Minggu, 05 Februari 2012

MENJELAJAH SPIRIT-SPRIRIT JELAJAH [Menelusuri Relasi Tanda dan Jejak Teks Visual]

MENJELAJAH SPIRIT-SPRIRIT JELAJAH

[Menelusuri Relasi Tanda dan Jejak Teks Visual]

netok sawiji_rusnoto susanto*

Perkembangan terkini dalam kosmologi mulai menyiratkan secara konsisten bahwa berbagai kondisi sehari-hari tak bakal terjadi jika bukan karena bagian terjauh di Alam Semesta, bahwa semua gagasan kita tentang ruang dan geometri tak akan berlaku sama sekali jika bagian terjauh di Alam Semesta itu dihilangkan. Pengalaman kita sehari-hari bahkan hingga perinciannya yang terkecil tampaknya begitu dekat terintegrasi dengan ciri berskala besar dari Alam Semesta sehingga nyaris tak mungkin membayangkan keduanya terpisah.

[Fred Hoyle dalam Fritjof Capra, 2000:214]

Impresi menit-menit pertama saya ketika mengunjungi ketiga teman saya ini di studionya sungguh mengesankan bahwa mereka memiliki hubungan persahabatan yang begitu sangat lekat. Kelekatannya makin terbaca ketika saya melakukan konfirmasi sejenak dengan beberapa karya terbarunya, meski karya-karya mereka sudah sering saya tatap dan saya pernah berkesempatan membuat pembacaan pada pameran ‘The Most Wanted’ yang kebetulan diantara mereka terlibat dalam pameran tersebut. Satu hal yang menarik ketika mereka mendiskusikan tajuk pameran ini, ada semacam kesepahaman mereka mengenai materi ‘spirit’ sebagai acuan pemikiran kami pada saat itu meski pada perspektif yang berbeda juga pada temuan-temuan subject matter yang beda pula. Secara umum mereka menggelisahkan hal yang sama yakni sebuah sikap kritis terhadap alam semesta yang kemudian dapat kita lacak satu persatu kesenadaannya yang signifikan.

Ketika kita membicarakan spirit maka interpretasi kita menuju pada konteks-konteks kedalaman makna spiritual yang seringkali kita kaitkan dengan religi, namun pada konteks pameran ini masuk pada sebuah pemaknaan spirit sebagai sebuah picu untuk memahami, mewacanakan, dan mobilisasi kekuatan internal dalam melakukan responsibilitas atas fenomena tertentu. Disini sebuah relasi-relasi tanda digali dan ditemukan sebagai sebuah cara mengartikulasikan ruang-ruang perenungan. Fritjof Capra, dalam The Tao of Physics, Armahedi Mahzar menyampaikan pengantarnya, bahwa Filsafat Idealisme mengambil fakta ini dan bergerak ke arah yang spiritual: segala sesuatu adalah hasil proses pemikiran mendalam.(Fritjof Capra, 2000: xxxii). Filsafat Post-structuralisme mengambil gagasan serupa,tetapi sedikit lebih liar dan jauh dari nuansa spiritual: realitas yang sampai pada kita bukanlah persepsi tetapi interpretasi. Meski mental imagery dari suatu objek sebagian memang merupakan spiritual dipandu secara signifikan oleh aspek-aspek intrinsik dari pengetahuan inderawi.

Tak berlebihan jika Gilles Deleuze dan Felix Guattari pernah menyatakan bahwa tidak ada konsep yang sederhana. Setiap konsep memiliki sejumlah komponen dan terdefinisikan menurut pelbagai komponen itu. Oleh karenanya, konsep memiliki kombinasi (chiffre). Ia merupakan keberseragaman, walaupun tidak setiap keberseragaman bersifat konseptual. Tak ada konsep yang hanya terdiri hanya dari satu komponen. (Gilles Deleuze dan Felix Guattari, 2004: 63). Setiap konsep memiliki kontur tak beraturan yang terdefinisikan oleh sejumlah komponennya, itu sebabnya dari Plato ke Bergson kita menemukan ide tentang konsep sebagai masalah penyambungan, pemotongan, dan pembelahan (cross-cutting). Artinya, bahwa ini menegaskan konsep-konsep yang mereka bangun tentu dijalin oleh pelbagai kesenadaan dan kebedaan sudut pandang. Yurnalis, Deskhairi dan Alexis tentu memiliki modal social dan modal intelektual yang begitu personal sebagai referensi pemahaman berfikir dan cara khusus membangun proses kreatifnya.

Tanah, Air dan Kayu : Kecemasan dan Pemaknaan

Hal sederhana yang mereka gelisahkan mengenai pembalakan liar, illegal loging, eksploitasi alam, displacement tata alam yang nyaris ter-kota-kan, sampai pada eksplorasi alam bawah laut yang berlebihan, response pasar global yang begitu terasa sampai mengindikasikan surutnya booming seni lukis akhir-akhir ini hingga pada persoalan pendiskwalifikasian persoalan-persoalan kemanusiaan terdiskusikan begitu intens. Arus pemikiran dan perenungan mereka sungguh fundamental meski tak bisa dianggap sepele karena kemudian terepresentasi dalah olah kreatif yang sangat tegas sehingga mudah dijejaki teks-teks visualnya. Ketika di perjalan, diatas scooter saya berfikir bahwa ketiga teman saya ini menggendam satu-satu materi berbeda dan pola olah kreatifnya dengan sumber inspirasi juga berbeda karena kemudian memunculkan kecenderungan personalnya. Terlintas di lipatan-lipatan dahi yang dikondisikan getar mesin scooter dan terik matahari muncul tiga kata kunci ‘tanah, air dan kayu’.

Lantas, saya ingat ceramah mas Willy [WS. Rendra] mengenai alasan kenapa negeri kita secara konsep ideologi memantrakan tanah dan air –Indonesia Tanah Airku- bukan menyebutnya dengan kata-kata yang menyihir lainnya seperti ‘country’ misalnya. Karena secara geografis negeri ‘tanah’ kita ditata dan dilekatkan oleh ‘air’. Sebenarnya kata kunci tersebut dengan tegas memastikan kita semua dalam kesepakatan dan manifestasi agraris ‘juga semangat mbentoyong’ negeri ini, maaf meminjam kata kunci Adi Wicaksono dalam Kompas minggu-minggu lalu yang hari ini masih hangat dibicarakan tiap ruang aktivitas budaya kita, Jogja khususnya. Pada konteks inipun mereka tengah menggali dan memaknai unsur-unsur tersebut, yakni: Yurnalis Bes (unsur tanah), Deskhairi (unsur air), dan Alexis (unsur kayu) yang secara filsafat maupun bio-ekologi sejatinya tanah dan air pulalah tanaman tumbuh menjadi pohon dan pohonpun melakukan sistem balas jasa dengan memproduksi unsur hara pada remah-remah yang menyuburkan tanah dan mengatur keseimbangan air dimana ia ditumbuhkan. Semuanya menjadi aspek terpenting menjaga harmonisasi mahluk hidup lainnya bersama unsur alam lain tentu saja. Inilah yang secara spekulatif saya menangkap sebuah sinyal ‘spirit’ apupun dituturkan dalam berbagai perspektif yang lebih luas.

Membaca Jelajah Spirit dan Spirit Jelajah

Nah, ketika ditelusuri lebih jauh sejatinya seorang Yurnalis Bes bertutur banyak mengenai ‘tanah’ yang tampaknya membuatnya gemas sehingga kecenderungannya mengekplorasi subject matter daratan yang nyaris ter’kota’kan oleh masyarakat bumi yang secara berlebihan membabat habis hutan tropis kita untuk industry dan pemukiman-pemukiman masyarakat berkelas. Secara tegas Yurnalis tampaknya tengah meyakinkan dirinya pada target jelajahnya sebagai spirit kreatifnya. Kadang ke-massive-an representasi objek visualnya disana-sini ditebarkan barik-barik hijau rerumputan dan pohon serta sesekali muncul ‘rumah bata sederhana’ seolah menuturkan impiannya mengenai sebuah keharmonisan tertentu yang senantiasa ia rujukan kepada sebuah pola keseimbangan alam. Tengok saja ketika ia mempresentasikan dunia impiannya tentang kehadiran idiom rumah bata yang begitu tenang menyendiri diatas undagan-undagan massif berhalaman-halaman, kemudian ia dengan kesadaran ‘fantasinya’ ia munculkan tetumbuhan (pohon) kecil namun rindang yang berharap sedikit mampu menaungi hamparan bumi yang di’kota’kan itu.

hijau’ , 150x130cm, acrylic on canvas, 2008

Impiannya kemudian menerobos ranah kritis-berpikir untuk segera memanifestasikan konsep keIndonesiaannya dengan membaca ulang peta nusantara yang sejatinya dalam impian negeri hijau ranau. Kini sama sekali ia tak berharap terjadi pembalakan liar hutan kita yang luar biasa kaya sumber daya alam dan ia terasa giris membayangkan bumi yang mendewasakannya menjadi kerontang yang kemudian kita menuai sebuah bencana besar yang berkepanjangan. Tentu bukan sekadar lipstick untuk soal tersebut karena kitapun masih mengantongi kenangan traumatik ketika gempa bertubi-tubi menghantam Jogja dan bajir bandang di sebagian kota-kota negeri ini serta bencana nasional tsunami yang mengingatkan kita kembali untuk membangun keselarasan dan memahami kehendak alam.

‘Indonesia’ , 300x150 cm, acrylic on canvas,2008

Satu hal, Yurnalis ingin bertutur tentang menebalnya rasa memiliki negeri ini bukan kehendak pengeksploitasian atasnya. Ia ingin tetap menyaksikan gugusan kepulauan kita tetap tebal/meninggi tidak semakin sejajar dengan permukaan laut ketika kita bias langsung konfirmasi dengan karya tersebut.

Deskhairi sebagai seorang penggila W. Kandinsky, begitu terinspirasi dengan air yang dapat dikorfirmasi pada (‘Pesona di Kedalaman’, 200x170 cm, acrylic on canvas, 2008) menjadikan subject matter kehidupan bawah air. Disini ia mempresentasikan bentuk-bentuk plankton dan komunitasnya secara imajiner. Intuisinya digelandang sampai batas tertentu sehingga seorang Deskhairi mencapai puncak penjelajahan bentuk dan estetiknya secara personal. Hal semacam ini yang dalam wacana seni lukis abstrak, umumnya memunculkan citra-citra personal dan memproduksi serta bermain ikon yang mampu difungsikan sebaga indikasi telusur pada penajaman persepsi dan interpretasi atas makna seni sejatinya secara intrinsik dalam karya seni itu sendiri. Paling tidak, dengan pencitraan tertentu karya seni dapat dinikmati lebih-lebih dapat dipahami secara mendalam. Unsur retorik dalam konsepsi sangat penting bagi perkembangan kajian makna dalam membangun asumsi relasi metafisik orisinal (klaim symbol) bahkan proses penafsiran sebuah relasi yang diciptakan oleh konvensi dan kesepakatan dogmatik.

‘Pesona di Kedalaman’ ,200x170 cm, acrylic on canvas, 2008

Pada karya (‘Di Kala Senja’ ,140x190 cm, acrylic on canvas, 2007), ia menuturkan ekspresi pesona bawah laut ketika senja tiba dengan kekuatan impresinya yang mampu merekam sekaligus membangun suasana. Melalui kendaraan intuitif dan permainan bentuk eksploratif sebagai kekuatan olah kreatifnya maka ia seolah senyawa pada ritme air yang mengalir terus menempati ruang-ruang tak terisi. Konsep mengalirnya seorang Deskhairi sempat tertangkap pada diskusi kita di studionya, bahwa saya menduga kemudian impresi dan improvisasinya mengingatkan saya pada transfer vibrasi musik pada seorang W. Kandinsky yang kemudian ia sergap dengan penyataan ‘iya.. aku kagum dengan Kandinsky mas’.

‘Di Kala Senja’ ,140x190 cm, acrylic on canvas, 2007

Perkembangan seni lukis abstrak dalam Concerning the Spiritual in Art, Wassily Kandinsky dengan pemahaman kebenaran fundamental, sebuah inner feeling menciptakan mata rantai yang kokoh dalam mengusung dan melakukan pergulatan dan pendalaman spiritual sebagai proses penciptaan seninya. Proses pendalaman spiritualnya lebih kepada presentasi –bukan sekadar deskripsi ‘simbolisme’ logis, tetapi representasi simbolik tidak mengemukakan sebuah konsep langsung. Simbolisme lokal –personal- dari pemikiran memberikan pada apa yang kurang dalam jiwa (penampakan alamiah dan fenomenal) jiwa dan makna. Ketika kesadaran estetik bertentangan dengan berbagai hal religi-mistik- simbolisme bebas, maka kualitas tertentu dari perlawanan konsep symbol muncul secara organis, rasional, menjadi kurang pasti ketika kita melihat hubungannya denan estetika jenius dan empirik.

Sikap kritis yang senada dengan Yurnalis, seorang Alexis yang secara sadar banyak melakukan eksplorasi dengan materi kayu yang selanjutnya ia secara tak langsung menjadikannya sebagai sumber inspirasi pada hamper setiap proses penciptaannya. Sikap kritisnya terbungkus secara elegan dengan fantasi dan permainan ikon yang cukup ‘memiliki daya ganggu’, amati saja karya (‘Kota di Awan’ , 150x195 cm, acrylic on canvas, 2008) yang menyuguhkan impresi romantik namun sarat kritik.

‘Kota di Awan’ , 150x195 cm, acrylic on canvas, 2008

Pembacaan saya terhadap karya tersebut justru ia ingin memaparkan sebuah realitas kehidupan masyarakat dunia hari ini. Sebuah antithesis dengan kemapanan yang acapkali menjadi alas an bagi budaya kapitalistik untuk merubah dunia menjadi dunia yang lebih maju dan mapan sehingga penciutan lahan hutan yang dimulai dengan penggundulan hutan untuk membuka industri dan pemukiman elit baru. Narasi ini tentu menjadi awal bencana besar bagi ekositem dan memproduksi sederet ekses yang muncul, termasuk sebuah antithesis sederhananya seorang Alexis, Kota di Awan. Ada satu ikon yang spesifik disini kita disadarkan pada sebuah gambaran tunggul kayu (bekas pohon besar) yang masih berusaha tumbuh di ujung kambiumnya meski ia telah menjadi penopang hunian yang sangat tidak masuk akal. Ini semacam cibiran Alexis pada permainan tanda-tanda pada proses semiotika dalam kesadaran proses kreatif.

‘Dua Sahabat dan Pohon Besar’, 190x190 cm, acrylic on canvas, 2008

Pada karya Dua Sahabat dan Pohon Besar’, 190x190 cm, acrylic on canvas, 2008, pun Alexis menarasikan perihal pohon kayu sebagai subject matter. Bertutur mengenai romantisme namun sebuah kritik sebenarnya, dua sahabat senantiasa bertemu di rindangnya pohon besar itu dan selalu memimpikan sahabat-sahabatnya yang lain dinantikan jika melewati padang rumput tentunya mereka akan melepas lelah dan menjaga kulit dari terpa terik matahari. Seakan mereka tahu dimana mereka akan bertemu. Metafora dua sahabat dan pohon besar tentu bukan sekadar dokumentasi naratif atas pengalaman pribadi semata namu sebagai sebuah perenungan bagi kita mengenai makna persahabatan bukan saja sesame manusia tetapi juga bagaimana manusa menjalin hunungan persahabatan dengan makhluk lain dan alam.

‘Intimidasi’, Jati, 2008

Berbeda representasinya ketika kita amati karya pahat tiga dimensi ‘Intimidasi’, Jati, 2008. Permainan semantic interpretation yang muncul kemudian ‘intim’ yang kemudian maknanya berubah menjadi kata ‘intimidasi’ dengan interpretasi yang sebaliknya. Kesadaran estetik fundamental memberi paradigma baru terhadap alegori yang telah menunjukan bahwa kesadaran estetik terdapat unsur dogmatik. Perbedaan antara kesadaran mistis dan kesadaran estetik itu tidak mutlak, bukan sekadar konsep seni itu sendiri melainkan sebuah produk kesadaran estetik. Jelas, kita tidak lagi bermaksud hanya menciptakan relasi antara estetik dengan ‘estetika transendental’ ruang dan waktu kemudian tersublim oleh sebuah seni ‘kritisisme terhadap pertimbangan estetik. Tampaknya telah terjadi transformasi ide transendental tentang cita rasa ke dalam tuntutan ruang spiritual. Tetapi jika perbedaan antara realitas dan pencitraan –inter subjektif- menentukan konsepsi yang memecahkan kerangka kerja alam inklusif. Seni pada persfektifnya menegaskan klaim otonominya sendiri terhadap supremasi.

Kemudian menariknya dari presentasi karya-karya mereka justru kekuatan karakteristik personal yang dapat dilacak karakteristik emotif dan karakteristik teknik artistiknya. Yurnalis Bes, menebarkan vibrasi lembut nan lugas dengan kecenderungan perfeksionis teknik untuk mencitrakan emosi dalam membangun citra-citra artistiknya. Deskhairi, ketika konfirmasi visual ‘Pesona di Kedalaman’ impresinya menuturkan mengalirnya sebuah intuisi dan alunan emosinya dalam ruang-ruang imajiner yang tengah menggugah dirinya juga kita semua untuk berfantasi yang cenderung mengajak kecerdasan emosi kita untuk semakin peka membaca ikon sekaligus memproduksi interpretasi-interpretasi intersubjektif. Berbeda dengan Alexis yang banyak member kesan ekspresif pada beberapa tuturan visual lebih-lebih jika kita bergerilya pada jejak tajam pahatan-pahatan pada karya tiga dimensionalnya. Meskipun kadang ia puitis merepresentasikan impian kecilnya nan liris pada karya Dua Sahabat dan Pohon Besar’ dan ‘Kota di Awan’

Yogyakarta, 22 Januari 2009

*pelukis, penulis kritik seni rupa, dosen luar biasa seni rupa Universitas Negeri Jakarta, dan mahasiswa prog. Magister ISI Yogyakarta

Acuan:

Capra, Fritjof, The Tao of Physics ’Menyingkap Kesejajaran Fisika Modern dan Mistisisme Timur’; Saduran: Aufiya Ilhamah Hafizh, Jalasutra: Yogyakarta, 2000

Deleuze, Gilles & Guattari, Felix, What is Philosophy: Reinterpretasi atas Filsafat, Sains, dan Seni; saduran: Muh. Indra Purnama, Jalasutra: Yogyakarta, 2004

Kandinsky Wassilly, Concerning the Spiritual in Art’ Saduran: Sulebar M. Soekarman, ‘Pendalaman Spiritual dalam Seni’, Yayasan Seni Visual Indonesia, Jakarta, 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar