LOKALITAS DAN UNIVERSALITAS
Konstruksi Personalitas, Lokalitas, Hibriditas dan Spirit Universalitas
Kondisi global yang kini berlangsung lebih baik dipahami sebagai arus disjungtif ethnocsape, technoscape, finanscape, mediascape, dan ideoscape. Jadi globalisasi dan universalitasnya terdiri dari gerakan dinamis berbagai suku bangsa, teknologi, transaksi keuangan, citra media, dan konflik ideologis yang tidak ditentukan oleh ‘rencana besar’ yang harmonis. Namun, kecepatan, cakupan, dan dampak dari aliran tersebut terbelah dan terputus.
Appadurai dalam Chris Barker (2000: 117)
Pameran ini sedang tidak mempertentangkan perihal lokalitas, hibriditas dan universalitas. Namun, tengah merelasikan nilai-nilai yang sesungguhnya saling terkait. Bagaimana sebuah lokalitas dipindai sebagai sebuah upaya pemberdayaan nilai ‘purity’ puritan, bagaimana sebuah tinjauan hibriditas melepaskan diri dari aspek yang kita sebut sebagai lokalitas dan bagaimana memunculkan nilai-nilai universalitas atas lokalitas puritan bahkan dalam bentuk barunya dari hibriditas yang sejatinya bertumpu pada pengolahan kesadaran lokalitas? Kita hendak menjadikannya instrumen tersebut untuk menemukan relasi-relasi khusus ketika kita berhadapan dan mendedah sebuah karya visual. Bahkan hampir semua karya seni di dunia bertitik tolak dari aspek-aspek tersebut.
Membangun aspek personalitas, lokalitas dan spirit universalitas merupakan kekuatan integral seorang seniman dipengaruhi sebuah atmosfer kesenian yang ideal pada wilayah kerja dan komunitas tertentu. Indonesia, khususnya Yogyakarta sebagai kota agraris yang beranjak menunjukkan kekuatannya melalui kekuatan nilai budaya dan khasanah kesenian. Dengan semangat masyarakat agraris tengah berupaya keras melestarikan nilai-nilai budaya luhur dengan tumbuh suburnya aktivitas kesenian di dalamnya sungguh sebuah entitas masyarakat yang unik. Bagaimana tidak, citra agraris dan secara politis sebagai daerah istimewa yang dipimpin seorang Sultan (Raja dalam sistem Kerajaan Islam) adalah sisi langka sebagai representasi kesadaran atas nilai-nilai lokal masyarakatnya. Keunikan yang lain karena citra Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai kota pelajar, laboratorium ilmu pengetahuan, dan kota budaya dengan wilayah yang dihuni ribuan seniman menjadi bagian terintegrasi dengan pola hidup masyarakat tradisional. Aspek lokalitas (tradisi) dan perkembangan urban cultures serta rangsekkan budaya kontemporer yang perlahan segera menggeser peta kebudayaan menjadi landscape yang menarik untuk tak sekedar mencermatinya namun memesonakan kita semua. Namun, hal tersebut tak menggeser kesadaran kreatif seniman Indonesia terhadap kesadaran nilai-nilai budaya lokal (local genius) yang senantiasa diacu sebagai bagian dari spirit proses penciptaan seni dalam semangat universalitas.
Lokalitas dan Globalitas Sebagai Spirit Universalitas
Masyarakat Jawa sedang berada pada titik didih yang memuncak untuk menggali warisan budayanya melalui berbagai aktivitas penelitian, penelusuran situs sejarah, dan seminar-seminar internasional Javanologi. Saya merupakan salah satu pemakalah pendamping pada seminar Javanologi bertema ‘Exploring Noble Values of Local Wisdom and Prime Javanese Culture to Strengthen the Nation Identity’ di Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan tema yang kontroversi. Tema aktual masyarakat Jawa dengan mempresentasikan tema ‘Disposisi-Reposisi Eksistensi Budaya Jawa dalam Paradigma Cybercultures: Interelasi Kontekstual Wacana dan Praktik Cybercultures’. Ini fakta aktual bahwa fenomena cyberculture secara imajinatif memungkinkan orang larut ’katarsis’ masuk ke dalam layaknya seseorang melekat dan hanyut pada cerita wayang. Saat menikmati mocopat, sastra gendhing, pangkur dan wayang seolah kita tengah berada pada layar datar dari fibre optic layar datar unit komputer memasuki dimensi imajiner dan simulasi yang berlapis-lapis. Membawa eksistensi ilutif kita ke negeri Alengka, kawah Chandra Dimuka, perang Mahabharata dan memungkinkan kita merefleksikan penjiwaan karakter Krishna. Bukankah budaya Jawa telah melampaui gagasan besar cyberculture? Sehingga Jawa, masyarakat dan kebudayaannya memiliki interelasi kontekstual begitu adaptif terhadap kebudayaan cyber yang marak hari ini. Saya yakin bahwa masyarakat Jawa baik di pusat maupun pelosok daerah hampir seluruhnya menikmati produk cyberculture yakni; tv, hp, telepon, internet, email, twitter, friendster, dan facebook bahkan mayoritas pengguna sistem aktif.
Namun, hal tersebut sebagai titik picu saja bagaimana sesungguhnya positioning budaya Jawa pada berbagai pandangan perubahannya di tengah arus postmoderisme ketika mendudukan posisi, disposisi dan usaha melakukan reposisi manusia ‘budaya’ Jawa berada pada konteks representasi eksistensi fenomena cybercultures. Bagaimanapun juga sebuah perubahan dan perkembangan budaya mutlak berlangsung pada hampir seluruh kebudayaan dibelahan bumi ini. Persoalannya adalah bagaimana upaya memetakan kembali aspek lokal dalam perspektif local genius mampu memberikan kontrol terhadap derasnya arus perubahan budaya global yang hingga hari ini melekat sebagai bagian integral bagi sebagian besar masyarakat Indonesia khususya Jawa.
Kesadaran lokalitas kembali dibangun oleh otonomi budaya dengan memunculkan kembali etnosentrisme di dalam masyarakat. Kembalinya etnosentrisme telah menjadi konsekuensi atas ‘penyeragaman’ pada paradigma modernitas dan wacana postmodern sekaligus. Wacana yang menjadikan masyarakat berjarak dengan kebudayaannya dan hilangnya identitas kedaerahan. Kemudian serta merta mencuatkan arus disjungtif, yakni sebuah arus yang menyatakan suatu bantahan terhadap metafora perjalanan dan gerakan ini menandai kemunculan ulang kekuatan materialistik yang dibangun modernitas. Pelekatannya pada tempat tertentu dapat dilihat dalam pembaruan nasionalisme Eropa Timur, politik neo-fasis dan dalam beberapa aspek fundamentalisme Islam dalam wilayah kehendak globalisasi untuk menemukan nilai universalitas di dalamnya. Globalisasi merumuskan nilai-nilai universalitas dari proses ekspansi barat yang didorong oleh kekuatan ekonomi. Jadi globalisasi dan universalitasnya terdiri dari gerakan dinamis berbagai suku bangsa, pertumbuhan teknogi, frekuensi transaksi keuangan, support citra media, dan issue global startegis berbagai konflik ideologis yang tidak ditentukan oleh ‘rencana besar’ harmonis. Namun, kecepatan, cakupan teritorial, dan dampak dari aliran arus disjungtif tersebut terbelah dan terputus.
Globalisasi dan arus budaya global tidak dapat hanya dipahami melalui serangkaian determinasi linier yang terstruktur dan sistematik namun justru dipahami sebagai serangkaian kondisi tumpang tindih, njelimut, kompleks dan kacau balau yang menyatu di sekitar ‘titik simpul’ tertentu. Overdeterminasi yang tak dapat diperkirakan dan rumit tidak mengarah kepada penciptaan desa global yang tertata rapih, melainkan mengarah kepada keanekaragaman titik konflik, antagonisme dan kontradiksi. (Ang, 1996: 165). Argumentasi ini tepat dalam menempatkan keragaman dan fragmentasi budaya, menentang ide yang umum berkembang bahwa globalisasi adalah suatu proses seragam homogenisasi budaya. Kendati nilai universalitas menjadi titik penting untuk mencerap pesan dari sebuah karya seni atau aktivitas kebudayaan lainnya. Dalam pokok ini, berkaitan dengan presentasi proses kreatif 12 seniman Indonesia dapat diidentifikasi orientasi yang mendasari sebuah gagasan kreatif mengemuka. Pokok orientasi tersebut yakni;
1. Problem Wisdom dan Hybridity
Homogenisasi budaya semakin menegaskan bahwa globalisasi, kapitalisme, konsumerisme menimbulkan hilangnya keragaman budaya, pertumbuhan ‘kesamaan’ dan dugaan akan hilangnya otonomi budaya yang dikonsepsikan sebagai bentuk imperialisme budaya. Argumentasi ini seputar dominasi suatu kebudayaan atas kebudayaan lainnya yang biasanya disebut dalam konteks ‘lokalitas’ nasional. Robins (1991: 25) menyatakan bahwa hal tersebut muncul karena memproyeksikan dirinya sebagai transhistoris dan transnasional sebagai kekuatan modernisasi, modernitas yang transenden dan bersifat universal. Maka kapitalisme global pada kenyataannya terkait langsung dengan proses ‘pembaratan’ eksport komoditas, nilai, prioritas, dan cara hidup barat. Pada konteks semacam ini dibutuhkan sebuah kesadaran lokalitas dengan menggali problem wisdom dan sebuah upaya membangun kembali sebuah aktivitas-aktivitas kebudayaan hybrid termasuk praktik kesenian yang berdasar kesadaran hybridity. Konteks ini tentu mengacu pada dominasi muatan lokal sebagai referensi seorang seniman merumuskan konsep kritis melalui berbagai penanda formal estetika.
AT. Sitompul
Lebih dari 4 tahun belakangan ini saya mengamati proses kerja kreatif AT. Sitompul baik melalui diskusi di studionya maupun ketika tengah melakukan pendalaman materi di beberapa kerja kuratorial. Karyanya sangat spesifik terutama pada kemampuan craftmanshifnya. Melalui kepiawaian memainkan ribuan garis-garis yang nyaris -konstan- mekanis ia memanifestasikan perasaan dan emosi dalam konfigurasi konsepsi yang hendak dibangun. Kegilaannya mempertahankan kondisi emosi yang begitu terjaga melalui intensitas ekspresinya, mengolah aspek bentuk dalam permainan ruang persepsi optis dan kecerdasannya menawarkan temuan-temuan estetik melalui teknis grafis yang tak banyak perupa lain lakukan. Berbagai eksplorasi media dilakukan mulai dari kertas, kanvas, kayu, teakwood bahkan plat bordes untuk melugaskan gagasan. Orientasi permainan optical art melalui teknik grafis menjadi dasar pola kerjanya.
Keunikan lainnya ketika ia tetap berpijak pada penggalian ’kesadaran lokalitas’ nilai-nilai local genius dimana ia ditempa berbagai kebudayaan tradisi, dari Suku Batak dimana ia dilahirkan hingga di Jogja ia menemukan entitas masyarakat Jawa yang inspiratif. Ia tetap menggali muatan filosofis ulos melalui perpektif estetika lokal Batak dan berbagai influence karya-karya seni tradisi masyarakat Timur lainnya. Sebut saja, ketertarikannya pada seni tradisi tekstil Jepang dan berbagai ragam hias pada tekstil maupun pahatan pada koin China atau mungkin tradisi tekstil ’Kain Sari’ India tanpa ia sadari menjadi bagian spirit dalam representasi visualnya. Sebuah influence dari aspek lokal kebudayaan yang lekat dalam pandangan dan pemahamannya sehari-hari. Gagasan kreatifnya menggerakkan persepsi kita membangun interpretasi yang mengganda dan tidak linier.
AT. Sitompul, Saling Mengambil # I, 135x135cm, Harboard cut and hand coloring series on canvas, 2011
Kecerdasan AT. Sitompul ‘Saling Mengambil #1’ adalah karena kesadaran hibriditasnya yang kemudian ia masukan muatan lokal (aspek lokalitas etnisitas Batak) dengan mengambil citra warna dan pemilihan garis-garis tegas maupun lentur dalam asosiasinya mengenai ullos Batak yang sakral dan sarat nilai religiusitas. Perpaduan ledakan emosional dengan kekuatan intelektualitasnya mengecoh persepsi kita mengenai ruang dan permaiann bentuk yang meracau mengaduk-aduk emosi dengan permainan garis liris, bidang, ruang dan efek tekstural yang perfeksi. Konsep yang sederhana dan lugas untuk mendasari kesadaran berpikir kita mengenai berbagai hal yang bersifat inspiring, mungkin saja. Kesadaran untuk membagi dan berbagi dalam pengertian sikap toleransi kebudayaan, nilai kemanusiaan dan perluasannya menjadi sebuah kesadaran puritan. Secara tidak sadar ia berperan menggerakkan dengan kritis problem wisdom dan praktik hibriditas budaya. Bukankah aktivitas kebudayaan sesungguhnya hibriditas dari proses kebudayaan itu sendiri sebagai penyempurna kebudayaan sebelumnya?
Anang Asmara
Anang Asmara salah seorang pelukis muda penggila teknik aquarel yang populasi makin menurun di Indonesia menjadi penting untuk dicermati sebagai bahan kajian sikap kreatif terhadap pilihan media. Media yang secara laten ditinggalkan dengan berbagai macam asumsi dan spekulasi. Meskipun sesungguhnya media dan pencapaian teknik aquarel adalah teknik tua yang teruji secara eksploratif namun begitu banyak hal yang bisa digali sebagai temuan-temuan estetis di dalamnya. Anang seorang yang konsisten mengusung tematik Javanis Culture dengan kekhasan teknik cat air yang dieksplorasi ke dalam berbagai media ungkap. Ia tak pusing karyanya dikategorikan seni tradisi, modern atau kontemporer. Ia tetap gigih memilih kecenderungannya sebagai cara membranding dirinya dan mengukuhkan eksistensinya pada penggalian problem local wisdom. Kegelisahannya pada atmosfer budaya Jawa yang kian hari kian bergeser dan tergerus dengan pola-pola pencitraan masyarakat dalam gulungan arus cybercultures menjadikannya ruang kontemplasi untuk menemukan kembali pertahanan atas arus tersebut melaui artikulasi visualnya.
Anang Asmara, Ketawang Kinanti Pawukir, 120x200cm, Acrylic on Canvas, 2011
Ketawang Kinanti Pawukir merupakan slogan Jawa yang mensugesti kita semua untuk teguh mempertahankan tradisi warisan adi luhung. Subject matter potret raja-raja, penari kraton dan pemain gamelan serta penjumputan spirit wayang diluapkan dalam proses kreatifnya akhir-akhir ini. Anang menggambarkan landscape aktivitas kehidupan tradisi, catatan kebudayaan Jawa, dokumentasi sejarah, etika sosial dan sisi religiusitasnya yang serba khas. Religi Islam Kejawen dan sejenisnya yang sudah barang tentu diadaptasi dengan nilai-nilai kultural Jawa. Ia seolah tengah memekikan aspirasi masyarakat Jawa yang mulai jauh dari asmosfer Jawa, akumulasai disposisi Jawa diseret secara ugal-ugalan oleh kecenderungan masyarakat pada praktik kebudayaan kontemporer belakangan ini. Titik inilah yang menjadi kesadaran kultur melaui komunikasi visual dengan publiknya.
I Made ‘Romi’ Sukadana
I Made ‘Romi’ Sukadana Wealth, Glory and Love, 200x150cm, Acrylic on canvas, 2011 pada konstruksi estetiknya mengetengahkan sebuah metafora seorang Bali yang masing-masing membangun karakteristiknya atas orientasi hidup yang mereka jadikan rujukan. Tiga figur orang Bali yang mengenakan kostum lokal budaya Bali dengan gestur dan pencitraannya yang sangat mencolok seolah ia tengah melakukan otokritik terhadap budaya yang hidup dalam masyarakat kontemporer Bali. Sesungguhnya ini sebuah gejala umum di masyarakat dunia ketika seorang laki-laki sejati selalu saja diuji dengan harta yang melimpah, kedudukan jabatan sosial yang memadai dan kehidupan percintaannya menjadi titik-titik prioritas orientasinya.
I Made ‘Romi’ Sukadana, Wealth, Glory and Love, 200x150cm, Acrylic on canvas, 2011
Tiga figur yang mengenakan pakaian adat Bali lengkap dengan udeng atau tutup kepala yang masing-masing berbeda khas Hindu Bali. Dengan sepucuk bunga kamboja warna pink untuk figur yang menggenggam uang kertas, bunga kamboja putih untuk figur yang menggenggam pusaka keris dan bunga kamboja kuning untuk figur yang menggenggam mawar merah. Antara udeng, bunga dan apa-apa yang digenggam masing-masing figur menunjukkan relasi tanda yang khusus untuk menyampaikan pesan visual mengenai keterkaitannya dalam membangun karakter dan titik otrientasinya. Ditandainya melalui metaphor seorang laki-laki Bali yang menggenggam uang kertas (harta) dan bunga pink mengacu pada konteks sebuah pencapaian kesuksesan material atau harta, kemudia bagian tengah seseorang menggenggam pusaka (sebuah keris) dan bunga putih sebagai sebuah metaphor dari sebuah pencapaian kemapanan kedudukan sosialnya (tahta) dan figur berikutnya jemarinya menggenggam sekuntum bunga mawar sebuah representasi romatisme (cinta) dan bunga kamboja kuning sebagai metaphor puncak pencapaian manusia dewasa mapan.
Ketiga identifikasi pencuatan metaphor tersebut menggiring kita pada persoalan-persoalan krisis kesadaran atas problem wisdom dalam terpaan kebudayaan kapitalistik dan arus budaya global. Penuturan visual Romi tentu menjadi sebuah perenungan bahwa seorang laki-laki akan menemukan 3 hal penting yang mempengaruhi kehidupannya sebagai bagian dari ujian hidup yakni harta, tahta dan wanita. Filosofis serupa juga melekat pada tradisi masyarakat Jawa sebagai upaya pembacaan kembali suatu perilaku dan pandangan hidup seseorang yang tengah berada pada keadaan tiga hal tersebut.
Hadi Soesanto
Hadi Susanto sejauh ini senantiasa mengekplorasi tubuh sebagai bagian penting proses penciptaannya mulai dari figur perempuan telanjang, berbikini hingga berkerudung. Seolah Hadi ingin mempresentasikan subject matternya secara utuh dan komplit dengan kesan bahkan pesan yang dibangun gestur yang menjadi fokus pencurahan gagasan kreatifnya. Karakter pribadinya yang humoris dan kemampuan mengolah talenta entertainmentnya yang kadang ganjil dan khusus tentu terepresentasi secara langsung pada karya-karyanya. Meskipun begitu, ia kadang memunculkan gagasan yang cenderung serius dan konseptual kendati ia selalu berupaya memunculkan metafora yang sinis dengan kemasan lucu.
Hadi Susanto, Red Veil, 120x150cm, Acrylic on canvas, 2011
Pada karya Red Veil, 120x150cm, Acrylic on canvas, 2011 ini Hadi sedang mengolah wilayah keseriusannya yang bertitik tolak pada tradisi masyarakat melayu yang sahaja mengenakan kerudung merah. Gesturnya mencitrakan seorang gadis (mengenakan busana muslim dan kerudung merah yang komposisi bentuk, motif dan warnanya khas ndeso) yang memandang ke depan agak mendongak ke atas dengan tatapan kosong. Lebih-lebih diperkuat dengan tangan kanan yang sedikit merapihkan bagian ujung jilbab bermotif biomorfis warna hijau, disana menunjukkan figur yang kurang percaya diri. Cermati saja perilaku seseorang yang demikian, ia cenderung melarikan diri dengan gerakan tangan dan olah gestur lainnya yang menunjukkan bahwa seseorang tengah tidak percaya diri dengan kapasitas maupun penampilannya. Spekulasi inilah yang hendak ia tekankan bahwa begitu banyak perilaku perempuan berkerudung di jaman sekarang yang seringkali katrok. Tak berkesesuaian dengan apa yang tengan menjadi prioritas dan orientasinya sehingga berujung pada pesta visual dan fashion.
Hadi Soesanto dengan sangat bergairah mengelola pencitraan humanisasi dan dehumanisasi dalam konteks urban cultures. Arus budaya urban hingga shock cultures yang ditandai kekuatan arus besar cybercultures akhir-akhir ini berpotensi karya serupa tetap hangat dipersoalkan sebagai getar jaman. Bagaimana problem-problem kemanusiaan direcoki tingkat kenyamanan bertransaksi, konsumerisme dan gaya hidup yang membungkusnya sebagai penguatan identitas masyarakat urban. Kemudian secara spasial ia lantas menelisik problem Wisdom. Kesadaran mengenai aspek lokal kian tereduksi dan muncul berbagai problem yang beranak-pinak dan sangat urgen dihadapkan pada nilai-nilai kesadaran masyarakat hari ini.
2. Identitas dan Eksistensial
Ketika kita tengah menegaskan identitas-identitas diri bukankah dapat kita duga bahwa keduanya memiliki hakikat, lalu apa yang kita lepaskan ke dalam berbagai artikulasi secara inheren untuk menunjukkan identitas dan eksistensi diri. Mengingatkan kita pada Gabriel Marcel (2005: 96-97) menyatakan keduanya bersifat sementara, sulit dipahami, dan tidak dapat ditangkap pikiran; sesuatu bisa dianggap punya hakikat, kalau pikiran bisa menangkapnya dengan jelas. Tentu kita bisa mendekatinya melalui konsep Platonis; dunia indera dan perasaan tidaklah nyata kecuali diubah menjadi dunia yang lebih tinggi. Antara identitas dan proyeksi eksistensial tentu merujuk pada bagaimana seseorang meminjami sejumlah fakta kekuatan yang memantul (reverberatory power) yang tak sekedar refleksi diri atau bahka menolak untuk diterangi oleh kekuatan tersebut.
Dedy Sufriadi
Teks bagi seorang Dedy Sufriadi tampaknya sebuah persoalan yang menarik sebagai subject matter, semenjak 1996 ketertarikan ditunjukkan untuk mengeksplorasi dan mengekspose teks dari rangkaian eksplorasi sekaligus eksplanasi teks sebagai ikon penting dalam tiap karyanya. Ia betul-betu mengenali sekaligus mengendalikan makna di dalamnya sama ketika ia mengartikulasikan kehendaknya secara verbal. Meskipun kebanyakan pandangan seringkali mencermati selalu terjadi pendiskwalifikasian antara muatan teks itu sendiri yang berjarak dengan ruang artikulasi verbal. Teks dipergunakan sebagai media penuturan pesan dan menyampaikan kesan tertentu kemudian dalam perkembangannya ia justru merasa terganggu dengan beban makna ketika teks kemudian harus mengemuka. Ia dengan bebas mengartikulasikan impulse apapun mulai kepatutan kaidah, distorsi nilai hingga kegalauannya. Ketika menyadari bagaimana ia menelusuri muasal teks, pemaknaan, serta sampai pada eksploitasi –pada pengertian teks dipergunakan sebagai stimulasi psikisnya dan mereinterpretasikan teks- dalam bahasa visual yang personal lepas dari beban makna.
Dedy Sufriadi, Nietzsche I, 200x140, Mixed media, 2011
Dedy Sufriadi, Nietzsche I, 200x140, Mixed media, 2011, ia ingin segera mengajak kita kontemplasi mengenai satu teks pernyataan Nietzsche yang menggemparkan dunia filsafat sehingga ia diserang dan dikucilkan dari koleganya. Apakah manusia hasil rekayasa Tuhan atau Tuhan hasil rekayasa manusia? Aspek kritis inilah yang memunculkan berbagai pandangan kritik dan filsafat termasuk menggejalanya filsafat eksistensialisme yang pada akhirnya digilai Dedy Sufriadi dalam mengolah gagasan melaui artikulasi visual dengan mengedepankan teks sebagai tanda sekaligus sebentuk persoalan kritis. Pada karya ini Dedy sesungguhnya merepresentasikan gejala permukaan dari pandangan Nietzsche yang memprovokasi sebuah identifikasi dan aktivitas kreatifnya untuk menandai sebuah kecurigaan pandangan tersebut atau malah sebaliknya. Sebuah eksistensi fisik seringkali layak dipertanyakan dalam wacana filsafat eksistensial secara logis dan terukur.
Cermati Heidegger dalam Yasraf Amir Piliang (2008: 91), memaparkan mengenai bagaimana ada menampakan dirinya sebagai citra yang kemudian lazim disebut world picture (drawing, potret dan lukisan). Ketika potret dunia yang ditampilkan dalam wujud representasi ‘citra’ yang kemudian digunakan untuk menjawab pertanyaan ‘apa itu ada?’ Artinya bahwa citra dihadirkan sebagai bingkai kemenyeluruhan ada, ketika konteks eksistensi menjadi penting. Dunia yang dibungkus dengan teks atau dunia terbungkus teks, inilah sebuah istilah yang paling tidak menjadi sebuah analogi sederhana yang dapat mendekatkan persepsi kita pada pemahaman karya-karya Dedy Sufriadi. Dan, dengan jelas citra visual dan imaji-imaji yang dicuatkan merepresentasikan kekuatan teks untuk menguasai ruang dan menebar makna intersubjektif di dalamnya. Dalam konteks semacam ini terjadi sebuah pembentukan narasi besar yang menjadikannya objek pembacaan ulang atas gejala sosiokultural, psikis, atau ia muncul justru menjadi subjek. Artinya, antara narasi, inspirasi, dan misteri menjadi bagian yang terintegrasi secara otomatis dalam perspektif eksistensialisme.
Soni Irawan
Teknik artistik yang dilakukan Soni Irawan pada karya Happy Noise Terror #3, tergolong unik meskipun menggunakan teknik dasar drawing hitam putih melalui penekanan kekuatan outline dan isen-isen dalam pemahaman kerawit –dengan craftmanshif tinggi. Ia membangun detail-detail ornamentik– pada teknik seni gambar tradisional di berbagai etnik di dunia termasuk teknik batik dan wayang. Mengingatkan kita tentang teknik cecak sebagai bagian terpenting seni batik Indonesia yang kuat unsur dekoratif dan stilasinya. Karakteristik serupa dapat kita dekati dengan kecenderungan seni mural misalnya atau sejenisnya. Lebih penting dari itu semua sesungguhnya Soni Irawan tengah menggali aspek lokalitas berikut pertentangannya. Amati saja beberapa figur pada latarbelakang yang sangat kuat mencitrakan narasi dari mindscape yang sedang meledak-ledak sebagai sikap kritisnya terhadap terror dari industrialisasi dan budaya dunia pencitraan lainnya yang tumbuh di dalamnya.
RM. Soni Irawan, Happy Noise Terror #3, 200x190cm, acrylic & oilbar on canvas, 2011
Ada gesture tengkorak menyerupai –representasi robot– yang memiliki banyak kaki, figur manusia bermata ganda, berdahi bintang segi empat mengingatkan kita pada senjata rahasia Ninja Jepang, mulut menguap, kucing, lansekap tetumbuhan, representasi kelinci, berbagai jejak kaki, beberapa repetisi figur termangu kelelahan dan pada seperempat bagian bawah kanan kita jumpai teks huruf Jawa yang memiliki artikulasi ‘ha..ha..ha..ha’. Bagian belakang muncul teks ‘sementara istirahat’ dan ‘istirahat’ serta bagian permukaan lukisan juga muncul teks ‘istirahat’ dengan penekanan yang lebih khusus. Teks ini muncul bukan tanpa kesadaran tentunya. Relasi tanda yang dicuatkan pada karyanya hendak merepresentasikan kepanikan dirinya terhadap keadaan lingkungan sosial dan perubahan kebudayaan yang memacu adrenalin tinggi pada era industrialisasi. Era yang melahirkan budaya kerja keras, percepatan, kegilaan tujuan, konsumerisme, materialistik, kapitalistik dan memproduksi terror. Teror branding, citra, terror waktu, terus kwalitas dengan standar mutu baku, terror perfeksi, terror target produksi dan terror psikologis karena manusia kini digerakkan sekaligus dipadankan dengan sistem kerja mesin tanpa mempedulikan batas toleransi kemampuan fisik manusia. Manusia menjadi bagian integral dengan pergerakan mesin industri. Dan, sesungguhnya Soni Irawan tengah menguji kesadaran shock culture pada kemanusiaannya yang berada wilayah crowded dengan merepresentasikan kepanikan komunalnya mengenai sebuah eksistensi humanistik.
Antoni Eka Putra
Saya mengenal Antoni dan karya-karyanya pertama kali tahun 2005 yang lalu di Taman Budaya Yogyakarta pada saat ia sedang menempuh studi di ISI Yogyakarta. Pada karya Antoni saat itu ia sudah memilih garis sebagai unsur visual yang terkesan sangat menarik baginya. Kemudian 2009 lalu saya berkesempatan menulis kuratorial pameran Hyperlinks di Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta, presentasi karyanya sudah saya kenal cukup lama dan Antoni sangat teguh dengan pilihan garis sebagai bahan dasar racikan visual karya-karyanya dengan perubahan-perubahan pada gagasan kritisnya. Gagasannya memainkan citra visual lain yang memberi kekuatan inspirasi sebut saya Piet Mondrian. Kita sering menjumpai permainan ikonik Mondrian pada karya-karyanya yang secara jujur ia blanding dengan citra-citra visualnya yang khas Antoni. Ia menawarkan juxtaposition pada point pemikiran karya-karyanya. Mendudukan idiom plastis keduanya dalam sebuah relasi optis dengan presentasinya sendiri-sendiri. Mondrian menundukannya dengan idiom garis dan warna secara rigid dengan permainan ilusi ruang sedang Antoni mendudukan garis dan warna yang serba minim dengan permainan optis bentuk geometris meski kadang bergerak seolah membangun bentuk biomorfis.
Antoni Eka Putra, Noktah Merah-Kekinian-Kedisinian, 130x130cm, Acrylic on Canvas, 2011
Menelaah karya mutakhir Antoni Eka Putra, Noktah Merah-Kekinian-Kedisinian, 130x130cm, Acrylic on Canvas, 2011 pada posisi kesadaran eksistensi dimana yang menjadi pokok masalah adalah ruang. Sistem ruang yang dibangun dengan menghubungkan berbagai garis pada titik-titik pertemuan yang teratur dan hanya memainkan warna analog yang kemudian mencitrakan ilusi-ilusi ruang secara optikal. Karya ini mengisyaratkan sebuah sign cross atau plus (+) berwarna kecoklatan yang menunjuk pada identitas tanah yang memiliki pokok relasi khusus dengan manusia diciptakan dan akan kembali, hal ini dapat diinterpretasikan secara luas kesejatian eksistensi manusia. Eksistensi yang menghubungkannya dengan perihal keIllahian (vertikal) dan relasi sosial (horizontal) berkaitan dengan kesadaran eksistensi humanistik dan keseimbangan penghormatan dengan semesta. Noktah merah, dinyatakan sebagai citra individu-individu manusia yang selalu saja dekat dengan potensi cela dan dosa. Pola spiritualitas pribadinya mengemuka pada presentasi visual yang mendasar ini. Kemudian bentuk plus (+) yang cenderung mengambang di ujung bawah sebagai dasar dari bentuk tersebut dapat dimaknai bahwa sesungguhnya hubungan vertical baginya sangat terhormat dan istimewa sehingga memperoleh skala prioritas utama.
Antoni Eka Putra telah lama memilih dan memutuskan bahwa garis disadari sebagai jiwa yang bergerak sebagai ‘jalan masuk’ untuk membongkar gejala visual dan dasar perenungannya. Coba kita ingat kembali gerakan De Stijl, Piet Mondrian sebagai Pioner kemudian menggerakan Neoplastisisme tahun 1917 bersama seniman Theo van Doesburg, Bart van der leck, sejumlah pematung dan praktisi arsitektur yang menegaskan, bahwa semua lukisan esensinya terdiri dari garis dan warna. Garis dan warna kemudian diyakini kemudian dihadirkan dengan kesadaran yang meletakan warna sebagai warna dan memosisikan garis pada kapasitas garis itu sendiri dan terbebas ‘tak terbebani’ pada upaya peniruan alam. Piet Mondrian menemukan artikulasi bahasa garis dan warna dengan berorientasi pada pemahaman, pengertian, dan analisa kritis. Karena lukisan itu menempati bidang datar, maka bidang datar harus dihormati eksistensinya dan terbebas dari beban ilusi ruang. Gerakan yang mengangkat aspek universalitas dalam seni visual. Universalitas ditandai oleh bentuk yang semakin sederhana dan eksplorasi warna primer yang sesungguhnya adalah warna yang murni dan diyakini memiliki realsi yang kuat dengan universalitas.
Abdul Fattah
Abdul Fattah, Involved, 150x200cm, Oil, Acrylic on Canvas, 2011
Involved, 150x200cm, Oil, Acrylic on Canvas, 2011 karya Abdul Fattah menggunakan ilusi optis yang dimunculkan dari efek montage beberapa figur dan idiom formal lainnya secara complicated disuguhkan untuk memunculkan dramatisasi sebuah peristiwa yang melatarbelakangi gagasannya. Teknik artistik yang dipilihnya sangat kaya dan multi interpretatif. Hampir di seluruh bagian kanvasnya ingin dijejali berbagai tanda yang menjelaskan narasi verbalnya dengan bahasa visual yang saling tumpuk, saling silang dan memunculkan layer-layer yang mengejutkan. Idiom formal yang utama adalah bentuk dua belah tangan yang saling bersentuhan, menggenggam dan mengikat.
Pada latar belakang muncul figur-figur dengan gesture kick boxing, disudut kiri atas muncul figur Caplin yang khas dan simbol burung phoenik stereotype yang bersinar. Kemudian dibagian tengah atas muncul warna pelangi membentuk circle yang merepresentasikan sebuah keterlibatan. Abdul Fattah tampak ingin sekali melibatkan banyak persoalan pada subject matter ini. Teks involved Nampak menegaskan dasar pemikirannya mengenai berbagai hal yang melatarbelakangi pengalaman pribadinya. Persoalan psikologi dan kekerasan serta tekanan menjadi picu sebuah karya serupa ini dipresentasikan dengan pencitraan-pencitraan yang menguatkan narasi berpikirnya. Bagaimanapun juga Abdul Fattah tengan mengelaborasi perihal eksistensi dan survival. Eksistensi membawa risiko melibatkan atau bahkan terlibat pada situasi-situasi yang berkaitan langsung sebuah eksistensi dibutuhkan untuk memenangkan ideologi yang paling sederhana sekalipun.
3. Metropolis dan Urban Culture
Konteks Metropolis dan Urban Culture serta budaya kontemporer menjadi sebuah kekuatan pada kehidupan aktivitas kreatif ke dalam bentuk apapun dalam melahirkan narasi-narasi kebudayaan secara implisit. Sebuah perluasan dari perubahan narasi besar-besaran dewasa ini diusung masyarakat kontemporer dengan pola pembentukan budaya secara kontinu dan disadari sebagai suatu perubahan dari narasi kebudayaan sebelumnya. Namun, hal tersebut muncul dan dicuatkankan sekaligus oleh sebuah realitas-realitas sosial tertentu yang begitu menggejala sebagai sebuah kecenderungan baru atas keseragaman pelbagai persoalan masa kini.
Aan Arif Rahmanto
Aan Arif Rahmanto, Loneliness in Crowd, 150x195cm, Acrylic on Canvas, 2011
Menarik ketika mencermati sebagian karya-karya Aan Arif Rahmanto yang berkelebat pada event-event pameran penting akhir-akhir ini. Ilusi optik blur-nya menjadi sensasi artistik. Beberapa bagian pada bidang lukisannya yang dibiarkan utuh dengan teknik impasto untuk meninggalkan jejak kerja kreatifnya yang sesungguhnya dibangun mendasari gagasan utamanya. Kondisi acrylic masih masah atau setengah kering kemudian dengan menggunakan scrap atau sejenisnya untuk menekan dengan menarik –menyeret sekali jadi- melalui gerakan dinamis untuk membangun citra gerak yang dimunculkan pada ujung papan scrap. Setelah proses tersebut selesai, mulai dengan retouch beberapa bagian sebagai upaya memunculkan detail dan sebagainya. Kecermatanya atas keputusan teknik ini sangat menarik untuk menggeser teknik fotografis yang seringkali diacu seniman lainnya dan ini menjadi suatu tempuhan teknik yang spesifik.
Loneliness in Crowd, paling tidak sebagai representasi model karya-karya mutakhirnya yang mengambil subject matter kesibukan manusia kosmopolitan dengan kwalitas jejaring dan pencitraan aktivitas tinggi yang memunculkan resistensi -humanistik- terhadap problem komunikasi. Figur-figur yang sibuk sendiri dengan obsesi-obsesi masa depannya, kernyitan dahi penuh ambisi, sibuk dengan pencitraan, fashion yang mengemuka dan tatapan tak terkoneksi dengan manusia lainnya. Yang kita jumpai individu-individu lonely dalam ruang hubungan sosial yang crowded. Ini sejumlah fakta globalisasi yang menggiring manusia pada situasi serba tak terkendali untuk fokus pada perayaan kebebasan dan penjumputan nilai-nilai universalitas tanpa merujuk pada kesadaran nilai lokalitas. Ini sebagai sikap kritis terhadap fenomena globalisasi dan menurunnya kesadaran humanistik atas nilai lokal yang mengungkan hubungan kemanusiaan.
Sensasi optis yang membangun persepsi penginderaan kita atas objek-objek memaksa imajinasi kita untuk merasakan bergeraknya pigur dalam frame. Frame yang menyediakan ruang-ruang asumsi dan memproduksi berbagai interpretasi atas segala sesuatu yang bergerak. Ruang yang berada di dalam frame berikut representasi objeknya seolah sedang menegaskan adanya sistem ruang eksklusif, dinamis, atraktif, bergeser dan bergetar. Ia seolah bergerak ingin keluar dari frame ke ruang-ruang statis dan lengang untuk menikmati situasi ruang yang berbeda. Lompat dari pencitraan ruang-ruang simulasi cyberspace, melepaskan kepanikan ruang atas diri individu-individu kesepian.
Ricky Wahyudi
Ricky Wahyudi, pm 06.16, 160x140cm, Acrylic on canvas, 2011
Ricky Wahyudi selama periode 5 tahun belakangan ini cukup kaya dalam mengeksplorasi berbagai efek optis pada landscape kota-kota metropolis sebagai representasi pesta visual padatiap sudut kota. Cermati karya pm 06.16, 160x140cm, Acrylic on canvas, 2011 mempresentasikan panorama gedung pencakar langit, lampu-lampu, baliho, reklame-reklame raksasa dan pelintasan signal komunikasi yang meciptakan nuansa kota elektis sekaligus eklektik. Ia memanfaatkan pendaran cahaya yang menerpa bagian-bagian tertentu dan berbagai bagian yang merefleksikan keriaan suasana disekitarnya layaknya masyarakat kosmopolis yang menggilai representasi dari sekedar esensi eksistensi itu sendiri. Mengingatkan kita pada gerakan-gerakan Futurisme dan Konstruktivisme yang bertujuan secara eksplisit memunculkan ‘bahasa’ dan paradigma baru untuk menjelaskan perubahan dalam masyarakat karena tidak ada lagi kepercayaan terhadap modernitas. Terdapat kompleksitas yang tak terbayangkan, garis-garis cahaya yang melintas di luar ruang-ruang pikiran, kumpulan dan konstelasi ruang-ruang yang menjelma sebagai representasi-representasi berseliweran. Seperti lampu kota, ia akan berpendar dan memudar.
Ricky seolah hendak menuturkan bahwa kehidupan dengan kebutuhan waktu yang serba cepat, semakin memacu kehampaan dan fatalisme. Sebab aktivitas kehidupan dihabiskan untuk sebuah siklus kerja yang berjalan dengan akselarasi tinggi yang berpotensi menjadi perangkap bagi manusia dalam ritme percepatan sekaligus mempersempit ruang dan waktu bagi perjalanan kehidupan manusia yang bermakna spiritualitas. Pencapaian puncak percepatan di satu sisi meningkatnya durasi kenyamanan disatu sisi. Di sisi lain adalah picu dalam mempersempit durasi spiritual yang berdampak langsung pada masyarakat metropolis yang tak mampu lagi berbagi ruang dan waktu untuk berbasa-basi, tegur-sapa, kesadaran kualitas interaksi sosial dan kehilangan lapis-lapis toleransi.
4. Fenomena Global Warming
Relasi tanda yang dirangkai pada karya-karya Budi Eka Putra dan Hadi Marsono ini membangun interpretasi mengenai kehidupan, kesejatian, revitalisasi dan komitmen yang kuat menjaga keberlangsungan mekanisme hayati, menjaga pertumbuhan biomorfis, pelestarian alam dengan konsep keseimbangan dan keserasian. Sebuah kritik terhadap fenomena pembalakan liar hutan tropis Indonesia yang menjadi keprihatinan masyarakat dunia. Konsepsi tersebut bisa menemukan perluasan dalam berbagai wacana yang berkaitan dengan problem dunia hingga fenomena global warming.
Budi Eka Putra
Budi Eka Putra, Prihatin #2, 200x180cm, Acrylic on canvas, 2011
Budi Eka Putra, Prihatin #2, 200x180cm, Acrylic on canvas, 2011, merepresentasikan ikhwal bumi sebagai pusat berlangsungnya kehidupan pada posisi memprihatinkan. Circle yang mempresentasikan bumi dengan tetumbuhan menyelinap daiantara ikon ukuran (meteran) panjang yang melingkar mengikuti dan membentuk bumi. Dari presentasi ukuran panjang yang samar-samar hingga yang paling nyata (Budi meminjam bentuk ukuran panjang yang dipergunakan tukang jahit) dan ditengah lingkaran ada figur kupu-kupu yang selalu dikaitkan dengan proses metamorfosa. Seolah Budi Eka Putra hendak bertutur perihal siklus kehidupan dan norma-norma yang dikonvensikan dan standar atau ukuran-ukuran tertentu yang diberlakukan untuk menjaga keseimbangan alam. Gagasan ini tak lain muncul karena kekecewaannya terhadap perilaku manusia terhadap alam dan lingkungan hayati yang sesungguhnya memberikan keseimbangan iklim dalam kehidupan penduduk bumi.
Empati kreatifnya menjadi penanda bagaimana perilaku penduduk bumi (hutan tropis Sumatera, Kalimantan bahkan pembalakan sporadik yang terjadi di hutan tropis Amazon). Sebuah jaringan televisi Australia melaporkan bahwa perusahaan multinasional Asia Pacific Resources International, pemilik salah satu pabrik kertas dunia, secara ilegal telah menggunduli hutan di Indonesia, termasuk Kalimantan dan Sumatra. Atas dasar impor berbagai produk kertas, pemerintah Australia menyatakan memiliki kewajiban untuk menyelidiki klaim perusahaan tersebut telah merusak hutan yang seharusnya dilindungi. Sesungguhnya Budi hendak mengemukakan idealisasi-idealisasi berkaitan dengan penggambaran yang berseberangan. Paradoksal semacam ini paling tidak menginspirasi kita untuk lebih mementingkan keselamatan bumi dan penduduknya di atas kepentingan individu pada projek industrialisasi besar-besaran.
Hadi Marsono
Fokus Budi Eka Putra senada dengan fokus Hadi Marsono pada karya ‘Terrace Farm With Yellow and Red, 100x180cm, Acrylic on canvas 2011’ yang dilakukan pada penjelajahan subject matter lingkungan dan dampak pembalakan lair hutan tropis di Indonesia. Namun Hadi Marsono tengah mempersoalkan teras pertanian kita yang melimpah karena pembukaan lahan-lahan baru dari hutan tropis kita secara berlebihan sehingga mengganggu iklim dan sistem pertanian kita. Landscape pertanian yang janggal dan kontraproduktif tak mendorong pertumbuhan pertumbuhan ekonomi dari sektor yang sesungguhnya maha luas lahannya. Tentu banyak hal yang mempengaruhi keadaan semacam ini.
Hadi Marsono, Terrace Farm With Yellow and Red, 100x180cm, Acrylic on canvas 2011
Kemudian issue pemanasan global adalah isu dunia yang menarik perhatian masyarakat dunia. Pemanasan global disebabkan antara lainnya oleh kehadiran banyak gas karbon dioksida di atmosfer. Pemanasan global juga pencetus fenomena iklim ekstrim yang menghasilkan pelbagai malapetaka seperti angin topan dan banjir di seantero dunia. Sejak 1997 hingga 2008, pengeluaran karbon dioksida di dunia berikut penggunaan bahan bakar fosil meningkat 31%. Ia bermakna jumlah gas karbon dioksida harus dikurangi kerana jika tidak kita akan menghadapi tekanan lebih berat lagi. Banyak program pembukaan lahan baru pertanian dan perikanan menimbulkan pengaruh signifikan pada perubahan musim sekaligus iklim yang dramatik yang dapat mengancam banyak spesies. Munculnya efek pemanasan global ekstrem dimana semua samudera di dunia naik 1.5 inci. Karena suhu bumi meningkat lantas menimbulkan ketidakserasian dan ketidakseimbangan hayati. Ratusan kilometer square bongkah-bongkah es dari kedua kutub bumi cair dan terjadi cuaca extreme dunia. Lihat betapa fenomena musim panas dan kebakaran hutan semakin parah di seluruh dunia, dari Amerika Serikat(AS) hingga Australia. Suhu dunia 12 tahun terakhir lebih panas 0.4 derajat Celsius berbanding 12 tahun sebelum 1997.
Epilog
Sejujurnya saya bersemangat mengelaborasi proses kreatif mereka yang menunjukkan karya terbaiknya pada pameran kali ini di Galeri Chandan, Damansara, Kuala Lumpur, Malaysia pada September 2011 ini. Yang menarik pada kelompok ini adalah cara pandang intersubjektifnya dan sebagian mereka melakukan eksplorasi untuk menjumput berbagai metafora-metafora yang segar, menarik dan faktual-aktual. Metafora kini menjadi subjek kajian pokok di dunia filsafat, dan menempati posisi strategis dalam wacana postmodernisme. Kecermatan memunculkan metafora ini dapat lebih memperkaya pengetahuan dan memperbesar kesadaran seniman dalam proses penciptaan seni ketika mengartikulasikan ide-ide serta konsep seni. Pendekatan metaforik menjadi salah satu pendekatan penciptaan yang paling efektif dalam mensintesa pemikiran yang berkaitan dengan pendekatan dekonstruksi. Dan, eksistensialisme yang menjadi pisau bedah bagi persoalan humanisme sebagai sumber inspirasi proses kreatif dalam perspektif yang lebih luas.
Pendekatan semiotika dalam proses kreatif menjadi sebuah metode pendukung dalam sublimasi confusing dan ketakteraturan munculnya berbagai gagasan yang berserakan sehingga tanda –sign- menjadi lebih memiliki kapasitas otonom. Dari berbagai tanda yang muncul sebagai idiom yang imajiner segera teraktualisasi dalam teks-teks visual yang dapat berelasi dan berkorelasi secara signifikan dalam konteks yang lebih luas. Formulasi tanda dengan penggugusan tanda lainya yang terangkai secara signifikan dengan sumber gagasan menjadi kesatuan holistik dari sebuah karya seni itu sendiri. Meminjam pernyataan Barthes dalam St. Sunardi (2007: 79) memaparkan mengenai creative transgression secara semiotika, kreativitas dapat dijelaskan dari ’inovasi’ dalam sintagma dengan jalan memasukkan unsur paradigmatik dalam sintagma. Dia menyebut tiga cara creative transgression yang masing-masing diambil dari J. Tubiana, Trnka, dan Jacobson: (a) opposition of arragement, (b) rhymed discourse dan (c) rhetoric. Tiga hal ini merupakan bentuk invasi paradigma ke dalam sintagma. Unsur paradigma yang biasanya berada dalam status ’kemungkinan’ dimasukan ke dalam status kenyataan. Creative transgression ini dapat dipakai untuk menilai kreativitas kultural yang terjadi pada jaman sekarang.
Proses penciptaan mereka umumnya merujuk pada konsepsi yang lebih menekankan pada isi, muatan ekspresi maupun substansinya. Secara visual, hasil yang direpresentasikan dalam sebuah eksekusi artistik merupakan upaya merekonstruksi gagasan dan teknik visualisasi konsep dasar pengolahan tanda dengan pendekatan semiotik. Seperti yang diusulkan Prieto dalam Umberto Eco (2009: 349-352) dengan pendekatan semiotis dalam berbagai arikulasi: sistem-sistem tanpa artikulasi, kode-kode yang hanya punya artikulasi kedua, kode-kode yang hanya punya artikulasi pertama, kode-kode yang punya artikulasi tanda -super- dapat dianalisis menjadi tanda dan figure, kode-kode artikulasi bergerak dan kode dengan tiga artikulasi inilah cukup representatif.
Kesadaran menggali nilai lokal dengan memblanding dengan spirit universalitas merupakan representasi yang mengedepan dalam praktik seni rupa kontemporer dunia. Semangat menyikapi fenomena aktivitas budaya kontemporer yang tentu saja mengakar pada semangat personalitas atas lokalitas dan universalitas. Kesadaran membangun persoanalitas lokal dan universalitas menjadi dasar semangat kreativitas yang khas dilakukan seniman-seniman Indonesia dalam menerobos jaringan peta seni rupa regional maupun internasional. Mereka menjadi ikon bagi perkembangan seni rupa tanah air hingga pada tingkat dunia dengan presentasi kedalaman karya seni yang global. Karena seni rupa kontemporer merupakan relasi konstruksi personalitas lokal (lokalitas) dan spirit universalitas itu sendiri. Bagaimana seorang seniman mempresentasikan gagasan-gagasan kreatifnya melalui pendalaman referensi budaya lokal yang kemudian mencuatkan nilai-nilai universalitas untuk memperkaya perspektif yang lebih luas.
Nah, Chandan gallery sudah ambil bagian dalam menandai proses tersebut. Aan Arif Rahmanto, Abdul Fattah, Anang Asmara, Antoni Eka Putra, AT. Sitompul, Budi Eka Putra, Dedy Sufriadi, Hadi Marsono, Hadi Susanto, I Made ‘Romi’ Sukadana, Ricky Wahyudi dan RM. Soni Irawan adalah sebagian kecil saja representasi seniman Indonesia yang telah menguji dirinya bahkan layak disebut teruji untuk mengusung aspek-aspek kekhasan seni rupa Indonesia atas upaya sebuah konstruksi personalitas lokal dan spirit universalitas dalam lingkup yang terbatas. Saya optimis, mereka memiliki pandangan kesenian, penggalian dan kedalaman konsepsi-konsepsinya layak dipresentasikan sekaligus sebagai materi pewacanaan seni rupa Indonesia di forum regional maupun internasional.
Netok Sawiji Rusnoto Susanto
kurator independen dan mahasiswa program Doctoral Program Pascasarjana ISI Yogyakarta
Referensi:
Ang, I. and Stratton, J. (1996), ‘On the Impossibility of a Global Cultural Studies: ‘British’ Cultural Studies in an Frame in D. Morley and D. K. Chen’ (eds) Stuart Hall. London: Routledge
Barker, Chris (2000), CulturalStudies, terj: Nurhadi, Yogyakarta: Kreasi Wacana
Eco, Umberto. (1976), A Theory of Semiotics atau Teori Semiotika (Signifikasi Komunikasi, Teori Kode, serta Teori Produksi-Tanda), terjemah Inyiak Ridwan Muzir (2009), Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Marcel, Gabriel (2005), Misteri Eksistensi, Menyelami Makna Kebenaran, terj: Agung Prihantoro, Yogyakarta: Kreasi Wacana
IPOT News Journalism Database & Technology, Pemerintah Australia Akan Investigasi Pembalakan di Sumatera, dipublish pada Wednesday, August 03, 2011 20:28 WIB http://www.ipotnews.com/index.php
Piliang, Yasraf Amir, Multiplisitas dan Diferensi: Redefinisi Desain, Teknologi dan Humanitas, Jalasutra, Yogyakarta, 2008
Robins, K (1991), ‘Tradition and Translation: National Culture in its Global Context; in J. Corner and S. Harvey (eds) Enterprise and Heritage: Cross-currents of National Culture’, London: Routledge
Sunardi, ST. (2002), Semiotika Negativa, Yogyakarta: Kanal.
Pemanasan Global diunduh dari (http://geo.ugm.ac.id/archives)
Pilliang, Yasraf (2008), Multiplisitas dan Diferensi: Redefinisi Desain, Teknologi dan Humanitas, Jalasutra: Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar