Minggu, 05 Februari 2012

VIRTUAL REPLACEMENT

VIRTUAL REPLACEMENT

Sejak kanak-kanak saya dibesarkan dalam lingkungan masyarakat agraris yang berada tradisi budaya pesisiran di daerah kabupaten Tegal. Sebuah lingkungan sosial transisi antara kota madya Tegal yang tumbuh sektor industrialisasinya dan masyarakat yang sibuk dengan perjuangan hidup petani dan nelayan pada kehendaknya mempertahankan spirit tradisi dan nilai-nilai luhur budayanya. Keduanya tumbuh berdampingan secara harmonis. Hingga masa remaja saya tetap tumbuh di lingkungan dengan tata nilai kultural yang saling berhadapan. Saya mewarisi spirit masyarakat petani yang gila kerja dan memiliki potensi survival yang berbeda dengan masyarakat urban lainnya di kota tersebut. Kami menikmati dengan jenak pertunjukan wayang kulit, golek, sintren, kuda lumping, kuntulan, kethoprak, dan menyimak sandiwara radio saur sepuh. Sementara kami juga asyik menyedapi pertunjukan musik dangdut, orkes gambus, video dan film layar tancap pada tiap perhelatan orang-orang kaya kota.

Kemudian berbagai mitos yang tumbuh dan perjumpaan pernik budaya kejawen dengan fenomena metafisik khas pesisiranpun menjadi bagian pengalaman estetika yang khusus. Jawa memiliki kemelakatan pada aspek cyber dalam pengertian khusus, Jawa memiliki sejarah luar biasa mengenai kecanggihan teknologi telepati, peralihan sugesti, bahkan melecutkan cikal daya hidup serba quantum. Ketika kita membicarakan cyberculture dan disposisi eksistensi budaya Jawa maka kita sesungguhnya tengah memindai sejarah masa lalu tokoh Jawa dan menandai kegemilangan kebudayaan secara implisit. Hamparan mitos dan legenda Jawa dan kisah Walisongo tak lepas dari perluasan yang berperan melakukan konstruksi pengalaman estetik terkait dengan pertautan fenomena metafisik tersebut.

Ini fakta aktual bahwa fenomena cyberculture membangun ruang maya yang secara imajinatif orang larut ’katarsis’ masuk ke dalam cerita wayang. Hal ini mengingatkan saya pada masa remaja ketika berada pada ruang pertunjukan di gedung Wisanggeni Tegal, saat menikmati mocopat, dandang gulo, sastra gendhing, pangkur dan wayang seolah kita tengah berada pada layar datar dari fibre optic layar datar unit komputer untuk memasuki dimensi imajiner dan simulasi digital yang berlapis-lapis membawa eksistensi ilutif kita ke negeri Alengka, kawah Chandra Dimuka, perang Mahabharata dan memungkinkan kita merefleksikan penjiwaan karakter Krishna. Pengalaman yang serupa seringkali saya nikmati dengan empaty sepenuhnya pada pertunjukan-pertunjukan wayang secara langsung dalam perhelatan khitanan, pernikahan maupun syukuran kampung. Perasaan yang sama juga pada kesempatan menikmati sandiwara radio melalui ruang audio di sudut-sudut ruang belajar ketika memperoleh penghayatan ’imajinatif’ seolah dipresentasikan secara visual ketika menyelami adegan-adegan dalam cerita yang hanya disiarkan melalui frekuensi radio RSPD Tegal ketika itu. Pengalaman-pengalaman ini berada pada penghayatan yang sejenis ketika kita berada dihadapan ruang ekssplorasi imajinatif yang populer hari ini sebagai sebuah produk cybercultures. Bukankah pencapaian aktivitas budaya tradisi dengan presentasi yang paling sederhana semacam ini mampu melampaui gagasan besar cyberculture? Sehingga Jawa, masyarakat dan kebudayaannya memiliki interelasi kontekstual begitu adaptif terhadap kebudayaan cyber yang marak hari ini. Berdasarkan survei dan data yang saya temui saya yakin bahwa masyarakat Jawa baik di pusat maupun pelosok daerah hampir seluruhnya menikmati produk cyberculture yakni; tv, hp, telepon, internet, email, twitter, friendster, dan facebook bahkan mayoritas pengguna sistem aktif.

Mencermati perkembangan teknologi komunikasi simulasi dalam wacana dan praksis cybercultures sangat menarik menjadi kajian penelitian khususnya dalam konteks budaya Jawa. Fenomena ini sangat penting mengingat perkembangannya sangat pesat dalam kurun 5-10 tahun terakhir khususnya dalam membangun dan mengembangkan jejaring internet. Kemudian begitu saja menjadi tren masyarakat masa kini meskipun memiliki efek simulasi tinggi, bersifat manipulatif dan diskualifikatif? Setiap saat ruang-ruang imajiner begitu ugal-ugalan dieksplorasi sebagai area bebas untuk surfing menjelajah hasrat dalam ruang tanpa batas.

Hal tersebut berbanding lurus pada peran cybernetic dengan berbagai aspek yang muncul sebagai sebuah konsekuensi perubahan dan perkembangannya yang mendominasi sistem sosial dan budaya. Kemudian ketika dunia virtual mendominasi dunia realitas sehingga dapat dikatakan menjadi semacam ‘alam atau dunia kedua’ masyarakat kita. Jalur-jalur informasi bebas menyergap pada ruang aktivitas kita kapan saja dan di mana saja untuk menikmati fenomena global dengan memanfaatkan perkembangan teknologi elektronik pada serabut optik (fibre optic) berkecepatan cahaya luar biasa dengan interaksinya yang kian abai pada eksistensi fisik. Visi urban kemudian melekat pada budaya sebagai bagian yang terintegrasi dengan perkembangan masyarakat posmodern. Dari sinilah kecenderungan hidup dalam pengaruh cyberspace dan idealisai virtual space mengkristal secara laten pada masyarakat dunia akhir-akhir ini.

Di Indonesia khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Yogyakarta telah menunjukkan perubahan sistem (sistem sosial, sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem pemerintahan, sistem politik dan sistem budaya) dalam konteks penggunaan instrumen cybernetic secara sporadik. Aplikasi berbagai sistem jejaring mekanis cybernetic membawa perubahan sosial lainnya yang memberi pengaruh signifikan terhadap perubahan sosial, perubahan sistem ekonomi dengan indikasi berubahnya gaya hidup (gaya berkomunikasi, gaya berbelanja, gaya transaksi bisnis, gaya belajar dengan fasilitas cyberspace dan gaya seks). Fasilitas ruang maya nampaknya mampu mengubah karakteristik masyarakt urban dengan budaya kontemporer dalam sistem digitalisasi. Pada konteks masyarakat posmodern, urbanisasi tak lagi berarti perpindahan manusia ke kota di dalam ruang nyata, namun berkembang ke arah urbanisasi virtual yaitu perpindahan manusia secara besar-besaran ke dalam pusat kota digital‘cyberspace’. Ketika manusia sampai pada titik tersebut maka manusia sejatinya berada pada tataran krisis eksistensial.

Gejala tersebut mencuat ketika terjadi peningkatan populasi masyarakat urban pada suatu daerah. Dalam konteks kajian ini saya fokus pada Jawa dengan berbagai kecenderungan; Jawa memiliki karakteristik masyarakat yang adaptif terhadap berbagai kebudayaan dan sistem yang tumbuh di sekitarnya, Jawa memiliki populasi penduduk yang tinggi yang didominasi pertumbuhan masyarakat urban beserta pertumbuhan kebudayaannya. Jawa sebagai representasi budaya Timur yang terus tumbuh, diacu dan dipertahankan. Jawa secara geografis berpotensi menjadi titik panas pertumbuhan masyarakat urban yang mengusung habitus dan latar belakang budaya lokalnya masing-masing. Komunitas masyarakat Jawa khususnya merupakan entitas masyarakat yang setia mengacu nilai-nilai tradisi leluhurnya kemudian memiliki kecenderungan mewariskan secara turun-temurun dengan perubahan, perkembangan dan pengayaan pada setiap aspeknya. Ketika urbanisasi terjadi secara besar-besaran beberapa kelompok masyarakat (sesama profesi) meninggalkan daerah-daerah ke pusat begitupun dengan arus kebudayaannya beralih saling-silang, merajut, membangun gugus kebudayaan baru yang mengadaptasi muatan lokal dan mengadopsi aspek budaya global termasuk budaya cyber.

Proses ini dimulai dengan intensitas sistemik masyarakat yang kemudian memiliki habitus dimana aktivitas dunia cybernetic berperan penting membangun kebudayaan dengan pencitraan modernitas, maka disana percampuran, persilangan, displacement, dan replacement atau semacam disposisi yang tumbuh bergerak memasuki ruang terciptanya kebudayaan baru. Sebuah trend baru yang tak terelakkan. Antusiasme masyarakat Jawa dengan berbagai strata sosial dan ekomomi bergeser perspektif hidupnya untuk menyerap sistem telekomunikasi, informasi, simulasi digital, aktivitas bisnis, pencitraan diri melalui dunia maya hingga pada tahap penikmatan sistem kenyamanan transaksional yang mencandu.

Representasi masyarakat yang hingar-bingar tampil dalam kota-kota besar yang tetap beridentitas Jawa sebagai hasil dari proyeksi modernitas melalui sentuhan budaya (cultural encounters). Komunikasi yang kemudian mendorong intensitas terkonstruksinya kontak-kontak budaya begitu signifikan. Jika asumsi dasarnya adalah komunikasi merupakan materi pokok proses budaya maka produk-produk cybercultures membuka ruang bebas untuk melesatkan proses kebudayaan itu sendiri. Sebuah proses kebudayaan yang secara universal dan memiliki daya untuk menggerakan praktik budaya Jawa pada ruang disposisi atau kesadaran mereposisinya. Terbukanya peluang ini seharusnya didasari dengan kesadaran budaya untuk melakukan reposisi budaya Jawa secara terintegrasi.

Relasi budaya Jawa dan praktik cybercultures berujung pada sebuah proses penggantian maya (virtual displacement) sebagai bentuk representasi-representasi eksistensi manusia pada praktik digitalisasi eksistensi. Terpaan sporadis arus globalisasi telah mengubah cara pandang masyarakat kita dalam melakukan kebudayaan. Perlahan tetapi pasti, budaya lokal mulai tergerus hegemoni budaya popular. Hegemoni budaya popular tidak saja mengubah tata sosial namun mempengaruhi perilaku, gaya hidup, dan pola pikir masyarakat kita sebagai ekses perkembangan teknologi digital, televisi, koran, majalah, radio, internet, dan lainnya. Kemudian kecenderungan masyarakat untuk mengadaptasi ‘adopsi’ dan budaya konsumerisme semakin berkembang sehingga nilai-nilai budaya lokal makin terkikis bahkan terancam punah.

Televisi merupakan produk budaya pop yang pengaruhnya sangat besar di masyarakat. Melalui televisi, masyarakat kita mulai meniru berbagai hal: gaya berbahasa, gaya berbusana, gaya hidup, dan pola pikir. Dampaknya, terjadi perubahan sosial di masyarakat dan esensi nilai-nilai budaya lokal lenyap. Kapitalisme sebagai penguasaan alat produksi oleh kaum pemilik modal, dan diproduksi semaksimal mungkin untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Secara tidak sadar, budaya konsumerisme dan hedonisme tumbuh subur di Indonesia. Dasawarsa 1920-an dan 1930-an merupakan titik balik penting dalam kajian dan evaluasi budaya popular dimulai dari munculnya sinema dan radio produksi massal dan konsumsi kebudayaan, bangkitnya fasisme dan kematangan demokrasi liberal di sejumlah Negara barat, semuanya memainkan peran dan memunculkan perdebatan atas budaya massa.[1]

Akhirnya, budaya massa atau budaya pop dengan bentuknya yang lebih canggih, lebih halus, dan lebih nikmat, berhasil menjerat pasar potensialnya. Betapa budaya pop ini begitu kuat mencengkeram media massa kita khususnya media televisi adalah kontes pencarian bakat dibidang musik atau film. Model acara seperti ini di Indonesia adalah AFI, Indonesian Idol, KDI, Kondang In, Ajang Boyband dan Penghuni Terakhir. Diantara kontes-kontes ini yang paling menyedot perhatian khalayak adalah Indonesian Idol dan AFI. Indonesian Idol dan AFI diadopsi dari reality show luar negeri. AFI diadopsi dari Meksiko, sedangkan Indonesian Idol diadopsi dari Pop Idol yang disiarkan di Inggris. Pop Idol tidak hanya diadopsi oleh Indonesia dengan judul Indonesian Idol, tetapi juga oleh negara-negara lain seperti di Amerika dengan judul American Idol, Australia dengan judul Australian Idol. Pemenang dari masing-masing negara dilombakan dalam World Idol. Sekarang kita dapat lihat hampir tidak ada perbedaan dalam cara berpakaian artis-artis Taiwan, China, korea, dan Jepang. Kita juga dapat lihat hampir tidak ada bedanya dalam cara pengemasan sinetron di Asia. Ini menunjukan secara tidak langsung adalah proses penyeragaman budaya dimana penyeragaman itu sendiri merupakan karakteristik dari globalisasi.

Argumentasi diatas diurai untuk menemukan relasi antara realitas dan peran teknologi simulasi ruang maya sebagai latar belakang masalah proposal disertasi penciptaan seni. Inilah titik picu bagaimana sesungguhnya positioning budaya Jawa bergeser dan terjadi penggantian maya (sebagai fenomena Virtual Replacement) pada berbagai perspektif dan perubahannya di tengah arus postmoderisme. Virtual Replacement memicu kesadaran saya ketika pengguna produk cybercultures mendudukannya sebagai budaya baru akan terjadi disposisi. Kemudian sedapat mungkin kita tetap memiliki kesadaran berusaha melakukan reposisi manusia ‘budaya’ Jawa berada pada konteks representasi eksistensi fenomena cybercultures. Bagaimanapun juga sebuah perubahan dan perkembangan budaya mutlak berlangsung pada hampir seluruh kebudayaan dibelahan bumi ini. Persoalannya adalah bagaimana upaya memetakan kembali aspek lokal ‘local genius’ dalam perspektif global mampu memberikan kontrol terhadap derasnya arus perubahan budaya global yang hingga hari ini melekat sebagai bagian integral bagi sebagian besar masyarakat Indonesia khususya Jawa.

Grafik pengguna produk cybernetic (tv, hp, PDA, IPhone, monitor capsule IPad, Androide, Blackberry, email, tweeter, freindster, face book, badoo dan lainnya) berada pada peringkat tertinggi di Indonesia, termasuk pengguna jejaring sosial yang mewabah akhir-akhir ini baik sebagai motif jejaring komunikasi ‘silaturahmi’ semata dengan teman lama untuk romantisme atau menggilainya dengan motif-motif tertentu hingga berselancar membangun jaringan bisnis. Pola ini bergerak dengan pasti menunjukkan disposisi budaya Jawa dalam konteks kesadaran eksistensi dan kesadaran humanistik antar pengguna. Hilangnya tradisi soan, sungkeman dengan orang tua saat Idhul Fitri tergantikan serta merta dengan fasilitas cybernetic semacam ini juga dipraktikan dalam berbagai perayaan sakral keagamaan hingga momen ulang tahun. Simulasi digital merobohkan tradisi dan etika yang tumbuh berkembang baik secara sosial maupun tegangannya terhadap aspek religiusitas.

Fakta sosial yang mencengangkan justru pengguna fasilitas ini merambah ke semua lapisan masyarakat dan menerabas ke semua usia serta strata sosial dari pusat hingga pelosok desa sampai jangakauan terjauh satelit dari providernya. Budaya cyber kini berada dalam genggaman. Aktivitas kehidupan dihabiskan untuk sebuah siklus kerja akselarasi tinggi menjadi perangkap bagi kita dalam ritme percepatan sekaligus mempersempit ruang dan waktu bagi perjalanan kehidupan manusia yang lebih bermakna spiritual. Pencapaian puncak percepatan di satu sisi meningkatnya tingkat efisiensi, efektivitas dan kenyamanan, di sisi lain adalah picu dalam mempersempit tingkat pencapaian spiritualitas humanistik untuk berbagi ruang dan waktu untuk berbasa-basi, tegur-sapa serta berinteraksi sosial. Dalam situasi ini tentu konsep kehadiran riil bergeser ke konsep kehadiran imajiner menjadi ekses penurunan kualitas interaksi sosial dan kehilangan lapis-lapis toleransi humanisnya.

Teknologi simulasi kemudian membangun secara terus-menerus dengan melegitimasi keniscayaan pola presentasi secara realitas ke dalam ruang representasi virtual –realitas virtual- yang mampu mengubah konstruksi mental masyarakat kontemporer. Fenomena dunia virtual dengan berbagai eksplorasi didominasi peran teknologi simulasi bergerak sebagai suatu kontinuitas eksplorasi terhadap identitas-identitas baru, subjektivitas-subjektivitas baru, dan integrasinya dengan mesin, tubuh, dan teknologi dalam kerangka evolusi teknologi, budaya, dan estetik yang lebih besar serta interelasinya dengan teks budaya masa kini yang kontekstual yakni dunia maya.

Contoh paling fenomenal adalah meningkatnya populasi pengguna facebook secara signifikan di Indonesia. Secara ideologis bahwa facebook memiliki aspek nilai tidak percaya pada kemampuan nalar, ingkar terhadap derajat manusia, perilaku didasari kekerasan, kebohongan, pemerintahan kelompok elit, totaliterisme, rasialisme dan imperialisme. Nilai-nilai lain sangat bertentangan dengan landasan pikir rakyat dan masyarakat sosial di Indonesia dimana eksistensi fisik, hubungan psikologis, bergotong royong tentu facebook melenturkan cara pandang ini karena ia hanya sebagai sarana membangun jejaring sosial semu. Nilai-nilai facebook cenderung menghasilkan generasi dan kelompok yang idealismenya tinggi dalam membentuk karakteristik individualis.

Facebook, secara tidak langsung membuktikan kekuatan dehumanisasi, dominannya teknologi daripada manusia itu sendiri atau cenderung membangun perspektif barunya tentang humanisasi versi baru. Fasisme yang ditandai dengan pengingkaran derajat kemanusiaan, sekaligus menunjukkan kecenderungan hirarkis tentang melemahnya jiwa-jiwa sosial. Masyarakat kontemporer cenderung berintegrasi dengan sistem jejaring sosial ini. Pengingkaran derajat kemanusiaan ini, merujuk pada nilai kekhususan manusia, ketidaksamaan dan keberbedaan inilah kemudian mengarah pada munculnya idealisme hidup. Secara ideologis facebook dan situs sistem jejaring sosial lainnya akan menggeneralisasikan penggunanya, sebagai satu kesatuan masyarakat yang memiliki idealisme hidup yang tinggi yang berdampak pada terbentuknya komunitas-komunitas tertentu salam membangun dunia-dunia individual baru yang mengikis nilai nilai-nilai humanistik yang paling substansial.

Aspek lokal yang aplikatif dan terintegrasi dengan proporsional dalam wacana dan praktik cybercultures yang menunjukkan itikad tak melepaskan kearifan lokal pada akhirnya dapat mengarah terjadinya disorientasi, disposisi, maupun dislokasi kebudayaan itu sendiri. Sebaliknya, dengan kesadaran kebudayaan dan menjunjung tinggi warisan budaya –ajaran etika, moral, etos kerja dan falsafah- sebagai salah satu aspek penting dalam konstruksi budaya. Sehingga memiliki nilai tawar terhadap budaya cyber yang diproduksi oleh ketinggian dan kemutakhiran era digitalisasi meski masyarakat menyerapnya dalam-dalam namun karakteristik dan nilai-nilai spiritual humanistik khas Jawa.

Merunut pertumbuhan dan perkembangannya yang kian melampaui populasi penduduk bumi yang hampir seluruh aspek telah diambil alih meski tidak sepenuhnya oleh daya pikat teknologi simulasi ini yang scara tidak langsung mampu melakukan pendiskualifikasian semua aspek sistem informasi yang berujung pada pembentukan budaya baru yakni akumulasi multikultur dalam paket cybercultures. Pencermatan inilah kemudian dijadikan mediasi untuk melihat kembali aspek-aspek yang mempengaruhi terjadinya semacam ledakan-ledakan maya yang secara signifikan membangun karakteristik budaya masyarakat hari ini hingga masa yang akan datang.

Virtual Replacement merupakan respons dari perubahan dan pergeseran maya (Virtual Displacement) yang kemudian memberi pengaruh signifikan relasi-relasi perubahan budaya yang ditandai sebuah fenomena faktual hari ini. Virtual Replacement merupakan subject matter yang menjadi fokus kajian dalam proses kreatif karena mampu membuka peluang sebagai upaya menerjemahkan kembali pada konteks perubahan budaya yang perlahan tapi pasti diterima konvensinya di tengah kebutuhan masyarakat saat ini. Sebagai konstruksinya maka wacana Virtual Explosion dan Virtual Replacement: The New Spiritual menjadi salah satu fokus penting baik mendampingi fokus-fokus lainnya yang dapat dikembangkan dalam kajian maupun artikulasi visual pada proposal ini.

Peran Cybercultures dengan berbagai aspek pencitraannya yang muncul sebagai sebuah konsekuensi perubahan dan perkembangannya yang mendominasi sistem sosial dan budaya. Ketika dunia virtual mendominasi dunia realitas menjadi semacam ‘alam atau dunia kedua’ masyarakat kita. Jalur-jalur informasi bebas menyergap pada ruang aktivitas kita kapan saja dan di mana saja. Nyaris jadi pemandangan sehari-hari sampai belanja keperluan dapur sehari-hari saja seseorang harus menggunakan fasilitas ruang virtual secara onn line (menelefon untuk memesan gas, air mineral, mie instan, beras, bahkan terasi dan bumbu dapur lainnya) padahal letak toko kelontong atau supermarket bersebelahan dengan rumah tinggalnya. Artinya, ada semacam ketergantungan luar biasa dengan ruang maya yang mampu menggantikan substansi kehadiran manusia pada kapasitas humanistiknya. Padahal ketika proses belanja di atas dapat dilakukan off line seperti wajarnya yakni dengan pola transaksi langsung layaknya proses niaga berlangsung maka dapat bertegur sapa dengan tetangga ketika baru saja keluar rumah, menebar senyum dengan sahabat lama, tukang parkir, SPG rokok dan kosmetik serta pramuniaga toserba. Dicermati dari perspektif bisnis atau laju perkembangan ekonomi paling tidak jika pola hubungan interaksi sosial secara langsung dilakukan dengan baik maka semua aspek daam jejaring sosialpun berpeluang menggurita. Bahkan secara alamiah terkondisikan dalam sistem sosial maka terbuka berbagai peluang pada lapis-lapis kebutuhan psikis maupun ekonomi dapat berkembang lebih luas tanpa kehilangan substansi eksistensi fisik manusianya.

Bergesernya berbagai paradigma ruang eksistensi dan pola-pola hubungan sosial, aktivitas ekonomi, religi dan sebagainya. Dalam konteks semacam ini tentu menguatkan pandangan bahwa sebuah perubahan atau pergeseran terjadi begitu luar biasa sehingga terjadinya pergeseran nilai dan substansinya yang dipicu oleh perkembangan teknologi cyberspace. Perubahan budaya dan karakteristik komunal masyarakat dalam konteks semacan ini dapat dipahami sebagai kelaziman dan keniscayaan.

Asumsinya ketika suatu budaya yang awalnya dianggap displacement kemudian beberapa waktu kemudian diterima sebagai bagian penting dan integral dengan budaya lainnya maka dapat disikapi sebagai replacement. Nah, pada akhirnya dipergunakan untuk menguji tesis tersebut dengan anti tesis virtual replacement dengan argumentasi bahwa fenomena apapun yang terjadi sebagai sebuah perubahan besar dari arus kebudayaan mutakhir dapat dipastikan adanya kemunculan aspek penggantian, kemudian memunculkan tesis baru bahwa hampir semua aspek realitas telah tegantikan secara virtual dalam aktivitas cyberspace. Hal ini memunculkan beberapa permasalahan yang dapat dijadikan ide dasar penciptaan seni, yakni:

1. Apakah perkembangan dunia virtual yang sporadik mampu mengubah perilaku sosial yang mampu mengikis aspek eksistensi humanistik dan seberapa tinggi ekses dari cybercultures bagi masyarakat kota-kota besar di Indonesia?

2. Mengapa pergeseran maya (virtual displacement) mampu memicu pembentukan budaya baru dengan memberi kesadaran bagi masyarakat mengenai kesadaran untuk menggantikan aspek real ke ruang maya (virtual replacement) dengan meletakan kembali pada substansi eksistensi humanistiknya?

3. Bagaimana membangun sebuah interpretasi fenomena cybercultures ke dalam bahasa visual untuk menunjukkan indikasi bahwa telah terjadi pergeseran sekaligus penggantian peran virtual space atas reality space dan mampukah artikulasi visualnya menggugah kesadaran spirit eksistensi humanistik masyarakat?

4. Bagaimana menjadikan karya seni yang akan dihasilkan sebagai media yang mampu memiliki aspek kritis menyikapi fenomena Cybercultures?



[1] Strinati, Dominic. (2003), Popular Culture pengantar menuju teori Budaya Populer, (terjemahan), Bentang Budaya, Jogjakarta, p. 4. Selain itu perubahan sosial lainnya dihasilkan oleh kemajuan industri. Perkenalan masyarakat industri dan pergeseran pola hidup modern tersebut menjadi bagian budaya jam kerja dan waktu libur. Bentuknya berupa musik, tarian, teater, gaya, ritual sosial, dan bentuk lain yang bersifat tradisional. Budaya ini dianggap bernilai luhur dan adiluhung dan memiliki standarisasi yang tinggi (selera, kualitas, dan estetika). Misal, budaya rendah itu dangdut, dan budaya tinggi itu musik klasik (classical music), karena dangdut penikmatnya adalah kalangan bawah, sedang musik klasik penikmatnya kalangan atas. Maka budaya massa diartikan sebagai budaya komersial yang diproduksi secara massal. Hanya saja, tujuan utamanya yakni keuntungan (profit). Budaya pop meleburkan budaya rendah dan budaya tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar