoalan yang potensial untuk digali. Kecenderungannya teknik fotografisnya memberikan ruang pengayaan pada konsepsi proses pencitaan yang memang signifikan menunjang eksekusi gagasan kreatifnya. Satu studio dengan Dias Prabu merupakan strategi yang tak terduga hingga keduanya memilih kecenderungan mengolah wilayah kajian yang serupa meski artikulasi visualnya di keduanya memiliki kehasan masing-masing. Mereka saling melengkapi dan menyokong berbagai hal yang dibutuhkan baik pada proses kreatif maupun pada situasi-situasi belajar lainnya.

‘Unhelty’, 89x130cm, Oil on Canvas, 2010 (Rio Sigit Baskoro)

Hal senada dengan subject matter yang digarap Diaz Prabu sesungguhnya bentuk manifestasi kemelekatan kita dengan urban culture. Rio lebih membidik persoalan konsumerisme masyarakat kontemporer (karya ‘Expensive’, ‘Promo Palsu’ dan ‘Unhealty’), dimana individu-individu yang terkesan sangat selektif dalam mengkonsumsi kebutuhan hidup sehari-hari mulai dari bahan makanan, minuman, dan pakaian yang serba didapat pada ruang-ruang display pusat perbelanjaan benefide. Mereka mengatur hidup serba steril namun mereka hanya cenderung mengikuti tren, mereka memperoleh apel Australia segar, buah kiwi import, anggur import dan lain-lain di rak-rak toserba tanpa mempedulikan bahwa buah-buahan tersebut sebelum dikirim ke Indonesia justru melalui proses kimiawi yakni dengan proses pencelupan yang menggunakan radio aktif. Tak bisa dibayangkan buah tersebut telah berapa lama dari pemetikan, pemrosesan, pengiriman, pendistribusian dan sampai pada rak buah pusat perbelanjaan. Mereka cenderung bangga mengkonsumsi semua buah import ketimbang apel malang, kelengkeng Magelang dan salak pondoh. Perlahan masyarakat kota mengubah pola berbelanja hingga menggeser cita rasa konsumsinya.

Rocka Radipa

Rocka Radipa menekuni teknik etching sebagai cara menaklukan media yang dianggap paling representatif dari kebutuhan mengonstruksi gagasan dan citra estetiknya. Kurang dari 3 tahun saya mencermati khusus karya-karya Rocka -pasca melucuti kanvasnya- beralih menggunakan medium plat kuningan, baik yang diusung pada berbagai pameran penting nasional maupun yang dikhususkan ke berbagai kompetisi seni rupa nampak menunjukkan ketertarikan, keterpukauan, dan keyakinanan pilihannya dalam proses penciptaan seni dengan material khusus serta aplikasi teknik grafis yang tak banyak orang pilih. Kebanyakan seniman grafis menggunakan master grafisnya sebagai medium yang menjembatani sebuah karya grafis (etsa) terlahir, tentu dengan kemampuan cetaknya yang dapat diproduksi pada batas edisional tertentu. Namun Rocka memperlakukannya secara berbeda. Rocka justru menggunakan master etsanya sebagai karya finalnya. Master dihadirkan sebagai substansi totalitas proses penciptaan seninya. Dengan sentuhan berbagai teknik hingga pada proses pengasaman hingga tahapan pewarnaan plat masternya secara khusus dan unik. Rocka mampu membaca peluang ini secara cerdas. Positioning Rocka ini member isyarat strategi pada perubahan dan perkembangan seni grafis di Indonesia.

‘The Soulmate’, 200x200cm, Etching, 2010 (Rocka Radipa)

Rocka gemar mengemas tema-tema about psyche; cermati saja karya ‘The Soulmate’ dan ‘Artlightenment’ penggabungan kata art dan enlightenment. Rocka mengurai berbagai persoalan jiwa, ruh dan kesadaran-kekuatan intuisi yang membangun interpretasi kita mengenai jiwa-jiwa gelisah dan penelusuran potensi pencerahan di dalam dimensi spiritual untuk menemukan kembali esesnsi kemanusiaan. Habitus proses kreatifnya yang mengesankan terstruktur dan matematis yang menggunakan ketajaman intuisi seorang desainer justru berbeda ketika kita mengamati dari aspek pemunculan konsepsinya. Karakter penggunaan medium yang dominan unsur kimiawi namun pada presentasi gagasan visualnya mengelola aspek-aspek organis. Gagasannya begitu cair untuk mengeksplorasi berbagai aspek visual sebagai upaya merangkai narasi imajiner dan ketajaman intuisinya. Eksplorasi visualnya menuntunnya masuk ruang-ruang bawah sadar bersenyawa dengan kesadaran bahwa luncuran garis-garis plastisnya menggugus, meruang, menerabas, melintas dalam kesenyapan bidang temaram kadang pada kepekatan ruang. Gestur-gesturnya menjumput representasi persona-persona imajinatif yang dilahirkan dari kepekaan intuisi dan mau tidak mau Rocka terseret pada term intellectus syndicate. Saya membayangkan situasi teatrikal dalam satu ruang presentasi yang komprehensif, dari pertemuan karya dua dimensi dan tiga dimensinya pada projek pameran tunggalnya. Saya yakin suatu ketika Rocka dapat mewujudkannya.

Yusron Mudhakir

Saya harus memulai dari pernyataan Yusron Mudhakir yang menegaskan, jika benar bahwa esensi dari sebuah penciptaan adalah perihal eksistensi, maka ketika ia kita tarik pada garis kesadaran tertinggi, esensi sebuah karya seni adalah mutlak bersifat spiritual. Pandangan ini tentu berhadapan langsung dengan pesrpektif Barat yang mendepankan aspek logika dan rasionalitas sedang Timur aspek ini dikukuhkan kembali dengan muatan aspek-aspek emosional dan spiritualitas, sebuah upaya yang berlangsung intensif dan kontinu dalam menyempurnakan rasionalitas atas spiritualitas yang kemudian menjadi referensi penting dalam proses kreatif maupun pembacaan kembali nilai-nilai tersebut atas karya seni dihadapan kita. Selama hampir empat tahun terakhir saya mengamati perkembangan proses kreatifnya dan terlibat berbagai perbincangan di wilayah wacana yang lebih umum kemudian mendorong saya untuk lebih mendekatinya secara konseptual. Alasannya sederhana karena Yusron bagi saya pribadi yang simpatik, cerdas, kritis dan visioner. Apa-apa yang dikerjakan hampir tak lepas dari apa-pa yang dia gelisahkan dan dia pikirkan, dia cenderung pribadi yang tenang dan sangat berhati-hati dalam menentukan pilihan olah kreatifnya. Pemuja Malevich dan Victor Vasarelly ini tampaknya memiliki alasan yang kuat karena ada banyak hal ia memiliki kecenderungan pemikiran dan proses kreatif yang secara tidak langsung menginfluence pada kapasitas tertentu serangkaian proses penciptaannya. Pola kerja perfeksi seorang Yusron meyakinkan saya bahwa ia seorang yang bekerja penuh pertimbangan dan kecenderungan semacam ini yang melekat pada karakteristik kedua inspiratornya. Eksperimentasinya senantiasa merujuk pada referensi-referensi Timur meski dalam representasi visualnya ia mampu merepresentasikan citra-citra visual seni rupa kontemporer yang memiliki kekuatan spiritual lokal termasuk referensi-referensi Asia lainnya. Ia melahap referensi-referensi W. Kandinsky, Malevich, Victor Vasarelly dan Mondrian secagai picu kreatifnya. Ia juga penggila pemikiran-pemikiran Malevich yang disandingkan dengan referensi-referensi spiritual religi Islam dalam berbagai pandangan.

Colour Gate’, 150x150cm, acrylic on canvas, 2008 (Yusron Mudhakir)

Mencermati karya Yusron sepintas kita sedang dipertemukan dengan ruang spektrum warna yang digagas pada ‘Miracle Colour’, ‘Colour Gate’ dan ‘Pearl Grey’, namun sesungguhnya kita dihadapkan pada situasi hujan bintang warna menyergap dan menelan nyali pada kesadaran spiritual. Sebuah kesadaran yang mampu memediasi sistem komunikasi emosional antara partikel-partikel warna melalui gelombang elektromagnetik dalam sistem quantum dengan referensi intektual maupun pengalaman emosional. Warna sebagai representasi nilai-nilai hakiki seluruh makhluk organis di alam semesta, warna sebagai kekuatan estetika yang mempertemukannya dengan nilai-nilai filosofis dan emosionalnya. Ia tengah meyakini pandangan bahwa penciptaan itu adalah kerja intelektual dan emosional estetika adalah selera dan selera itu membutuhkan pemahaman empirik dan reflektif. Penggabungan dari kedua hal tersebut akan melahirkan bentuk-bentuk estetis yang terbebas dari gejala sofistikasi, sebuah penyakit dalam dunia seni yang terlalu mendewakan unsur-unsur formal (teknis) tanpa menimbang faktor nilai (isi). Yusron Mudhakir dalam marepresentasikan pemikirannya ke dalam karya yang kaya warna dan ekstra hati-hati sepintas memiliki pola kerja yang dianut Malevich dan Mondrian memperlakukan teknik pencapaian artistiknya dengan presisius yang tinggi, liris dan seharmonis mungkin. Keteraturan garis dalam komposisi warna jelas mencermati aspek estetika yang tidak semata-mata indah. Bukan toh menisbih indah tetapi ia mencoba melakukan-menemukan keyakinan estetikanya dari ekplorasi estetik yang pada akhirnya berada pada tingkat penikmatan tertentu kita temukan estetika baru. (Netok Sawiji_Rusnoto Susanto, 2010: 121)

Ia juga membuktikan keyakinannya bahwa melukis adalah kerja intelektual dan emosional, dimana ia mampu memformulasikan keduanya pada setiap karya dengan penekanan pada aspek spiritual yang cenderung orang pahami spiritual yang berbasis pada dogma religiusitasnya. Lukisannya yang steril dan memiliki intensitas kehati-hatian tinggi seperti yang dilakukan AT. Sitompul. Dari konteks tersebut tetapi tetap menyiratkan spirit kebaruan-kebaruan ‘intuitif’ tertentu sebagai sebuah lompatan besar dalam perkembangan seni lukisnya akhir-akhir ini. Hal ini dapat dikonfirmasi pada kepahamannya merumuskan estetika, estetika adalah selera dan selera itu membutuhkan pemahaman empirik dan reflektif, maka saya meyakini bahwa penciptaan itu adalah kerja intelektual dan emosional. Penggabungan dari kedua hal tersebut akan melahirkan bentuk-bentuk estetis yang terbebas dari gejala sofistikasi, sebuah penyakit dalam dunia seni yang terlalu mendewakan unsur-unsur formal (teknis) tanpa menimbang faktor nilai (isi). Pada kajian teks visual membutuhkan relasi yang komprehensif dengan konteks konsepsi yang terbangun secara holistik.

Zaenal Arifin

‘Harmony’, 150x140cm, Oil on Canvas, 2009 (Zaenal Arifin)

Menarik mencermati lebih dekat karya Zaenal Arifin pada seri hitam putih ‘Harmony’ yang mengetengahkan figur kontemplatif berpenutup kepala kain tradisi nail. Pada kedua tangan posisi semedi sisi mengapit bunga, pada sisi kanan-kiri menggambarkan sayap terbentang dan di bagian bawah berterbangan uang dolar. Tampaknya Arifin ingin bertutur mengenai gambaran manusia masa kini yang tak sekadar berorientasi materi dan uang. Secara ilutif objeknya mencitrakan cross, menunjukkan keseimbangan hubungan horizontal dan vertikal. Pemilihan warna hitam, putih, abu-abu dan kuning yang membangun pencitraan kontemplatif. Ia hendak memberikan ruang perenungan pada kita bahwa manusia harus tetap menggali dan menemukan keseimbangan dalam hidupnya keseimbangan hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Harmonisasi manusia dengan manusia lain, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhannya. Pencapaian harmoni yang hakiki ditemukan ketika seseorang menemukan dirinya pada kesadaran eksistensi di hadapan semesta, seseorang menemukan kesejatian esensi hidup pada kesadaran kehidupan dunia ruh ‘dunia dalam’.

Pada sisi yang berbeda, Arifin mengurai ‘benang merah’ dengan ikon bebek dan kambing yang baru ditetas dari telur bebek. Ia mengaktualisasikan kritik terhadap identitas masyarakat negeri kita. Bebek menjadi penanda sebuah karakter pengekor dan kambing artikulasi objek yang selalu saja dirugikan ‘kambing hitam’ atau ‘kambing congek’ presentasi kedunguan. Saya mencermati adanya relasi yang signifikan antar tanda yang dimunculkan pada karya ini, bagaimana sebuah komunitas pengekor akan menelurkan ‘melahirkan’ komunitas-komunitas baru yang dungu dan pecundang. Kritik ini sampaikan sangat lembut dan implisit melaui artikulasi visual yang menawan, hangat dan sangat kontemporer. Ini mengingatkan pandangan saya ketika mengamati karya-karya periode 2010, dimana Arifin fokus pada pengolahan kambing sebagai tanda penting yang bermetamorfosa tetapi tidak menjadi mahluk yang sama sekali baru seperti pada rangakain ritual metamorfosa telur, ulat, kepompong menjadi kupu-kupu. Namun, kambing sebagai objek yang berganti kulit beberapa lapis kulit di dalamnyamenunjukkan beberapa tanda dari perubahan warna hingga motif yang mengacu pada citra batik Jawa sebagai cara menggali local genius. Ia menunjukkan bahwa seorang Jawa harus menggali kesadaran budaya lokal Jawa jika hendak mengenali dirinya, dengan demikian seseorang meski berada pada gempuran budaya Barat dan arus kapitalistik harus tetap memiliki kesadaran nilai-nilai lokal budayanya sebagai filter dari arus budaya global. Paling tidak hal ini sebagai upaya otokrtik terhadap perilaku kita dalam praktik budaya masa kini.

Epilog

Intellectus Syndicate merupakan sebuah kesadaran intelektual sebagai cara jitu mengeksplorasi berbagai lintasan-lintasan gagasan chaotic sehingga mampu memetik –temuan- insight baru. Kemudian intellectus syndicate memiliki potensi mempermainkan aspek mental seorang perupa yang bermula dari konstruksi semantic interpretation untuk memberikan kesadaran bahwa proses kreatif bukan sekedar memenuhi tujuan-tujuan tertentu di luar tujuan kreatif sebuah karya seni digagas. Kreativitas pada prinsipnya kemudian membangun habitus baru dan memunculkan semacam sikap untuk berani melakukan pembaruan habitus. Habitus-habitus baru inilah yang mengonstruksi proses penciptaan seni dengan mengetengahkan berbagai aspek inovatif dengan penggalian-penggalian dimensi konseptual dalam konsrtuksi estetika.

Pameran bertajuk Intellectus Syndicate paling tidak mampu mengantar secara sederhana sebuah wacana seni rupa kita untuk memasuki wilayah kajian intelektual yang mengacu pada kekuatan intuitif dan kesadaran penggalian nilai-nilai spiritual pada proses penciptaan seni dewasa ini. Bertolak dari perspektif Thomas Aquinas dan Jungian paling tidak memberikan inspirasi baru dan membuka peluang membuka perpektif yang lebih luas terhadap kemunculan ide kreatif. Pada karya-karya terbaru para perupa pada pameran kali ini merupakan indikasi faktual bahwa intellectus cyndicate bergerak memperluas ‘memperdalam’ nilai yang sesungguhnya mencuat ke permukaaan dimensi realitas dari imajinasi yang sublime dan tak terukur. Saya optimis bahwa pameran ini menjadi tanda penting bagi AJBS Gallery, para perupa dan stakeholder yang lebih luas sebagai sebuah proses edukasi sekaligus membangun peluang menyajikan referensi bagi para peminat seni untuk menentukan investasi produk seni.

Netok Sawiji_Rusnoto Susanto

kurator independen, praktisi seni

dan mahasiswa program Doktoral pada Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.

Referensi:

Audifax. (2006), Imagining Lara Croft (Psikosemiotika, Hiperealitas, dan Simbol-Simbol Ketaksadaran), Yogyakarta: Jalasutra.

Bagus, Lorens. (1996), Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia.

Brook, Peter. (1986), The Empty Space. Middlesex: Pelican Books, Penguin.

Chaney, David. (2004), Life Style: Sebuah Pengantar Komperehensif, terj: Nuraeni, Yogyakarta: Jalasutra.

Macho, Josephine, (Syn)aesthetics and Disturbance – Tracing a Transgressive Style in Contemporary British Female, Performance Practice explores the connections between these and other critical and performance theories in order to support the argument for a (syn)aesthetic mode of practice and appreciation. (The doctoral thesis) of Brithish.

Netok Sawiji_Rusnoto Susanto. (2010), ‘Soulscape: Melacak Ruang Spiritual dan Pendalaman Nilai Estetika Sebagai Manifestasi Proses Kreatif’, dalam Soulscape: The Treasure of Spiritual Art, Yogyakarta: Yayasan Seni Visual Indonesia.

Rowland, Susan (Ed), (2008), Psyche and the Arts, Jungian approaches to music, architecture, literature, film and painting, New York and London: Routledge.

Sayre, Henry M. (1994-1997), A World of Art, Prentice-Hall, Inc., New Jersey.

Sunardi, ST. (2002), Semiotika Negativa, Yogyakarta: Kanal.

Wassilly Kandinsky, Concerning The Spiritual in Art, [terj: Sulebar M. Soekarman], Yayasan Seni Visual, Jakarta, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar