DISPOSISI-REPOSISI EKSISTENSI BUDAYA JAWA DALAM CYBERCULTURES
Interelasi Kontekstual Wacana dan Praktik Cybercultures
Oleh: Moh. Rusnoto Susanto, S.Pd., M.Sn[1]
Perubahan budaya yang terjadi di pulau Jawa tidak hanya karena pengaruh yang datang dari Eropa, tetapi juga dari India, Islam, dan China. Indonesia dan Jawa khususnya selama dua ribu tahun sejarahnya, telah menjadi sebuah persilangan budaya, dari peradaban-peradaban dunia yang penting bertemu, diterima, diolah, dikembangkan, dan diperbaharui.
(Denys Lombard)
Perubahan sosial-budaya merupakan bagian imperatif kesejarahan ternyata memberi kontribusi efektif bagi munculnya kontinuitas orientasi yang -bergerak- terbelah, berkembangnya berbagai perspektif, disposisi, reposisi dan dislokalisasi sosiokulturalnya. Dislokalitas berakibat pada terkoyaknya berbagai format spiritual dan berbagai implementasi prinsip-prinsip etika dan kebenaran moral yang bermuara pada peluang bagi proses pereduksian identitas masyarakat serta nilai budaya. Kemudian muncul sebuah kesadaran bahwa perlunya upaya reposisi dan redefinisi atas budaya kita. Namun, persoalannya semua unsur konstruksi budaya harus meletakan kembali aspek lokalitas budaya sebagai acuan memperhitungkan berbagai dasar pemikiran untuk membangun kembali kesadaran budaya. Kesadaran menajamkan orientasi pada kesejatian fitrah manusia sebagai pelaku perubahan. Ketika meninjau aspek disposisi maupun reposisi maka secara implisit mencermati aspek-aspek terminologi identitas dengan serta merta masuk dimensi kekhawatiran tertentu dan cenderung berperilaku difensif dalam konteks posisi identitas nasional (local genius) atas global (cybercultures).
Mencermati perkembangan teknologi komunikasi simulasi dalam wacana cybercultures dan praksis cybernetic sangat menarik menjadi kajian penelitian khususnya dalam konteks budaya Jawa dalam term budaya adiluhung tentunya. Hal tersebut tetap pada ranah perubahan sebuah kebudayaan dimungkinkan keberlangsungannya. Fenomena ini sangat penting mengingat perkembangannya sangat pesat dalam kurun 5-10 tahun terakhir ini, khususnya dalam membangun dan mengembangkan jejaring internet. Sesungguhnya Jawa memiliki kemelakatan pada aspek cyber dalam pengertian khusus, Jawa memiliki sejarah luar biasa mengenai kecanggihan teknologi telepati, peralihan sugesti, bahkan melecutkan cikal daya hidup serba quantum. Ketika kita membicarakan cyberculture dan disposisi eksistensi budaya Jawa maka kita sesungguhnya tengah memindai sejarah masa lalu tokoh Jawa dan menandai kegemilangan kebudayaan secara implisit. Bagaimana loncatan quantum yang dilakukan Sri Sultan Hamengku Buwono I (HB I) yang mengubah sistem waktu (penanggalan) dengan penamaan hari ’weton’ khsusus (legi, pahing, wage, pon, dan kliwon yang sama sekali berbeda dan mengikuti angka tahun Saka bukan Masehi dan Hijriah) khas Jawa. Disposisi ini serupa dengan ketika kita mengamati lukisan purba di gua-gua hingga pemunculan wayang kontemporer (wayang kondom, plastik dan suket Slamet Gundono, wayang akapela Sujiwo Tejo dan wayang nakalnya Enthus Susmono) serta pertunjukan wayang opera Jaya Suprana dengan memboyong 60 penari ke Sydney.[2]
Ini fakta aktual bahwa fenomena cyberculture dimana secara imajinatif orang larut ’katarsis’ masuk ke dalam cerita wayang. Saat menikmati mocopat, sastra gendhing, pangkur dan wayang seolah kita tengah berada pada layar datar dari fibre optic layar datar unit komputer memasuki dimensi imajiner dan simulasi yang berlapis-lapis membawa eksistensi ilutif kita ke negeri Alengka, kawah Chandra Dimuka, perang Mahabharata dan memungkinkan kita merefleksikan penjiwaan karakter Krishna. Bukankah budaya Jawa telah melampaui gagasan besar cyberculture? Sehingga Jawa, masyarakat dan kebudayaannya memiliki interelasi kontekstual begitu adaptif terhadap kebudayaan cyber yang marak hari ini. Saya yakin bahwa masyarakat Jawa baik di pusat maupun pelosok daerah hampir seluruhnya menikmati produk cyberculture yakni; tv, hp, telepon, internet, email, twitter, friendster, dan facebook bahkan mayoritas pengguna sistem aktif.
1. Disposisi-Reposisi Eksistensi: Akulturasi dan Peluang Perubahan Budaya Jawa
Mengawal pemikiran dan berbagai pandangan mengenai perkembangan dan perubahan budaya secara umum hingga pada orientasi budaya yang paling khusus ‘budaya Jawa’, tentu mengingatkan kita pada proses pemunculan inkulturasi pasca Konsili Vatikan II perutusan oleh Yesus yang di tafsirkan dalam perspektif dan makna lain, yaitu dengan masuk ke dalam budaya-budaya lokal dan menjadikan budaya lokal sebagai sarana proses penginjilan yang kemudian disebut dengan inkulturasi.[3] Proses seperti inilah yang dianggap sangat efektif dan sporadik untuk sebuah pengayaan interpretasi ajaran dalam pendekatan budaya seperti yang dilakukan para wali ‘wali songo’ di tanah Jawa. Kebudayaan Indonesia terutama yang berkembang di Jawa merupakan fakta kebudayaan yang diinkulturasikan oleh Gereja dan mendominasi penyelenggaraan perayaan ekaristi dalam adat Jawa. Perayaan Ekarisi ini memasukkan adat-adat Jawa tanpa menghilangkan tujuan awal perayaan ekaristi.[4]
Praktik sinkretisme seolah hanya mencapuradukkan berbagai faham-faham atau kebudayaan-kebudayaan saja tanpa ada sesuatu yang jelas, sedangkan inkulturasi menggunakan kebudayaan-kebudayaan atau faham-faham sebagai sarana pewartaan Injil. Sinkretisme di India Kuno terjadi peleburan berbagai kepercayaan suku-suku asli dan imigran, kemudian di Yunani-Roma pada masa Helenisme, lalu di Tionghoa (Taoisme-Kofusianisme-Budhisme-Mahayana) menjadi landscape sederhana bahwa aktivitas tersebut berlangsung berabad-abad dengan kegemilangan luar biasa sempurna. Proses seperti ini terjadi di Indonesia seperti Animisme, Hindhuisme, dan Budhisme dicampuradukkan dalam kebudayaan Jawa sebelum Islam masuk ke Indonesia. Masuknya budaya Hindu-Budha di Indonesia menyebabkan munculnya Akulturasi. Kebudayaan Hindu-Budha yang masuk di Indonesia tidak diterima begitu saja melainkan melalui proses pengolahan dan penyesuaian dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia tanpa menghilangkan unsur-unsur asli. Hal ini disebabkan karena masyarakat Indonesia khususnya Jawa telah memiliki dasar-dasar kebudayaan tinggi sehingga masuknya kebudayaan asing ke Indonesia menambah perbendaharaan kebudayaan Indonesia. Hal lainnya adalah kemampuan istimewa bangsa Indonesia atau local genius merupakan dasar kecakapan untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadian ‘aspek lokalitas’ bangsa Indonesia.
Pengaruh kebudayaan Hindu hanya bersifat melengkapi kebudayaan yang telah ada di Indonesia. Perpaduan budaya Hindu-Budha melahirkan akulturasi yang masih terpelihara sampai sekarang. Akulturasi tersebut merupakan hasil dari proses pengolahan kebudayaan asing sesuai dengan kebudayaan Indonesia. Muh. Rifqi Fauzi pada blog pribadinya yang diposting pada Rabu, Agustus 05, 2009 dalam paparan detail mengenai ‘Akulturasi Budaya Hindu-Budha-Islam di Indonesia’, menyatakan secara detail temuan hasil akulturasi tersebut tampak pada:[5]
1. Sosial, setelah masuknya agama Hindu terjadi perubahan dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia. Hal ini tampak dengan dikenalnya pembagian masyarakat atas kasta.
2. Ekonomi, dalam ekonomi tidak begitu besar pengaruhnya pada masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan karena masyarakat telah mengenal pelayaran dan perdagangan jauh sebelum masuknya pengaruh Hindu-Budha di Indonesia.
3. Sistem Pemerintahan, sebelum masuknya Hindu-Budha di Indonesia dikenal sistem pemerintahan oleh kepala suku yang dipilih karena memiliki kelebihan tertentu jika dibandingkan anggota kelompok lainnya. Ketika pengaruh Hindu-Budha masuk maka berdiri Kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang berkuasa secara turun-temurun. Raja dianggap sebagai keturuanan dari dewa yang memiliki kekuatan, dihormati, dan dipuja.
4. Pendidikan, masuknya Hindu-Budha juga mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia dalam bidang pendidikan. Sebab sebelumnya masyarakat Indonesia belum mengenal tulisan. Namun dengan masuknya Hindu-Budha, sebagian masyarakat Indonesia mulai mengenal budaya baca dan tulis. Bukti pengaruh dalam pendidikan di Indonesia yaitu dengan digunakannya bahasa Sansekerta dan Huruf Pallawa dalam kehidupan sebagian masyarakat Indonesia. Bahasa tersebut terutama digunakan di kalangan pendeta dan bangsawan kerajaan. Telah mulai digunakan bahasa Kawi, bahasa Jawa Kuno, dan bahasa Bali Kuno yang merupakan turunan dari bahasa Sansekerta.[6]
5. Kepercayaan, sebelum masuk pengaruh Hindu-Budha ke Indonesia, bangsa Indonesia mengenal dan memiliki kepercayaan yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang (animisme dan dinamisme). Masuknya agama Hindu-Budha mendorong masyarakat Indonesia mulai menganut agama Hindu-Budha walaupun tidak meninggalkan kepercayaan asli seperti pemujaan terhadap arwah nenek moyang dan dewa-dewa alam. Telah terjadi semacam sinkritisme yaitu penyatuaan paham-paham lama seperti animisme, dinamisme, totemisme dalam keagamaan Hindu-Budha misalnya di Jawa Timur berkembang aliran Tantrayana seperti yang dilakukan Kertanegara dari Singasari yang merupakan penjelmaaan Siwa. Kepercayaan terhadap roh leluhur masih terwujud dalam upacara kematian dengan mengandakan kenduri 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun dan 1000 hari, serta masih banyak hal-hal yang dilakukan oleh masyarakat Jawa.
6. Seni dan Budaya,[7] pengaruh kesenian India terhadap kesenian Indonesia terlihat jelas pada bidang-bidang seni bangunan (Arsitektur), seni bangunan tampak pada bangunan candi sebagai wujud percampuran antara seni asli bangsa Indonesia dengan seni Hindu-Budha. Candi merupakan bentuk perwujudan akulturasi budaya bangsa Indonesia dengan India. Candi merupakan hasil bangunan zaman megalitikum yaitu bangunan punden berundak-undak yang mendapat pengaruh Hindu Budha. Seni rupa tampak berupa patung dan relief.
7. Teknologi, masyarakat Indonesia dari sebelum masuknya agama Hindu-Budha sebenarnya sudah memiliki budaya yang cukup tinggi. Dengan masuknya pengaruh budaya Hindu-Budha di Indonesia semakin mempertinggi teknologi yang sudah dimiliki bangsa Indonesia sebelumnya. Pengaruh Hindu-Budha terhadap perkembangan teknologi masyarakat Indonesia terlihat dalam bidang kemaritiman, bangunan dan pertanian. Dalam bidang pertanian, tampak dengan adanya pengelolaan sistem irigasi yang baik mulai diperkenalkan dan berkembang pada zaman masuknya Hindu-Budha di Indonesia. Pada relief candi yang menggambarkan teknologi irigasi pada zaman Majapahit.
8. Sistem Kalender, diadopsi dari sistem kalender/penanggalan India. Hal ini terlihat dengan adanya: Penggunaan tahun Saka di Indonesia. Tercipta kalender dengan sebutan tahun Saka yang dimulai tahun 78 M (merupakan tahun Matahari, tahun Samsiah) pada waktu raja Kanishka I dinobatkan jumlah hari dalam 1 tahun ada 365 hari. Oleh orang Bali, tahun Saka tidak didasarkan pada sistem Surya Pramana tetapi sistem Chandra Pramana (tahun Bulan, tahun Kamariah) dalam 1 tahun ada 354 hari. Musim panas jatuh pada hari yang sama dalam bulan Maret dimana matahari, bumi, bulan ada pada garis lurus. Hari tersebut dirayakan sebagai Hari Raya Nyepi.
Ditemukan Candrasangkala atau Kronogram ada dalam rangka memperingati peristiwa dengan tahun/kalender saka. Candrasangkala adalah angka huruf berupa susunan kalimat/gambaran kata. Bila berupa gambar harus diartikan dalam bentuk kalimat. Seni Ukir Islam disebut Kaligrafi, yang dapat dipahatkan pada kayu. Misalnya Kaligrafi dan ukiran yang dipahatkan pada dinding depan Masjid Mantingan, Jepara. Di Masjid Cirebon terdapat pahatan berbentuk harimau. Pahatan berupa gambar tersebut disebut Arabesk.
9. Sastra, tampak pada karya sastra di Selat Malaka dan Pulau Jawa. Karya sastra yang berkembang (a) Suluk,yaitu karya sastra yang berisi ajaran-ajaran tasawuf: Suluk Sukrasa, Suluk Wujil. (b) Hikayat, yaitu dongeng atau cerita rakyat yang sudah ada sebelum masuknya Islam: Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Panji Semirang. (c) Babad, yaitu kisah sejarah yang terkadang memuat silsilah para raja suatu kerajaan Islam (Babad tanah Jawi, Babad Cirebon, dan Babad Ranggalawe).
10. Sistem Pemerintahan, digunakan aturan-aturan Islam dalam pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Terbukti dengan adanya Raja Mataram Islam awalnya bergelar Sunan/Susuhunan, artinya dijunjung. Raja akan diberi Gelar Sultan jika telah diangkat atas persetujuan khalifah yang memerintah di Timur Tengah. Terdapat gelar lain yaitu Panembahan, Maulana.
11. Sosial, mulai dikenal sistem demokrasi. Tidak mengenal adanya sistem kasta, tidak mengenal perbedaan gologan dalam masyarakat.
12. Filsafat, setelah Islam lahir berkembanglah Ilmu filsafat yang berfungsi untuk mendukung pendalaman agama Islam. Abad 8 M, lahir dasar-dasar Ilmu Fikh. Dengan Fikh diharapkan umat Islam dapat hidup sesuai dengan kaidah Islam. Abad ke-10 M, lahir dasar-dasar Ilmu Qalam dan Tasawuf. Qalam, merupakan ajaran pokok Islam tentang keesaan Tuhan, Theologi atau Ilmu Tauhid. Asal mula lahirnya tasawuf karena pencarian Allah karena kecintaan dan kerinduan pada Allah. Tasawuf kemudian berkembang menjadi aliran kepercayaan.
Akulturasi mencuat ketika terjadi peningkatan populasi masyarakat urban pada suatu daerah. Jawa secara geografis berpotensi menjadi titik panas pertumbuhan masyarakat urban yang mengusung habitus dan latar belakang budaya lokalnya masing-masing. Komunitas masyarakat Jawa khususnya akan terdapat suatu kebudayaan yang diacu dan diwariskan secara turun-temurun dengan perubahan, perkembangan dan pengayaan pada setiap aspeknya. Ketika urbanisasi terjadi secara besar-besaran beberapa kelompok masyarakat (sesama profesi) meninggalkan daerah-daerah ke pusat begitupun dengan arus kebudayaannya beralih saling-silang, merajut, membangun gugus kebudayaan baru yang mengadaptasi muatan lokal dan mengadopsi aspek budaya global termasuk budaya cyber (cybercultures).
Proses ini dimulai dengan intensitas keseharian secara sistemik masyarakatnya merasa bahwa aktivitas dunia cybernetic berperan penting membangun kebudayaan dengan pencitraan modernitas, maka disana percampuran, persilangan, displacement, dan disposisi bergerak yang memungkinkan terciptanya kebudayaan baru. Kemudian sesaat menjadi trend yang tak terelakkan, bagaimana gigihnya masyarakat Jawa dengan berbagai strata sosial dan ekomomi bergeser perspektif hidupnya untuk menyerap sistem telekomunikasi, informasi, aktivitas bisnis, pencitraan diri melalui dunia maya hingga pada tahap penikmatan sistem kenyamanan transaksional yang mencandu.
Dalam konteks itulah proses perpindahan –perubahan- sporadik meniscayakan pertukaran budaya (cultural share), persilangan, dan kelumatan budaya senantiasa menarik untuk dilihat terkait dengan bergesernya modus individu juga masyarakat secara luas yang ingar-bingar tampil dalam kota-kota besar yang tetap beridentitas Jawa sebagai hasil dari proyeksi modernitas melalui sentuhan budaya (cultural encounters). Komunikasi yang kemudian mendorong intensitas terkonstruksinya kontak-kontak budaya begitu signifikan. Jika asumsi dasarnya adalah komunikasi merupakan materi pokok proses budaya maka produk-produk cybercultures membuka ruang bebas untuk melesatkan proses kebudayaan itu sendiri secara universal dan memiliki daya untuk menggerakan kekuatan budaya Jawa pada satu peluang disposisi atau kesadaran mereposisinya. Terbukanya peluang ini seharusnya didasari dengan kesadaran budaya untuk melakukan reposisi budaya Jawa pada posisi integral. Senada dengan pernyataan Sarwono bahwa konsep yang harus segera dilakukan dalam budaya (dalam hal ini seni) tradisi dalam masyarakat lokal adalah membuat reposisi budaya dalam era globalisasi. Karena era globalisasi menjadikan suatu interaksi serta pertukaran dan pengaruh kebudayaan sampai ke unsur-unsurnya. [8]
Fenomena yang terkait dengan komunikasi antar budaya terjadi antara masyarakat urban dengan masyarakat setempat dalam kehidupan kesehariannya. Dalam aktivitas kehidupan masyarakat, kita tidak bisa melepaskan diri dari aktivitas budaya.
2. Cybercultures: Facebook Dunia Identitas dan Fasisme Gaya Hidup Kontemporer di Jawa
Hal yang paling mengasyikan saat ini bagi masyarakat dunia termasuk sebagian besar masyarakat Jawa adalah menikmati kenyamanan fasilitas teknologi komunikasi dan simulasi cybernetic, twitter dan facebook.[9] Seseorang dapat membangun dunia-dunia baru dan mengguritakannya dalam sistem jejaring sosial yang luar biasa pertumbuhan populasi penggunanya. Jika sudah berada pada akun jearing sosial facebook maka seseorang dapat terlibat atau masuk menenggelamkan diri berjam-jam lamanya hanya untuk browsing informasi, rekan lama dan pengembaraan virtual menemukan relasi-relasi baru untuk melakukan interaksi melalui dunia maya.
Rentang tahun 2004-2010, adalah waktu yang sangat singkat, dari kemunculan facebook, dan memimpin dunia pertemanan maya. Mark Zuckerberg perancang situs ini, pada tahun 2004, yang dimaksudkan sebagai media untuk saling mengenal bagi para mahasiswa Harvard. Hanya butuh waktu dua minggu, hampir seluruh mahasiswa Harvard University telah memiliki akun facebook, dan dalam waktu empat bulan, 30 kampus di Amerika telah terdaftar dalam jaringan ini. Facebook ini mulai menarik hati beberapa penyelia jasa, termasuk friendster, dan beberapa investor. September 2005, facebook ini terbuka umum. Pada Januari 2010, pengguna facebook pada tingkat dunia mencapai 350 juta orang, termasuk pengguna aktif facebook di Indonesia menempati urutan kedua, diikuti oleh Filipina.
Tingginya aktivitas masyarakat urban di kota-kota besar cenderung memenuhi kehendaknya untuk melakukan semua pekerjaannya dengan lebih cepat dan efisien. Kemudian inilah yang sangat berpeluang menggunakan fasilitas teknologi komunikasi, informasi dan digital dengan populasi tinggi bahkan percepatan pertumbuhannya sangat pesat. Penggunaan fasilitas ruang maya nampaknya mampu mengubah karakteristik masyarakt urban dengan budaya kontemporer dalam sistem digitalisasi. Dari data yang ditemukan di lapangan, beberapa pengguna aktif atau facebooker di Indonesia, membuat akun di facebook bertujuan untuk promosi dan informasi (blog, bisnis, jasa), tren dan gaya hidup (networking atau bersosialisasi), serta pembuat sensasi dan kontroversi.[10]
Di Indonesia khususnya di tanah Jawa telah menunjukkan perubahan sistem (sistem sosial, sistem pemerintahan dan sistem budaya) dalam konteks penggunaan instrumen cybernetic secara sporadik. Aplikasi berbagai sistem jejaring mekanis cybernetic membawa perubahan sosial lainnya yang memberi pengaruh signifikan terhadap perubahan sosial, perubahan sistem ekonomi dengan indikasi berubahnya gaya hidup (gaya berkomunikasi, gaya berbelanja, gaya transaksi bisnis, gaya belajar dengan fasilitas cyberspace dan gaya seks). Semua instrumen yang membangun sistem kerja jejaring sosial baik instansi antar institusi dan individupun dikonstruksi oleh jejaring sosial yang lagi-lagi difasilitasi sistem cybernetic. Fenomena semacam ini memicu perubahan budaya dan pergeseran visi berangsur menata dirinya untuk membentuk dimensi dan visi baru. Seperti yang dikemukakan rekan saya seorang Antropolog dari Jerman, Anton Larenz bahwa New York Times menerbitkan artikel tentang pelapukan Capsule Tower, sebuah bangunan apartemen untuk para lajang di Tokyo.[11]
Merunut pertumbuhan dan perkembangannya yang kian melampaui populasi penduduk bumi hampir seluruh aspek telah diambil alih meski tidak sepenuhnya oleh daya pikat teknologi simulasi ini. Namun, pada giliranya secara tidak langsung mampu melakukan pendiskualifikasian semua aspek sistem informasi dunia virtual dan berujung pada pembentukan budaya baru yakni akumulasi multikultur dalam paket cybercultures merupakan respons dari perubahan dan pergeseran maya (Virtual Displacement) yang kemudian memberi pengaruh signifikan relasi-relasi perubahan budaya yang ditandai sebuah fenomena faktual hari ini yang mengkonstruksi gaya hidup masyarakat.[12] Sehingga tak sanggup mengendalikannya bahkan berbalik justru kita dikendalikan keberadaannya. Pada konteks masyarakat posmodern, urbanisasi tak lagi berarti perpindahan manusia ke kota di dalam ruang nyata, namun berkembang ke arah urbanisasi virtual yaitu perpindahan manusia secara besar-besaran ke dalam pusat kota digital‘cyberspace’.
Dunia facebook dalam bayang-bayang fasisme. Fasisme, juga mengandung suatu ideologi ketidakpercayaan pada kemampuan nalar. Ideologi ini, akan mengabaikan segala sesuatu bentuk diskusi, tawar menawar, dan membunuh nilai-nilai musyarawah untuk mufakat. Ingat, bahwa facebook ini pertama kali dibuat oleh Mark Zuckerberg bertujuan untuk sarana perkenalan, untuk memudahkan para mahasiswa untuk saling kenal dan akrab. Tidak semua informasi yang diberitakan dalam facebook adalah benar, bahkan dalam kondisi tertentu facebook lebih banyak berkata bohong, mencaci-maki, dan hidup dalam kefasisan.
Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan, bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Lantas, dimana letak facebook dengan budaya fasisme di Indonesia? Untuk membicarakan budaya fasisme, yang sekaligus ini menunjuk budaya facebook, sedangkan pertentangannya adalah budaya yang berkembang di Indonesia (sulit mengatakan sebagai budaya asli Indonesia), maka kita harus membedakan karakteristik keduanya. Jika facebook sudah masuk pada ranah budaya, maka ia menjadi bagian sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Apalagi jika mengacu pendapat Tylor, semakin kabur kefasisan yang dibicarakan.[13] Akan tetapi, jika kita mengikuti pandangan Malinowski, maka jelas budaya facebook bukan milik bangsa Indonesia. Nilai-nilai facebook cenderung menghasilkan generasi dan kelompok yang idealismenya tinggi, serta sangat-sangat individualis.
3. Interelasi Kontekstual Budaya Jawa dan Praktik Cybercultures
Sebelum memaparkan relasi-relasi budaya Jawa dan praktik cybercultures maka paling tidak menilik kesadaran tokoh perubahan Jawa sebut saja Umar Kayam menyatakan “Kebudayaan pada dasarnya merupakan proses dialektika antara sistem-sistem dalam masyarakat di mana manusia sebagai anggota masyarakat akan selalu terlibat dalam proses membangun sosok kebudayaan”. Kemudian Dr. Radjiman menyatakan bahwa; Jika pribumi dipisahkan sepenuhnya dan secara paksa dari masa lalunya, yang akan terbentuk adalah manusia tanpa akar, tak berkelas, tersesat di antara dua peradaban.[14]
Indonesia di masa depan memperoleh kepribadian terutama dari kebudayaan daerah asal masing-masing dan juga memperoleh kepribadian sebagai manusia modern terutama dari kebudayaan nasional. Prof, Dr. Timbul Haryono; Perubahan dalam skala infra nasional mencakup daerah, perkotaan, masyarakat, keluarga dan individu, serta interaksi antara semua peringkat dan satuan.[15] Terpaan sporadis arus globalisasi telah mengubah cara pandang masyarakat kita dalam melakukan kebudayaan. Perlahan tetapi pasti, budaya lokal mulai tergerus hegemoni budaya asing. Budaya negara-negara barat yang menganut paham kapitalisme itu tidak saja mengubah tatanan sosial yang ada, namun mempengaruhi perilaku, gaya hidup, dan pola pikir masyarakat kita. Budaya ini menumbuhkembangkan konsumerisme dan hedonisme di segala lapisan masyarakat, laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, budaya lokal yang merupakan identitas yang kita miliki dan warisan para leluhur yang makin memudar, bahkan menghilang. Budaya tersebut kita kenal dengan istilah budaya populer (pop-culture). Awalnya, budaya popular (budaya pop) bersifat missal, komersial, terbuka, lahir dari rakyat, dan tentunya disukai rakyat. Sehingga budaya pop dikategorikan sebagai budaya rakyat (folk culture), atau budaya rendah (low culture). Budaya massa pop culture sering disebut budaya popular mulai berkembang sejak dasawarasa 1920-an ke atas. Pengaruhnya luar biasa besar di masyaraka melalui televisi, koran, majalah, radio, internet, dan lainnya. Melalui media massa itu masyarakat dapat melihat, mendengar, dan mengonsumsi informasi dari segala penjuru dunia dan meruntuhkan sekat-sekat antar belahan dunia menjadi hilang.
Budaya meniru dan budaya konsumerisme semakin berkembang sehingga, nilai-nilai budaya lokal makin terkikis bahkan terancam punah. Televisi merupakan produk budaya pop yang pengaruhnya sangat besar di masyarakat. Melalui televisi, masyarakat kita mulai meniru berbagai hal: gaya berbahasa, gaya berbusana, gaya hidup, dan pola pikir. Dampaknya, terjadi perubahan sosial di masyarakat dan esensi nilai-nilai budaya lokal lenyap. Kapitalisme sebagai penguasaan alat produksi oleh kaum pemilik modal, dan diproduksi semaksimal mungkin untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Secara tidak sadar, budaya konsumerisme dan hedonisme tumbuh subur di Indonesia. Dasawarsa 1920-an dan 1930-an merupakan titik balik penting dalam kajian dan evaluasi budaya popular dimulai dari munculnya sinema dan radio produksi massal dan konsumsi kebudayaan, bangkitnya fasisme dan kematangan demokrasi liberal di sejumlah Negara barat,semuanya memainkan peran dan memunculkan perdebatan atas budaya massa.[16]
Akhirnya, budaya massa atau budaya pop dipahami sebagai sebuah budaya yang menurunkan level selera masyarakat dan menurunkan kualitas peradaban. Dengan bentuknya yang lebih canggih, lebih halus, dan lebih nikmat, berhasil menjerat pasar potensialnya. Betapa budaya pop ini begitu kuat mencengkeram media massa kita khususnya media televisi adalah kontes pencarian bakat dibidang music atau film. Model acara seperti ini di Indonesia adalah AFI, Indonesian Idol, KDI, Kondang In, Ajang Boyband dan Penghuni Terakhir. Diantara kontes-kontes ini yang paling menyedot perhatian khalayak adalah Indonesian Idol dan AFI.Indonesian Idol dan AFI diadopsi dari reality show luar negeri. AFI diadopsi dari Meksiko, sedangkan Indonesian Idol diadopsi dari Pop Idol yang disiarkan di Inggris. Pop Idol tidak hanya diadopsi oleh Indonesia dengan judul Indonesian Idol, tetapi juga oleh negara-negara lain seperti di Amerika dengan judul American Idol, Australia dengan judul Australian Idol. Pemenang dari masing-masing negara dilombakan dalam World Idol. Bentuk penyeragaman atau globalisasi itu sendiri akan melahirkan kebudayaan baru yang populer dengan sebutan neo globalisme dimana suatu daerah mengadopsi budaya daerah lain dan terbentuklah kebudayaan baru dari akulturasi kebudayaan yang lama. Asian pop culture ini membentuk gaya hidup remaja-remaja yang hampir sama di berbagai negara-negara di Asia. Sekarang kita dapat lihat hampir tidak ada perbedaan dalam cara berpakaian artis-artis Taiwan, China, korea, dan Jepang. Kita juga dapat lihat hampir tidak ada bedanya dalam cara pengemasan sinetron di Asia. Ini menunjukan secara tidak langsung adalah proses penyeragaman budaya dimana penyeragaman itu sendiri merupakan karakteristik dari globalisasi.
Epilog
Tentu saya tidak sedang membicarakan perihal inkulturasi, akulturasi dan sinkretisme dalam fokus persoalan makalah ini lebih jauh, luas dan terperinci. Namun, hal tersebut sebagai titik picu saja bagaimana sesungguhnya positioning budaya Jawa pada berbagai pandangan perubahannya di tengah arus postmoderisme ketika mendudukan posisi, disposisi dan usaha melakukan reposisi manusia ‘budaya’ Jawa berada pada konteks representasi eksistensi fenomena cybercultures. Bagaimanapun juga sebuah perubahan dan perkembangan budaya mutlak berlangsung pada hampir seluruh kebudayaan dibelahan bumi ini. Persoalannya adalah bagaimana upaya memetakan kembali aspek lokal dalam perspektif local genius mampu memberikan kontrol terhadap derasnya arus perubahan budaya global yang hingga hari ini melekat sebagai bagian integral bagi sebagian besar masyarakat Indonesia khususya Jawa.
Hal tersebut diperkuat pernyataan Prof. Dr. Timbul Haryono bahwa pertambahan penduduk yang mencolok tidak disertai oleh pertumbuhan pendidikan dan ekonomi sehingga terjadi eksodus rural yangn tidak equivalent dengan adaptasi urban. Jawa dengan populasi penduduk yang tinggi dan progresif penigkatannya memiliki potensi pengguna produk cybernetic (tv, hp, PDA, IPad, email, tweeter, freindster, face book dan lainnya). Grafik pengguna produk cybernetic berada pada peringkat tertinggi di Indonesia, termasuk pengguna jejaring sosial facebook baik sebagai motif jejaring komunikasi ‘silaturahmi’ semata dengan teman lama untuk romantisme atau menggilainya dengan motif-motif tertentu hingga berselancar membangun jaringan bisnis. Pola ini berangsur tapi pasti menunjukkan disposisi budaya Jawa dalam konteks eksistensi dan kesadaran humanistik antar pengguna, tradisi soan, sungkeman dengan orang tua saat Idhul Fitri tergantikan serta merta dengan fasilitas cybernetic semacam ini. Fakta yang mencengangkan justru pengguna fasilitas ini mewabah ke semua lapisan masyarakat dan menerabas ke semua usia serta strata sosial dari pusat hingga pelosok desa sampai jangakauan terjauh satelit dari providernya. Budaya cyber kini berada dalam genggaman. Aktivitas kehidupan dihabiskan untuk sebuah siklus kerja yang berjalan dengan akselarasi tinggi yang berpotensi menjadi perangkap bagi manusia dalam ritme percepatan sekaligus mempersempit ruang dan waktu bagi perjalanan kehidupan manusia yang lebih bermakna spiritual. Pencapaian puncak percepatan di satu sisi meningkatnya tingkat efisiensi, efektivitas dan kenyamanan. Di sisi lain adalah picu dalam mempersempit tingkat pencapaian spiritual yang berdampak langsung pada masyarakat metropolis untuk berbagi ruang dan waktu untuk berbasa-basi, tegur-sapa serta berinteraksi sosial. Dalam situasi ini tentu konsep kehadiran secara realitas menjadi persoalan karena menurunnya kesadaran pada kualitas interaksi sosial dan kehilangan lapis-lapis toleransi humanisnya.
Teknologi simulasi kemudian membangun secara terus-menerus sekaligus melegitimasi keniscayaan pola presentasi secara relitas ke dalam ruang representasi cybernetic –realitas virtual- yang mampu mengubah konstruksi sosial dan mental masyarakat kontemporer. Fenomena dunia virtual, cyberspace, virtualspace, dan virtual reality dengan berbagai eksplorasi yang didominasi peran teknologi simulasi kemudian bergerak dalam konstruksi Cybercultures. Barbara M. Kennedy dengan berbagi pemikiran mengenai pembacaannya terhadap Cybercultures; Cybercultures is a continual exploration of new identities, new subjectivities, their merging with machines, bodies, and technological, within the greater achine of technological, cultural, and aesthetic evolution.[17] Tentu sangat inspiratif apa yang ditegaskan oleh Barbara M. Kennedy bahwa cybercultures sebagai suatu eksplorasi terus menerus dan berkelanjutan terhadap identitas-identitas baru, subjektivitas-subjektivitas baru, dan integrasinya dengan mesin, tubuh, dan teknologi dalam kerangka evolusi teknologi, budaya, dan estetik yang lebih besar. Kecermatan dan kejernihan cara pandangnya membuat aspek-aspek yang membangun cyberculture sangat penting dan integral dalam berbagai positioning. Hal tersebut kian menguatkan bahwa budaya terbangun dari gugus-gugus multi disiplin yang memiliki keluasan perspektif. Begitupun interelasinya dengan teks budaya masa kini yang kontekstual yakni dunia maya.
David Bell mencermati bahwa, An important component of a cultural approach to cyberspace is to find it in our imaginations, to read its symbolic forms and meanings, to cross-referenc to the ways in which it is representated.[18] David secara imajinatif menguatkannya dengan pandangan bahwa komponen-komponen penting dalam melakukan pendekatan budaya cyberspace adalah untuk segera menemukanya di dalam ruang imajinasi kita, kemudian dipergunakan untuk membaca makna dan bentuk simboliknya serta untuk saling mengaitkan dengan cara dimana cybercpace tersebut direpresentasikan. Posisi strategis budaya cyberspace dalam merespons sekaligus membangun aspek imajinasi seseorang dalam mencerap pesan dan impresi informasi tersebut. Aspek imajinatif ini menemukan ruangnya dalam berinteraksi dan mengkonstruksinya.
Membicarakan cybercultures dan produknya seakan mengantarkan kita untuk membicarakan budaya fasisme, yang sekaligus ini menunjuk budaya facebook, sedangkan pertentangannya adalah budaya yang berkembang di Indonesia khususnya budaya Jawa dan kita harus membedakan karakteristik keduanya. Ketika facebook sudah masuk ke ranah budaya, maka ia menjadi bagian sarana kebudayaan masyarakat jika mengacu pendapat Tylor, semakin kabur kefasisan yang dibicarakan. Namun, jika kita mencermati pandangan Malinowski, maka jelas budaya facebook bukan milik bangsa Indonesia. Secara ideologis bahwa facebook memiliki aspek nilai tidak percaya pada kemampuan nalar, ingkar terhadap derajat manusia, perilaku didasari kekerasan, kebohongan, pemerintahan kelompok elit, totaliterisme, rasialisme dan imperialisme. Nilai-nilai lain sangat bertentangan dengan landasan pikir rakyat dan masyarakat sosial di Indonesia dimana eksistensi fisik, hubungan psikologis, bergotong royong tentu facebook melenturkan cara pandang ini karena ia hanya sebagai sarana membangun jejaring sosial semu. Nilai-nilai facebook cenderung menghasilkan generasi dan kelompok yang idealismenya tinggi, serta sangat membentuk karakteristik individualis.
Facebook, secara tidak langsung membuktikan kekuatan dehumanisasi, dominannya teknologi daripada manusia itu sendiri. Fasisme yang ditandai dengan pengingkaran derajat kemanusiaan, sekaligus menunjukkan kecenderungan hirarkis tentang melemahnya jiwa-jiwa sosial. Masyarakat kontemporer cenderung berintegrasi dengan sistem jejaring sosial ini. Pengingkaran derajat kemanusiaan ini, merujuk pada nilai kekhususan manusia, ketidaksamaan dan keberbedaan inilah kemudian mengarah pada munculnya idealisme hidup. Secara ideologis facebook dan situs sistem jejaring sosial lainnya akan menggeneralisasikan penggunanya, sebagai satu kesatuan masyarakat yang memiliki idealisme hidup yang tinggi yang berdampak pada terbentuknya komunitas-komunitas tertentu salam membangun dunia-dunia individual baru yang mengikis nilai nilai-nilai humanistik yang paling substansial. Krisis ini bukan tidak mungkin memunculkan egosentris kedaerahan yang tinggi, rasialis, dan pewaris nilai-nilai imperialisme. Disinilah kebudayaan Jawa perlu menentukan repositiong strategisnya dengan pendekatan kebudayan dan perumusan-perumusan tertentu yang dapat merevitalisasi kebudayaan Jawa dalam berbgai konteks yang terkait. Aspek lokal yang aplikatif dan terintegrasi dengan proporsional dalam wacana dan praktik cybercultures yang menunjukkan itikad tak melepaskan kearifan lokal pada akhirnya dapat mengarah terjadinya disorientasi, disposisi, maupun dislokasi kebudayaan itu sendiri. Sebaliknya, dengan kesadaran kebudayaan dan menjunjung tinggi warisan budaya –ajaran etika, moral, etos kerja dan falsafah- untuk mereposisi budaya Jawa sebagai salah satu aspek penting dalam konstruksi budaya nasional. Dengan demikian posisi budaya Jawa memiliki nilai tawar yang tangguh terhadap budaya cyber yang diproduksi oleh ketinggian dan kemutakhiran era digitalisasi, meski masyarakat menyerapnya dalam-dalam namun karakteristik dan nilai-nilai spiritual humanistik khas Jawa.
Daftar Pustaka
Adam & Jessica Kuper, (2008) Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Penerbit: Rajawali Pers.
Bell, David. (2000), ‘Cyberculture Reader: A User’s Guide’ in The Cybercultures Readed, edited by David Bell and Barbara M. Kennedy, Routledge, London and New York
Deni S. Jusmani, Facebook dan Kuasa Fasisme: Merenung dalam Kuasa Hidup yang Palsu, diupload Selasa, 28 September 2010 - 09:43, www.indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=68
Giddens, Anthony. (1979), Central problems in Social Theory: Action, Structure and Contradiction in Social Analysis. London: Macmillan.
Giddens, Anthony. (1981),Contemporary Critique of Historical Materialism. London: Macmillan.
Giddens, Anthony. (2007), Europe In The Global Age. Cambridge: Polity publisher.
Giddens, Anthony. (2004), Konsekuensi-konsekuensi Modernitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Giddens, Anthony. (1991), Modernity and Self Identity: Self and Society in the Late Modern Age. Cambridge: Polity Press.
Giddens, Anthony. (1990), The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity publisher.
Giddens, Anthony. (1984), The Constitution of Society. Outline of the Theory of Structuration. Cambridge: Polity publisher.
Haryono, Timbul, Kebudayaan Nusantara Ditengah Peradaban Dunia, makalah seminar Antropologi.
Kayam, Umar, (1995), Perjalanan Kesenian dalam masyarakat, Kongres Kesenian Indonesia I. Jakarta
Kennedy, Barbara M. (2000), ‘Virtual Machine’ and New Becomings in Pre-Millenial Culture’ in The Cybercultures Readed, edited by David Bell and Barbara M. Kennedy, Routledge, London and New York
Larenz, Anton, (2009), Ruins of the Future “Virtual Displacement” by Rusnoto Susanto, Katalogus Pameran Tunggal Rusnoto Susanto, TBY dan Tubi art Space, Yogyakarta.
Lombard, Denys, (2000), Nusa Jawa: Silang Budaya, jilid I, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Muh. Rifqi Fauzi, (2009), ‘Akulturasi Budaya Hindu-Budha-Islam di Indonesia’, pada blog pribadinya yang diposting pada Rabu, Agustus 05, 2009
Strinati, Dominic. (2003), Popular Culture pengantar menuju teori Budaya Populer, (terjemahan), Bentang Budaya, Jogjakarta.
Subuki, Makyun. (2006), Komunikasi dalam Interaksionisme Simbolis, Strukturasi, dan Konvergensi. (online), (http://tulisanmakyun.blogspot.com/2008/02/teori-komunikasi 29. html, diakses 01 Maret 2008).
[1] Praktisi Seni Rupa, Kurator Independen, dan Mahasiswa Program Doktor pada Program Pascasarjana ISI Yogyakarta.
[2] Perubahan teknologi yang kian pesat menimbulkan sebuah ledakan budaya visual melalui berbagai fantasi dan visualisasi yang merupakan unsur dominan di dalam realitas mekanis sistem cybernetic. Tren budaya masa kini dengan temuan-temuan program aplikatif yang begitu mudah dan instan, dapat dipergunakan siapapun tanpa memerlukan skills khusus. Program tersebut dipublikasikan secara luas melalui adverstising oleh provider mobile technology, perusahaan teknologi seluler seperti PDA, iPAD atau handphone yang sistemnya ‘compatible‘. Semua dirancang khusus yang memungkinkan aplikasi internet begitu mudah dan senantiasa dalam genggaman dalam setiap aktivitas masyarakat Jawa hari ini.
[3] Dengan kata lain mulai saat itu Gereja resmi menggunakan cara inkulturasi sebagai cara penyebaran ajaran Injil. Dalam Ensiklik Rdemptoris Misio (tentang penginjilan), Paus Yohanes Paulus II, antara lain ia menyatakan bahwa melalui inkulturasi, gereja menjelmakan Injil dalam budaya yang berbeda-beda dan serentak membawa masuk bangsa-bangsa bersama dengan kebudayaan mereka ke dalam persekutuan Gereja sendiri.
[4] Sepintas inkulturasi terkesan berujung pada proses sinkretisasi yang sesungguhnya sinkretisme bertolak belakang dengan proses inkulturasi. Sehingga seharusnya gereja juga tidak spekulatif melakukan inkulturasi terhadap suatu kebudayaan, jika tidak maka yang terjadi bukannya inkulturasi melainkan sinkretisme. Sinkretisme dalam perspektif sebagai penyatuan aliran, seperti yang dinyatakan Berkhof dan Enklaar memaparkan bahwa sinkretisme memiliki potensi mencampur adukkan agama-agama. Josh McDowell dalam bukunya menyebutkan bahwa “Syncrestic” berarti “tending to reconcile different beliefs, as philosophy and religion”. Paparan di atas mempresentasikan bahwa sinkretisme dalam agama lebih merupakan usaha penyatuan dan pencampuradukkan berbagai faham-faham agama dengan kecenderungan untuk mendamaikan faham-faham itu dan terkadang bertolak belakang dengan asal-usul maknanya. Dengan demikian sinkretisme berbeda sama sekali dengan inkulturasi.
[5] Muh. Rifqi Fauzi, dalam paparan detail mengenai ‘Akulturasi Budaya Hindu-Budha-Islam di Indonesia’ pada blog pribadinya yang diposting pada Rabu, 05 Agustus 2009, riefqie-yupss.blogspot.com/.../akulturasi-budaya-hindu-budha-islam-di.html
[6] Bukti lain tampak dengan lahirnya banyak karya sastra bermutu tinggi yang merupakan interpretasi kisah-kisah dalam budaya Hindu-Budha (Empu Sedah dan Panuluh dengan karyanya Bharatayudha, Empu Kanwa dengan karyanya Arjuna Wiwaha, Empu Dharmaja dengan karyanya Smaradhana, Empu Prapanca dengan karyanya Negarakertagama, Empu Tantular dengan karyanya Sutasoma. Pengaruh Hindu Budha nampak pula pada berkembangnya ajaran budi pekerti berlandaskan ajaran agama Hindu-Budha. Pendidikan tersebut menekankan kasih sayang, kedamaian dan sikap saling menghargai sesama manusia mulai dikenal dan diamalkan oleh sebagian masyarakat Indonesia saat ini. Para pendeta awalnya datang ke Indonesia untuk memberikan pendidikan dan pengajaran mengenai agama Hindu kepada rakyat Indonesia. Mereka datang karena berawal dari hubungan dagang. Para pendeta tersebut kemudian mendirikan tempat-tempat pendidikan yang dikenal dengan pasraman. Di tempat inilah rakyat mendapat pengajaran. Karena pendidikan tersebut maka muncul tokoh-tokoh masyarakat Hindu yang memiliki pengetahuan lebih dan menghasilkan berbagai karya sastra. Rakyat Indonesia yang telah memperoleh pendidikan tersebut kemudian menyebarkan pada yang lainnya. Sebagian dari mereka ada yang pergi ke tempat asal agama tersebut. Untuk menambah ilmu pengetahuan dan melakukan ziarah. Sekembalinya dari sana mereka menyebarkan agama menggunakan bahasa sendiri sehingga dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat asal. Agama Budha tampak bahwa pada masa dulu telah terdapat guru besar agama Budha, seperti di Sriwijaya ada Dharmakirti, Sakyakirti, Dharmapala. Bahkan raja Balaputra dewa mendirikan asrama khusus untuk pendidikan para pelajar sebelum menuntut ilmu di Benggala (India)
[7] Seni Sastra dan Aksara, periode awal di Jawa Tengah pengaruh sastra Hindu cukup kuat. Periode tengah bangsa Indonesia mulai melakukan penyaduran atas karya India. Contohnya: Kitab Bharatayudha merupakan gubahan Mahabarata oleh Mpu Sedah dan Panuluh. Isi ceritanya tentang peperangan selama 18 hari antara Pandawa melawan Kurawa. Para ahli berpendapat bahwa isi sebenarnya merupakan perebutan kekuasaan dalam keluarga raja-raja Kediri. Prasasti-prasasti yang ada ditulis dalam bahasa Sansekerta dan Huruf Pallawa. Bahasa Sansekerta banyak digunakan pada kitab-kitab kuno/Sastra India. Mengalami akulturasi dengan bahasa Jawa melahirkan bahasa Jawa Kuno dengan aksara Pallawa yang dimodifikasi sesuai dengan pengertian dan selera Jawa sehingga menjadi aksara Jawa Kuno dan Bali Kuno. Perkembangannya menjadi aksara Jawa sekarang serta aksara Bali. Di kerajaan Sriwijaya huruf Pallawa berkembang menjadi huruf Nagari.
[8] Posisi kebudayaan tradisi yang masih kuat akan memanfaatkan interaksi untuk tetap mempertahankan identitasnya, tetapi budaya tradisi yang lemah akan cenderung mengikuti arus, ditransformasikan bahkan hancur dalam era globalisasi. Diantara tarik menarik kekuatan di atas, budaya tradisi, termasuk seni tradisi berada dalam kekuatan tarik menarik kepentingan tersebut. Sehingga budaya (dalam hal ini seni) tradisi dituntut untuk melakukan reposisi budaya, yaitu mencari sebuah alternatif yang strategis dalam konstelasi perubahan jaman yang cepat ini. Dengan demikian budaya (dalam hal ini seni) tradisi yang dianggap statis, indiginasi dituntut untuk mendapatkan posisi yang baru dalam era globalisasi lewat kesadaran yang kritis. Dengan melalui kesadaran yang kritis ini diharapkan budaya (dalam hal ini seni) tradisi dapat membangun kekuatan diri sendiri berdasar pada paradigmanya sendiri, serta memperkuat sistem dan prinsip yang bersumber dari lokal untuk ditawarkan melalui konteks yang global. Konteks reposisi semacam ini dianggap sangat perlu dan penting sebagai upaya dalam reposisi budaya, sehingga dapat membangkitkan kembali daya tarik serta rasa memiliki dalam masyarakat lokal yang telah diwarisi budaya tradisi, termasuk seni. (lihat: Sarwono, Reposisi Kreasi Budaya dalam Penggugatan Masyarakat Lokal, sarwono.staff.uns.ac.id/.../reposisi-kreasi-budaya-dalam-penguatan-masyarakat-lokal)
[9] Sebetulnya, apa yang membuat masyarakat kontemporer dunia begitu tertarik dan asyik dengan facebook? Ada apa dengan facebook, atau jaringan sosial semacamnya, twitter, friendster, atau sekadar blogging saja, sehingga rela menghabiskan waktu dan biaya untuk melakukannya? Kenapa jaring-jaring sosial semacam facebook ini mulai merambah pada tatanan kebutuhan pokok untuk melakukan pergaulan sosial dan bahkan mengalahkan kontak fisik secara langsung.
[10] Deni S. Jusmani, Facebook dan Kuasa Fasisme: Merenung dalam Kuasa Hidup yang Palsu, diupload Selasa, 28 September 2010 - 09:43, www.indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=68 Kelompok pertama, membuat akun di facebook bertujuan untuk promosi dan informasi tentang sesuatu. Promosi blog, untuk berbisnis, ataupun usaha dalam bidang jasa. Tidak sedikit, nama akun atau nama grup yang digunakan seperti: “Grosir Baju Anak”, “Bisnis Online”, “Pusat Bisnis Cerdas”, “Masyarakat Anti Sinetron”, “Salma Batik dan Tenun”, “Partai Penulis Puisi”, www.infokorupsi.com, “Yasika FM Jogja”, atau “Mateshop Safitri”, yang secara langsung menunjuk tujuan mereka membuat nama, baik akun personal atau nama grup yang dimaksudkan. Facebook digunakan untuk mempermudah informasi jasa, bisnis, atau pandangan tentang faham ideologis tertentu. Tujuannya adalah mencari “teman” atau klien sebanyak-banyaknya, sehingga apa yang melatarbelakangi, tersampaikan dengan baik. Biasanya, status yang mereka buat tidak lebih dari informasi jenis dan harga produk, berita kegiatan, dan produk-produk terbaru yang dikeluarkan.
Kelompok pecinta tren dan gaya hidup, membuat akun facebook dengan tujuan untuk eksis, dikenal, bahkan cenderung ikut-ikutan, dalam komunitas mereka. Nama-nama akun yang digunakan langsung menunjuk nama personal, nama kelompok, atau nama personal yang diimbuhi dengan nama komunitas tertentu, terkadang juga nama unik, nama kota, atau nama aslinya. Sebut saja, “Oshin Cecabe”, “Shyrenna Aprietha”, “Septina Kusumawati”, “Emprit Kecil Imutimut”, Aantz Kurus Tak Takut”, “Linda かわいい 예쁜”, “Icha Chadut Jouliecha”, “Regina Temanggung”, “Uzer Palembang”, dan “Antok Naughty'boyz-guevara”. Kelompok semacam ini memiliki kebiasaan update status yang berlebihan (facebook addict) dan informasi statusnya yang unik, lucu, menggemaskan, dan terlihat kurang penting, semacam “kopi jahe”, “Mulud pnuh sariawan.. Bgg mw mam apa???”, “Witing tresno jalaran saka restu ne wong tuo :-) hohoho.”, “Bwt mnuman susu ah,, biar tbuh jd shat.”, atau semacam “Aku punya boneka monyet yg hedrocepalus luh. .hahaha”. Awalnya mereka membuat akun bertujuan untuk sosialisasi sesama teman dan satu komunitas saja, sehingga bahasa-bahasa status mereka, akan terlihat dan terkesan kurang penting bagi orang-orang yang ada dalam satu jaringan pertemanan, dan ikut membaca status tersebut.
[11] Tampak jelas ketika seorang Antrolog Jerman, Anton Larenz (2009), Ruins of the Future “Virtual Displacement” by Rusnoto Susanto, Katalogus Pameran Tunggal Rusnoto Susanto, TBY dan Tubi art Space, Yogyakarta, p. xx megungkapkan bahwa, beberapa hari yang lalu pada minggu akhir Juni 2009, The New York Times menerbitkan artikel tentang pelapukan Capsule Tower, sebuah bangunan apartemen untuk para lajang di Tokyo. Setiap kapsul dalam Capsule Tower yang dibangun pada tahun 1972 ini, lengkap berisi fasilitas-fasilitas modern seperti televisi, tape recorder, dan kulkas. Bangunan-bangunan ini adalah contoh langka dari apa yang sering disebut sebagai Japanese Metabolism, sebuah gerakan dan tren asritektur yang terlibat dalam kebangkitan Jepang dari perang. Visi urban mereka kemudian melekat pada budaya orang Jepang pasca perang ketika itu. Kota-kota dibangun dan dirancang sebagai sistem terapung yang melambangkan masyarakat yang berubah dalam transisi menuju modernitas. Pada saat yang sama, perubahan pada struktur masyarakat Jepang pun dapat jelas terlihat pada pergeseran struktur keluarga tradisional dan perpindahan arus tenaga kerja nasional. Fenomena yang terjadi di Jepang ini menarik perhatian dunia dan disambut antusias oleh para arsitek. Sekarang ini, ada gagasan untuk membuat museum arsitektur dari masa depan yang telah berlalu itu. Dari sinilah kecenderungan hidup dalam pengaruh cyberspace dan idealisai virtual space mengkristal secara laten pada masyarakat dunia akhir-akhir ini.
[12]Lihat: (1) Giddens, Anthony. (1979), Central problems in Social Theory: Action, Structure and Contradiction in Social Analysis. London: Macmillan. (2) Giddens, Anthony. (1981), Contemporary Critique of Historical Materialism. London: Macmillan. (3) Giddens, Anthony. (2007), Europe In The Global Age. Cambridge: Polity publisher. (4) Giddens, Anthony. (2004), Konsekuensi-konsekuensi Modernitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana.(5) Giddens, Anthony. (1991), Modernity and Self Identity: Self and Society in the Late Modern Age. Cambridge: Polity Press. (6) Giddens, Anthony. (1984), The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity publisher, 1990. (7) Giddens, Anthony. The Constitution of Society. Outline of the Theory of Structuration. Cambridge: Polity publisher.
Menurut Giddens, perkembangan gaya hidup dan perubahan struktural modernitas saling terhubung melalui reflektifitas institusional; karena keterbukaan kehidupan sosial masa kini, pluralisasi konteks tindakan dan aneka ragam otoritas, pilihan gaya hidup semakin penting dalam penyusunan identitas diri dan aktifitas keseharian. Ia juga mengingatkan, bahwa gagasan gaya hidup telah dikorupsi oleh konsumerisme, meskipun pasar, terutama ketika telah menjadi tema ideologis dalam politik neoliberal, sepertinya menawarkan kebebasan memilih, dan dengan demikian bermaksud mempromosikan individualisme. Giddens juga menyatakan bahwa komodifikasi kedirian melalui genre-genre narasi media, begitu pula strategi pemasaran menekankan gaya pada biaya investasi makna personal. (1)Untuk menjelaskan pandangan Giddens ini, dan dikaitkan dengan gaya hidup yang ada dan menjamur di Indonesia ini, maka kita harus membuka cakrawala cara berpikir, agar tidak terbentur pada pola pikir yang tidak dengan sertamerta berbicara konteks Timur dan Barat. Tentu, kita harus memahami pikiran Giddens sebagai upaya mengurai benang kusut tentang bergaya dan gaya hidup non-pribumi yang cukup banyak berkembang pada tantanan hidup bangsa ini. Pada The New Oxford Thesaurus of English mengatakan pemahaman gaya (2) adalah fashion, style, mode. Pemahaman tersebut, membawa pemaknaan yang terkait dengan hal-hal busana (fashion, style, dan mode), tetapi sebetulnya pemaknaan tersebut menjadi satu kesatuan utuh. Ketika berbicara mengenai gaya busana, maka tentu berbicara mengenai style dan terkait dengan mode. Mode disebut sebagai cara, (3) style disebut sebagai corak mode dan gaya. (4) Mode (5) dikatakan sebagai vogue, current/latest style, look, trend, latest thing, latest taste; craze, rage, fad, general tendency, convention, custom, practice. (6) Roland Barthes, memahami mode ini sebagai sebuah objek otonom, dengan struktur aslinya sendiri, dan mungkin dengan finalitas baru; fungsi-fungsi lain disubstitusikan bagi atau ditambahkan pada fungsi-fungsi sosial adalah analog dengan apa yang ditemukan dalam semua sastra dan dapat disimpulkan dengan mengatakan bahwa melalui bahasa yang dengan demikian mengambil peranan darinya, mode menjadi naratif. Pemahaman-pemahaman ini jika diterapkan pada gaya busana, maka akan mengarah pada aspek bentuk, desain, ornamentasi, dan materialnya, yang mencakupi ekspresi pencipta, dengan beragam komunikasi. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengatakan gaya sebagai ragam (cara rupa, bentuk, dan sebagainya) yang khusus (mengenai tulisan, karangan, pemakaian bahasa, bangunan rumah, dan lainnya). (7) Bergaya dapat dikatakan sebagai bertingkah dengan tidak sewajarnya (dibuat-buat).
[13] Lihat: Habermas dalam Steven Best and Douglas Kellner. (1997: 38) The Postmodern Turn, MA: MIT Press, Cambridge, p. 38 memberi pencermatan serupa; In the realm of philosophy and social theory, there are many different paths to the turn from the modern to the postmodern, representing a complex genealogy of diverse and often divergent trails, as the postmodern turn winds and twists through different discipline and cultural terrains. One pathway moves through an irrationalist tradition from romanticism to existentialism Bataille. This is the route to the postmodern charted by Habermas in The Philosophical Discourse of Modernity (1987), a road ultimately leads for him to the dead end of irrationalism and the catastrophe of fascism.
[14] Cermati pernyataan Dr. Radjiman dalam Kongres Kebudayaan menyampaikan 7 dalil; (1) Kebudayaan Jawa kuno berdasarkan sosiologi keagamaan, (2) Dasar ini ditemukan kembali dalam jiwa bangsa masyarakat Jawa meskipun banyak yang tidak menyadarinya, (3) Kebudayaan Jawa kuno diperlukan untuk menjadi penggugah kesadaran masyarakat pribumi (karaktervorming), (4) Pengaruh baru mutlak diperlukan untuk berhubungan secara internasional guna menuntut ilmu pengetahuan sebanyak mungkin, (5) Pendidikan harus berlangsung serasi dalam bentuk penanaman nilai etika dan estetika dan yang bersifat mendidik, serta harus memperhatikan dasar adat istiadat bangsa, (6) Latihan dan penggunaan bahasa Jawa, seni budaya dan sejarah harus mendapat tempat yang besar dalam pendidikan, (7) Kesempatan mempelajari bahasa Belanda harus terbuka lebar untuk mendapatkan pengetahuan dan ilmu yang memungkinkan diterapkan dalam hubungan internasional.
[15] Lihat Makalah Prof. Dr. Timbul Haryono, Kebudayaan Nusantara Ditengah Peradaban Dunia, menyatakan bahwa perubahan dalam skala supra nasional meliputi wilayah, benua, belahan bumi, kelompok nasional; dan etnorasial, serta global dengan interaksi antara semuanya. Persatuan beratus kelompok etnik, linguistik dan kepercayaan dalam satu negara-bangsa yang merdeka. Adaptasi terhadap perubahan di kalangan beberapa etni dan daerah berbeda-beda. Perkembangan budaya yang progresi ternyata juga disertai oleh regresi Pertambahan penduduk yang mencolok tidak disertai oleh pertumbuhan pendidikan dan ekonomi sehingga terjadi eksodus rural yangn tidak equivalent dengan adaptasi urban. Usaha transmigrasi (migrasi internal terpimpin) tidak memperhatikan aspek antropologi pemukiman dan etnografi; antropologi ekonomi kurang diperhatikan karena hanya mengabdi pada pasar. Manusia didevaluasi menjadi sumber daya, dan rakyat hanya dipersiapkan untuk kepariwisataan. Stabilitas dan sekuritas hanya untuk negara bukan sekuritas manusia. Seni berkembang menjadi seni turistik dan komersial. Arus gaya hidup, moda pakaian dan pola makanan sangat kuat dari Barat (terutama Amerika). Adat, tabu dan pantang menjadi longgar, dan eksploatasi sexuologis makin sering dilakukan untuk tujuan komersial. Pertukaran budaya tidak simetris dan cenderung ke arah hedonisme individualistis.
[16] Strinati, Dominic. (2003), Popular Culture pengantar menuju teori Budaya Populer, (terjemahan), Bentang Budaya, Jogjakarta, p. 4. Selain itu perubahan sosial lainnya dihasilkan oleh kemajuan industri .Perkenalan masyarakat industri dan pergeseran pola hidup modern tersebut menjadi bagian budaya jam kerja dan waktu libur. Bentuknya berupa musik, tarian, teater, gaya, ritual sosial, dan bentuk lain yang bersifat tradisional. Budaya ini dianggap bernilai luhur dan adiluhung dan memiliki standarisasi yang tinggi (selera, kualitas, dan estetika). Misal, budaya rendah itu dangdut, dan budaya tinggi itu musik klasik (classical music), karena dangdut penikmatnya adalah kalangan bawah, sedang musik klasik penikmatnya kalangan atas. maka budaya massa diartikan sebagai budaya komersial yang diproduksi secara massal. Hanya saja, tujuan utamanya yakni keuntungan (profit). Budaya pop meleburkan budaya rendah dan budaya tinggi.
[17] Kennedy, Barbara M. (2000), ‘Virtual Machine’ and New Becomings in Pre-Millenial Culture’ in The Cybercultures Readed, edited by David Bell and Barbara M. Kennedy, Routledge, London and New York, 13-21.
[18] Bell, David. (2000), ‘Cyberculture Reader: A User’s Guide’ in The Cybercultures Readed, edited by David Bell and Barbara M. Kennedy, Routledge, London and New York, p. 11-12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar